Selasa, 22 April 2025

Keesaan Tuhan dalam Agama Kristen

Riset sejarah telah menunjukkan bahwa animisme dan pemujaan berhala yang dilakukan oleh manusia primitif, me-rupakan kemunduran dari keyakinan kepada keesaan Tuhan. Percaya kepada Allah yang Maha Esa dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam adalah lawan bagi polytheisme, dan bukan sebagai evolusi dari polytheisme. Justru ajaran murni mono-theisme tumbuh pada masa permulaan manusia. Kemudian karena pengaruh dari tradisi tertentu, terjadilah penyimpangan yang mengakibatkan manusia terperosok dalam ajaran poly-theisme. Atas dasar pandangan itulah sejarah agama Kristen harus ditinjau. Ia berawal dari keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa secara murni, kemudian terjadi penyimpangan, lalu doktrin Trinitas diterima sebagai keyakinan resmi yang disahkan pada Konsili Nicea tahun 325 Masehi. Akibatnya, terjadilah kesimpangsiuran pemikiran tentang doktrin itu, yang pada akhirnya membuat orang semakin jauh dari pikiran sehat.

 

Pada abad pertama sepeninggal Yesus, para murid Yesus masih tetap mempertahankan ajaran Tauhid secara murni. Hal ini dapat dibuktikan dalam naskah The Shepherd (Gembala) karya Hermas, yang ditulis sekitar tahun 90 Masehi. Menurut gereja, naskah itu termasuk kitab kanonik (yang dianggap suci). Di antara isi dari naskah Shepherd itu berbunyi:

Pertama, percayalah bahwa Allah itu Esa. Dialah yang menciptakan dan mengatur segalanya. Dia menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Dia meliputi segala sesuatu, tetapi Dia tidak diliputi oleh apa pun…”

 

Menurut Theodore Zahn ―sebagaimana yang dikutip oleh E.J. Goodspeed di dalam The Apostolic Fathers― menjelaskan bahwa sampai sekitar tahun 250 M, kalimat keimanan itu masih berbunyi:

Saya percaya kepada Allah yang Maha Kuasa.”


Antara tahun 180 M sampai dengan tahun 210 M, ada yang menambah kata “Bapa” di depan kata “Yang Maha Kuasa”. Tindakan ini dikecam keras oleh beberapa tokoh gereja. Uskup Victor dan Zephysius mengutuk penambahan kata tersebut. Mereka memandangnya sebagai perbuatan keji yang mencemari kemurnian kitab suci, dan menentang pendapat yang mengata-kan bahwa Yesus itu adalah oknum Tuhan. Dan mereka menekankan bahwa Keesaan Tuhan sebagaimana yang diajar-kan oleh Yesus. Serta menegaskan bahwa Yesus itu adalah seorang nabi Allah yang mendapatkan derajat tinggi di sisi Allah, sebagaimana para nabi lainnya. Keyakinan serupa juga dipegang teguh oleh penganut gereja-gereja yang tumbuh di Afrika Utara dan Asia Barat.

 

Ketika ajaran Yesus yang murni tersebar luas, ia ber-benturan dengan berbagai kebudayaan dan harus menghadapi konflik dengan kaisar Romawi yang mempertahankan pemujaan kepada dewa-dewa dan mengaku sebagai anak dewa. Agama ini juga berasimilasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai kebudayaan masyarakat tempat ia berkembang, juga mengalami perubahan mendasar untuk menghindarkan diri dari penindas-an para penguasa. Terutama di negara Yunani, ia mengalami metamorfosa akibat dari dua faktor. Pertama, karena agama ini diajarkan dan diungkapkan dalam bahasa baru. Kedua, karena ajarannya disesuaikan dengan filsafat dan kebudayaan Yunani. Kepercayaan polytheisme yang mewarnai kehidupan masyarakat Yunani memberikan sumbangan besar bagi perumusan doktrin Trinitas, dengan mengangkat kedudukan Yesus dari seorang nabi menjadi Tuhan. Paulus (Saulus) dari Tarsus memiliki andil yang paling besar dalam perumusan doktrin Trinitas ini.

 

Pada tahun 325 M, doktrin Trinitas diresmikan sebagai keyakinan agama Kristen. Bahkan sebagian besar tokoh gereja yang terpaksa menandatangani kredo (syahadah) itu tidak mempercayainya. Karena kredo itu sama sekali tidak berdasar-kan pada kitab suci Kristen.

 

Athanasius (293-373 M) yang dipandang sebagai bapak kredo yang diresmikan pada Konsili Nicea itu tidak memper-cayainya. Bahkan sebaliknya, dia mengatakan bahwa:

Setiap berusaha memaksakan diri untuk memahami dan merenungkan konsep ketuhanan Yesus, ia merasa keberatan dan sia-sia. Hingga semakin banyak dia menulis untuk mengungkap-kan konsep itu, ternyata ia tak mampu memahami jalan pikiran-nya sendiri. Akhirnya, dia mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu bukanlah tiga oknum, melainkan hanya satu. Kepercayaan kepada doktrin Trinitas itu sebenarnya bukanlah suatu keyakin-an, melainkan hanya disebabkan oleh kepentingan politik dan penyesuaian keadaan di waktu itu.”

 

Keputusan Konsili Nicea yang sangat bersejarah itu lebih banyak berdasarkan kepentingan politik serta pengaruh filsafat Yunani yang berkembang di saat itu. Terutama pengaruh ajaran filsafat Trinitas dari Neo-platonisme yang dikembangkan oleh Plotinus (205-270 M) di Alexandria (Iskandaria) dan Athana-sius sendiri yang menjabat uskup di Alexandria.

 

Sebagai bukti bahwa keputusan itu bertendensi pada kepentingan politik adalah dalam catatan sejarah. Para pemeluk agama Kristen dan pemeluk agama Yahudi selalu dikejar-kejar dan disiksa selama pemerintahan kaisar Diolektianus (284-305 M). kemudian kaisar Constantine yang pada asalnya beragama paganisme (menyembah banyak dewa) menyatakan keinginan-nya untuk memeluk agama Kristen, dan langsung memegang kendali Konsili Nicea tahun 325 yang dihadiri oleh seluruh uskup yang berada di wilayah kekuasaan imperium Romawi.


Munculnya beberapa sekte dalam agama Kristen pada waktu itu menimbulkan tantangan dan kekhawatiran yang dapat mengacaukan serta melemahkan kekuasaan Romawi. Sebaliknya, dukungan mereka akan memperkuat kekuasaan-nya. Dengan membuat Kristen model baru, dia berharap dapat diterima oleh semua golongan yang berada di wilayah kekua-sannya, dan dapat menghentikan kekacauan yang melanda agama Kristen itu sendiri. Dengan demikian, dapat diperoleh kekuatan yang utuh untuk meningkatkan kekuasaan imperium-nya.

 

Peristiwa ini dapat digambarkan dengan peristiwa yang terjadi ketika Perang Dunia kedua meletus. Ketika hari raya Idul Fitri semakin dekat, Tokyo (Jepang) menyiarkan terus menerus bahwa pelaksanaan Idul Fitri akan dipusatkan di Singapura (yang berada di dalam kekuasaannya). Akibat dari siaran itu, amat dirasakan oleh ummat Islam seluruh dunia. Tetapi siaran itu tiba-tiba berhenti dan menjadi misteri dalam waktu yang cukup lama. Teka-teki itu baru terungkap setelah seorang tawanan Jepang diinterogasi. Tawanan itu menyatakan bahwa Perdana Menteri Tojo ingin menjadi pembaru terbesar di zaman modern.

 

Ia menghendaki penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman baru, dengan mengubah arah kiblat ummat Islam (yang asalnya menghadap ke Ka’bah di Makkah diganti dengan kiblat di Tokyo di bawah kekuasaan Tojo). Karena ummat Islam meno-lak niat busuk itu, harapan Tojo terhenti. Akibatnya, perayaan Idul Fitri di Singapura dilarang oleh pemerintah Jepang. Perdana Menteri Tojo mengetahui potensi ummat Islam yang sangat besar yang mungkin bisa diperalat untuk mengem-bangkan sayap kekuasaannya, tetapi ia tidak berhasil. Sebalik-nya, kaisar Constantine berhasil menyulap kota Roma menjadi Jerusalem kedua sebagai pusat Gereja Paulus (Pauline Christianity).

 

Perubahan mendasar yang dialami oleh agama Yesus itu ―yang mengakibatkan doktrin Trinitas masuk dalam agama Kristen― mendapatkan tantangan keras dari pengikutnya. Di dalam Konsili Nicea tahun 325 M ―di saat doktrin Trinitas diusulkan untuk menjadi keyakinan resmi di dalam agama Kristen, Arius (wafat 337 M) ―salah seorang tokoh gereja di Afrika Utara dan kemudian menjadi uskup di Constantinople― menentang habis-habisan doktrin Trinitas itu. Dia memper-ingatkan bahwa Yesus hanya mengajarkan keesaan Tuhan.

 

Dengan kekuatan militer dan kekerasan, Constantine berusaha menumpas sekte-sekte gereja yang mempertahankan ajaran Tauhid (Divine Unity). Tetapi sejarah telah mencatat bahwa makar kaisar itu kandas. Bahkan sebaliknya, Constan-tine berbalik menjadi Unitarian (orang yang bertauhid) dan meresmikan ajaran tauhid menjadi keyakinan resmi agama Kristen. Akibatnya, Athanasius (293-373 M) ―seorang uskup Alexandria yang berperan dalam perumusan doktrin Trinitas― melarikan diri dan bersembunyi selama Constantine berkuasa. Kaisar ini membebaskan Arius dari penjara bawah tanah di pulau kecil selat Bolpurus dan mengembalikan kedudukannya sebagai uskup di Constantinople. Kaisar Constantine wafat dengan membawa keyakinan Tauhid pada tahun 336 M.

 

Pada masa pemerintahan kaisar Thedosius (379-392 M), doktrin Trinitas diresmikan kembali menjadi keyakinan bagi agama Kristen, menggantikan konsep Tauhid.

 

Doktrin itu menimbulkan kebingungan yang sangat besar di kalangan tokoh-tokoh gereja. Sehingga ummat Kristen meneri-ma begitu saja tanpa berusaha untuk memahaminya. Tetapi bagaimanapun juga, doktrin itu tidak bisa menghentikan akal manusia untuk memikirkan dan membuktikan kesalahan doktrin aneh itu. Sehingga muncul tiga aliran pemikiran. Pertama, aliran St. Augustinus (354-430 M) berpendapat bahwa doktrin Trinitas itu tidak dapat dibuktikan tetapi bisa diberi perumpamaan. Kedua, aliran St. Victor III (wafat 1087 M) ber-pendapat bahwa doktrin Trinitas itu bisa dibuktikan dan juga bisa ditamsilkan. Tetapi sejak abad ke-14, lahir aliran ketiga yang berpendirian bahwa doktrin itu tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa ditamsilkan. Tetapi harus diterima dan diyakini begitu saja.

 

Walaupun buku-buku yang berisi ajaran-ajaran Yesus sudah dimusnahkan atau diubah untuk menghindari perten-tangan tajam dengan doktrin Konsili Nicea, tetapi sebagian besar ajarannya masih dapat dijumpai sampai kini, dan meru-pakan tantangan besar bagi doktrin Trinitas. Oleh karena itu, setiap orang harus berhadapan dengan apa yang diucapkan oleh kitab suci Kristen dan apa yang diucapkan oleh para pendeta dan pastur gereja.

 

Mereka menegaskan bahwa doktrin Trinitas itu berdasar-kan kepada wahyu khusus yang diturunkan kepada gereja yang disebut “Bride of Jesus” (Pengantin Yesus). Sebagai contoh, Theodore Zahn dalam Articles of the Apostolic Creed halaman 33-37, Fla Fulgentio ditegur oleh Paus melalui surat yang berbunyi:

Mengajarkan kitab suci itu perkara yang mencurigakan. Orang yang terlalu berpegang pada kitab suci itu akan menjatuhkan keyakinan yang umum.”

 

Lebih jauh lagi di dalam surat berikutnya, pihak Paus lebih berterus-terang memperingatkan bahaya orang yang memegangi kitab yang terpandang suci itu dengan mengatakan:

“…itulah yang disebut kitab suci. Bila orang berpegang teguh kepadanya, niscaya akan menghancurkan gereja Katholik.”

 

Cara yang paling efektif untuk menyingkirkan ajaran Yesus adalah dengan mengaburkan sebagian besar fakta sejarahnya secara sempurna. Gereja tidak hanya melepaskan agamanya dari kitab sucinya, tetapi juga melepaskan kehidupan Yesus yang sebenarnya sepanjang sejarah. Dengan demikian, mereka membuat manusia Yesus disamarkan menjadi Kristus sepan-jang mitologi.

 

Bagaimanapun juga, beriman kepada Yesus bukan berarti harus beriman kepada Kristus yang dibangkitkan. Tetapi Gereja Paulus (Pauline Christianity) mendasarkan keimanannya kepada Kristus yang di salib, mati, kemudian hidup dan bangkit kembali, lalu duduk bersemayam di sebelah kanan Tuhan Allah. Tetapi ajaran Yesus sewaktu masih hidup itu tidak lagi menempati kedudukan yang demikian penting.

 

Ketika gereja yang sudah mantap itu makin lama semakin menjauh dari ajaran Yesus, maka para pemukanya makin ter-libat dari ketergantungan kepada pihak-pihak yang memegang tampuk kekuasaan di dalam negeri. Lantas perbedaan antara apa yang diajarkan Yesus dengan apa yang diinginkan pihak penguasa makin kabur dan saling mencemari. Pihak gereja sendiri ―yang menegaskan pemisahannya dari negara― ternyata makin terlibat dan bersatu dengan negara, semakin lama tambah berkuasa. Di awal berdirinya, gereja menjadi subyek bagi kekuasaan imperium. Tapi setelah berkompromi sepenuhnya, kemudian berbalik menjadi oposisi.

 

Dalam sejarah dunia Kristen yang panjang itu, tetap saja ada tantangan terhadap penyimpangan dari ajaran Yesus. Ketika pihak gereja semakin berkuasa, dan tantangan terhadap doktrin Trinitas itu merajalela, pihak gereja menangkap, menyiksa, dan menjatuhkan hukuman mati kepada para penen-tang doktrin Trinitas. Walaupun Martin Luther (1483-1546 M) melakukan tantangan terhadap gereja Roma Katholik, tetapi pemberontakannya itu hanya tertuju kepada wewenang Paus di Vatikan. Bukan tertuju terhadap doktrin-doktrin yang paling fundamental di dalam gereja Roma Katholik. Akibatnya, dia membangun gereja baru dan dia sendiri yang menjadi pemuka-nya. Sedangkan doktrin-doktrin yang paling asasi, masih tetap diterima dan tetap menjadi dasar keimanan. Tindakan Martin Luther ini melahirkan gereja-gereja reformasi (Protestan) beserta sekte-sektenya. Tetapi pokok-pokok keimanan sebelum reformasi masih tetap dipegangi. Kedua lembaga gereja (Katholik dan Protestan) yang berdasarkan ajaran Paulus (Pauline Church) itu terus hidup sampai kini.

 

Tetapi di wilayah Afrika Utara dan Asia Barat, walaupun penguasa Roma setelah Konsili Nicea melakukan tindakan-tindakan represif, namun ajaran uskup Arius masih dipertahan-kan. Dan sejarah telah mencatat bahwa sejak pertengahan abad ke-7 Masehi, mereka itulah yang ramai-ramai memeluk ajaran agama Islam di luar wilayah Arabia. Hal itu disebabkan mereka berpegang kepada ajaran Tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus. Sehingga mereka mengakui agama Islam sebagai satu-satunya agama yang membawa kebenaran. Sebelumnya, mereka itu dikenal sebagai Kristen aliran Nestoria yang mengikuti uskup Nestorius (wafat 451 M) sebagai penerus ajaran Arius (wafat 337 M). Nestorius dijatuhi kutukan oleh Konsili Ephesus tahun 431 M dan meninggal dengan penuh sengsara di pembuangannya, Mesir.

 

Di Eropa sendiri, mata rantai ajaran Tauhid (Unitary Faith) di lingkungan dunia Kristen tidaklah pernah putus. Bahkan dari waktu ke waktu menunjukkan kekuatan, walaupun mengalami siksaan kejam dari gereja. Bahkan di awal abad ke-20 sampai kini, semakin bertambah kuat dan tersebar di Eropa maupun di Amerika.

 

Lama kelamaan orang bertambah sadar bahwa agama Kristen yang mereka kenali selama ini sedikit sekali sangkut-pautnya dengan ajaran Yesus yang asli. Dalam dua abad terakhir ini, yakni abad ke-19 dan abad ke-20, riset yang dilakukan ahli-ahli sejarah semakin memojokkan dasar-dasar keyakinan Kristen. Mereka menyebut doktrin Kristen dengan istilah “Divine Mysteries”, yakni “misteri ketuhanan” yang harus diimani dan dipercayai begitu saja. Banyak fakta yang dapat membuktikan bahwa Kristus dalam ajaran gereja hampir tidak ada sangkut-pautnya dengan Yesus sepanang sejarah. Oleh karena itu, gereja tidak akan dapat membawa manusia ke arah kebenaran. Dilema yang dihadapi dunia Kristen dewasa ini dilukiskan oleh ahli-ahli sejarah gereja di dalam karya-karyanya di abad ini. Adolf Harnack di dalam karyanya yang berjudul “Outline of the History of Dogma” menunjukkan kesulitan fundamental dalam menghubungkan kehidupan Yesus dengan agama Kristen dengan kalimat sebagai berikut:

By the fourth century the living Gospel had been masked in Greek philosophy. It was the historians’ mission on pluck off the mask and thus reveal how different had been the original contours of the faith beneath.”

Pada abad ke-4 M, Injil itu sudah ditopengi dengan filsafat Yunani. Adalah tugas bagi ahli sejarah untuk menyingkirkan topeng itu agar tampak jelas betapa jauh perbedaan ajaran asli tentang keimanan yang tertutup oleh topeng itu.”

 

Selanjutnya, Adolf Harnack menulis:

The mask acquire a life of its own ―the Trinity, the two natures of Christ, infallibility, and all propositions seconding these dogmas, were the product of historic decisions and of situations that might have turned out quite differently… nevertheless… early or late, product or reshaping force, this dogma remains what it has been from the beginning, a bad habit of intellectualization with the Christian picked up from the Greek when he fled from the Jews”.

Topeng itu telah memperoleh kehidupannya sendiri, yakni Trinitas, dua watak Kristus, tak pernah salah, dan seluruh pernyataan yang menyertai dogma-dogma ini, yang seluruhnya adalah hasil dari keputusan-keputusan bersejarah, beserta produk dari situasi yang muncul secara amat berbeda sekali… walaupun begitu… pada awal atau pun di kemudian hari, dogma ini tetap menurut keadaannya semula. Hal ini disebabkan oleh kekuatan yang membentuknya dari kebiasaan jelek intelektual seorang Kristen (Paulus!) yang tercemari filsafat Yunani, ketika dia melarikan diri dari lingkungan Yahudi”.

 

Adolf Harnack di dalam buku lainnya berjudul What is Christianity pada halaman 20 menegaskan lagi sebagai berikut:

… the fourth Gospel does not emanate or profess to emanate from the apostle John, who can not be taken as an historical authority… the author of the fourth Gospel acted with sovereign freedom, transposed events and put them in a strange light. He drew up the discussions himself and illustrated great thought with imaginary situations…

… Injil keempat (Injil Yohanes) bukanlah berasal atau menyatakan berasal dari Rasul Yohanes (Yahya), dan tak bisa dianggap sebagai yang berwenang dalam sejarah… pengarang Injil Yohanes itu dengan seenaknya telah mengganti cerita dan menempatkannya dalam alur yang aneh. Dia sendiri mengem-bangkan pembahasannya dan melukiskan pemikiran-pemikiran besar dengan berbagai situasi khayal…

 

Adolf Harnack menunjukkan “kelainan” pada Injil Yohanes itu, dibanding dengan tiga Injil lainnya. Pembahasannya menunjukkan pemikiran filosofis yang demikian tinggi, yakni pemikiran filsafat Yunani. Justru Injil Yohanes tidak mungkin berasal dari murid Yesus yang bernama Yahya (Yohanes), seorang murid termuda di antara Duabelas Murid Yesus. Kalimat awal pada Injil Yohanes itulah menunjukkan doktrin Trinitas.

 

Adolf Harnack menunjukkan karya ahli sejarah Kristen terkenal, David Strauss, yang mengatakan:

almost destroyed the historic credibility not only the fourth but also of the first three Gospels as well.”

hampir saja menghancurkan kredibilitas sejarah, bukan hanya terhadap Injil Yohanes saja, tetapi juga terhadap ketiga Injil lainnya”.

 

Johannes Lehman di dalam tulisannya “The Jesus Re-port”, yang dimuat pada Krewz Verlag, Stuttgart, edisi 1960 halaman 112, menemukan kenyataan bahwa para penulis dari keempat Injil itu melukiskan Yesus yang sangat berbeda dari Yesus yang dapat dikenali sepanjang kenyataan sejarah. Lehman mengutip keterangan Heinz Zahrnt yang menunjukkan beberapa akibat dari hal tersebut sebagai berikut:

If historical research could prove that and irreconcilable antithesis exists between the historical Jesus and Christ as preached, and therefore that belief in Jesus has no support in Jesus himself, that would not only be absolutely fatal theologi-cally, as N.A. Dahl says, but would also mean the end of all Christology. Yet I am convinced that even then we theologians would be able to find a way out ―was there ever a time when we couldn’t? ―but we are either lying now or would be lying then…”

Jika riset sejarah mampu membuktikan bahwa pertentangan antara Yesus dalam sejarah dengan Kristus yang diajarkan dapat didamaikan, hingga kepercayaan kepada Yesus itu sudah tidak berdasarkan bantuan Yesus sendiri, maka hal tersebut secara mutlak bukan hanya kefatalan teologi, seperti dinyatakan N.A. Dahl, tetapi juga bermakna akhir bagi seluruh Kristologi. Namun saya yakin bahwa seandainya ahli-ahli teologi mampu mencarikan jalan keluar ―adakah waktu di saat kita tidak mampu berbuat apa-apa? ―tapi kita tak mau menghadapi salah satu sikap, berbohong sekarang atau nanti…”

 

Petikan singkat tersebut menunjukkan dilema yang dihadapi oleh dunia Kristen sekarang ini. Bahkan tulisan Heinz Zahrnt menunjukkan lebih serius lagi, yang menggarisbawahi tentang kemungkinan meneliti kembali dan membandingkan ajaran Yesus dengan ajaran gereja beserta sekte-sektenya, dan sejauhmana ajaran asli Yesus telah digelapkan dan dilupakan.

 

Theodore Zahn di dalam “Apostolic Creed” telah melukiskan pertentangan pahit di kalangan gereja sendiri. Dia menunjukkan bagaimana gereja Katholik Romawi menuduh gereja Ortodok Yunani melakukan berbagai perubahan teks kitab suci dengan cara menambah dan mengurangi, dengan maksud baik atau pun jelek. Sebaliknya, gereja Ortodok Yunani menuduh gereja Katholik Romawi semakin menyimpang dari teks asli kitab suci. Walaupun terdapat perbedaan pendapat yang sangat tajam antara kedua lembaga gereja itu, tetapi keduanya bergabung dalam menuduh pihak-pihak non-conformis di lingkungan Kristen sebagai kelompok yang tersesat dari jalan kebenaran, serta mengutuk mereka sebagai kaum bidat (bid’ah). Sebaliknya, pihak non-conformis menuduh gereja Katholik telah memalsu kebenaran, seperti seorang pemalsu mata uang. Akhirnya Theodore Zahn mengambil kesimpulan yang berbunyi:

Do not facts support these accusations?

Bukankah fakta-fakta itu mendukung tuduhan-tuduhan tersebut?

 

Yesus sendiri sudah dilupakan sepenuhnya. Mereka yang menyadari penyimpangan dan ingin kembali kepada kejujuran, serta ingin mengikuti ajaran asli dari Yesus, akan terbendung oleh tembok tebal lenyapnya ajaran asli itu.

 

Erasmus (1466-1536 M) di dalam Erasmi Epistolai jilid V halaman 173-192 mengatakan sebagai berikut:

Ketika keimanan itu menjadi bahan tulisan, bukan lagi bahan nurani, maka model keimanan itu sebanyak orang yang menulisnya. Rumusan-rumusan meningkat dan kejujuran me-nurun. Pertentangan semakin meruncing dan cinta kasih semakin dingin. Pada mulanya ajaran Kristus tidak mengenal pertentang-an itu. Dan kini masing-masing pihak saling bersandar pada filsafat. Itulah permulaan kemunduran gereja.”

 

Ternyata pihak gereja terpaksa menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata, yakni menjelaskannya dengan kekerasan. Masing-masing pihak berusaha merangkul kaisar Romawi untuk memukul pihak lawannya. Erasmus menjelas-kannya sebagai berikut:

Tindakan kaisar dalam peristiwa ini sama sekali bukan membantu kepada kejujuran keimanan. Pada saat keimanan itu hanya di mulut, bukan di hati, pada saat pengetahuan yang pasti tentang kitab suci itu telah samar dan gagal, apalagi disertai dengan tindakan-tindakan kejam, maka kita telah menuntun orang untuk mempercayai apa yang tidak dipercayainya, mencintai apa yang tidak dicintainya, mengetahui apa yang tidak diketahuinya. Setiap yang dipaksakan itu tidak mencerminkan kejujuran.”

 

Erasmus mengetahui bahwa orang Kristen periode pertama, yakni para murid Yesus, hanya mengenal ajaran tauhid. Tetapi ketika agama itu meluas, ia berbenturan dengan berbagai aliran pikiran dan filsafat, yang mengakibatkan terjadinya variasi pemahaman. Lambat laun ajaran Yesus pudar dan makna “Keesaan Tuhan” berubah dan bervariasi. Untuk memahami masalah keesaan, mereka berangkat dari bahasa filsafat Yunani, sehingga tidak bisa menunjukkan pengertian keesaan yang sebenarnya. Bahkan berubah menjadi “esa dari tiga perwujudan” (Tripartite view of existence). Ajaran sederhana dan murni dari Yesus dikembangkan oleh bahasa yang asing bagi Yesus dan menuju kepada perumusan doktrin Trinitas, dengan memberikan sifat ketuhanan kepada Yesus dan Roh Kudus. Kekacauan dan perpecahan tidak dapat dihindarkan, yang kemudian mengakibatkan pengaburan dan perubahan makna tentang keesaan Tuhan.

 

Memahami kasus ini secara menyeluruh adalah hal yang sangat esensial bagi siapa saja yang ingin mengetahui siapa Yesus itu dan apa yang diajarkan. Pada saat orang sudah tidak melihat kehidupan sehari-hari seorang nabi, sebagai penjelma-an ajarannya, berarti mereka sudah kehilangan pegangan, baik yang percaya kepada doktrin Trinitas maupun yang berpegang pada Tauhid.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar