Riset sejarah
telah menunjukkan bahwa animisme dan pemujaan berhala yang dilakukan oleh
manusia primitif, me-rupakan kemunduran dari keyakinan kepada keesaan Tuhan.
Percaya kepada Allah yang Maha Esa dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam adalah
lawan bagi polytheisme, dan bukan sebagai evolusi dari polytheisme. Justru
ajaran murni mono-theisme tumbuh pada masa permulaan manusia. Kemudian karena
pengaruh dari tradisi tertentu, terjadilah penyimpangan yang mengakibatkan
manusia terperosok dalam ajaran poly-theisme. Atas dasar pandangan itulah
sejarah agama Kristen harus ditinjau. Ia berawal dari keimanan kepada Tuhan
yang Maha Esa secara murni, kemudian terjadi penyimpangan, lalu doktrin Trinitas diterima sebagai keyakinan
resmi yang disahkan pada Konsili Nicea
tahun 325 Masehi. Akibatnya, terjadilah kesimpangsiuran pemikiran tentang
doktrin itu, yang pada akhirnya membuat orang semakin jauh dari pikiran sehat.
Pada abad
pertama sepeninggal Yesus, para murid Yesus masih tetap mempertahankan ajaran
Tauhid secara murni. Hal ini dapat dibuktikan dalam naskah The Shepherd (Gembala) karya Hermas,
yang ditulis sekitar tahun 90 Masehi. Menurut gereja, naskah itu termasuk kitab
kanonik (yang dianggap suci). Di
antara isi dari naskah Shepherd itu berbunyi:
“Pertama, percayalah bahwa Allah itu Esa.
Dialah yang menciptakan dan mengatur segalanya. Dia menciptakan sesuatu dari
tidak ada menjadi ada. Dia meliputi segala sesuatu, tetapi Dia tidak diliputi
oleh apa pun…”
Menurut Theodore Zahn ―sebagaimana yang dikutip
oleh E.J. Goodspeed di dalam The Apostolic Fathers― menjelaskan
bahwa sampai sekitar tahun 250 M, kalimat keimanan itu masih berbunyi:
“Saya percaya kepada Allah yang Maha Kuasa.”
Antara tahun 180
M sampai dengan tahun 210 M, ada yang menambah kata “Bapa” di depan kata “Yang
Maha Kuasa”. Tindakan ini dikecam keras oleh beberapa tokoh gereja. Uskup Victor dan Zephysius mengutuk penambahan kata tersebut. Mereka memandangnya
sebagai perbuatan keji yang mencemari kemurnian kitab suci, dan menentang
pendapat yang mengata-kan bahwa Yesus itu adalah oknum Tuhan. Dan mereka
menekankan bahwa Keesaan Tuhan sebagaimana yang diajar-kan oleh Yesus. Serta
menegaskan bahwa Yesus itu adalah seorang nabi Allah yang mendapatkan derajat
tinggi di sisi Allah, sebagaimana para nabi lainnya. Keyakinan serupa juga
dipegang teguh oleh penganut gereja-gereja yang tumbuh di Afrika Utara dan Asia
Barat.
Ketika ajaran
Yesus yang murni tersebar luas, ia ber-benturan dengan berbagai kebudayaan dan
harus menghadapi konflik dengan kaisar Romawi yang mempertahankan pemujaan
kepada dewa-dewa dan mengaku sebagai anak dewa. Agama ini juga berasimilasi dan
menyesuaikan diri dengan berbagai kebudayaan masyarakat tempat ia berkembang,
juga mengalami perubahan mendasar untuk menghindarkan diri dari penindas-an
para penguasa. Terutama di negara Yunani, ia mengalami metamorfosa akibat dari
dua faktor. Pertama, karena agama ini
diajarkan dan diungkapkan dalam bahasa
baru. Kedua, karena ajarannya
disesuaikan dengan filsafat dan kebudayaan Yunani. Kepercayaan polytheisme yang
mewarnai kehidupan masyarakat Yunani memberikan sumbangan besar bagi perumusan
doktrin Trinitas, dengan mengangkat kedudukan Yesus dari seorang nabi menjadi
Tuhan. Paulus (Saulus) dari Tarsus memiliki andil yang paling besar dalam
perumusan doktrin Trinitas ini.
Pada tahun 325
M, doktrin Trinitas diresmikan sebagai keyakinan agama Kristen. Bahkan sebagian
besar tokoh gereja yang terpaksa
menandatangani kredo (syahadah) itu
tidak mempercayainya. Karena kredo itu sama sekali tidak berdasar-kan pada
kitab suci Kristen.
Athanasius (293-373 M) yang dipandang sebagai
bapak kredo yang diresmikan pada Konsili Nicea itu tidak memper-cayainya.
Bahkan sebaliknya, dia mengatakan bahwa:
“Setiap berusaha memaksakan diri untuk
memahami dan merenungkan konsep ketuhanan Yesus, ia merasa keberatan dan
sia-sia. Hingga semakin banyak dia menulis untuk mengungkap-kan konsep itu,
ternyata ia tak mampu memahami jalan pikiran-nya sendiri. Akhirnya, dia
mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu bukanlah tiga oknum, melainkan hanya satu.
Kepercayaan kepada doktrin Trinitas itu sebenarnya bukanlah suatu keyakin-an,
melainkan hanya disebabkan oleh kepentingan politik dan penyesuaian keadaan di
waktu itu.”
Keputusan
Konsili Nicea yang sangat bersejarah itu lebih banyak berdasarkan kepentingan politik serta pengaruh filsafat Yunani yang berkembang
di saat itu. Terutama pengaruh ajaran filsafat Trinitas dari Neo-platonisme
yang dikembangkan oleh Plotinus
(205-270 M) di Alexandria (Iskandaria) dan Athana-sius sendiri yang menjabat
uskup di Alexandria.
Sebagai bukti bahwa
keputusan itu bertendensi pada kepentingan politik adalah dalam catatan
sejarah. Para pemeluk agama Kristen dan pemeluk agama Yahudi selalu
dikejar-kejar dan disiksa selama pemerintahan kaisar Diolektianus (284-305 M). kemudian kaisar Constantine yang pada asalnya beragama paganisme (menyembah banyak
dewa) menyatakan keinginan-nya untuk memeluk agama Kristen, dan langsung
memegang kendali Konsili Nicea tahun 325 yang dihadiri oleh seluruh uskup yang
berada di wilayah kekuasaan imperium Romawi.
Munculnya
beberapa sekte dalam agama Kristen pada waktu itu menimbulkan tantangan dan
kekhawatiran yang dapat mengacaukan serta melemahkan kekuasaan Romawi.
Sebaliknya, dukungan mereka akan memperkuat kekuasaan-nya. Dengan membuat
Kristen model baru, dia berharap dapat diterima oleh semua golongan yang berada
di wilayah kekua-sannya, dan dapat menghentikan kekacauan yang melanda agama
Kristen itu sendiri. Dengan demikian, dapat diperoleh kekuatan yang utuh untuk
meningkatkan kekuasaan imperium-nya.
Peristiwa ini
dapat digambarkan dengan peristiwa yang terjadi ketika Perang Dunia kedua
meletus. Ketika hari raya Idul Fitri semakin dekat, Tokyo (Jepang) menyiarkan
terus menerus bahwa pelaksanaan Idul Fitri akan dipusatkan di Singapura (yang
berada di dalam kekuasaannya). Akibat dari siaran itu, amat dirasakan oleh
ummat Islam seluruh dunia. Tetapi siaran itu tiba-tiba berhenti dan menjadi
misteri dalam waktu yang cukup lama. Teka-teki itu baru terungkap setelah
seorang tawanan Jepang diinterogasi. Tawanan itu menyatakan bahwa Perdana Menteri
Tojo ingin menjadi pembaru terbesar di
zaman modern.
Ia menghendaki
penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman baru, dengan mengubah arah
kiblat ummat Islam (yang asalnya menghadap ke Ka’bah di Makkah diganti dengan
kiblat di Tokyo di bawah kekuasaan Tojo). Karena ummat Islam meno-lak niat
busuk itu, harapan Tojo terhenti. Akibatnya, perayaan Idul Fitri di Singapura
dilarang oleh pemerintah Jepang. Perdana Menteri Tojo mengetahui potensi ummat
Islam yang sangat besar yang mungkin bisa diperalat untuk mengem-bangkan sayap
kekuasaannya, tetapi ia tidak berhasil. Sebalik-nya, kaisar Constantine
berhasil menyulap kota Roma menjadi
Jerusalem kedua sebagai pusat Gereja Paulus
(Pauline Christianity).
Perubahan
mendasar yang dialami oleh agama Yesus itu ―yang mengakibatkan doktrin Trinitas
masuk dalam agama Kristen― mendapatkan tantangan keras dari pengikutnya. Di
dalam Konsili Nicea tahun 325 M ―di saat doktrin Trinitas diusulkan untuk
menjadi keyakinan resmi di dalam agama Kristen, Arius (wafat 337 M) ―salah seorang tokoh gereja di Afrika Utara dan
kemudian menjadi uskup di Constantinople― menentang habis-habisan doktrin
Trinitas itu. Dia memper-ingatkan bahwa Yesus hanya mengajarkan keesaan Tuhan.
Dengan kekuatan
militer dan kekerasan, Constantine berusaha menumpas sekte-sekte gereja yang
mempertahankan ajaran Tauhid (Divine Unity). Tetapi sejarah telah mencatat
bahwa makar kaisar itu kandas. Bahkan sebaliknya, Constan-tine berbalik menjadi
Unitarian (orang yang bertauhid) dan meresmikan ajaran tauhid menjadi keyakinan
resmi agama Kristen. Akibatnya, Athanasius (293-373 M) ―seorang uskup Alexandria
yang berperan dalam perumusan doktrin Trinitas― melarikan diri dan bersembunyi
selama Constantine berkuasa. Kaisar ini membebaskan Arius dari penjara bawah
tanah di pulau kecil selat Bolpurus
dan mengembalikan kedudukannya sebagai uskup di Constantinople. Kaisar Constantine
wafat dengan membawa keyakinan Tauhid pada tahun 336 M.
Pada masa
pemerintahan kaisar Thedosius
(379-392 M), doktrin Trinitas diresmikan kembali menjadi keyakinan bagi agama
Kristen, menggantikan konsep Tauhid.
Doktrin itu
menimbulkan kebingungan yang sangat besar di kalangan tokoh-tokoh gereja.
Sehingga ummat Kristen meneri-ma begitu saja tanpa berusaha untuk memahaminya. Tetapi
bagaimanapun juga, doktrin itu tidak bisa menghentikan akal manusia untuk
memikirkan dan membuktikan kesalahan doktrin aneh itu. Sehingga muncul tiga
aliran pemikiran. Pertama, aliran St. Augustinus (354-430 M) berpendapat
bahwa doktrin Trinitas itu tidak dapat dibuktikan tetapi bisa diberi
perumpamaan. Kedua, aliran St. Victor III (wafat 1087 M) ber-pendapat
bahwa doktrin Trinitas itu bisa dibuktikan dan juga bisa ditamsilkan. Tetapi
sejak abad ke-14, lahir aliran ketiga
yang berpendirian bahwa doktrin itu tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa
ditamsilkan. Tetapi harus diterima dan diyakini begitu saja.
Walaupun
buku-buku yang berisi ajaran-ajaran Yesus sudah dimusnahkan atau diubah untuk
menghindari perten-tangan tajam dengan doktrin Konsili Nicea, tetapi sebagian
besar ajarannya masih dapat dijumpai sampai kini, dan meru-pakan tantangan besar
bagi doktrin Trinitas. Oleh karena itu, setiap orang harus berhadapan dengan
apa yang diucapkan oleh kitab suci Kristen dan apa yang diucapkan oleh para
pendeta dan pastur gereja.
Mereka
menegaskan bahwa doktrin Trinitas itu berdasar-kan kepada wahyu khusus yang
diturunkan kepada gereja yang disebut “Bride
of Jesus” (Pengantin Yesus). Sebagai contoh, Theodore Zahn dalam Articles of the Apostolic Creed halaman
33-37, Fla Fulgentio ditegur oleh
Paus melalui surat yang berbunyi:
“Mengajarkan kitab suci itu perkara yang
mencurigakan. Orang yang terlalu berpegang pada kitab suci itu akan menjatuhkan
keyakinan yang umum.”
Lebih jauh lagi
di dalam surat berikutnya, pihak Paus lebih berterus-terang memperingatkan
bahaya orang yang memegangi kitab yang terpandang suci itu dengan mengatakan:
“…itulah yang disebut kitab suci. Bila orang
berpegang teguh kepadanya, niscaya akan menghancurkan gereja Katholik.”
Cara yang paling
efektif untuk menyingkirkan ajaran Yesus adalah dengan mengaburkan sebagian
besar fakta sejarahnya secara sempurna. Gereja tidak hanya melepaskan agamanya
dari kitab sucinya, tetapi juga melepaskan kehidupan Yesus yang sebenarnya
sepanjang sejarah. Dengan demikian, mereka membuat manusia Yesus disamarkan
menjadi Kristus sepan-jang mitologi.
Bagaimanapun
juga, beriman kepada Yesus bukan berarti harus beriman kepada Kristus yang
dibangkitkan. Tetapi Gereja Paulus (Pauline Christianity) mendasarkan
keimanannya kepada Kristus yang di salib, mati, kemudian hidup dan bangkit
kembali, lalu duduk bersemayam di sebelah kanan Tuhan Allah. Tetapi ajaran
Yesus sewaktu masih hidup itu tidak lagi menempati kedudukan yang demikian
penting.
Ketika gereja
yang sudah mantap itu makin lama semakin menjauh dari ajaran Yesus, maka para
pemukanya makin ter-libat dari ketergantungan kepada pihak-pihak yang memegang
tampuk kekuasaan di dalam negeri. Lantas perbedaan antara apa yang diajarkan
Yesus dengan apa yang diinginkan pihak penguasa makin kabur dan saling
mencemari. Pihak gereja sendiri ―yang menegaskan pemisahannya dari negara―
ternyata makin terlibat dan bersatu dengan negara, semakin lama tambah
berkuasa. Di awal berdirinya, gereja menjadi subyek bagi kekuasaan imperium.
Tapi setelah berkompromi sepenuhnya, kemudian berbalik menjadi oposisi.
Dalam sejarah
dunia Kristen yang panjang itu, tetap saja ada tantangan terhadap penyimpangan
dari ajaran Yesus. Ketika pihak gereja semakin berkuasa, dan tantangan terhadap
doktrin Trinitas itu merajalela, pihak gereja menangkap, menyiksa, dan
menjatuhkan hukuman mati kepada para penen-tang doktrin Trinitas. Walaupun Martin Luther (1483-1546 M) melakukan
tantangan terhadap gereja Roma Katholik, tetapi pemberontakannya itu hanya
tertuju kepada wewenang Paus di Vatikan. Bukan tertuju terhadap doktrin-doktrin
yang paling fundamental di dalam gereja Roma Katholik. Akibatnya, dia membangun
gereja baru dan dia sendiri yang
menjadi pemuka-nya. Sedangkan doktrin-doktrin yang paling asasi, masih tetap
diterima dan tetap menjadi dasar keimanan. Tindakan Martin Luther ini
melahirkan gereja-gereja reformasi (Protestan) beserta sekte-sektenya.
Tetapi pokok-pokok keimanan sebelum reformasi masih tetap dipegangi. Kedua
lembaga gereja (Katholik dan Protestan) yang berdasarkan ajaran Paulus (Pauline
Church) itu terus hidup sampai kini.
Tetapi di wilayah
Afrika Utara dan Asia Barat, walaupun penguasa Roma setelah Konsili Nicea
melakukan tindakan-tindakan represif, namun ajaran uskup Arius masih
dipertahan-kan. Dan sejarah telah mencatat bahwa sejak pertengahan abad ke-7
Masehi, mereka itulah yang ramai-ramai memeluk ajaran agama Islam di luar
wilayah Arabia. Hal itu disebabkan mereka berpegang kepada ajaran Tauhid
sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus. Sehingga mereka mengakui agama Islam
sebagai satu-satunya agama yang membawa kebenaran. Sebelumnya, mereka itu
dikenal sebagai Kristen aliran Nestoria
yang mengikuti uskup Nestorius
(wafat 451 M) sebagai penerus ajaran Arius (wafat 337 M). Nestorius dijatuhi
kutukan oleh Konsili Ephesus tahun
431 M dan meninggal dengan penuh sengsara di pembuangannya, Mesir.
Di Eropa
sendiri, mata rantai ajaran Tauhid (Unitary Faith) di lingkungan dunia Kristen
tidaklah pernah putus. Bahkan dari waktu ke waktu menunjukkan kekuatan,
walaupun mengalami siksaan kejam dari gereja. Bahkan di awal abad ke-20 sampai
kini, semakin bertambah kuat dan tersebar di Eropa maupun di Amerika.
Lama kelamaan
orang bertambah sadar bahwa agama Kristen yang mereka kenali selama ini sedikit
sekali sangkut-pautnya dengan ajaran Yesus yang asli. Dalam dua abad terakhir
ini, yakni abad ke-19 dan abad ke-20, riset yang dilakukan ahli-ahli sejarah
semakin memojokkan dasar-dasar keyakinan Kristen. Mereka menyebut doktrin
Kristen dengan istilah “Divine Mysteries”,
yakni “misteri ketuhanan” yang harus
diimani dan dipercayai begitu saja. Banyak fakta yang dapat membuktikan bahwa
Kristus dalam ajaran gereja hampir tidak ada sangkut-pautnya dengan Yesus
sepanang sejarah. Oleh karena itu, gereja tidak akan dapat membawa manusia ke
arah kebenaran. Dilema yang dihadapi dunia Kristen dewasa ini dilukiskan oleh
ahli-ahli sejarah gereja di dalam karya-karyanya di abad ini. Adolf Harnack di dalam karyanya yang
berjudul “Outline of the History of Dogma”
menunjukkan kesulitan fundamental dalam menghubungkan kehidupan Yesus dengan
agama Kristen dengan kalimat sebagai berikut:
“By the fourth century the living Gospel had
been masked in Greek philosophy. It was the historians’ mission on pluck off
the mask and thus reveal how different had been the original contours of the
faith beneath.”
“Pada abad ke-4 M, Injil itu sudah ditopengi
dengan filsafat Yunani. Adalah tugas bagi ahli sejarah untuk menyingkirkan
topeng itu agar tampak jelas betapa jauh perbedaan ajaran asli tentang keimanan
yang tertutup oleh topeng itu.”
Selanjutnya,
Adolf Harnack menulis:
“The mask acquire a life of its own ―the
Trinity, the two natures of Christ, infallibility, and all propositions
seconding these dogmas, were the product of historic decisions and of
situations that might have turned out quite differently… nevertheless… early or
late, product or reshaping force, this dogma remains what it has been from the
beginning, a bad habit of intellectualization with the Christian picked up from
the Greek when he fled from the Jews”.
“Topeng itu telah memperoleh kehidupannya
sendiri, yakni Trinitas, dua watak Kristus, tak pernah salah, dan seluruh
pernyataan yang menyertai dogma-dogma ini, yang seluruhnya adalah hasil dari
keputusan-keputusan bersejarah, beserta produk dari situasi yang muncul secara
amat berbeda sekali… walaupun begitu… pada awal atau pun di kemudian hari,
dogma ini tetap menurut keadaannya semula. Hal ini disebabkan oleh kekuatan
yang membentuknya dari kebiasaan jelek intelektual seorang Kristen (Paulus!)
yang tercemari filsafat Yunani, ketika dia melarikan diri dari lingkungan
Yahudi”.
Adolf Harnack di
dalam buku lainnya berjudul What is
Christianity pada halaman 20 menegaskan lagi sebagai berikut:
“… the fourth Gospel does not emanate or
profess to emanate from the apostle John, who can not be taken as an historical
authority… the author of the fourth Gospel acted with sovereign freedom,
transposed events and put them in a strange light. He drew up the discussions
himself and illustrated great thought with imaginary situations…”
“… Injil keempat (Injil Yohanes) bukanlah
berasal atau menyatakan berasal dari Rasul Yohanes (Yahya), dan tak bisa
dianggap sebagai yang berwenang dalam sejarah… pengarang Injil Yohanes itu
dengan seenaknya telah mengganti cerita dan menempatkannya dalam alur yang
aneh. Dia sendiri mengem-bangkan pembahasannya dan melukiskan
pemikiran-pemikiran besar dengan berbagai situasi khayal…”
Adolf Harnack
menunjukkan “kelainan” pada Injil
Yohanes itu, dibanding dengan tiga Injil lainnya. Pembahasannya menunjukkan
pemikiran filosofis yang demikian tinggi, yakni pemikiran filsafat Yunani.
Justru Injil Yohanes tidak mungkin berasal dari murid Yesus yang bernama Yahya
(Yohanes), seorang murid termuda di antara Duabelas Murid Yesus. Kalimat awal
pada Injil Yohanes itulah menunjukkan doktrin Trinitas.
Adolf Harnack
menunjukkan karya ahli sejarah Kristen terkenal, David Strauss, yang mengatakan:
“almost destroyed the historic credibility
not only the fourth but also of the first three Gospels as well.”
“hampir saja menghancurkan kredibilitas
sejarah, bukan hanya terhadap Injil Yohanes saja, tetapi juga terhadap ketiga
Injil lainnya”.
Johannes Lehman di dalam tulisannya “The Jesus Re-port”, yang dimuat pada
Krewz Verlag, Stuttgart, edisi 1960 halaman 112, menemukan kenyataan bahwa para
penulis dari keempat Injil itu melukiskan Yesus yang sangat berbeda dari Yesus
yang dapat dikenali sepanjang kenyataan sejarah. Lehman mengutip keterangan Heinz Zahrnt yang menunjukkan beberapa
akibat dari hal tersebut sebagai berikut:
“If historical research could prove that and
irreconcilable antithesis exists between the historical Jesus and Christ as
preached, and therefore that belief in Jesus has no support in Jesus himself,
that would not only be absolutely fatal theologi-cally, as N.A. Dahl says, but
would also mean the end of all Christology. Yet I am convinced that even then
we theologians would be able to find a way out ―was there ever a time when we
couldn’t? ―but we are either lying now or would be lying then…”
“Jika riset sejarah mampu membuktikan bahwa
pertentangan antara Yesus dalam sejarah dengan Kristus yang diajarkan dapat
didamaikan, hingga kepercayaan kepada Yesus itu sudah tidak berdasarkan bantuan
Yesus sendiri, maka hal tersebut secara mutlak bukan hanya kefatalan teologi,
seperti dinyatakan N.A. Dahl, tetapi juga bermakna akhir bagi seluruh
Kristologi. Namun saya yakin bahwa seandainya ahli-ahli teologi mampu
mencarikan jalan keluar ―adakah waktu di saat kita tidak mampu berbuat apa-apa?
―tapi kita tak mau menghadapi salah satu sikap, berbohong sekarang atau nanti…”
Petikan singkat
tersebut menunjukkan dilema yang dihadapi oleh dunia Kristen sekarang ini.
Bahkan tulisan Heinz Zahrnt menunjukkan lebih serius lagi, yang menggarisbawahi
tentang kemungkinan meneliti kembali dan membandingkan ajaran Yesus dengan
ajaran gereja beserta sekte-sektenya, dan sejauhmana ajaran asli Yesus telah
digelapkan dan dilupakan.
Theodore Zahn di
dalam “Apostolic Creed” telah
melukiskan pertentangan pahit di kalangan gereja sendiri. Dia menunjukkan
bagaimana gereja Katholik Romawi menuduh gereja Ortodok Yunani melakukan
berbagai perubahan teks kitab suci dengan cara menambah dan mengurangi, dengan
maksud baik atau pun jelek. Sebaliknya, gereja Ortodok Yunani menuduh gereja
Katholik Romawi semakin menyimpang dari teks asli kitab suci. Walaupun terdapat
perbedaan pendapat yang sangat tajam antara kedua lembaga gereja itu, tetapi
keduanya bergabung dalam menuduh pihak-pihak non-conformis di lingkungan Kristen sebagai kelompok yang tersesat
dari jalan kebenaran, serta mengutuk mereka sebagai kaum bidat (bid’ah). Sebaliknya, pihak non-conformis menuduh gereja
Katholik telah memalsu kebenaran, seperti seorang pemalsu mata uang. Akhirnya
Theodore Zahn mengambil kesimpulan yang berbunyi:
“Do not facts support these accusations?”
“Bukankah fakta-fakta itu mendukung
tuduhan-tuduhan tersebut?”
Yesus sendiri
sudah dilupakan sepenuhnya. Mereka yang menyadari penyimpangan dan ingin
kembali kepada kejujuran, serta ingin mengikuti ajaran asli dari Yesus, akan
terbendung oleh tembok tebal lenyapnya ajaran asli itu.
Erasmus (1466-1536 M) di dalam Erasmi Epistolai jilid V halaman
173-192 mengatakan sebagai berikut:
“Ketika keimanan itu menjadi bahan tulisan,
bukan lagi bahan nurani, maka model keimanan itu sebanyak orang yang
menulisnya. Rumusan-rumusan meningkat dan kejujuran me-nurun. Pertentangan
semakin meruncing dan cinta kasih semakin dingin. Pada mulanya ajaran Kristus
tidak mengenal pertentang-an itu. Dan kini masing-masing pihak saling bersandar
pada filsafat. Itulah permulaan kemunduran gereja.”
Ternyata pihak
gereja terpaksa menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata, yakni
menjelaskannya dengan kekerasan. Masing-masing pihak berusaha merangkul kaisar
Romawi untuk memukul pihak lawannya. Erasmus menjelas-kannya sebagai berikut:
“Tindakan kaisar dalam peristiwa ini sama
sekali bukan membantu kepada kejujuran keimanan. Pada saat keimanan itu hanya
di mulut, bukan di hati, pada saat pengetahuan yang pasti tentang kitab suci
itu telah samar dan gagal, apalagi disertai dengan tindakan-tindakan kejam,
maka kita telah menuntun orang untuk mempercayai apa yang tidak dipercayainya,
mencintai apa yang tidak dicintainya, mengetahui apa yang tidak diketahuinya.
Setiap yang dipaksakan itu tidak mencerminkan kejujuran.”
Erasmus
mengetahui bahwa orang Kristen periode pertama, yakni para murid Yesus, hanya
mengenal ajaran tauhid. Tetapi ketika agama itu meluas, ia berbenturan dengan
berbagai aliran pikiran dan filsafat, yang mengakibatkan terjadinya variasi
pemahaman. Lambat laun ajaran Yesus pudar dan makna “Keesaan Tuhan” berubah dan bervariasi. Untuk memahami masalah
keesaan, mereka berangkat dari bahasa filsafat Yunani, sehingga tidak bisa
menunjukkan pengertian keesaan yang sebenarnya. Bahkan berubah menjadi “esa dari tiga perwujudan” (Tripartite view of existence). Ajaran
sederhana dan murni dari Yesus dikembangkan oleh bahasa yang asing bagi Yesus dan menuju kepada perumusan doktrin
Trinitas, dengan memberikan sifat ketuhanan kepada Yesus dan Roh Kudus.
Kekacauan dan perpecahan tidak dapat dihindarkan, yang kemudian mengakibatkan
pengaburan dan perubahan makna tentang keesaan Tuhan.
Memahami kasus
ini secara menyeluruh adalah hal yang sangat esensial bagi siapa saja yang
ingin mengetahui siapa Yesus itu dan apa yang diajarkan. Pada saat orang sudah
tidak melihat kehidupan sehari-hari seorang nabi, sebagai penjelma-an
ajarannya, berarti mereka sudah kehilangan pegangan, baik yang percaya kepada
doktrin Trinitas maupun yang berpegang pada Tauhid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar