Akhir era ‘90-an, saya dihadiahi
sebuah buku berjudul “10 Musuh Cita-cita” oleh seorang teman. Sampai tahun
2017, saya tak pernah sekali pun membuka buku tersebut yang saya simpan dalam
rak buku di Solo. Saat Idul Fitri 2017, salah satu niat saya adalah mengambil
buku tersebut di Solo. Ternyata tak ada lagi di tempatnya. Hingga beberapa
pekan lalu, sengaja berburu lagi di lapak daring. Alhamdulillah masih berjodoh.
Well, dari judulnya, sudah dapat ditebak akan secadas apa
kandungannya –ini pula yang menyebabkan saya tak membuka buku ini sedari awal
dihadiahi (1999). Baru pada bulan November 2018 ini ‘sempat’ dibaca.
Buku ini terbagi menjadi 3 (tiga) pokok bahasan, di mana tiap
pokok bahasan memiliki breakdown masing-masing.
Pokok bahasan pertama: Prolog; mendudukkan masalah sesuai dengan
pengertian yang sebenarnya, seperti “Islam yang mana dan versi siapa?”
Pokok bahasan kedua: Iman dan Cita-cita Menumbuhkan Optimisme;
yakni menyatukan pikiran, menyamakan persepsi, dan menyeragamkan tujuan dengan
membahas fenomena dan konsekuensi keimanan:
» Gaya hidup manusia mu’min;
» Realisasi keimanan;
» Ujian keimanan.
Pokok bahasan ketiga: Sepuluh Musuh Cita-cita dan Benteng Untuk
Mempertahankannya; adalah pokok dari judul buku ini.
1. Kekuatan Tirani;
2. Hilangnya Harapan dan Putus
Asa;
3. Munculnya Keruwetan Hidup dan
Kesulitan Ekonomi;
4. Dorongan Sikap Individualisme
dan Egoisme;
5. Tunduk pada Rutinitas dan
Menyerah pada Kenyataan;
6. Melempar Tanggung Jawab
Perjuangan;
7. Konspirasi Musuh Kafir dan
Munafik;
8. Santai dan Nyaman dalam
Kehidupan Mapan;
9. Terlampau Lama Beristirahat;
10. Merasa Aman dari Rintangan.
Ternyata, kandungan buku ini tak seseram yang saya bayangkan
dari awal (menyerang prinsip-prinsip dan aparatur negara). Poin-poin dalam buku
ini lebih banyak menggugah kesadaran pribadi akan tanggung jawab sosialnya.
Hingga saya pun menyepakati apa yang disampaikan salah seorang kyai pesantren
di Madura, “Selama ini saya tidak bisa mengerti mengapa umat Islam tidak bisa
bersatu. Setelah membaca buku ini, barulah saya paham jawabannya.” (hal. xiii)
Ada beberapa pengertian yang harus dipahami dari awal sebelum
masuk pada Bab 1, yakni memahami pengertian dari Muharrib dan Muzayyif.
Pengertian Muharrib adalah
orang-orang yang menghancurkan prinsip-prinsip baku ajaran Islam kemudian
menggantinya dengan yang lain. Sedangkan pengertian Muzayyif adalah orang-orang
yang suka menyimpangkan pengertian yang benar dengan jalan takwil atau logika
sehingga mengubah makna sebenarnya.
Penulis memberikan bahasan ini dengan menuliskan “Munculnya
Ulama Muharrib dan Cendekiawan Muzayyif”.
Sampai di sini, semoga kita mulai dapat menempatkan alur pemahaman kita membaca kerut wajah Indonesia.
Penulis buku ini –Irfan S. Awwas– adalah salah satu eks
Narapidana Politik (Napol) era Orde Baru. Di mana gagasan awal menulis buku ini
berawal dari seba’da membaca buku berjudul “Di Bawah Pohon Cahaya” karya Syaikh
Badi’uz Zaman Sa’id Nursi; seorang ulama mujahid yang pernah dipenjara 8 tahun
oleh Musthafa Kemal Ataturk. Kandungan buku ini adalah cuplikan dari Risalah
An-Nur karya Syaikh Nursi dengan tebal 6000 halaman.
Judul: 10 Musuh Cita-cita Menuju Indonesia Baru Berlandaskan
Islam
Penulis: Irfan S. Awwas
Cetakan: II, Maret 1999
Tebal: xvi+163 hal.
Dimensi: 14,5x20,5 cm
Penerbit: Wihdah Press,
Yogyakarta
Resentator: Harmasto Hendro
Kusworo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar