Dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita mengenal tokoh-tokoh besar
seperti Soekarno yang kemudian menjadi “founding father” Republik Indonesia
dengan pemahaman nasionalismenya yang sangat kental. Kartosoewirjo yang
terkenal dengan pemberontakan DI/TII-nya dengan pemahaman Islam yang sangat
fanatik. Semaoen, Moesso, dan Alimin yang menjadi tokoh-tokoh sentral dalam PKI
(Partai Komunis Indonesia) dan merupakan murid HOS Tjokroaminoto yang awalnya
sangat dekat dengannya, namun kemudian justru melakukan perlawanan terhadap
Sarekat Islam yang diketuai oleh Tjokro sendiri. Mereka bertiga berhasil
memprovokasi Sarekat Islam Banten untuk mengganti kedudukan Tjokro di tahun
1923. Kita juga kenal pula HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), seorang
tokoh besar Islam sekaligus sastrawan dan pernah menjadi ketua MUI. Hamka bisa
dikatakan murid terbungsu dari Tjokro.
Ya, tokoh-tokoh besar
itu dulunya belajar pada HOS Tjokroaminoto. Seorang ulama, sekaligus
cendekiawan, orator ulung, berkharisma, dan memahami wawasan dan pemahaman yang
luas akan negara. Mereka belajar pada Tjokroaminoto selama mereka sedang
menempuh masa pendidikan tingginya di Surabaya. Mereka menyewa kamar kos di
Peneleh, Surabaya, tempat tinggal keluarga Tjokroaminoto.
Tjokro dikenal
sebagai bapak bangsa yang melahirkan tokoh besar dengan beragam warna seperti
yang dijelaskan di awal.
Kemampuan,
kecerdasan, sifat, dan kepribadian dari Tjokro banyak diajarkan dan diserap
oleh murid-muridnya. Soekarno berlatih pidato hingga menjadi mengagumkan karena
seringnya mengikuti dan melihat Tjokro ketika berorasi di depan rakyat, di
daerah-daerah.
Hamka bahkan pernah
mengungkapkan hubungannya dengan Tjokro dengan mengatakan, “Saya tidak dapat
melupakan almarhum HOS Tjokroaminoto yang telah menunjukkan pandangan Islam
dari segi ilmu pengetahuan barat, ketika beliau mengajarkan kepada saya tentang
Islam dan Sosialisme saat saya datang ke Yogya tahun 1924.”
Buku biografi Resensi
Buku Tjokroaminoto yang dibuat oleh Tempo ini lebih banyak membahas tentang
kehidupan berorganisasi dan pergerakan Tjokro dalam melawan penindasan yang
dilakukan Belanda lewat berbagai organisasi mulai dari Boedi Oetomo,
Perkumpulan Ronda, hingga masuk dalam Sarekat Dagang Islam karena memang pada
dasarnya Tjokro sendiri juga bergerak pada bidang perdagangan. Tjokrolah yang
kemudian menyelamatkan Sarekat Dagang Islam hingga menjadikannya menjadi
Sarekat Islam dan menjadikannya organisasi yang sangat besar kala itu dengan
tujuan menyelamatkan masyarakat dan bangsa Indonesia dari ketertindasan.
Selain itu, buku ini
mengisahkan bagaimana Tjokro mendidik para tokoh bangsa seperti Soekarno,
Moesso, Alimin, Semaoen, dan Kartosoewirjo di bab “Sekolah Politik di Gang
Peneleh”.
Pergerakan Tjokro
banyak terlihat dari mimbar-mimbar umum yang terisi oleh pidato-pidatonya yang
menggelegar seperti dijelaskan dalam bab “Hanoman Jagoan Pidato”. Gaya orasinya
yang menggelegar dan mampu menyihir ribuan orang itu kemudian ditiru oleh Soekarno.
Selain di mimbar,
pergerakan Tjokro juga dia tuangkan pada tulisan-tulisan di surat kabar
Oetoesan Hindia; surat kabar Sarekat Islam yang merupakan corong bagi
pergerakan organisasi tersebut. Ini dikisahkan dalam bab “Bergerak Lewat
Oetoesan Hindia”.
Lalu pada bab “Mesiah
dari Tanah Jawa”, menceritakan tentang betapa gencarnya Tjokro dalam pergerakan
hingga dikenal memiliki banyak pengikut setia, ambisius, dan bertangan besi
dalam menyingkirkan lawan politiknya, Tjokro dianggap sebagai jelmaan Ratu Adil.
Buku ini juga
menggambarkan bagaimana dinamika hubungan Tjokro dengan murid-muridnya yang kos
di belakang rumahnya. Tjokro memahami pentingnya rapat umum dan keberanian
bicara menggalang massa. Di meja makan rumah gang Peneleh, ilmu pergerakan
modern itu ditularkan pada Alimin, Moesso, Soekarno, dan Kartosoewirjo.
Pada bab “Soekarno
Muridku, Menantuku”, menceritakan tentang pernikahan Siti Oetari, anak Tjokro
dengan Soekarno sekaligus ada bagian kecil yang mengisahkan tentang
meninggalnya Soeharsikin; Istri Tjokro. Tjokro juga pernah bertemu Tan Malaka
dalam perhelatan Central Sarekat Islam, dan Tan Malaka mengakui bahwa Sarekat
Islam adalah satu-satunya organisasi yang bisa disebut partai massa. Ini
diceritakan pada salah satu bab, yaitu “Perjumpaan Tan”.
Secara umum, buku ini
terbagi dalam 5 bagian. Bagian 1–Induk Semang Para Pejuang; berisi sekilas
tentang perjuangan Tjokro dan interaksi dengan tokoh-tokoh besar.
Bagian 2–Revolusi
dari Laweyan; merupakan bagian tentang perjalanan keorganisasiannya hingga
menjadi pemimpin Sarekat Islam.
Bagian 3–Jejak
Langkah Sang Guru; yang berisi sepak terjang Tjokro dalam pergerakannya melawan
feodalisme dan Belanda serta membesarkan organisasi Sarekat Islam dengan
berbagai tantangannya terutama saat disusupi oleh PKI.
Bagian 4–Penghuni
Belakang Rumah; menceritakan tentang Tjokro dan murid-muridnya hingga
metamorfosa murid-muridnya dengan berbagai warna ideologinya.
Bagian 5–Kolom-kolom;
yang berisi ulasan-ulasan opini yang diulas secara akademis juga oleh sejarawan
dalam dan luar negeri seperti Anhar Gonggong, Bonnie Triyana, dan Takashi
Shiraishi.
Buku ini memiliki
kelebihan pada sistematika pembahasan yang runtut dan berfokus pada perjalanan
sentral dari seorang Tjokro. Alurnya mudah dipahami. Bahasanya ringan dan
relatif tidak ditemukan kosakata yang sulit dipahami. Jenis kertas kuning yang
digunakan, font, dan spasi yang jelas membuat buku ini nyaman dibaca. Adanya
gambar-gambar penunjang seperti dokumentasi artikel-artikel yang pernah ditulis
Tjokro, foto-foto Tjokro dengan pengurus Sarekat Islam menjadikan nuansa buku
biografi ini semakin terlihat historisnya. Sumber-sumber yang digunakan juga
valid karena mengundang langsung keturunan Tjokro untuk berdiskusi antara lain
Haryono Sigit, anak kedua Tjokro.
Redaksi Tempo juga
memberikan daftar buku yang bisa dijadikan rujukan untuk mendalami tentang
Tjokro sehingga akan memberi panduan bagi pembaca bila ingin mendalami.
Adanya indeks di
belakang buku memudahkan untuk pencarian cepat.
Kekurangan buku ini
–menurut saya– terletak pada pembahasan masa kecil-remaja Tjokro yang justru tidak
dibahas. Sebagai buku biografi, rasanya akan kurang jika belum membahas masa
kecil-remaja dari tokoh tersebut. Bagi pembaca yang suka membaca biografi yang
detail dan lengkap, buku ini rasa-rasanya kurang memuaskan keingintahuan
pembaca karena setiap babnya dibahas singkat antara 3-5 lembar saja. Bisa
dibilang buku ini merupakan biografi singkat dan mengambil tema tertentu saja
dari Tjokro, yaitu pergerakannya dan bagaimana dia menjadi guru untuk para
tokoh.
Judul: Tjokroaminoto;
Guru Para Pendiri Bangsa
Penyusun: Tim Tempo
Tebal: xvi+162 hal.
Dimensi: 11x16 cm
Cetakan: II, Juni 2018
ISBN-13: 978-602-424-402-6
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar