Kamis, 25 Februari 2016

"Agar Di Kalangan Muslimin Tidak Ada Lagi Peduli..."

Suatu hari, 'Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu.
Tiba-tiba datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka.

Ketika sudah berhadapan dengan 'Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata,
“Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin! Qishoshlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!”

'Umar segera bangkit dan berkata,
“Bertakwalah kepada Alloh. Benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?”

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”

“Ceritakanlah kepada kami kejadiannya,” tukas 'Umar.

Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya.
“Aku datang dari pedalaman yang jauh. Kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku. Rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah. Segera kucabut pedangku dan kubunuh ia (lelaki tua tadi). Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini.”

“Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya. Kami bisa mendatangkan saksi untuk itu,” sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.

“Tegakkanlah had Alloh atasnya!” timpal yang lain.

'Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.

“Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda sholih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat,” ujarnya.

“Izinkan aku meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat (tebusan) atas kematian ayahmu,” lanjut 'Umar.

“Maaf Amirul Mukminin,” sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala, “Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridho jika jiwa belum dibalas dengan jiwa.”

'Umar semakin bimbang. Di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Alloh! Laksanakanlah qishosh atasku. Aku ridho dengan ketentuan Alloh,” ujarnya dengan tegas.

“Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishosh.”

“Mana bisa begitu?” ujar kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.

“Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?” tanya 'Umar.

“Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin. Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?” pemuda lusuh balik bertanya kepada 'Umar.

“Baik. Sku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu agar kamu kembali untuk menepati janji,” kata 'Umar.

“Aku tidak memiliki seorang kerabat pun di sini. Hanya Alloh, hanya Alloh-lah penjaminku, wahai orang-orang beriman,” rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang,
“Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin.”

Ternyata Salman al-Farisi yang berkata.

“Salman?” hardik 'Umar marah. “Kau belum mengenal pemuda ini. Demi Alloh, jangan main-main dengan urusan ini!”

“Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya 'Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya,” jawab Salman tenang.

Akhirnya dengan berat hati, 'Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman, salah satu sahabat Rosululloh SAW yang paling utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. 'Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.

Akhirnya tiba waktunya penqishoshan. Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.

Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.

“Itu dia!” teriak 'Umar. “Dia datang menepati janjinya!”

Dengan tubuhnya bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan 'Umar.

“Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin,” ujarnya dengan susah payah. “Tak kukira... urusan kaumku... menyita... banyak... waktu. Kupacu... tungganganku... tanpa henti, hingga... ia sekarat di gurun... Terpaksa... kutinggalkan... lalu aku berlari dari sana.”

“Demi Alloh,” ujar 'Umar menenanginya dan memberinya minum, “Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?” tanya 'Umar.

“Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan... di kalangan Muslimin... tak ada lagi ksatria... menepati janji...” jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Mata 'Umar berkaca-kaca. Sambil menahan haru, lalu ia bertanya,
“Lalu kau, Salman, mengapa mau- maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?”

Kemudian Salman menjawab,
“Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya.”

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.

“Allohu Akbar!” tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak. “Saksikanlah, wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu.”

Semua orang tersentak kaget.

“Kalian...” ujar 'Umar, “Apa maksudnya ini? Mengapa kalian...?” 'Umar semakin haru.

Kemudian dua pemuda menjawab dengan membahana,
“Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya.”

“Allohu Akbar!” teriak hadirin.

Pecahlah tangis bahagia, haru, dan sukacita oleh semua orang.

Masya Alloh..., saya bangga menjadi muslim bersama kita ksatria-ksatria muslim yang memuliakan al-Islam dengan berbagi pesan nasehatnya untuk berada dijalan-Nya.
Allohu Akbar!

3 komentar:

  1. Ingin tahu apa bukti kita memiliki akhlak mulia? Klik http://goldenmanners.blogspot.co.id/2016/03/golden-manners-harta-menjadi-kekal.html

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah berkunjung dan komen di blog ini. Gantian saya ke TKP. :D

    BalasHapus
  3. Yaps... cuman saran saya sebagai sesama blogger, harus dipastikan itu cerita di atas valid dan akurat...

    BalasHapus