jika satu-satunya alat yang kau miliki adalah palu
kau akan cenderung melihat segala hal sebagai paku
-Abraham H. Maslow-
KATAKAN yang benar
meskipun pahit.
Muhammad ibn Sirin, ‘alim
besar murid Anas ibn Malik rodhiyallohu
‘anhu itu terpekik. “Inna lillahi wa
inna ilaihi rooji’uun,” gumamnya. Dia baru saja membuka salah satu dari
empat puluh kaleng besar minyak zaitun yang dikulaknya dari pemasok dengan
berhutang. Tak tanggung-tanggung, nilai akadnya kali ini 40.000 dirham. Yang
membuat dia terkejut di pagi itu adalah bahwa di dalam kaleng pertama yang
dibukanya, dia menemukan bangkai tikus.
“Seluruh minyak
ini,” ujarnya kepada seorang pelayan, “Dibuat di tempat penyulingan yang sama.
Aku khawatir bahwa najis bangkai ini telah mencemari keseluruhan minyak. Maka
buanglah semuanya!”
Kebetulan, saat itu
modal di tangan Muhammad ibn Sirin sedang nihil. Rencananya, untuk pembayaran
minyak itu dia akan memakai hasil penjualan nantinya. Maka dengan peristiwa
ini, prakiraannya meleset. Dan sang tengkulak pun mengadukannya ke pengadilan.
Muhammad ibn Sirin
ridho dengan pemidanaannya. Hakim memutuskan, dia harus dijebloskan ke penjara.
Penduduk kota merasa berat dan sedih mendengar vonis yang dijatuhkan pada ulama
yang sangat terhormat itu. Ya, beliau harus menanggung hukuman bukan karena
salah atau dosa. Melainkan justru karena sifat waro’-nya yang membuat beliau sangat menjaga diri dari syubhat.
Beliau mengatakan yang benar meski pahit.
Para warga mengantar
Muhammad ibn Sirin ke penjara dengan linangan air mata.
Di dalam penjara,
sipir yang bertugas juga merasa iba padanya. Tiap hari dia menyaksikan Muhammad
ibn Sirin menangis ketika beristighfar, sholat, dan membaca al-Qur’an. “Wahai
Syaikh,” satu hari dia menawarkan, “Bagaimana seandainya kuizinkan engkau untuk
pulang ke rumahmu setiap malam tiba dan datanglah kembali ke penjara ini seusai
shubuh?”
“Jika engkau
melakukan itu,” kata Muhammad ibn Sirin sambil tersenyum, “Engkau akan menjadi
seorang yang khianat. Demi Alloh, aku ridho berada di tempat ini.”
Tapi satu saat sang
penjaga mengatakan bahwa Gubernur dan Pengadilan memerintahkan dan memberinya
izin untuk keluar guna mengurus jenazah Anas ibn Malik sesuai dengan wasiat
shohabat Rosululloh tersebut. “Aku berada di sini,” jawab Muhammad ibn Sirin,
“Bukan karena Gubernur dan Pengadilan. Melainkan karena hutangku pada seorang
pedagang. Tolong sampaikan padanya perkara ini. Jika dia mengizinkan aku keluar
untuk mengurus jenazah guruku, insya Alloh aku akan melakukannya. Dan sampaikan
padanya rasa syukur dan terima kasihku.”
Maka pedagang itu
pun dimintai izin, dan dia merelakan.
Seusai mengurus
jenazah gurunya, Muhammad ibn Sirin kembali ke penjara. Dia selesaikan seluruh
sisa hukumannya dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Alloh.
***
“Katakan yang
benar,” begitu Rosululloh bersabda dalam riwayat al-Baihaqi dari Abu Dzar
al-Ghiffari, “Meskipun pahit.” Beberapa ulama fiqh memasukkan hadits ini dalam
pembahasan Kitaabut Tijaaroh, kitab
perdagangan. Khususnya bab tentang para pedagang. Konteksnya adalah, agar para
pedagang berlaku jujur dan terbuka terkait keadaan barang dagangannya.
Sikap ini,
mengatakan yang benar meski pahit, sungguh beresiko tinggi bagi sang niagawan.
Jika yang bersangkutan mendapatkan barang yang diambilnya dengan harga beli
tinggi ternyata tak sesuai dengan kualitas yang dibayangkannya lalu dia harus
berkata jujur dan terbuka pada para pembelinya, tentu saja dia dimungkinkan tak
mendapatkan keuntungan, merugi, dan bahkan bangkrut. Padahal, bisa saja dia
telah ditipu sebelumnya sehingga dia mau membeli barang tersebut. Sedangkan
ketika akan menjualnya, dia terbentur kejujuran yang harus dijunjungnya.
Itulah Islam. Dengan
kemuliaannya selalu ingin menjaga nilai-nilai kebaikan. Kejujuran para pedagang
itu insya Alloh akan memutuskan matarantai ketertipuan sekaligus menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap para penyedia barang dan jasa. Maka para
pedagang itu hendaknya mengatakan yang benar meski pahit.
Dalam kasus Muhammad
ibn Sirin, yang terjadi memang bukan penipuan. Tetapi dia juga tak ingin para
pembelinya menanggung keraguan atas najis tidaknya minyak itu. Dia sebenarnya
punya banyak pilihan. Misalnya dengan menimpakan kesalahan pada pemasoknya.
Atau dengan hanya membuang satu kaleng yang didapati bangkai di dalamnya dan
tetap menjual yang lain. Tetapi Muhammad ibn Sirin mencontohkan jalan yang
lebih tinggi dari sekedar mengatakan yang benar meski pahit. Dia menjaga
amanahnya dari ancaman syubhat yang paling halus.
Kita mendapat
pelajaran berharga dari sabda Sang Nabi dalam riwayat Imam al-Baihaqi ini. Jika
para pedagang mengatakan yang benar meski pahit, dalam kasus mereka, bagi
siapakah kepahitan yang dimaksud oleh hadits ini? Benar. Kepahitan itu bagi
yang mengucapkannya. Katakan yang benar, meski dengan demikian kita yang
mengucapkannya merasa sakit, menanggung rugi, dan bahkan ditimpa bangkrut.
Kepahitan itu sama sekali bukan bagi yang mendengarnya. Sebab andai begitu,
sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam mungkin akan berbunyi, “Dengarkanlah yang benar, meskipun pahit.”
Katakan yang benar,
meski pahit. Bagi kita yang mengucapkannya.
Hari-hari ini, kita
yang sedang penuh semangat hilir mudik ke sana-kemari untuk menebarkan
kebenaran sesuai dengan apa yang kita fahami. Tetapi kadang tanpa sadar kita
sebenarnya hanya menyakiti hati, memerahkan telinga, dan membuat sesak di dada.
Orang-orang yang mendengar itu merasakan bahwa kita bukan membawa kebenaran
bagi mereka. Kita hanya sekedar mengunjukkan diri sebagai yang paling benar,
mengungkit-ungkit salah mereka, merasa bangga sebab memenangkan hujjah, dan kadang juga kita merasa
mempermalukan mereka.
Apa dalil kita?
Katakan yang benar meski pahit. Sayang sekali, agaknya kita agak meleset
memaknainya. Yang benar belum tentu tersampaikan. Yang pahit sudah pasti
dirasakan para penyimak kata-kata kita. Dengan begitu, disebabkan kesempitan
ilmu, kita telah menjadi pemilik palu, dan merasa semua orang adalah paku. Astaghfirullohal ‘azhiim.
***
Ada beberapa ciri
dari orang yang hanya memiliki palu, dan menganggap segala hal adalah paku.
Pertama, mereka seringkali bertindak sebelum
mengetahui gambaran persoalan dengan utuh sehingga mereka salah waktu dan salah
cara dalam merespons sesuatu. Dengan agak bercanda, John C. Maxwell bercerita
dalam buku Winning with People bahwa
ada seorang pria setengah baya dengan tergesa-gesa memasuki sebuah rumah makan.
Dia bergegas menuju meja kasir dan menemui seorang pelayan.
“Apakah Anda punya
sesuatu untuk menyembuhkan cegukan?” tanyanya.
Tanpa berkata
apapun, si pelayan restoran merogoh sesuatu di bawah meja. Dia mengambil lap
basah, dan menamparkannya ke wajah pria itu.
“Aduh! Apa-apaan
ini?”
“Nah,” si pelayan
tersenyum, “Sekarang cegukan Anda sudah hilang bukan?”
“Bukan saya yang
cegukan!” teriak si pria berapi-api. “Saya perlu sesuatu untuk menolong istri
saya. Dia ada di luar sana menunggu di dalam mobil!”
***
Tanda yang kedua, seringkali mereka adalah orang
yang suka mengungkit masa lalu. Dalam pembicaraan-pembicaraan, mereka suka
menyakiti sesama dengan menyebut ulang kesalahan-kesalahannya. Dengan
menunjukkan bahwa masa lalu seseorang kelam dan penuh kekhilafan, maka si
pemilik palu hendak mengatakan, “Jika dulu engkau adalah orang yang banyak
melakukan kesalahan, maka sekarang pun akulah yang benar dan engkau tetap saja
berada dalam kungkungan watakmu yang selalu keliru.”
Rosululloh pernah
mewanti-wanti hal ini kepada para istri. “Perbanyaklah sedekah,” kata beliau di
suatu hari raya pada serombongan wanita, “Karena kalian banyak kufur.” Maksud
beliau bukanlah kufur kepada Alloh, melainkan kufur kepada suami. “Yakni,”
lanjut beliau, “Ketika untuk masa yang panjang suaminya telah berbuat baik
kepadanya, lalu di satu waktu sang suami itu melakukan kesalahan. Maka dalam
kemarahan, si istri menyebut-nyebut kesalahan suaminya di masa lalu dan bahkan
berkata, ‘Kau belum sekalipun pernah berbuat baik kepadaku.’”
Apakah penyakit ini
hanya dimiliki para istri? Sesungguhnya tidak. Banyak lelaki terjangkiti hal
yang sama, sehingga mereka menyakiti orang-orang di dekatnya. Kadang-kadang
sifat ini tampil dalam bentuk yang agak berbeda. Yang diungkit bukanlah
kesalahan orang di masa lalu, melainkan kebaikannya pada orang lain yang
diangkat-angkat. Hakikat sebenarnya sama dan pesan yang ingin disampaikan
terlihat jelas. “Ingatlah, kau takkan jadi seperti ini tanpa diriku. Maka sekarang
pun kau bukan apa-apa jika berani menentangku!”
Adalah indah apa
yang dikatakan Rosululloh untuk menenangkan orang-orang Anshor saat mereka tak
puas atas pembagian rampasan Perang Hunain di Ji’ronah. Beliau dengan penuh
hikmah membawakan kesadaran yang menginsyafkan orang-orang Anshor tanpa
menyakiti hati mereka. Bahkan beliau membesarkan hati dan menguatkan keteguhan
mereka untuk selalu memberikan yang terbaik.
Saat itu,
persoalannya adalah, siapa yang dipanggil di saat semua orang lari dari
Rosululloh di lembah Hunain? Dan siapa yang dengan bergegas menyambut, “Labbaik!” hingga menggetarkan seluruh
wadya musuh yang berlindung di atas bukit? Bukankah Anshor? Bukankah Anshor
yang menjadi kunci kemenangan pasukan ini?
Pertimbangan
manusiawi mengatakan, Anshor yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain
yang memenuhi wadi itu. Tapi Rosululloh justru membagikannya kepada
pemuka-pemuka Thulaqoo, muallaf
Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata,
“Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!”
Ada sesuatu yang
mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’d ibn
‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshor dikumpulkan di sebuah padang gembalaan.
Sang Nabi datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma ba’du. Wahai
semua orang Anshor, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di
dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku
datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Alloh memberi petunjuk kepada
kalian melalui diriku? Bukankah kalian dulu miskin lalu Alloh membuat kalian
kaya, bukankah dulu kalian bercerai-berai lalu Alloh menyatukan hati kalian?”
Mereka menjawab,
“Begitulah. Alloh dan Rosul-Nya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.”
“Apakah kalian tak
mau menjawabku, wahai orang-orang Anshor?” tanya beliau.
Mereka ganti
bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu, ya Rosulalloh? Milik Alloh dan Rosul-Nya
lah anugerah dan karunia.”
Beliau bersabda,
“Demi Alloh, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan,
maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan
didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu
kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami
memberikan tempat dan menampungmu.”
Sampai di sini air
mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai
tersedan.
“Apakah di dalam
hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah
itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan
keislaman kalian tak mungkin kuragukan? Wahai semua orang Anshor, apakah tidak
berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama domba dan unta, sedang
kalian kembali bersama Alloh dan Rosul-Nya ke tempat tinggal kalian?”
Isak itu semakin
keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata.
“Demi Zat yang jiwa
Muhammad dalam Genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk
orang-orang Anshor. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan
orang-orang Anshor memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah
yang dilalui orang-orang Anshor. Ya Alloh, sayangilah orang-orang Anshor, anak
orang-orang Anshor, dan cucu orang-orang Anshor,” Rosululloh menutup
penjelasannya dengan do’a yang begitu menentramkan.
Dan tentu, akhir
dari semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshor
selama ini, “Kami ridho kepada Alloh dan Rosul-Nya dalam pembagian ini…, kami
ridho Alloh dan Rosul-Nya menjadi bagian kami…”
***
Ciri yang ketiga, pemilik palu suka memperburuk
keadaan dengan memberikan reaksi berlebihan. Ketika marah, mereka cenderung
menjatuhkan bom, padahal sebenarnya kerikil mungil pun sudah cukup. Sikap ini
akan banyak menimbulkan kesulitan baru karena ukuran masalah yang menjadi makin
besar tergantung bagaimana ia ditangani. “Pada umumnya,” tulis John C. Maxwell
dalam Winning with People, “Jika
reaksi lebih buruk dari suatu tindakan, maka masalahnya akan membesar. Dan jika
reaksinya tak seburuk tindakannya, persoalan akan mengecil.”
Di antara kehebatan
para Rosul Ulul ‘Azmi adalah, bahwa
mereka selalu berhasil memberikan respons yang paling indah atas suatu
persoalan. Mereka dianugerahi akhlak untuk membalas kejahatan dengan kebaikan
hingga musuh pun jatuh cinta dan menjadi kawan setia. Banyak sekali kisah
tentang bagaimana Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam menyentuh hati para penentangnya dengan kesediaan beliau
mendengarkan mereka, menanyakan kabar orang yang selalu meludahinya ketika dia
tak muncul di suatu hari, dan menjadi orang pertama yang menjenguknya.
Diriwayatkan juga tentang ‘Isa ibn Maryam ‘Alaihis Salam bahwa suatu hari, seorang
lelaki pandir menimpuk wajahnya dengan kotoran dan mencaci makinya dengan
kata-kata yang sangat jijik dan menyakitkan.
‘Isa membalasnya
dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang begitu sejuk dan indah pada lelaki itu.
Dia memberikan semangat dan penghiburan. Lalu kepada lelaki itu diulungkannya
buah anggur serta minyak wangi. Para muridnya bertanya, “Mengapa kau balas
kata-kata kejinya dengan kalimat-kalimat mulia, dan kau beri dia anggur serta
haruman padahal dia menimpukmu dengan kotoran?”
“Karena setiap
orang,” jawab ‘Isa, “Hanya bisa memberikan apa yang dia punya.”
***
Kekhasan yang keempat, pemilik palu selalu beranggapan
bahwa situasi jauh lebih penting daripada hubungan. Bagi mereka, memenangkan
debat saat ini lebih penting daripada menjaga agar hati seorang kawan tak
tersakiti. Mereka menduga bahwa membuktikan diri tidak bersalah dalam suatu
keadaan jauh lebih penting daripada menyadari bahwa mereka bisa saja sedang
mempermalukan orang yang mereka cintai.
Andai tiap suami dan
istri di dunia ini memiliki anggapan bahwa keadaan lebih penting daripada
hubungan, mungkin takkan ada ikatan pernikahan yang bertahan. Tetapi
kerepotan-kerepotan kecil tetap saja sering timbul. Seperti saat sepasang suami
istri datang terlambat ke sebuah undangan jamuan. Tahankah sang suami untuk tak
mengatakan, “Maaf, kami terlambat karena istri saya tadi mandi serta dandannya
lama sekali!”
Ketika seorang kawan
mengatakan bahwa perabot di rumah sungguh jauh dari anggun, tahankah sang suami
untuk tidak berkata, “Wah, itu yang memilih istri saya. Saya sebenarnya juga
kurang suka.”
Orang-orang yang
menganggap situasi lebih penting daripada hubungan sungguh merepotkan
orang-orang yang ada di dekatnya. Jika menjadi atasan, dia akan sering
menginjak bawahan. Jika menjadi rekan searas, sikutnya mungkin akan bergerak
kian ke mari untuk menyakiti. Ketika menjadi bawahan, di belakang dia akan
menebarkan kasak-kusuk dan isu-isu untuk menjatuhkan. Itu semua dilakukan hanya
untuk hal yang yang sangat sesaat sifatnya dengan mengorbankan hubungan yang
seharusnya dipelihara dalam jangka panjang.
Orang-orang yang
menganggap bahwa memenangi argumen-tasi pada suatu saat jauh lebih penting
daripada hubungan memang selayaknya menyadari bahwa ada pilihan lain yang lebih
bijaksana. Untuk memenangkan hati dan kasih sayang misalnya. Maka sabda Sang
Nabi dalam riwayat Abu Dawud itu sungguh penuh makna. “Aku jaminkan sebuah
rumah,” kata beliau, “Di surga bagian tengah-tengah, untuk mereka yang mampu
menahan diri dari berdebat meskipun berada di atas kebenaran.”
***
Nah. Apakah di dalam
diri kita, masih ada keempat ciri pemilik palu ini? Subhanalloh, hanya memiliki
palu, dan menganggap segala hal sebagai paku akan menjadikan diri kita tanah
yang gersang dalam persaudaraan. Sangat gersang. Dalam dekapan ukhuwah, agaknya
perlu kerja keras untuk menyuburkannya kembali.
***
Saat kita hanya
punya palu, semua yang ada di sekitar kita akan melakukan apapun sekedar agar terhindar
dari pukulan. Mungkin yang bisa menjadi sahabat-sahabat kita hanyalah
orang-orang yang lebih buruk daripada kawan-kawan Fir’aun. Setidaknya itulah
yang dikatakan seorang anak kecil di Iraq kepada durjana zaman ‘Umayyah,
al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi.
Sedikit kita ingat
tentang al-Hajjaj. Dia, bersama Abul Aswad ad-Du’ali, adalah seorang ‘alim yang
punya andil merumuskan sistem harokat untuk mush-haf yang kita baca. Tapi
adalah dia seperti persaksian ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, “Andai ummat-ummat dan
bangsa datang dengan segala kejahatan mereka; dan kita Bani ‘Umayyah datang
dengan al-Hajjaj seorang, demi Alloh takkan ada yang bisa mengalahkan kita.”
Para penulis riwayat
menghitung, al-Hajjaj bertanggung jawab atas pembunuhan 120.000 orang yang
kebanyakan adalah ulama dan orang-orang sholih. Belum lagi ketika dia
meninggal, masih ada sekitar 80.000 jasad yang ditemukan di penjaranya, mati
tanpa peradilan yang hak. Rincian ini bisa kita teliti dalam redaksi Ibn ‘Abdil
Barr, al-Isti’aab fii Ma’rifatul Ash-hab
1/353 dan 2/571; Ibn al-Atsir, al-Kamil
fit Tarikh 4/29 dan 133; Ibn Katsir, al-Bidayah
wan Nihayah 9/2, 83, 91, 128, 129, dan 131-138; serta Ibn Kholdun, at-Tarikh 3/39.
Di antara mereka
yang dibunuh al-Hajjaj, terdapat shohabat-shohabat utama Rosululloh seperti
‘Abdulloh ibn Zubair ibn al-‘Awwam, putra Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq.
Juga an-Nu’man ibn Basyir, ‘Abdulloh ibn Shofwan, dan ‘Imaroh ibn Hazm. Kepala
mulia ‘Abdulloh ibn az-Zubair yang pernah diciumi Rosululloh itu dipenggal dan
dikelilingkan ke berbagai kota; Makkah, Madinah, hingga Damaskus. Jasad-jasad
mereka disalibkan di kota Makkah, dijadikan tontonan hingga berbulan lamanya.
Keterangan ini bisa kita telusur dalam tulisan Ibn ‘Abdil Barr, al-Isti’aab 1/353-354; ath-Thobari, at-Tarikh 5/33-34; Ibn Katsir, al-Bidayah 8/245 dan 332; Ibn Kholdun, at-Tarikh 3/39; serta Ibn Sa’d, ath-Thobaqot al-Kubro 6/53.
Selain itu, patut
dicatat nama Sa’id ibn Jubair, tabi’in agung, murid kesayangan ‘Abdulloh ibn
‘Abbas yang dikuliti dan disayati dagingnya oleh al-Hajjaj. Juga tindakan dan
cercaannya yang mengancami ‘Abdulloh ibn ‘Umar, almarhum ‘Abdulloh ibn Mas’ud,
Anas ibn Malik, dan Sahl ibn Sa’d as-Sa’idi, rodhiyallohu ‘anhum. Di masa ini pula para penguasa termasuk
al-Hajjaj melaksanakan khuthbah pertama Jum’at sambil duduk, menjadikan
caci-maki terhadap ‘Ali ibn Abi Tholib dan keluarganya sebagai rukun khuthbah,
dan melangsungkan khuthbah Hari Raya sebelum sholat-nya. Bid’ah-bid’ah yang
dahsyat ini bisa kita telusuri dalam anggitan Ibn al-Atsir, al-Kamil 4/119, 300; ath-Thobari, at-Tarikh 6/26; dan Ibn Katsir, al-Bidayah 8/258, 10/30-31.
Subhanalloh! Hajjaj
benar-benar contoh ekstrim sempurna untuk seorang Muslim yang hanya punya palu,
dan memperlakukan segala hal sebagai paku.
Ada banyak kisah tentang
al-Hajjaj, ketika dia berhadapan dengan orang-orang di zamannya. Dia mengatur
dan memimpin manusia dengan cekaman ketakutan. Selain kekejaman, dia dikenal
punya lidah yang fasih, hujjah yang mantap, dan bahkan senantiasa memiliki
dalil untuk membenarkan segala tindakannya. Tetapi ada waktu-waktu di mana saat
berhadapan dengan orang sholih dia tak berkutik dan kehilangan kata. Kali ini
giliran seorang anak kecil yang cerdas membungkamnya.
Anak berusia belasan
dengan rambut panjang dikepang hingga dada itu dihadapkan pada al-Hajjaj. Tanpa
rasa takut dia mendekat. Melihat al-Hajjaj duduk di atas panggung kehormatan
yang tinggi dan megah, dia memperhatikannya dengan takjub. Ditelusurinya detail
panggung yang gemerlapan itu dengan matanya yang berkejap-kejab. Lalu dia
membaca sebuah ayat.
“Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah yang tinggi
bangunan megah untuk bermain-main? Dan kamu membuat benteng-benteng dengan
maksud supaya kamu kekal di dunia? Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu
menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertaqwalah kepada Alloh
dan taatlah kepadaku.” (Qs.
asy-Syu’aroo [26]: 128-131)
Al-Hajjaj yang
sedang duduk bertelekan di atas kursinya segera bergeser pijakan dan
mencondongkan tubuh ke depan. “Hai anak kecil,” tegurnya, “Sungguh kulihat
engkau memiliki kecerdasan dan kepandaian. Apakah kamu menghafal al-Qur’an?”
Dalam bahasa Arab
kata hafizho bisa berarti menghafal,
bisa juga berarti menjaga. Maka anak itu dengan mata berbinar menjawab, “Apakah
engkau takut bahwa al-Qur’an akan hilang sehingga aku harus menjaganya?
Sedangkan Alloh sendiri telah berjanji untuk menjaganya.”
“Apakah kamu sudah
mengumpulkan keseluruhan al-Qur’an?” tanya al-Hajjaj memperjelas apakah anak
ini sudah menghafal kesemua isi al-Qur’an.
“Memangnya dulunya
ia terpisah-pisah sehingga aku harus mengumpulkannya?”
“Apakah kamu sudah
menyempurnakannya?” lagi-lagi al-Hajjaj bertanya apakah si anak telah
mengkhotamkan hafalan al-Qur’annya.
“Bukankah Alloh
telah menurunkannya dengan sempurna?”
“Maksudku,” kata al-Hajjaj
mulai kesal, “Apakah engkau sudah menghafalnya di belakang punggungmu?” ‘Di
belakang punggung’ adalah kiasan untuk menghafal di luar kepala, tapi juga bisa
berarti mengabaikan.
“Aku berlindung
kepada Alloh,” kata si bocah, “Agar tidak menjadikan al-Qur’an di belakang
punggungku!”
“Celakalah kamu!”
gertak al-Hajjaj, “Jadi aku harus mengatakan apa?”
“Kecelakaan justru
bagimu dan orang-orang yang bersamamu. Katakan saja: Apakah kamu sudah memenuhi
hatimu dengan al-Qur’an?”
“Bacalah beberapa
ayat dari al-Qur’an!” pinta al-Hajjaj.
“Aku berlindung
kepada Alloh dari godaan syaithon yang terkutuk. Dengan nama Alloh yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketika datang pertolongan Alloh dan kemenangan.
Dan kamu melihat manusia akan KELUAR dari agama Alloh dengan
berbondong-bondong!”
“Kurang ajar kamu!
Mereka MASUK agama Alloh, bukan KELUAR!”
“Dulunya mereka
memang masuk, tapi sekarang mereka kaluar.”
“Mengapa?”
“Karena kejahatan
dan kezholimanmu kepada mereka!”
“Celaka kamu!
Tahukah dengan siapa kamu sedang bicara?”
“Alhamdulillah tsumma a’udzubillah,
dengan syaithon Tsaqif yang bernama al-Hajjaj!”
Begitulah. Antara
al-Hajjaj dan bocah itu terus terjadi tanya-jawab yang makin lama kian panas
dan membuat al-Hajjaj habis kesabaran. Tiap kali ditanya, si anak menjawab
dengan kalimat yang cerdas dan menghunjam. Setelah merasa lelah dengannya,
al-Hajjaj berpaling pada para pembesar yang ada di sisinya. “Bagaimana pendapat
kalian tentang bocah ini?”
“Tumpahkan saja
darahnya!” seru mereka. “Sungguh, dia telah membangkang kepada pemimpin dan
keluar dari jama’ah!”
“Wahai al-Hajjaj,”
panggil si anak kecil, “Teman-teman Fir’aun jauh lebih baik daripada
kawan-kawanmu ini. Ketika Fir’aun, saudaramu itu, kesal karena Musa yang gagah
dan dewasa, maka mereka mengatakan pada sang tiran seperti termaktub di ayat
ke-36 surat asy-Syu’aroo, “Beri tangguhlah dia dan saudaranya, Harun.”
Sementara kawan-kawanmu ini justru mengatakan tentang seorang anak kecil yang
lemah, “Tumpahkanlah darahnya!” Demi Alloh, akan ada hujjah di hadapan-Nya,
Raja dari sekian raja. Dia yang akan membinasakan semua penguasa zholim dan
menghinakan orang-orang yang sombong!”
***
Dalam dekapan
ukhuwah, saatnya menukar palu dengan sarung tangan beludru…
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar