Jumat, 23 November 2018

Resensi: Tjokroaminoto; Guru Para Pendiri Bangsa


Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti Soekarno yang kemudian menjadi “founding father” Republik Indonesia dengan pemahaman nasionalismenya yang sangat kental. Kartosoewirjo yang terkenal dengan pemberontakan DI/TII-nya dengan pemahaman Islam yang sangat fanatik. Semaoen, Moesso, dan Alimin yang menjadi tokoh-tokoh sentral dalam PKI (Partai Komunis Indonesia) dan merupakan murid HOS Tjokroaminoto yang awalnya sangat dekat dengannya, namun kemudian justru melakukan perlawanan terhadap Sarekat Islam yang diketuai oleh Tjokro sendiri. Mereka bertiga berhasil memprovokasi Sarekat Islam Banten untuk mengganti kedudukan Tjokro di tahun 1923. Kita juga kenal pula HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), seorang tokoh besar Islam sekaligus sastrawan dan pernah menjadi ketua MUI. Hamka bisa dikatakan murid terbungsu dari Tjokro.

Ya, tokoh-tokoh besar itu dulunya belajar pada HOS Tjokroaminoto. Seorang ulama, sekaligus cendekiawan, orator ulung, berkharisma, dan memahami wawasan dan pemahaman yang luas akan negara. Mereka belajar pada Tjokroaminoto selama mereka sedang menempuh masa pendidikan tingginya di Surabaya. Mereka menyewa kamar kos di Peneleh, Surabaya, tempat tinggal keluarga Tjokroaminoto.

Tjokro dikenal sebagai bapak bangsa yang melahirkan tokoh besar dengan beragam warna seperti yang dijelaskan di awal.

Kemampuan, kecerdasan, sifat, dan kepribadian dari Tjokro banyak diajarkan dan diserap oleh murid-muridnya. Soekarno berlatih pidato hingga menjadi mengagumkan karena seringnya mengikuti dan melihat Tjokro ketika berorasi di depan rakyat, di daerah-daerah.

Hamka bahkan pernah mengungkapkan hubungannya dengan Tjokro dengan mengatakan, “Saya tidak dapat melupakan almarhum HOS Tjokroaminoto yang telah menunjukkan pandangan Islam dari segi ilmu pengetahuan barat, ketika beliau mengajarkan kepada saya tentang Islam dan Sosialisme saat saya datang ke Yogya tahun 1924.”

Buku biografi Resensi Buku Tjokroaminoto yang dibuat oleh Tempo ini lebih banyak membahas tentang kehidupan berorganisasi dan pergerakan Tjokro dalam melawan penindasan yang dilakukan Belanda lewat berbagai organisasi mulai dari Boedi Oetomo, Perkumpulan Ronda, hingga masuk dalam Sarekat Dagang Islam karena memang pada dasarnya Tjokro sendiri juga bergerak pada bidang perdagangan. Tjokrolah yang kemudian menyelamatkan Sarekat Dagang Islam hingga menjadikannya menjadi Sarekat Islam dan menjadikannya organisasi yang sangat besar kala itu dengan tujuan menyelamatkan masyarakat dan bangsa Indonesia dari ketertindasan.

Selain itu, buku ini mengisahkan bagaimana Tjokro mendidik para tokoh bangsa seperti Soekarno, Moesso, Alimin, Semaoen, dan Kartosoewirjo di bab “Sekolah Politik di Gang Peneleh”.

Pergerakan Tjokro banyak terlihat dari mimbar-mimbar umum yang terisi oleh pidato-pidatonya yang menggelegar seperti dijelaskan dalam bab “Hanoman Jagoan Pidato”. Gaya orasinya yang menggelegar dan mampu menyihir ribuan orang itu kemudian ditiru oleh Soekarno.

Selain di mimbar, pergerakan Tjokro juga dia tuangkan pada tulisan-tulisan di surat kabar Oetoesan Hindia; surat kabar Sarekat Islam yang merupakan corong bagi pergerakan organisasi tersebut. Ini dikisahkan dalam bab “Bergerak Lewat Oetoesan Hindia”.

Lalu pada bab “Mesiah dari Tanah Jawa”, menceritakan tentang betapa gencarnya Tjokro dalam pergerakan hingga dikenal memiliki banyak pengikut setia, ambisius, dan bertangan besi dalam menyingkirkan lawan politiknya, Tjokro dianggap sebagai jelmaan Ratu Adil.

Buku ini juga menggambarkan bagaimana dinamika hubungan Tjokro dengan murid-muridnya yang kos di belakang rumahnya. Tjokro memahami pentingnya rapat umum dan keberanian bicara menggalang massa. Di meja makan rumah gang Peneleh, ilmu pergerakan modern itu ditularkan pada Alimin, Moesso, Soekarno, dan Kartosoewirjo.

Pada bab “Soekarno Muridku, Menantuku”, menceritakan tentang pernikahan Siti Oetari, anak Tjokro dengan Soekarno sekaligus ada bagian kecil yang mengisahkan tentang meninggalnya Soeharsikin; Istri Tjokro. Tjokro juga pernah bertemu Tan Malaka dalam perhelatan Central Sarekat Islam, dan Tan Malaka mengakui bahwa Sarekat Islam adalah satu-satunya organisasi yang bisa disebut partai massa. Ini diceritakan pada salah satu bab, yaitu “Perjumpaan Tan”.

Secara umum, buku ini terbagi dalam 5 bagian. Bagian 1–Induk Semang Para Pejuang; berisi sekilas tentang perjuangan Tjokro dan interaksi dengan tokoh-tokoh besar.

Bagian 2–Revolusi dari Laweyan; merupakan bagian tentang perjalanan keorganisasiannya hingga menjadi pemimpin Sarekat Islam.

Bagian 3–Jejak Langkah Sang Guru; yang berisi sepak terjang Tjokro dalam pergerakannya melawan feodalisme dan Belanda serta membesarkan organisasi Sarekat Islam dengan berbagai tantangannya terutama saat disusupi oleh PKI.

Bagian 4–Penghuni Belakang Rumah; menceritakan tentang Tjokro dan murid-muridnya hingga metamorfosa murid-muridnya dengan berbagai warna ideologinya.

Bagian 5–Kolom-kolom; yang berisi ulasan-ulasan opini yang diulas secara akademis juga oleh sejarawan dalam dan luar negeri seperti Anhar Gonggong, Bonnie Triyana, dan Takashi Shiraishi.

Buku ini memiliki kelebihan pada sistematika pembahasan yang runtut dan berfokus pada perjalanan sentral dari seorang Tjokro. Alurnya mudah dipahami. Bahasanya ringan dan relatif tidak ditemukan kosakata yang sulit dipahami. Jenis kertas kuning yang digunakan, font, dan spasi yang jelas membuat buku ini nyaman dibaca. Adanya gambar-gambar penunjang seperti dokumentasi artikel-artikel yang pernah ditulis Tjokro, foto-foto Tjokro dengan pengurus Sarekat Islam menjadikan nuansa buku biografi ini semakin terlihat historisnya. Sumber-sumber yang digunakan juga valid karena mengundang langsung keturunan Tjokro untuk berdiskusi antara lain Haryono Sigit, anak kedua Tjokro.

Redaksi Tempo juga memberikan daftar buku yang bisa dijadikan rujukan untuk mendalami tentang Tjokro sehingga akan memberi panduan bagi pembaca bila ingin mendalami.

Adanya indeks di belakang buku memudahkan untuk pencarian cepat.

Kekurangan buku ini –menurut saya– terletak pada pembahasan masa kecil-remaja Tjokro yang justru tidak dibahas. Sebagai buku biografi, rasanya akan kurang jika belum membahas masa kecil-remaja dari tokoh tersebut. Bagi pembaca yang suka membaca biografi yang detail dan lengkap, buku ini rasa-rasanya kurang memuaskan keingintahuan pembaca karena setiap babnya dibahas singkat antara 3-5 lembar saja. Bisa dibilang buku ini merupakan biografi singkat dan mengambil tema tertentu saja dari Tjokro, yaitu pergerakannya dan bagaimana dia menjadi guru untuk para tokoh.

Judul: Tjokroaminoto; Guru Para Pendiri Bangsa
Penyusun: Tim Tempo
Tebal: xvi+162 hal.
Dimensi: 11x16 cm
Cetakan: II, Juni 2018
ISBN-13: 978-602-424-402-6
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar