Baiklah.
Kali ini, saya angkat resensi buku biografi tentang Bung Tomo; tokoh simbol perlawanan Surabaya terhadap Sekutu.
Kali ini, saya angkat resensi buku biografi tentang Bung Tomo; tokoh simbol perlawanan Surabaya terhadap Sekutu.
Buku ini merupakan
kumpulan karangan dari keluarga Bung Tomo yang sempat diterbitkan oleh Penerbit
Balapan –milik keluarga Bung Tomo– sebanyak tujuh karangan, dan satu karangan
berjudul “Kini Terserah pada Bung Karno” untuk diterbitkan oleh PT Gramedia.
Hingga pada akhirnya, kedelapan karangan tersebut dikumpulkan oleh Gramedia dan
diterbitkan dalam satu buku ini.
Kedelapan karangan
tersebut dikelompokkan sesuai semangat yang terkandung dalam isinya, yakni:
Bagian pertama:
Perjuangan dalam Revolusi Fisik yang memuat 3 (tiga) karangan:
1. 10 Nopember 1945; yang berkisah tentang detik-detik Proklamasi,
kisah cerita heroiknya menjadikan bendera triwarna menjadi dwiwarna, hingga
drama tewasnya Mallaby.
2. Kenangan Bahagia; berkisah tentang kenaikan pangkat
kemiliteran Bung Tomo menjadi Jenderal Mayor di bawah kepemimpinan Jenderal
Sudirman, meninggalnya Jenderal Sudirman dan Letnan Jenderal Urip Sumoharjo,
hingga terjadinya agresi Belanda yang pertama.
3. Ke mana Bekas Pejuang Bersenjata? Pada bab ini, begitu ironi
nasib mereka-mereka yang pernah berjuang demi negeri.
Bagian kedua: Dalam
Pergolakan Demokrasi yang memuat 3 (tiga) karangan:
4. Koordinasi dalam Republik Indonesia; mengisahkan kondisi di
lapangan yang timpang. Di mana di garis depan pertahanan kekurangan asupan
makanan, tetapi di dapur umum malah makanan terbuang sebab berlimpah.
5. Bung Tomo Menggugat Kabinet Kerja, yang Dipimpin oleh Ir. Dr.
Sukarno; kisah ini sangat unik dan baru pertama kali terjadi di Indonesia di
mana warga negara menggugat pemerintah dan gugatan tersebut diucapkan di muka
sidang pengadilan.
6. Kini Terserah pada Bung Karno. “Apakah generasi yang akan
datang harus menghadapi lagi kebiadaban dan keganasan suatu partai yang sudah
dua kali mengkhianati negara?”
Bagian ketiga: Pada
Awal Orde Baru memuat 2 (dua) karangan:
7. Sesudah “Madiun” dan “Gestapu” Lantas Apa?; ada pesan kuat
dalam bab ini, yakni senjata ampuh apa untuk menghadapi PKI.
8. Surat Terbuka kepada Mao Che Ting dan Chiang Kai Shek; ini
adalah surat terbuka yang menggemparkan –terutama bagi WNI keturunan Cina,
yakni pemulangan 2 juta WNI keturunan Cina ke Tiongkok.
Kelebihan buku ini adalah paparannya yang rinci tentang jengkal
demi jengkal peristiwa yang jarang diungkap dalam buku sejarah.
Ada pesan yang menarik pada Bab 7:
“...Karena itulah saya terpaksa mengumpulkan senjata sebanyak
mungkin untuk mempertahankan diri; dan senjata yang terbaik untuk menghadapi
PKI adalah pengetahuan tentang PKI itu sendiri.”
Saya tak bisa
menemukan kekurangan dalam buku ini, sebab ia adalah kumpulan karangan kisah.
Secara umum, buku ini
mengisahkan begitu heroik dan massifnya perjuangan rakyat Indonesia –khususnya
Surabaya– memerdekakan Indonesia tanpa hitung-hitung siapa manusia terbaik yang
berhak memimpin negara. Tetapi hasil perjuangan itu seolah ‘dikhianati’ oleh
pemerintah.
Saran saya: buku ini
saya recommend untuk dibaca bagi sesiapa yang mengharapkan Indonesia lebih
mandiri di masa depan; bukan pada tokohnya, tetapi muatan pesan yang akan
menjadi serum bagi virus bangsa.
Judul: Bung Tomo;
dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru
Penyunting: Frans M. Parera
Tebal: xx+448 halaman
Dimensi: 14x20,5 cm
Cetakan: tahun 1982
Penerbit: Gramedia 82.121, Jakarta
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar