Zaman dahulu, ada bencana dahsyat yang di timpakan pada suatu kaum. Tiga jenis bencana yang terjadi secara bersamaan, yaitu suara keras menggelegar yang membinasakan, bumi yang dibalik dan ditimpakan kepada mereka serta hujan batu dari tanah yang terbakar.
Bencana ini ditimpakan kepada kaumnya Nabi Luth, yang perilakunya menyimpang dari fitrah manusia. Bagaimana kita menarik benang merah fikih bencana dari kisahnya Nabi Luth itu?
Pertama, Memberi Peringatan
Nabi Luth memberi penjelasan kepada kaumnya tentang bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Karena itu, beliau mensifatinya sebagai perbuatan yang melampaui batas. Nabi Luth berkata:
أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ الْعَالَمِينَ
“... Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” (QS. Al A’rof: 80).
Melihat perbuatan dosa, keji, dan munkar maka orang sholih tidak boleh berdiam diri. Dia harus aktif bersuara, memberikan pengajaran, pemahaman, dan peringatan. Sama halnya melihat ada kerentanan dan potensi bencana, kita tidak bisa berdiam diri. Harus memberikan saran dan peringatan atas bencana yang ditimbulkan.
Seorang da’i harus mampu menjelaskan seruannya dengan dalil agama. Namun, kadangkala itu tidak cukup. Seorang da’i juga dituntut mampu memberi penjelasan dari disiplin ilmu yang lainnya, seperti kesehatan, kedokteran, kemasyarakatan, ekonomi dll.
Kedua, Memberi Solusi
Saat datang utusan (dua malaikat) yang berwajah rupawan, kaumnya mendatangi rumahnya, Nabi Luth berupaya mencegah dan berkata:
قَالَ هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي إِن كُنتُمْ فَاعِلِينَ
Luth berkata: “Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal).” (QS. Al Hijr: 71)
Perbuatan buruk terjadi bisa karena faktor kejahilan atau tidak ada alternatif lain. Nabi Luth memberikan solusi menikah kepada kaumnya agar terbebas dari penyimpangan seksual.
Hal yang sama bisa dilakukan, misalnya membuka lapangan pekerjaan untuk mengurangi pencurian dan perampokan. Jadi, bukan sekedar melarang dan mengharamkan, tetapi juga memberi solusi alternatif atas masalah yang dihadapi oleh umat.
Ketiga, Pergi Mengungsi
Tamu yang datang ternyata adalah utusan (malaikat) yang membawa azab Alloh. Utusan tersebut berkata kepada Nabi Luth:
فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ
“Pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu.” (QS. Huud: 81)
Jika posisi kita kuat, kitalah yang akan bertahan. Tapi jika situasi yang dihadapi terlalu berat dan kita tidak memiliki kekuatan untuk menghadapinya, sebaiknya kita pergi meninggalkan tempat para pelaku maksiat tersebut. Dengan itu, kita bisa mendapatkan dua keselamatan, yaitu: selamat dari kemungkinan terpengaruh perbuatan maksiat maupun selamat jika azab Alloh datang.
Keempat, Tegar Melangkah
Saat memberi perintah untuk pergi dari tempat tinggalnya, sang utusan memberikan petunjuk khusus kepada Nabi Luth, yaitu:
وَلَا يَلْتَفِتْ مِنكُمْ أَحَدٌ وَامْضُوا حَيْثُ تُؤْمَرُونَ
“Janganlah seorang pun di antara kamu menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang di perintahkan kepadamu.” (QS. Al Hijr: 65).
Dibelakangnya, ada istrinya yang masih tertinggal. Istrinya termasuk yang dibinasakan karena berkhianat, yaitu memberitahukan kedatangan dua utusan (tamunya Nabi Luth) kepada kaumnya. Para ulama bersepakat, bahwa istri para nabi tidak ada yang mengkhianati dalam urusan ranjang.
Bencana (azab) datang, menghancurkan semua yang kita miliki. Harta benda yang kita kumpulkan bertahun-tahun lenyap tak berbekas. Bisa jadi keluarga yang kita sayangi ikut menjadi korban. Jika kita menengok ke belakang, maka hati akan tergoncang dahsyat. Bisa jadi hati dan pikiran menjadi kosong atau pemandangan yang mengerikan itu menjadi mimpi buruk yang terus menghantui. Atau, bisa jadi kita akan terlambat untuk menyelamatkan diri.
Tekad untuk pergi menuju tempat yang diperintahkan mencerminkan semangat yang tinggi untuk memulai lembaran baru. Wallohu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar