Jumat, 12 April 2013

Suara


Dunia seolah telah bersuara satu untuk demokrasi.
Dan hari ini rakyat Palestina pun senada.
Jika mereka harus dihukum karena memilih Hamas,
Maka demikian pula rakyat Amerika harus dihukum karena memilih Bush!

(Kholid Misy’al)



Ada aksioma yang kita yakini, bahwa di dunia ini senantiasa terjadi pertarungan antara al-Haq dan al-bathil, as-Siro’ bainal haqqi wal baathil. Seorang intelektual Muslim memilih diksi yang lebih lembut, yakni mudafa’ah, desak mendesak, dorong mendorong. Apa iya begitu? Mungkin ada yang meragukan. Dalam keyakinan mereka, kebenaran dan kebathilan hanya bertarung dalam dongeng, dan di sana kebenaran selalu menang di akhirnya. Saat ini, katanya, menjadi penting untuk menggabungkan energi kesholihan sekaligus energi kemaksiatan dalam satu wadah demi dunia yang damai, maju, dan beradab.

Masalahnya, harus diakui bahwa tiap manusia mempunyai kepentingan. Nah, kepentingan saja berbenturan. Apalagi, latar dari kepentingan itu yang ada dalam dada dan kepala masing-masing manusia. Mengukur mana yang haq dan mana yang bathil tak perlu dimasalahkan. Di sana, dalam landasan konsepsi, metode gerak, dan hasil serta dampak hanya ada dua: Hizbulloh dan Hizbusy Syaithon.

“Di sini terlihat,” tulis Sayyid Quthb dalam Zhilal, “Medan yang membentang luas, penuh sesak oleh manusia dalam dinamika yang saling mendesak, saling berlomba dan saling mendorong mencapai berbagai tujuan. Tetapi di belakang itu semua, ada tangan yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengatur, yang memegang semua kendali dan menuntun parade yang saling berdesakan, saling menjatuhkan, dan saling berlomba cepat itu, ke arah kebaikan, kemaslahatan, dan pertumbuhan, di akhir perjalanan.”

Sayyid benar. Karakter asli kebathilan adalah zahuq; lenyap, tertutup, dan kalah. Ketika Rosululloh membuka makkah bersama 10.000 pasukannya, beliau memasuki Ka’bah, menghancurkan berhala-berhala, dan membaca ayat ini,

Dan katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap”. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (Qs. al-Isro’ [17]: 81)

Tetapi mengapa kini kita menyaksikan kebathilan itu seolah senantiasa eksis? Mengapa? Karena yang benar tidak datang untuk mendesak dan menjadikannya zahuq. Karena kebenaran berdiam di masjid-masjid, dan bersembunyi di mihrob-mihrob. Karena kebenaran memilh diam di saat kebathilan bicara, lalu terlambat bicara di saat kebathilan telah bekerja. Karena kebenaran tak pernah mendesak dan memukul berhala-berhala itu dengan tongkatnya.

Ummat Muhammad memang istimewa. Pada ummat sebelumnya, ketika da’wah terbuntu, ketika para Rosul sudah habis-habisan berda’wah namun tak juga bertambah pengikutnya, ketika penentang-penentang da’wah semakin sombong dan angkuh, Alloh sendiri yang kemudian menurunkan ‘adzab-Nya.

Kaum Luth habis diterjang hujan batu berapi dan tanah pijakan mereka di balik, yang di atas dijadikan yang di bawah. Kaum Tsamud ditimpa gempa dan suara keras mengguntur. Kaum ‘Aad habis dengan terpaan angin dingin yang sangat keras, hingga mereka bagaikan tunggul kayu lapuk tak berbekas. Fir’aun yang memusuhi Musa ditenggelamkan. Bahkan Nuh yang berdoa saat banjir menggemuruh, agar Alloh memupus habis kaum yang menentangnya.

Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (Qs. Nuh [71]: 26-27)

Tetapi, ummat Muhammad tidak. Ketika Sang Nabi diusir, dilempari batu, dikejar-kejar hingga berdarah-darah, ia tidak berdoa seperti nuh untuk membinasakan kaum itu. Ia justru berdoa agar Alloh mengampuni karena ketidaktahuan mereka. Ia justru berharap jikapun mereka tak beriman, kelak anak-anak mereka yang akan beriman. Dan Alloh sekali lagi menegaskan keistimewaan itu.

Perangilah mereka, niscaya Alloh akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Alloh akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. (Qs. at-Taubah [9]: 14)

Jika untuk menghancurkan kaum sebelumnya Alloh mengerahkan tentara alam, kini Alloh memanggil partisipasi hamba-hamba beriman. ‘Adzab Alloh bagi penentang-penentang da’wah datang lewat tangan orang-orang Mukmin; bukan bencana alam. Siksa itu mereka rasakan sebagai sebuah desakan dari kebenaran atas kebathilan melalui upaya sistematis dan terprogram. Bersiaplah, berperanglah. Selebihnya, Alloh lah Sang Penolong. Seperti doa yang menjerit dari hati mulia di padang Badr, “Ya Alloh, jika golongan ini Engkau biarkan binasa, Engkau tak akan disembah lagi di muka bumi! Ya Alloh, kecual jika memang Engkau menghendaki untuk tidak disembah lagi selamanya setelah hari ini!”

Ungkapan ini mewakili perasaan mayoritas kaum Muslimin yang belum pernah menghadapi situasi perang. Tapi ia juga ekspresi keimanan. Bahwa golongan ini -meski kecil adanya- selalu mendapati janji-Nya ditepati. Persis seperti kalimat ash-Shiddiq yang menenangkan sahabatnya, “Cukup, ya Rosulalloh! Tenanglah! Alloh tidak akan menyalahi apa yang telah Ia janjikan kepadamu!”

“Dan Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang sholih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. an-Nuur [24]: 55)

Medan sejati kita, insya Alloh memang perang mempertaruhkan jiwa, hingga pohon dan batu bicara. Tetapi agaknya di luar medan final ketika besi bertemu besi dan api bertemu api, hari-hari ini kebathilan memilih satu sarana perang untuk membungkam kebenaran. Suara. Ya. Suara. Al-Mugholabah bil Ashwaat. Dominasi ditentukan oleh suara. Siapa yang lebih keras, nyaring, dan banyak dalam bersuara, dia yang akan menang.

Di sinilah bermula polemik ketika da’wah bersentuhan dengan demokrasi. Ada yang khawatir, kita terjebak permainan lawan sehingga lebih baik dikatakan bahwa demokrasi -produk Barat- itu haram. Dan lalu kita tak bisa berbuat apa-apa. Karena di mana ada da’wah, di situ demokrasi diadakan, atau minimal dicita-citakan. Toh tidak berdemokrasi pun, da’wah lebih sulit bersikap menghadapi tiran-tiran sosialis maupun raja dan emir yang berlindung di ketiak Amerika.

Tapi ketika yang memenangkan demokrasi adalah da’wah; mengerikan juga melihat kasus FIS di Aljazair. Pembantaian. Lebih ringan, mungkin pengalaman Necmetin Erbakan di Turki. Kudeta dan pencekalan. Atau baru-baru ini; Hamas di Palestina. Amerika dan Israel menjadi tak lagi bermalu atau berpikir tentang ke mana opini publik berpihak saat da’wah memenangkan Pemilu. Bayangkan saja, bisa-bisanya puluhan anggota parlemen, termasuk ketuanya, plus beberapa menteri, dan wakil Perdana Menteri sebuah negara ditangkap?

Nah, lalu bagaimana? Sepertinya permasalahannya ada pada bagaimana da’wah memenangkan pertempuran-pertempurannya, termasuk dalam Pemilu lalu bagaimana mempertahankannya. Nah, pengelolaan organisasi, jaringan, dan kekokohan kader lah yang kita bahas. Tentang esensi demokrasi? Tentang al-Mugholabah bil Ashwaat itu tadi? Dr. Yusuf al-Qordhowi berkata, “Pemimpin yang terpilih karena diridhoi rakyat jauh lebih dekat pada Islam daripada tiran yang disebut Nabi sebagai seburuk-buruk pemimpin dalam sabdanya, ‘Dia membenci kalian dan kalian membencinya!’”

Toh, sejarah Khulafaur Rosyidin menawarkan pada kita sistem yang sangat fleksibel untuk memilih orang terbaik yang akan memandu da’wah. Apa saja? Kita kutip dengan banyak perubahan Afzal Iqbal dalam Diplomacy in Early Islam untuk mengurainya.

1. Abu Bakr: Diplomasi dan Aklamasi

Pemakaman jenazah Rosululloh dengan sangat terpaksa harus ditunda. Tiga sahabat utama itu; Abu Bakr, ‘Umar, dan Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarroh bergegas-gegas ke arah Saqifah Bani Sa’idah. Di balai pertemuan itu, orang-orang Anshor berkumpul untuk memilih pengganti Rosululloh. Itu dia pemimpin yang telah mereka pilih, pemimpin Khozroj, Sa’d ibn ‘Ubadah sedang terbaring menggigil demam di pojok ruangan.

Abu Bakr, seperti biasa, bicara dengan kalimat ringkas namun meyakinkan. Abu Bakr dengan nada kesyukuran yang khidmat menghargai pengabdian orang-orang Anshor untuk Islam, kesetiaan mereka pada Rosululloh, pembelaan dan pertolongan mereka yang tak terhingga. Sekaligus juga Abu Bakr bicara tentang persoalan legitimasi. Apa yang ditinggalkan Rosululloh telah demikian luas, dan sungguh semua bangsa Arab hanya bisa menerima pemimpin dari Quroisy, pelindung dan pelayan Ka’bah sejak berabad-abad. Tentu sosok Abu Bakr sebagai juru bicara, memudahkan argumen ini diterima orang-orang Anshor. Teriakan, “Masing-masing punya pemimpin! Kalian pilihlah pemimpin dan kami telah memilih Sa’d!”, yang semula bersiponggang, luluh melihat ketulusan Abu Bakr.

Abu Bakr mengakhiri pidatonya. “Wahai saudara-saudaraku Anshor”, katanya, “Tak seorang pun yang mengingkari ketinggian derajat kalian dalam agama dan keagungan pengorbanan kalian dalam Islam. Kalian telah dipilih Alloh untuk menolong agama dan Rosul-Nya, kepada kalianlah Rosululloh diutus-Nya saat beliau hijroh, dan justru dari kalianlah mayoritas sahabat Rosululloh dan isteri-isteri beliau berasal. Posisi kalian adalah setelah as-Sabiquunal Awwaluun. Sungguh adil dan tepat sekiranya kami duduk sebagai Amir, maka kalian akan duduk sebagai Wazir. Kalian tidak akan terhambat dengan apa yang kalian rencanakan, dan kami takkan melakukan apapun sebelum berkonsultasi dengan kalian!”

Lalu Abu Bakr menominasikan ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah untuk dibai’at. Tapi suasana jadi begitu sendu. ‘Umar hanya gemeretak giginya, mengepalkan tangan dan menunduk dalam. Sementara Abu ‘Ubaidah meneteskan air matanya sambil geleng-geleng karena rasa malu. “Tidak!”, kata ‘Umar. “Justru engkaulah yang akan kami bai’at!” Dan semua sepakat dengan ‘Umar. Hari itu, kaum Muslimin memiliki seorang pemimpin baru. Dengan sebuah diplomasi. Dan aklamasi.

2. ‘Umar: Lobi dan Amanat, dari yang Tepercaya pada yang Tepercaya

Menjelang wafat, Abu Bakr mulai berpikir tentang penggantinya. Sesekali ‘Umar -yang ketika itu menjabat Qodhi- dimintanya untuk menggantikan mengimami sholat, seperti dulu saat Rosululloh sakit dirinyalah yang diminta. Ini seperti sebuah promosi (taqwim) awal. Lalu satu persatu, Abu Bakr bicara pada tokoh-tokoh sahabat.

“Bukankah kau lihat ‘Umar seorang yang keras, wahai Kholifah Rosululloh?” kata ‘Abdurrohman ibn ‘Auf ketika mendengar disebutnya nama ‘Umar. “Ya”, kata Abu Bakr. “Tapi tidakkah kau rasakan dia senantiasa mengimbangi posisiku: Jika aku lembut, dia mengeraskan dan meyakinkan. Jika aku keras, dia melunakkan dan menyabarkanku?” ‘Abdurrohman ibn ‘Auf mengangguk.

‘Utsman, ‘Ali, az-Zubair, dan hampir semua sahabat yang dihubungi Abu Bakr setuju atas pilihan Sang Kholifah. Hanya Tholhah yang agak keras. “Saat engkau masih berada di tengah kami pun”, katanya, “Kami telah merasakan betapa kerasnya dia. Bagaimana nanti kalau kau sudah menghadap Alloh? Apa jawabmu pada-Nya ketika tergugat telah meninggalkan kaum Muslimin pada seorang yang berperangai keras?”

“Dudukkan aku! Wahai Tholhah, apakah engkau sedang menakutiku?”, kata Abu Bakr dengan ekspresi gembira. “Aku bersumpah, demi Alloh jika aku menghadap Robbku, akan kukatakan pada-Nya bahwa aku telah menetapkan atas makhluq-Nya seorang pemimpin yang paling kuanggap baik di antara mereka.” Abu Bakr telah memutuskan. Dan didiktekanlah surat wasiatnya pada Sekretaris Negara, ‘Utsman ibn ‘Affan.

Ketika ‘Umar datang dan sadar apa yang terjadi, ia berseru, “Aku tidak pernah menghajatkan posisi itu!” Abu Bakr tersenyum. “Benar, saudaraku. Tapi posisi itulah yang menghajatkanmu.” Jendela rumah Abu Bakr yang menghadap ke Masjid Nabawi itu terbuat dari tanah. Ke sanalah Abu Bakr beringsut, membukanya dan menghadap khalayak yang menunggu kabar kondisi sakitnya. Setelah salam dan sholawat pada kekasihnya, ia berkata anggun, “Apakah kalian akan menerima dengan lapang dada seorang yang telah kupilih sebagai penggantiku?”

“Ya!”, jawab khalayak itu.

Setelah menjelaskan sedikit, beliau menyebut nama 'Umar dan berkata, “Apakah ini cocok untuk kalian?”

“Kami setuju!”

“Apakah kalian akan taat dan setia padanya?”

“Ya!”

Maka langit Madinah cerah dengan arakan awan. Semua tahu, Abu Bakr sangat bijak dalam memerintah. Dan lebih dari itu, sangat bijak memilih pengganti.

3. ‘Utsman: Majelis Syuro

Setelah tikaman di shubuh itu, ‘Umar harus terbaring. Ummu Kultsum binti ‘Ali tersedu melihat suaminya. “Kasihan engkau, wahai ‘Umar! ratapnya. Yah, sang isteri melihat sendiri, saat ‘Umar diberi minum susu. Susu itu mengalir keluar dari luka di perutnya. Begitu juga sari buah, luka itu jadi semakin perih.

Tetapi ia telah menunjuk 6 orang anggota Majelis Syuro yang akan berembug tentang penggantinya. Ia telah merumuskan tatacara pemilihannya, yang bahkan paragraph terakhirnya berbunyi, “Jika prosedur telah ditunaikan dan masih ada yang belum mau menerima keputusan syuro di antara mereka, maka diizinkan untuk memenggal lehernya.” Seram. Khas ‘Umar. Dan memang begitulah seharusnya demi keutuhan ummat.

Abu Tholhah al-Anshori bersama 50 orang bersenjata lengkap sejak hari itu berjaga ketat di kediaman ‘Aisyah ra yang bersahaja. Di dalam sana, Tholhah telah memberikan suaranya untuk ‘Utsman, az-Zubair memberikan suaranya untuk ‘Ali, dan Sa’d ibn Abi Waqqosh memberikan suaranya untuk ‘Abdurrohman ibn ‘Auf. ‘Abdurrohman berdiri, menyatakan bahwa ia siap memimpin dewan, tapi menanggalkan amanah khilafah sejak awal. Maka diapun memulai tugasnya, berkonsultasi dengan para sahabat, para isteri Rosululloh, para pemimpin kabilah, dan yang juga penting; kedua calon. Sementara yang lain dalam karantina, ‘Abdurrohman telah melihat garis besarnya; Bani Hasyim mendukung ‘Ali, sementara Bani ‘Umayyah mendukung ‘Utsman.

Hari itu, Masjid Nabawi penuh sesak. Di mimbar, ‘Abdurrohman ibn ‘Auf berdiri diapit ‘Ali dan ‘Utsman. Mula-mula ia berkata sambil mengangkat tangan ‘Ali, “Saya mengambil sumpahmu dengan syarat mengikuti Kitabulloh, sunnah Rosul-Nya, dan teladan Abu Bakr serta ‘Umar!”

“Saya akan mengikuti al-Qur’an, sunnah Nabi, serta jalanku sendiri!” demikian jawab ‘Ali. Hingga tiga kali.

Lalu ‘Abdurrohman ibn ‘Auf beralih ke ‘Utsman. Diucapkannyalah perkataan yang sama. Dan ‘Utsman menjawab, “Saya bersedia, insya Alloh.” Maka ‘Utsman dibai'at hari itu juga sebagai Kholifah yang baru. Zaman lalu menyaksikan sebuah pemerintahan yang diisi karakter seorang pemalu nan dermawan; kasih sayang.

4. ‘Ali: Suara Mayoritas

Hari itu, 24 Juni 656. Lima hari setelah terbunuhnya ‘Utsman secara zholim. Jalan-jalan Madinah dipenuhi oleh gerombolan manusia, rombongan-rombongan, dari jauh dan dekat yang sulit diperkirakan sikap dan itikadnya. Keluarga ‘Utsman, juga beberapa sahabat yang meyakini telah datangnya masa fitnah seperti Sa’d ibn Abi Waqqosh, ‘Abdulloh ibn ‘Umar, dan Usamah ibn Zaid memilih untuk mengungsi ke Makkah. 

Dalam atmosfer yang penuh dengan ketakutan, horor, dan tak berlakunya hukum, harus ada satu keberanian puncak untuk segera menata kembali kondisi. Dan untuk keberanian semacam itu, hanya ‘Ali yang punya. Dan itupun terpaksa. Awalnya dia berkata, ada Tholhah dan az-Zubair yang lebih pantas. Tapi desakan suara mayoritas, bahkan -tentu saja- dari para pemberontak zaman ‘Utsman yang masih berkumpul di Madinah tak memberinya pilihan lain. ‘Ali tahu resikonya. Ini hanya suara mayoritas, yang itupun tak dominan. ‘Ali tahu resikonya, karena diapun melihat sudah mulai terlihat beberapa sahabat utama abstain. Dan jika api fitnah ditiup lagi, dia merasa bahwa sikap abstain itu juga akan menjadi fitnah. Tapi apa gunanya memaksa? Bukankah nantinya paksaan itu juga jadi fitnah?

‘Ali tahu resiko yang diembannya. Dan ia menerima suara mayoritas itu.

5. Politik Cerdas Roja’ ibn Haiwah, “The Kholifah Maker”

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Qs. al-Qoshshosh [28]: 83)

Inilah ayat yang berulang-ulang dibaca orang-orang mulia di ranjang kematiannya. ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Dia memang layak mengabadikan kalimat ini dalam kebekuan lisan yang menggetarkan kata terakhir. Dalam kapasitas sebagai pemimpin dengan berjuta rakyat dan tiga benua, gelinciran sombong dan kerusakan bisa menjadi semudah mengatup-buka bibirnya.

Tapi dengan resiko besar itu, dia telah sukses menyelesaikan perhentian sejenaknya di alam fana. Sampai para gembala pun bisa menyaksikan serigala berkawan mesra dengan domba di masa pemerintahannya. Pertanyaannya, siapa yang berperan memasukkannya ke dalam jajaran khilafah, padahal hegemoni keluarga pamannya ‘Abdul Malik ibn Marwan nyaris tak tertembus?

Orang itu, Roja’ ibn Haiwah. Dia, dengan kedekatannya pada Kholifah Sulaiman ibn ‘Abdul Malik berhasil membujuk sang Amirul Mukminin untuk menyerahkan khilafah sepeninggalnya pada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, baru kemudian pada keluarga ‘Abdul Malik yang dikehendakinya. “Inilah yang akan meringankan penghitungan amal baginda di hadapan Alloh kelak. Menyerahkan khilafah pada seorang yang adil dan berbudi,” begitu kata Roja’.

                                                                                       ***

“Al-khuruuj minal ikhtilaaf mustahab”, kata Imam asy-Syafi’i. keluar dari polemik itu disukai dan dekat pada sunnah. Bagaimana agar kita tak berpolemik tentang demokrasi? Menikmati Demokrasi, begitu bunga rampai tulisan ustadz Anis Matta di majalah SAKSI diberi judul. Karena memang ini sebuah keran yang tiba-tiba terbuka. Dan kini, segala yang pada mulanya tertelikung bebas bergerak mengekspresikan diri. Termasuk da’wah.

Akhirnya, demokrasi bagi da’wah bukanlah sebuah sistem. Atau manhaj kufur yang kita terjebak di lubang gelap jika mengikutinya. Bukan, ia terlalu sederhana untuk disebut sistem. Bagi da’wah, demokrasi hanyalah sebuah medan pertempuran yang dipetakan oleh Barat dan kini dipilih oleh musuh da’wah. Dan da’wah dengan jiwa ksatria sedang berkata, “Pilihlah di manapun tempat kita berlaga. Dan dengan izin Allohm kami pasti akan memenangkannya!” []



Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar