Dunia seolah telah
bersuara satu untuk demokrasi.
Dan hari ini rakyat
Palestina pun senada.
Jika mereka harus
dihukum karena memilih Hamas,
Maka demikian pula
rakyat Amerika harus dihukum karena memilih Bush!
(Kholid Misy’al)
Ada
aksioma yang kita yakini, bahwa di dunia ini senantiasa terjadi pertarungan
antara al-Haq dan al-bathil, as-Siro’ bainal haqqi wal baathil. Seorang intelektual Muslim
memilih diksi yang lebih lembut, yakni mudafa’ah,
desak mendesak, dorong mendorong. Apa iya begitu? Mungkin ada yang meragukan.
Dalam keyakinan mereka, kebenaran dan kebathilan hanya bertarung dalam dongeng,
dan di sana kebenaran selalu menang di akhirnya. Saat ini, katanya, menjadi
penting untuk menggabungkan energi kesholihan sekaligus energi kemaksiatan dalam
satu wadah demi dunia yang damai, maju, dan beradab.
Masalahnya,
harus diakui bahwa tiap manusia mempunyai kepentingan. Nah, kepentingan saja
berbenturan. Apalagi, latar dari kepentingan itu yang ada dalam dada dan kepala
masing-masing manusia. Mengukur mana yang haq dan mana yang bathil tak perlu
dimasalahkan. Di sana, dalam landasan konsepsi, metode gerak, dan hasil serta
dampak hanya ada dua: Hizbulloh dan Hizbusy Syaithon.
“Di
sini terlihat,” tulis Sayyid Quthb dalam Zhilal,
“Medan yang membentang luas, penuh sesak oleh manusia dalam dinamika yang
saling mendesak, saling berlomba dan saling mendorong mencapai berbagai tujuan.
Tetapi di belakang itu semua, ada tangan yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengatur, yang memegang semua kendali dan menuntun parade yang saling
berdesakan, saling menjatuhkan, dan saling berlomba cepat itu, ke arah
kebaikan, kemaslahatan, dan pertumbuhan, di akhir perjalanan.”
Sayyid
benar. Karakter asli kebathilan adalah zahuq;
lenyap, tertutup, dan kalah. Ketika Rosululloh membuka makkah bersama 10.000
pasukannya, beliau memasuki Ka’bah, menghancurkan berhala-berhala, dan membaca
ayat ini,
Dan katakanlah,
“Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap”. Sesungguhnya yang
bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (Qs. al-Isro’ [17]: 81)
Tetapi
mengapa kini kita menyaksikan kebathilan itu seolah senantiasa eksis? Mengapa?
Karena yang benar tidak datang untuk mendesak dan menjadikannya zahuq. Karena kebenaran berdiam di
masjid-masjid, dan bersembunyi di mihrob-mihrob. Karena kebenaran memilh diam
di saat kebathilan bicara, lalu terlambat bicara di saat kebathilan telah
bekerja. Karena kebenaran tak pernah mendesak dan memukul berhala-berhala itu
dengan tongkatnya.
Ummat
Muhammad memang istimewa. Pada ummat sebelumnya, ketika da’wah terbuntu, ketika
para Rosul sudah habis-habisan berda’wah namun tak juga bertambah pengikutnya,
ketika penentang-penentang da’wah semakin sombong dan angkuh, Alloh sendiri
yang kemudian menurunkan ‘adzab-Nya.
Kaum
Luth habis diterjang hujan batu berapi dan tanah pijakan mereka di balik, yang
di atas dijadikan yang di bawah. Kaum Tsamud ditimpa gempa dan suara keras
mengguntur. Kaum ‘Aad habis dengan terpaan angin dingin yang sangat keras,
hingga mereka bagaikan tunggul kayu lapuk tak berbekas. Fir’aun yang memusuhi
Musa ditenggelamkan. Bahkan Nuh yang berdoa saat banjir menggemuruh, agar Alloh
memupus habis kaum yang menentangnya.
Nuh berkata: “Ya
Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu
tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya
mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain
anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (Qs. Nuh [71]: 26-27)
Tetapi, ummat Muhammad tidak. Ketika Sang
Nabi diusir, dilempari batu, dikejar-kejar hingga berdarah-darah, ia tidak
berdoa seperti nuh untuk membinasakan kaum itu. Ia justru berdoa agar Alloh
mengampuni karena ketidaktahuan mereka. Ia justru berharap jikapun mereka tak
beriman, kelak anak-anak mereka yang akan beriman. Dan Alloh sekali lagi
menegaskan keistimewaan itu.
Perangilah mereka,
niscaya Alloh akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Alloh
akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati
orang-orang yang beriman. (Qs. at-Taubah
[9]: 14)
Jika untuk menghancurkan kaum
sebelumnya Alloh mengerahkan tentara alam, kini Alloh memanggil partisipasi
hamba-hamba beriman. ‘Adzab Alloh bagi penentang-penentang da’wah datang lewat
tangan orang-orang Mukmin; bukan bencana alam. Siksa itu mereka rasakan sebagai
sebuah desakan dari kebenaran atas kebathilan melalui upaya sistematis dan
terprogram. Bersiaplah, berperanglah. Selebihnya, Alloh lah Sang Penolong.
Seperti doa yang menjerit dari hati mulia di padang Badr, “Ya Alloh, jika
golongan ini Engkau biarkan binasa, Engkau tak akan disembah lagi di muka bumi!
Ya Alloh, kecual jika memang Engkau menghendaki untuk tidak disembah lagi
selamanya setelah hari ini!”
Ungkapan ini mewakili perasaan
mayoritas kaum Muslimin yang belum pernah menghadapi situasi perang. Tapi ia
juga ekspresi keimanan. Bahwa golongan ini -meski kecil adanya- selalu
mendapati janji-Nya ditepati. Persis seperti kalimat ash-Shiddiq yang menenangkan sahabatnya, “Cukup, ya Rosulalloh!
Tenanglah! Alloh tidak akan menyalahi apa yang telah Ia janjikan kepadamu!”
“Dan Alloh telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang sholih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhoi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. an-Nuur [24]: 55)
Medan sejati kita, insya Alloh
memang perang mempertaruhkan jiwa, hingga pohon dan batu bicara. Tetapi agaknya
di luar medan final ketika besi bertemu besi dan api bertemu api, hari-hari ini
kebathilan memilih satu sarana perang untuk membungkam kebenaran. Suara. Ya.
Suara. Al-Mugholabah bil Ashwaat. Dominasi
ditentukan oleh suara. Siapa yang lebih keras, nyaring, dan banyak dalam
bersuara, dia yang akan menang.
Di sinilah bermula polemik ketika
da’wah bersentuhan dengan demokrasi. Ada yang khawatir, kita terjebak permainan
lawan sehingga lebih baik dikatakan bahwa demokrasi -produk Barat- itu haram.
Dan lalu kita tak bisa berbuat apa-apa. Karena di mana ada da’wah, di situ
demokrasi diadakan, atau minimal dicita-citakan. Toh tidak berdemokrasi pun, da’wah
lebih sulit bersikap menghadapi tiran-tiran sosialis maupun raja dan emir yang
berlindung di ketiak Amerika.
Tapi ketika yang memenangkan
demokrasi adalah da’wah; mengerikan juga melihat kasus FIS di Aljazair.
Pembantaian. Lebih ringan, mungkin pengalaman Necmetin Erbakan di Turki. Kudeta
dan pencekalan. Atau baru-baru ini; Hamas di Palestina. Amerika dan Israel
menjadi tak lagi bermalu atau berpikir tentang ke mana opini publik berpihak
saat da’wah memenangkan Pemilu. Bayangkan saja, bisa-bisanya puluhan anggota
parlemen, termasuk ketuanya, plus beberapa menteri, dan wakil Perdana Menteri
sebuah negara ditangkap?
Nah, lalu bagaimana? Sepertinya
permasalahannya ada pada bagaimana da’wah memenangkan
pertempuran-pertempurannya, termasuk dalam Pemilu lalu bagaimana mempertahankannya.
Nah, pengelolaan organisasi, jaringan, dan kekokohan kader lah yang kita bahas.
Tentang esensi demokrasi? Tentang al-Mugholabah
bil Ashwaat itu tadi? Dr. Yusuf al-Qordhowi berkata, “Pemimpin yang terpilih
karena diridhoi rakyat jauh lebih dekat pada Islam daripada tiran yang disebut
Nabi sebagai seburuk-buruk pemimpin dalam sabdanya, ‘Dia membenci kalian dan
kalian membencinya!’”
Toh, sejarah Khulafaur Rosyidin menawarkan pada kita sistem yang sangat
fleksibel untuk memilih orang terbaik yang akan memandu da’wah. Apa saja? Kita
kutip dengan banyak perubahan Afzal Iqbal dalam Diplomacy in Early Islam untuk mengurainya.
1. Abu Bakr: Diplomasi dan Aklamasi
Pemakaman jenazah Rosululloh dengan
sangat terpaksa harus ditunda. Tiga sahabat utama itu; Abu Bakr, ‘Umar, dan Abu
‘Ubaidah ibn al-Jarroh bergegas-gegas ke arah Saqifah Bani Sa’idah. Di balai
pertemuan itu, orang-orang Anshor berkumpul untuk memilih pengganti Rosululloh.
Itu dia pemimpin yang telah mereka pilih, pemimpin Khozroj, Sa’d ibn ‘Ubadah
sedang terbaring menggigil demam di pojok ruangan.
Abu Bakr, seperti biasa, bicara
dengan kalimat ringkas namun meyakinkan. Abu Bakr dengan nada kesyukuran yang
khidmat menghargai pengabdian orang-orang Anshor untuk Islam, kesetiaan mereka
pada Rosululloh, pembelaan dan pertolongan mereka yang tak terhingga. Sekaligus
juga Abu Bakr bicara tentang persoalan legitimasi. Apa yang ditinggalkan
Rosululloh telah demikian luas, dan sungguh semua bangsa Arab hanya bisa
menerima pemimpin dari Quroisy, pelindung dan pelayan Ka’bah sejak
berabad-abad. Tentu sosok Abu Bakr sebagai juru bicara, memudahkan argumen ini
diterima orang-orang Anshor. Teriakan, “Masing-masing punya pemimpin! Kalian
pilihlah pemimpin dan kami telah memilih Sa’d!”, yang semula bersiponggang,
luluh melihat ketulusan Abu Bakr.
Abu Bakr mengakhiri pidatonya. “Wahai
saudara-saudaraku Anshor”, katanya, “Tak seorang pun yang mengingkari
ketinggian derajat kalian dalam agama dan keagungan pengorbanan kalian dalam
Islam. Kalian telah dipilih Alloh untuk menolong agama dan Rosul-Nya, kepada
kalianlah Rosululloh diutus-Nya saat beliau hijroh, dan justru dari kalianlah
mayoritas sahabat Rosululloh dan isteri-isteri beliau berasal. Posisi kalian
adalah setelah as-Sabiquunal Awwaluun.
Sungguh adil dan tepat sekiranya kami duduk sebagai Amir, maka kalian akan
duduk sebagai Wazir. Kalian tidak akan terhambat dengan apa yang kalian
rencanakan, dan kami takkan melakukan apapun sebelum berkonsultasi dengan
kalian!”
Lalu Abu Bakr menominasikan ‘Umar
dan Abu ‘Ubaidah untuk dibai’at. Tapi suasana jadi begitu sendu. ‘Umar hanya
gemeretak giginya, mengepalkan tangan dan menunduk dalam. Sementara Abu ‘Ubaidah
meneteskan air matanya sambil geleng-geleng karena rasa malu. “Tidak!”, kata ‘Umar.
“Justru engkaulah yang akan kami bai’at!” Dan semua sepakat dengan ‘Umar. Hari
itu, kaum Muslimin memiliki seorang pemimpin baru. Dengan sebuah diplomasi. Dan
aklamasi.
2. ‘Umar: Lobi dan Amanat, dari yang Tepercaya pada yang
Tepercaya
Menjelang wafat, Abu Bakr mulai
berpikir tentang penggantinya. Sesekali ‘Umar -yang ketika itu menjabat
Qodhi- dimintanya untuk menggantikan mengimami sholat, seperti dulu saat
Rosululloh sakit dirinyalah yang diminta. Ini seperti sebuah promosi (taqwim) awal. Lalu satu persatu, Abu
Bakr bicara pada tokoh-tokoh sahabat.
“Bukankah kau lihat ‘Umar seorang
yang keras, wahai Kholifah Rosululloh?” kata ‘Abdurrohman ibn ‘Auf ketika
mendengar disebutnya nama ‘Umar. “Ya”, kata Abu Bakr. “Tapi tidakkah kau
rasakan dia senantiasa mengimbangi posisiku: Jika aku lembut, dia mengeraskan
dan meyakinkan. Jika aku keras, dia melunakkan dan menyabarkanku?” ‘Abdurrohman
ibn ‘Auf mengangguk.
‘Utsman, ‘Ali, az-Zubair, dan hampir
semua sahabat yang dihubungi Abu Bakr setuju atas pilihan Sang Kholifah. Hanya
Tholhah yang agak keras. “Saat engkau masih berada di tengah kami pun”,
katanya, “Kami telah merasakan betapa kerasnya dia. Bagaimana nanti kalau kau
sudah menghadap Alloh? Apa jawabmu pada-Nya ketika tergugat telah meninggalkan
kaum Muslimin pada seorang yang berperangai keras?”
“Dudukkan aku! Wahai Tholhah, apakah
engkau sedang menakutiku?”, kata Abu Bakr dengan ekspresi gembira. “Aku
bersumpah, demi Alloh jika aku menghadap Robbku, akan kukatakan pada-Nya bahwa
aku telah menetapkan atas makhluq-Nya seorang pemimpin yang paling kuanggap
baik di antara mereka.” Abu Bakr telah memutuskan. Dan didiktekanlah surat wasiatnya
pada Sekretaris Negara, ‘Utsman ibn ‘Affan.
Ketika ‘Umar datang dan sadar apa yang
terjadi, ia berseru, “Aku tidak pernah menghajatkan posisi itu!” Abu Bakr
tersenyum. “Benar, saudaraku. Tapi posisi itulah yang menghajatkanmu.” Jendela
rumah Abu Bakr yang menghadap ke Masjid Nabawi itu terbuat dari tanah. Ke
sanalah Abu Bakr beringsut, membukanya dan menghadap khalayak yang menunggu
kabar kondisi sakitnya. Setelah salam dan sholawat pada kekasihnya, ia berkata
anggun, “Apakah kalian akan menerima dengan lapang dada seorang yang telah
kupilih sebagai penggantiku?”
“Ya!”, jawab khalayak itu.
Setelah menjelaskan sedikit, beliau
menyebut nama 'Umar dan berkata, “Apakah ini cocok untuk kalian?”
“Kami setuju!”
“Apakah kalian akan taat dan setia
padanya?”
“Ya!”
Maka langit Madinah cerah dengan
arakan awan. Semua tahu, Abu Bakr sangat bijak dalam memerintah. Dan lebih dari
itu, sangat bijak memilih pengganti.
3. ‘Utsman: Majelis Syuro
Setelah tikaman di shubuh itu, ‘Umar
harus terbaring. Ummu Kultsum binti ‘Ali tersedu melihat suaminya. “Kasihan
engkau, wahai ‘Umar! ratapnya. Yah, sang isteri melihat sendiri, saat ‘Umar
diberi minum susu. Susu itu mengalir keluar dari luka di perutnya. Begitu juga
sari buah, luka itu jadi semakin perih.
Tetapi ia telah menunjuk 6 orang
anggota Majelis Syuro yang akan berembug tentang penggantinya. Ia telah
merumuskan tatacara pemilihannya, yang bahkan paragraph terakhirnya berbunyi, “Jika
prosedur telah ditunaikan dan masih ada yang belum mau menerima keputusan syuro
di antara mereka, maka diizinkan untuk memenggal lehernya.” Seram. Khas ‘Umar.
Dan memang begitulah seharusnya demi keutuhan ummat.
Abu Tholhah al-Anshori bersama 50
orang bersenjata lengkap sejak hari itu berjaga ketat di kediaman ‘Aisyah ra
yang bersahaja. Di dalam sana, Tholhah telah memberikan suaranya untuk ‘Utsman,
az-Zubair memberikan suaranya untuk ‘Ali, dan Sa’d ibn Abi Waqqosh memberikan
suaranya untuk ‘Abdurrohman ibn ‘Auf. ‘Abdurrohman berdiri, menyatakan bahwa ia
siap memimpin dewan, tapi menanggalkan amanah khilafah sejak awal. Maka diapun
memulai tugasnya, berkonsultasi dengan para sahabat, para isteri Rosululloh,
para pemimpin kabilah, dan yang juga penting; kedua calon. Sementara yang lain
dalam karantina, ‘Abdurrohman telah melihat garis besarnya; Bani Hasyim mendukung
‘Ali, sementara Bani ‘Umayyah mendukung ‘Utsman.
Hari itu, Masjid Nabawi penuh sesak.
Di mimbar, ‘Abdurrohman ibn ‘Auf berdiri diapit ‘Ali dan ‘Utsman. Mula-mula ia
berkata sambil mengangkat tangan ‘Ali, “Saya mengambil sumpahmu dengan syarat
mengikuti Kitabulloh, sunnah Rosul-Nya, dan teladan Abu Bakr serta ‘Umar!”
“Saya akan mengikuti al-Qur’an,
sunnah Nabi, serta jalanku sendiri!” demikian jawab ‘Ali. Hingga tiga kali.
Lalu ‘Abdurrohman ibn ‘Auf beralih
ke ‘Utsman. Diucapkannyalah perkataan yang sama. Dan ‘Utsman menjawab, “Saya
bersedia, insya Alloh.” Maka ‘Utsman dibai'at hari itu juga sebagai Kholifah
yang baru. Zaman lalu menyaksikan sebuah pemerintahan yang diisi karakter
seorang pemalu nan dermawan; kasih sayang.
4. ‘Ali: Suara Mayoritas
Hari itu, 24 Juni 656. Lima hari
setelah terbunuhnya ‘Utsman secara zholim. Jalan-jalan Madinah dipenuhi oleh
gerombolan manusia, rombongan-rombongan, dari jauh dan dekat yang sulit
diperkirakan sikap dan itikadnya. Keluarga ‘Utsman, juga beberapa sahabat yang
meyakini telah datangnya masa fitnah seperti Sa’d ibn Abi Waqqosh, ‘Abdulloh
ibn ‘Umar, dan Usamah ibn Zaid memilih untuk mengungsi ke Makkah.
Dalam atmosfer yang penuh dengan
ketakutan, horor, dan tak berlakunya hukum, harus ada satu keberanian puncak
untuk segera menata kembali kondisi. Dan untuk keberanian semacam itu, hanya ‘Ali
yang punya. Dan itupun terpaksa. Awalnya dia berkata, ada Tholhah dan az-Zubair
yang lebih pantas. Tapi desakan suara mayoritas, bahkan -tentu saja- dari para
pemberontak zaman ‘Utsman yang masih berkumpul di Madinah tak memberinya
pilihan lain. ‘Ali tahu resikonya. Ini hanya suara mayoritas, yang itupun tak
dominan. ‘Ali tahu resikonya, karena diapun melihat sudah mulai terlihat
beberapa sahabat utama abstain. Dan jika api fitnah ditiup lagi, dia merasa
bahwa sikap abstain itu juga akan menjadi fitnah. Tapi apa gunanya memaksa? Bukankah
nantinya paksaan itu juga jadi fitnah?
‘Ali tahu resiko yang diembannya.
Dan ia menerima suara mayoritas itu.
5. Politik Cerdas Roja’ ibn Haiwah, “The Kholifah Maker”
Negeri
akhirat itu, Kami jadikan
untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu
adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Qs. al-Qoshshosh [28]: 83)
Inilah ayat yang berulang-ulang
dibaca orang-orang mulia di ranjang kematiannya. ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Dia
memang layak mengabadikan kalimat ini dalam kebekuan lisan yang menggetarkan
kata terakhir. Dalam kapasitas sebagai pemimpin dengan berjuta rakyat dan tiga
benua, gelinciran sombong dan kerusakan bisa menjadi semudah mengatup-buka
bibirnya.
Tapi dengan resiko besar itu, dia
telah sukses menyelesaikan perhentian sejenaknya di alam fana. Sampai para gembala
pun bisa menyaksikan serigala berkawan mesra dengan domba di masa
pemerintahannya. Pertanyaannya, siapa yang berperan memasukkannya ke dalam
jajaran khilafah, padahal hegemoni keluarga pamannya ‘Abdul Malik ibn Marwan
nyaris tak tertembus?
Orang itu, Roja’ ibn Haiwah. Dia,
dengan kedekatannya pada Kholifah Sulaiman ibn ‘Abdul Malik berhasil membujuk
sang Amirul Mukminin untuk menyerahkan khilafah sepeninggalnya pada ‘Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz, baru kemudian pada keluarga ‘Abdul Malik yang dikehendakinya. “Inilah
yang akan meringankan penghitungan amal baginda di hadapan Alloh kelak. Menyerahkan
khilafah pada seorang yang adil dan berbudi,” begitu kata Roja’.
***
“Al-khuruuj minal ikhtilaaf mustahab”, kata Imam asy-Syafi’i. keluar dari polemik itu disukai dan
dekat pada sunnah. Bagaimana agar kita tak berpolemik tentang demokrasi? Menikmati
Demokrasi, begitu bunga rampai tulisan ustadz Anis Matta di majalah SAKSI
diberi judul. Karena memang ini sebuah keran yang tiba-tiba terbuka. Dan kini,
segala yang pada mulanya tertelikung bebas bergerak mengekspresikan diri. Termasuk
da’wah.
Akhirnya, demokrasi bagi da’wah
bukanlah sebuah sistem. Atau manhaj kufur
yang kita terjebak di lubang gelap jika mengikutinya. Bukan, ia terlalu
sederhana untuk disebut sistem. Bagi da’wah, demokrasi hanyalah sebuah medan
pertempuran yang dipetakan oleh Barat dan kini dipilih oleh musuh da’wah. Dan da’wah
dengan jiwa ksatria sedang berkata, “Pilihlah di manapun tempat kita berlaga. Dan
dengan izin Allohm kami pasti akan memenangkannya!” []
Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar