Jumat, 23 November 2018

Resensi: 10 Musuh Cita-cita


Akhir era ‘90-an, saya dihadiahi sebuah buku berjudul “10 Musuh Cita-cita” oleh seorang teman. Sampai tahun 2017, saya tak pernah sekali pun membuka buku tersebut yang saya simpan dalam rak buku di Solo. Saat Idul Fitri 2017, salah satu niat saya adalah mengambil buku tersebut di Solo. Ternyata tak ada lagi di tempatnya. Hingga beberapa pekan lalu, sengaja berburu lagi di lapak daring. Alhamdulillah masih berjodoh.

Well, dari judulnya, sudah dapat ditebak akan secadas apa kandungannya –ini pula yang menyebabkan saya tak membuka buku ini sedari awal dihadiahi (1999). Baru pada bulan November 2018 ini ‘sempat’ dibaca.

Buku ini terbagi menjadi 3 (tiga) pokok bahasan, di mana tiap pokok bahasan memiliki breakdown masing-masing.

Pokok bahasan pertama: Prolog; mendudukkan masalah sesuai dengan pengertian yang sebenarnya, seperti “Islam yang mana dan versi siapa?”

Pokok bahasan kedua: Iman dan Cita-cita Menumbuhkan Optimisme; yakni menyatukan pikiran, menyamakan persepsi, dan menyeragamkan tujuan dengan membahas fenomena dan konsekuensi keimanan:
» Gaya hidup manusia mu’min;
» Realisasi keimanan;
» Ujian keimanan.

Pokok bahasan ketiga: Sepuluh Musuh Cita-cita dan Benteng Untuk Mempertahankannya; adalah pokok dari judul buku ini.
1. Kekuatan Tirani;
2. Hilangnya Harapan dan Putus Asa;
3. Munculnya Keruwetan Hidup dan Kesulitan Ekonomi;
4. Dorongan Sikap Individualisme dan Egoisme;
5. Tunduk pada Rutinitas dan Menyerah pada Kenyataan;
6. Melempar Tanggung Jawab Perjuangan;
7. Konspirasi Musuh Kafir dan Munafik;
8. Santai dan Nyaman dalam Kehidupan Mapan;
9. Terlampau Lama Beristirahat;
10. Merasa Aman dari Rintangan.

Ternyata, kandungan buku ini tak seseram yang saya bayangkan dari awal (menyerang prinsip-prinsip dan aparatur negara). Poin-poin dalam buku ini lebih banyak menggugah kesadaran pribadi akan tanggung jawab sosialnya. Hingga saya pun menyepakati apa yang disampaikan salah seorang kyai pesantren di Madura, “Selama ini saya tidak bisa mengerti mengapa umat Islam tidak bisa bersatu. Setelah membaca buku ini, barulah saya paham jawabannya.” (hal. xiii)
Ada beberapa pengertian yang harus dipahami dari awal sebelum masuk pada Bab 1, yakni memahami pengertian dari Muharrib dan Muzayyif.

Pengertian Muharrib adalah orang-orang yang menghancurkan prinsip-prinsip baku ajaran Islam kemudian menggantinya dengan yang lain. Sedangkan pengertian Muzayyif adalah orang-orang yang suka menyimpangkan pengertian yang benar dengan jalan takwil atau logika sehingga mengubah makna sebenarnya.

Penulis memberikan bahasan ini dengan menuliskan “Munculnya Ulama Muharrib dan Cendekiawan Muzayyif”.

Sampai di sini, semoga kita mulai dapat menempatkan alur pemahaman kita membaca kerut wajah Indonesia.

Penulis buku ini –Irfan S. Awwas– adalah salah satu eks Narapidana Politik (Napol) era Orde Baru. Di mana gagasan awal menulis buku ini berawal dari seba’da membaca buku berjudul “Di Bawah Pohon Cahaya” karya Syaikh Badi’uz Zaman Sa’id Nursi; seorang ulama mujahid yang pernah dipenjara 8 tahun oleh Musthafa Kemal Ataturk. Kandungan buku ini adalah cuplikan dari Risalah An-Nur karya Syaikh Nursi dengan tebal 6000 halaman.

Judul: 10 Musuh Cita-cita Menuju Indonesia Baru Berlandaskan Islam
Penulis: Irfan S. Awwas
Cetakan: II, Maret 1999
Tebal: xvi+163 hal.
Dimensi: 14,5x20,5 cm
Penerbit: Wihdah Press, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar