Menikah itu adalah peristiwa bersatunya dua jiwa, dua hati, dua pikiran, dua fisik dalam satu ikatan. Kendatipun ada banyak perbedaan karakter, sifat, dan kecenderungan antara laki-laki dan perempuan, namun mereka harus berusaha untuk menemukan rumus kimia (chemistry) penyatuan jiwa yang membuat suami dan istri berada dalam suasana “sejiwa”. Suasana kesejiwaan inilah yang membuat kehidupan berumah tangga menjadi nyaman, tenang, tenteram, damai, dan bahagia.
Suasana kesejiwaan ini yang membuat berbagai persoalan hidup mudah diselesaikan dan dicarikan jalan keluar. Suasana kesejiwaan ini pula yang membuat suami dan istri mudah berkomunikasi dan tidak kesulitan untuk mengekspresikan harapan serta keinginan. Mereka berinteraksi dengan nyaman, tanpa ada sekat psikologis. Merasa demikian dekat satu dengan yang lain, tanpa ada jarak yang memisahkan mereka berdua.
Suasana kesejiwaan ini pula yang membuat suami dan istri saling bisa berbagi kebahagiaan tanpa ada keinginan untuk mengalahkan dan menjatuhkan pasangan. Yang mereka lakukan adalah usaha untuk memenangkan kebersamaan, sehingga masing-masing telah rela untuk menundukkan ego demi kebahagiaan bersama. Bukan hanya berpikir untuk kebahagiaan diri sendiri dengan melukai pasangan, bukan pula hanya membahagiakan pasangan dengan melukai diri sendiri.
Gejala Pasangan yang Belum Menemukan Kesejiwaan
Pada dasarnya suasana kesejiwaan itu didapatkan dengan proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Bukan tiba-tiba apalagi bim salabim. Tidak pernah berhenti untuk saling mengenali dan memahami diri sendiri serta pasangan. Kadang dijumpai seseorang yang bingung dengan dirinya sendiri. Tidak mengerti kemauannya sendiri. Tidak bisa mendefinisikan keinginan diri. Jangankan mengerti pasangan, bahkan diri sendiri pun tidak dikenali. Kondisi ini membuat semakin lama untuk mencapai kesejiwaan bersama pasangan.
Yang diperlukan adalah usaha tanpa henti untuk belajar mengerti, memahami, mencintai, menerima apa adanya, serta memberikan yang terbaik bagi pasangan tercinta. Yang diperlukan adalah upaya terus menerus untuk menyesuaikan diri dengan harapan pasangan, sepanjang harapan itu tidak bertentangan dengan aturan agama dan kepatutan sosial. Yang diperlukan adalah usaha untuk bisa menerima pengaruh dari pasangan, sepanjang pengaruh itu positif atau tidak membahayakan diri sendiri maupun keluarga.
Ketika suami dan istri belum menemukan kesejiwaan, sebenarnya sangat mudah mereka kenali gejalanya. Mereka akan menemukan suasana saling asing, suasana berjarak, suasana bersekat, yang membuat tidak nyaman dalam interaksi sehari-hari. Walau sudah lima tahun atau sepuluh tahun menikah, jika titik kesejiwaan belum ditemukan, maka bukan kebahagiaan yang didapatkan dalam pernikahan. Yang ditemukan justru suasana saling asing dan dalam kasus tertentu sampai muncul perasaan ketersiksaan dan penderitaan.
Dari pengalaman di ruang konseling, kami menemukan gejala suami istri yang belum mencapai kesejiwaan adalah sebagai berikut:
1. Merasakan suasana tidak nyaman saat bersama pasangan
Saat suami dan istri merasakan suasana tidak nyaman saat berduaan, inilah di antara gejala belum ditemukannya titik kesejiwaan. Ini menyangkut suasana di dalam jiwa. Suami atau istri yang merasa gelisah ketika berada di dekat pasangan. Ada berbagai hal yang membuat mereka menjadi saling tidak nyaman saat bersama. Bertemu pasangan seakan-akan menjadi beban yang memberatkan.
Perasaan ini bisa jadi tidak diketahui oleh orang lain. Mereka berdua yang bisa merasakannya. Tidak nyaman mengobrol, tidak bisa curhat, tidak ingin berduaan, tidak asyik saat berjalan berdua dengan pasangan, adalah perasaan yang menekan. Pada pasangan yang pandai “bermain sinetron”, mereka bisa mengelabui orang lain dengan tampilan yang happy. Padahal hati mereka tidak ada kenyamanan saat sedang berdua.
2. Lebih menikmati kesendirian
Saat suami dan istri lebih merasa nyaman ketika sendirian, ini merupakan gejala yang perlu diwaspadai. Jangan dianggap sebagai sesuatu yang remeh, karena jika perasaan ini dibiarkan berkembang dan bertahan dalam waktu lama, akan membuat cinta mereka semakin sirna. Akhirnya tidak ada lagi ikatan yang menyatukan mereka berdua, karena masing-masing lebih menikmati kesendiriannya.
Semestinya suami dan istri itu merasa nyaman dan bahagia saat bersama pasangan. Mereka merasakan kerinduan saat harus berpisah sementara waktu karena berbagai urusan. Maka saat bertemu, mereka memiliki hasrat yang kuat untuk menuntaskan kerinduan. Ini yang sering saya sampaikan pada pasangan yang menjalani kehidupan long distance relationship (LDR), hendaknya LDR dipahami sebagai keterpaksaan. Jangan sampai dinikmati sebagai sesuatu yang lumrah sehingga tidak ada upaya untuk berkumpul bersama pasangan.
3. Munculnya perasaan hambar
Harusnya suami dan istri itu memiliki perasaan yang istimewa. Namun seiring berjalannya waktu dan menumpuknya persoalan, kadang dijumpai perasaan yang hambar dan bahkan dingin saja. Suami dan istri tidak memiliki keistimewaan perasaan terhadap pasangan lagi. Rasanya biasa saja saat bersama pasangan. Tidak ada kebanggaan, tidak ada keceriaan, tidak ada keistimewaan. Biasa saja, tanpa suatu aroma yang bercorak khusus.
Hal ini menandakan mereka belum menemukan titik kesejiwaan. Perasaan hambar ini tidak semestinya dimiliki oleh pasangan suami istri, mengingat mereka adalah dua insan yang diikat oleh cinta dan kasih sayang. Mengenali suasana hambar ini penting untuk segera melakukan tindakan yang berarti, agar tidak berlanjut menjadi saling menjauh bahkan saling membenci.
4. Mudah muncul emosi
Saat belum menemukan titik kesejiwaan, suami dan istri akan mudah marah dan emosi. Untuk urusan yang sepele dan sederhana mereka mudah meledak emosinya. Hanya karena salah bicara yang tidak sengaja, atau bersikap yang tidak sesuai keinginan pasangan, sudah muncul emosi dan kemarahan yang tidak tertahan. Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit marah. Marah kok sedikit-sedikit.
Mudah muncul emosi adalah gejala yang tidak wajar, karena semestinya suami dan istri saling menyayangi sehingga mudah memaafkan kelemahan dan kekurangan pasangan. Jika setiap kali bertemu atau berkomunikasi, yang mucul adalah suasana emosi dan kemarahan, maka membuat suami atau istri cenderung menghindari komunikasi atau bahkan menghindari bertemu dengan pasangan agar tidak emosi. Kondisi ini membuat semakin jauh dari kesejiwaan.
5. Mudah tersulut konflik
Hanya karena hal-hal sederhana, mudah membuat suami dan istri terlibat pertengkaran. Sangat banyak konflik tidak produktif dan tidak semestinya terjadi dalam keluarga mereka. Segala sesuatu pembicaraan di antara mereka selalu menimbulkan pertengkaran, sampai akhirnya merasa lelah untuk berbicara. Memilih mendiamkan masalah serta menumpuk-numpuk persoalan karena tidak ingin meledak menjadi pertengkaran.
Memang konflik suami istri ada sisi positifnya, sebagaimana pernah saya posting di Kompasiana tentang “9 Manfaat Konflik Suami Istri”. Namun jika konflik muncul dengan mudah dan sewaktu-waktu, ini menandakan belum ketemunya titik kesejiwaan di antara suami dan istri. Konflik hendaknya bisa dikelola dengan baik, bukan menjadi sebuah karakter, bukan menjadi sebuah hobi. Tidak ada kebahagiaan yang muncul akibat dari memelihara konflik berkepanjangan.
6. Sering salah paham
Setiap pembicaraan dan komunikasi, tidak berujung kepada pengertian, namun justru menimbulkan kesalahpahaman. Kata-kata dan kalimat sering disalahpahami, pesan yang ingin disampaikan tidak dimengerti maknanya oleh pasangan. Saat suami berbicara, istri langsung memotong dan “meluruskan” kesalahan omongan suami. Hal ini membuat suami tidak nyaman karena merasa tidak dipercayai. Demikian pula saat istri bicara, suami langsung memotong dan “meluruskan” kesalahan omongan istri. Ini juga membuat tidak nyaman istrri karena merasa tidak dimengerti.
Tangis istri tidak dimengerti maknanya oleh suami, diamnya suami tidak dipahami oleh sang istri. Keinginan istri untuk curhat dan mengobrol ditangkap sebagai tuntutan yang berlebihan pada suami. Sementara keinginan suami untuk tidak banyak bicara ditangkap sebagai bentuk tidak tanggung jawab di mata istri. Keduanya mudah salah paham oleh sikap dan perkataan pasangan sehingga ketegangan selalu muncul dalam kegiatan keseharian. Tentu tidak enak hidup dalam suasana seperti ini.
7. Tidak ada yang mau mengalah
Ketika suami dan istri belum mencapai kesejiwaan, masing-masing selalu menganggap dirinyalah yang benar, dan pasangannya berada di pihak yang salah. Keduanya merasa heran, mengapa pasangannya tidak pernah merasa bersalah. Suami merasa dirinya yang benar dan istri yang salah. Sebaliknya, istri merasa dirinya yang benar dan suami yang salah. Keduanya tidak ada yang mau mengalah dalam setiap konflik dan pertengkaran. Ego masing-masing masih sangat dominan.
Ketika suasana mau menang sendiri seperti ini dimiliki oleh suami atau istri atau keduanya, membuat konflik tidak pernah bisa diselesaikan. Rasa tidak mau mengalah ini muncul sebagai akibat ego yang sangat tinggi pada suami atau istri, yang merasa enggan untuk dikalahkan oleh pasangan. Suami merasa gengsi kalau kalah oleh istri dan istri merasa gengsi kalau kalah oleh suami. Perasaan “menang kalah” seperti ini muncul karena mereka belum mencapai titik kesejiwaan.
8. Tidak bisa lagi menikmati aktivitas fisik bersama pasangan
Ketika aktivitas fisik sudah tidak lagi bisa dinikmati, padahal tidak ada kendala usia maupun kesehatan, ini adalah tanda belum menemukan kesejiwaan. Mestinya suami dan istri itu bahagia dengan berbagai aktivitas fisik bersama. Sejak dari cumbu rayu, hubungan seksual, atau sekedar berjalan-jalan dan aktivitas fisik berduaan, merupakan hal yang seharusnya sangat menyenangkan bagi keduanya. Jika aktivitas fisik sudah tidak lagi bisa dinikmati, bahkan dirasakan sebagai beban, ini pertanda mereka belum menemukan titik kesejiwaan.
Pada pengantin baru, ativitas fisik suami dan istri sangat tinggi intensitasnya. Seiring berjalannya usia dan waktu, aktivitas fisik semakin menurun secara frekuensi. Namun mereka tetap menikmati dan tetap bergairah melakukan bersama pasangan walaupun tidak lagi sebanyak saat masih muda. Seharusnya aktivitas fisik tetap bisa dinikmati walaupun usia mereka sudah sama-sama tua.
9. Menganggap dirinya yang selalu mengalah
Suasana belum menemukan kesejiwaan sungguh unik. Suami merasa, selama ini ia selalu mengalah. Ternyata hal yang sama dirasakan oleh sang istri. Ia menganggap selama ini dirinya sudah selalu mengalah. Mereka menuduh pasangannya yang tidak pernah mau mengalah. Bertahun-tahun hidup dalam suasana merasa hanya dirinya saja yang mengalah.
Suami merasa mengalah, demi menjaga keutuhan keluarga. Istri merasa mengalah, demi menjaga keutuhan rumah tangga. Namun keduanya saling menuduh bahwa pasangannya tidak mau mengalah. Terpaksa dirinya yang mengalah supaya tidak menjadi pertengkaran terus menerus. Suasana seperti ini adalah gejala belum ditemukannya kesejiwaan di antara mereka.
10. Lebih percaya orang lain
Jika suami dan istri lebih percaya informasi orang lain daripada pasangan, ini adalah tanda belum menemukan kesejiwaan. Setiap perkataan pasangan sulit dipercaya, namun demikian mudah mempercayai omongan orang lain. Bawaannya selalu curiga dengan pasangan, seakan-akan yang dilakukan pasangan adalah kesalahan dan penyimpangan. Apapun yang dilakukan suami, tampak sebagai kesalahan di mata istri. Sebaliknya, apapun yang dilakukan istri, tampak sebagai kesalahan di mata suami.
Bahkan ada suami dan istri yang lebih percaya kepada gadget daripada kepada pasangannya. Ada suami menuduh istrinya tidak setia, hanya karena tidak segera membalas pesannya lewat fitur komunikasi. Padahal bisa jadi sang istri memang belum membaca pesan suami. Ada istri menuduh suaminya selingkuh, hanya karena pernah chatting dengan perempuan teman kerjanya. Padahal ia chatting urusan pekerjaa, bukan urusan pribadi.
Lalui Prosesnya
Itulah sepuluh gejala belum ditemukannya titik kesejiwaan antara suami dan istri. Karena kesejiwaan adalah suatu proses, maka yang diperlukan adalah kesediaan dari suami dan istri untuk menempuh prosesnya. Jangan mengira bahwa kesejiwaan akan didapat dengan sendirinya tanpa usaha. Suami yang merasa nyaman dan tidak ada masalah dalam kehidupan keluarga, belum tentu seperti itu kenyataannya. Karena bisa jadi ia tidak mengerti dan tidak memahami penderitaan istrinya.
Demikian pula istri yang merasa nyaman dan tidak ada masalah dalam rumah tangganya, belum tentu memang seperti itu kejadiannya. Karena bisa jadi ia tidak mengerti penderitaan batin suami yang tidak bahagia hidup bersamanya. Maka harus ada upaya bersama dari suami dan istri untuk menempuh proses menemukan kesejiwaan. Berapa lama waktu yang mereka perlukan untuk menemukan titik kesejiwaan, tergantung besaran usaha yang mereka keluarkan sepanjang menapaki prosesnya. Bisa pendek, bisa panjang. Bisa sebentar, bisa lama. Bisa cepat, bisa lambat. Bisa mudah, bisa pula susah.
Anda pilih yang mana? Semua tergantung anda berdua.
Selamat pagi sahabat semua. Selamat beraktivitas. Salam Kompasiana.
Kontributor: Cahyadi Takariawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar