Jumat, 23 November 2018

Resensi: Penghancuran Buku


Pakar Perbukuan asal Venezuela, Fernando Baez, tengah berada di Irak saat pasukan Amerika Serikat menggempur Baghdad pada Mei 2003. Di Universitas Baghdad, ia melihat bagaimana salah satu pusat pendidikan di Timur Tengah itu hancur dan semua buku yang ada di perpustakaan universitas tersebut dibakar dan dijarah. Ketika itu, seorang mahasiswa sejarah menghampiri dan bertanya kepadanya, “Mengapa orang menghancurkan buku-buku, bukankah Anda ahlinya?”

Tema penghancuran buku memang telah menjadi obsesinya pribadi Baez yang ia wujudkan dalam objek penelitiannya selama ini . Karenanya, pertanyaan “Kenapa manusia membakar buku?” yang diajukan oleh mahasiswa itu memicu dirinya untuk menyelesaikan penelitiannya dan membuat buku yang kelak akan diberi judul Historia universal de la destruccion de libros (2004) yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan kini bisa kita baca terjemahannya dengan judul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”.

Dalam buku yang merupakan hasil penelitiannya selama 12 tahun ini, Fernando Baez memaparkan sejarah penghancuran buku berdasarkan kronologi waktu yang dibagi dalam tiga bagian, mulai dari zaman Dunia Kuno, dari Byzantium hingga abad ke 19, dan dari abad ke-20 hingga sekarang.

Di bagian pertama, Penulis mengemukakan bahwa penghancuran buku dalam sejarah dimulai di Sumeria dimana di tempat itu pula buku muncul untuk pertama kalinya dalam peradaban manusia. Berdasarkan temuan arkeologis di tahun 1924, ada 100.000 buku yang saat itu masih dalam bentuk tablet (lempengan yang dibuat dari tanah liat) telah hancur akibat perang yang terus berkecamuk di wilayah itu. Temuan ini mengandung paradoks; penemuan buku-buku paling awal juga menandakan penghancurannya yang paling perdana.

Selanjutnya −masih di bagian ini, Penulis mengungkap berbagai kejadian penghancuran buku di Mesir, Yunani, Israel, Cina, Romawi, beserta kisah berdiri dan runtuhnya perpustakaan Alexandria dan perpustakaan kuno lainnya. Semua mengungkap bagaimana buku dihancurkan dengan berbagai cara. Yang mengejutkan adalah terungkapnya bahwa filsuf terkenal Plato juga pernah membakar buku.

“Laersius yang mengenal baik kepustakaan Plato, menuduhnya sebagai bibliokas (istilah untuk para perusak buku) yang mencoba menghabisi risalah-risalah Demokritus, seorang penulis yang sama sekali tak hendak disitir oleh Plato. Untuk menegaskan kecenderungan hendak membakar teks-teks tertentu ini, Laersius juga mengatakan bahwa Platosemasa mudanya− seusai kontes di Teater Dionisius, menemui Sokrates dan membakar puisi-puisinya. (hal. 51)

Di bagian kedua −di era Byzantium hingga abad ke-19, terungkap bahwa era perang Salib tidak hanya menyebabkan korban jiwa yang besar, melainkan turut hancurnya manuskrip dan buku-buku berharga. Ini tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja. Kedua pihak, baik dari Pasukan Kristen maupun Islam, secara berbalasan menghancurkan perpustakaan dan buku-buku ketika mereka berhasil menaklukkan wilayah lawannya.

Pada 1108, pasukan Perang Salib menghancurkan Perpustakaan Zahiriya di Damaskus. Lebih dari 3 juta buku dimusnahkan. Juli 1109 di Tipoli, pasukan Kristen membakar 100.000 volume dari Perpustakaan Islam yang terkenal.

Pada 1453 −saat Kontantinopel runtuh, selama tiga hari pasukan Turki menghancurkan patung-patung, gereja, dan buku. Buku-buku dibuang setelah terlebih dahulu permata yang ditempel di sampulnya dicongkel dan 120.000 manuskrip yang tidak sejalan dengan para pengikut Muhammad diikat dan dibuang ke laut.

Selain karena perang, penghancuran buku juga dilakukan oleh otoritas gereja terutama untuk buku-buku yang dianggap sesat atau bidah. Semua buku yang dianggap sesat, dibakar di muka umum. Bahkan tidak hanya buku, penulisnya pun kerap dibakar bersama dengan buku-bukunya yang ia tulis.

Khusus mengenai penghancuran buku yang dilakukan oleh otoritas gereja, Penulis membahasnya dalam bagian tersendiri. Inkuisisi merupakan lembaga hukum keagamaan paling berkuasa yang pernah didirikan untuk menumpas perbedaan pemikiran di seluruh Eropa. Di masa ini, sensor, penangkapan, penyiksaan, dan penghancuran terhadap buku yang dianggap bidah terjadi secara merajalela.

Pada tahun 1559 −saat pemerintahan Paus IV, disusunlah daftar buku yang paling membahayakan iman yang diberi nama Index Librorum Prohibitorum atau Indeks Buku-buku Terlarang yang melarang buku-buku karya 550 penulis untuk memudahkan para Inkuisitor dalam menjalankan tugasnya.

“Para Insikuitor sibuk menginspeksi pelabuhan, mencari buku-buku yang tertera dalam Index: Alkitab dalam bahasa lokal, novel-novel ksatria, serta karya-karya ilmiah dan politik. Penerbit terus menerus diawasi, para pedagang tidak dapat berjualan buku sebelum stok mereka didaftar, dan perpustakaan-perpustakaan pribadi diperiksa secara cermat.” (hal. 166)

Di bagian ketiga dari Abad ke-20 hingga sekarang, Penulis membeberkan tentang Holocaust dan bibliocaust Nazi di Jerman. Jika kita membaca bagian ini, maka kita diajak melihat bahwa sesungguhnya Holocaust yang dilakukan Nazi Jerman terhadap jutaan orang Yahudi selama PD II diawali oleh sebuah bibliocaust dimana jutaan buku secara sistematis dihancurkan oleh Nazi melalui sebuah ritual pembakaran buku yang diawali pengumpulan massa, menyanyikan himne, pidato, dan diakhiri pembakaran buku.

Apa yang dilakukan Nazi ini seolah mengaminkan pendapat Heinreich Heine dalam karyanya Almansor (1821); “Dimana pun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia.” Dan memang seperti itulah yang terjadi setelah buku-buku dibakar.

“Penghancuran buku sepanjang 1933 adalah awal dari pembantaian manusia pada tahun-tahun berikutnya. Gunungan buku-buku yang dilalap api mengilhami tungku-tungku krematorium kamp konsentrasi.” (hal. 221)

Selain tentang Nazi yang membakar buku, di bagian ini juga kita akan menemui bagaimana buku dihancurkan dan di sensor di Cina, Uni Soviet, Spanyol, Chile, Argentina, Bosnia hingga penghancuran situs budaya dan penjarahan buku secara besar-besaran yang terjadi di Irak pasca jatuhnya rezim Saddam Hussein.

Penghancuran situs-situs budaya dan buku di Irak kini mendapat sorotan dunia. Berdasarkan laporan pustakawan Irak, hampir satu juta buku lenyap dalam penjarahan dan pembakaran. Ironis, karena di Irak-lah tempat buku pertama di dunia dilahirkan. Bagaimana peran pemerintahan AS selaku negara yang menginvasi Irak demi jatuhnya Saddam Hussein? Di sini pemerintah AS dianggap gagal melindungi situs-situs budaya dan buku-buku dari propaganda kebencian dan penjarahan dari rakyat Irak sendiri.

“Irak kini menjadi negara yang tanpa arah, miskin karena perang, ditimpa konflik agama dan terorisme, dan jatuh dalam krisis ekonomi: sebuah bangsa yang telah kehilangan sebagian besar ingatannya. Buku-bukunya kini menjadi abu, karya-karya budayanya dijual di pasar. Irak adalah korban pertama pemusnahan kebudayaan pada abad ke-21.” (hal. 319).

Demikianlah buku ini merangkai sejarah penghancuran buku dari masa ke masa. Dalam rentang waktu 55 abad di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Walau Indonesia memiliki sejarah panjang juga tentang pemberangusan buku, namun dalam buku ini hanya disebutkan satu kasus saja, yaitu yang terjadi di tahun 2007.

“Atas alasan yang lebih politis, pada 2007 pihak berwenang di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, Indonesia, juga membakar lebih dari 30.000 buku ajar SMA di hadapan para siswa. Buku-buku itu tidak sejalan dengan sejarah versi pemerintah tentang usaha kudeta tahun 1965 di Indonesia, yang selama puluhan tahun dikambinghitamkan pada orang-orang komunis.” (hal. 246-247)

Membaca sejarah penghancuran buku lewat paparan Fernando Baez di buku ini, kita akan melihat bahwa sejak buku pertama dibuat, orang sudah menyadari pengaruh dahsyat dari buku. Karenanya, ketika sebuah negara merebut negara lain, maka langkah selanjutnya setelah mendudukinya adalah memusnahkan ingatan dan budaya daerah kekuasaannya dengan cara membakar buku-buku yang ada.

Tidak hanya membakar buku, di buku ini kita akan menemukan metode lain penghancuran buku lainnya seperti membuang buku ke laut atau sungai, dijadikan bahan bakar pemandian umum, dilemparkan keluar jendela agar dipakai tuna wisma sebagai penghangat badan, dihapus tintanya untuk ditulis kembali menjadi buku baru, sebagai pembungkus mesiu atau mercon, hingga dijadikan sebagai alas kaki.

Selain oleh manusia, buku ini juga membahas musuh alami buku, yaitu iklim dan keasaman kertas pada buku yang mudah hancur karena iklim. Hal ini menjadi perhatian para pustakawan dunia, Millicent Abell dari Perpustakaan Yale memperkirakan sekitar 76 juta buku di seluruh Amerika Serikat tengah berubah menjadi debu dalam arti harafiahnya.

Selain karena iklim, serangga juga berperan dalam hancurnya buku. Berikut ini Penulis mendaftar berbagai jenis serangga penghancur buku antara lain semut tukang kayu, Componotus, serangga yang tergolong paling rakus dan mampu membuat “terowongan” antar buku yang dijajar di atas rak.

Di bagian paling akhir, buku ini juga menyertakan bab khusus Penghancuran Buku dalam Cerita Fiksi yang dimulai dari novel Don Quixote (1605); Carventes, Time Machine (1895); H.G Well, Fahrenheit 451 (1953); Bradbury, The Name of The Rose (1980); Umberto Eco, hingga novel Voices (2006) karya Ursula K., Le Guin.

Buku yang dipersiapkan selama lebih dari 12 tahun dengan riset yang mendalam yang terepresentasikan dengan begitu rincinya, Penulis memaparkan sejarah penghancuran buku yang bersumber lebih dari 550 buku yang dicatat dalam 32 halaman daftar pustaka buku. Maka buku ini layak dijadikan sumber referensi mengenai sejarah penghancuran buku di dunia. Karena seperti yang ditulis Fernando Diaz dalam pendahuluannya,
“Selama 55 abad buku telah dimusnahkan, dan kita sama sekali tidak tahu apa sebabnya. Ada ratusan kajian mengenai asal mula buku dan perpustakaan, tapi tidak ada satu pun sejarah mengenai penghancurannya. Tidakkah ini mengherankan?” (hal. 9)

Buku ini menjawab keheranan Penulisnya sendiri karena hingga saat ini baru buku ini yang membahas sejarah penghancuran buku di dunia dengan lengkap. Sayangnya, buku ini tidak menyertakan daftar indeks sehingga pembaca akan mengalami kesulitan jika kita ingin mencari secara cepat sebuah nama, tempat, judul buku, dll yang terkandung dalam buku ini.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dari buku ini? Dari sejarah penghancuran buku selama 55 abad yang ditulis dalam buku ini, kita akan melihat bahwa selalu ada usaha dari manusia untuk menghancurkan buku yang dianggap membahayakan atau tidak sesuai dengan keyakinannya.

Muhidin M. Dahlan (Gus Muh) dalam resensinya mengatakan bahwa dalam DNA setiap manusia sebetulnya mengalir darah seorang penjagal buku.

Jadi, bagaimana kita menyelamatkan isi buku dari para penjagalnya? Hanya ada satu cara, yaitu dengan membacanya! Fisik buku bisa dihancurkan, tapi isi buku yang terekam dalam ingatan sulit untuk dihapus selama manusia masih dalam keadaan hidup.

Sebagai penutup, berikut adalah surat Helen Keller, penulis tuna-netra kepada Mahasiswa Jerman yang membakar buku-bukunya di era Nazi.

“Kalian bisa saja membakar buku-buku saya dan buku-buku yang ditulis dari pemikiran terbaik di Eropa. Tapi pemikiran yang dimuat dalam buku-buku itu telah melewati ribuan saluran dan akan terus mengalir.” (hal. 227)

Ketidaknyamanan buku ini adalah semua catatan berbentuk endnote, sehingga pembaca harus mencari dan menemukan catatan penjelas di bagian akhir buku. Alangkah lebih nyaman jika berbentuk footnote.

Judul: Penghancuran Buku dari Masa ke Masa
Penulis: Fernando Baez
Penerjemah: Lita Soerjadinata
Tebal: xiv+410 hal.
Dimensi: 14x20,5 cm
Cetakan: II, Mei 2017
ISBN: 978-979-1260-68-8
Penerbit: Margin Kiri, Tangerang Selatan
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar