Selasa, 22 April 2025

Yesus dalam Sejarah

Semakin banyak upaya untuk menemukan siapa Yesus sebenarnya, semakin tampak betapa sedikitnya sejarah beliau yang diketahui. Catatan yang membahas tentang kehidupan dan ajarannya sangat terbatas. Gambaran tentang Yesus yang diberikan oleh kebanyakan orang hanyalah sebuah polesan yang direkayasa. Sekalipun ada suatu kebenaran di dalamnya, tetapi riset sejarah telah membuktikan bahwa keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) yang dipilih dalam Konsili Nicea tahun 325 M itu sudah dirubah dan disesuaikan dengan rumusan keyakinan resmi yang ditetapkan pada konsili, yakni doktrin Trinitas. Naskah-naskah yang berisi ajaran Tauhid yang dinyatakan bidat oleh konsili tersebut dimusnahkan.

 

Tulisan-tulisan sejarawan Romawi dan Yahudi di perte-ngahan abad pertama Masehi tidak ada yang menyebut nama Yesus. Satu-satunya dasar yang dipegangi untuk mengungkap ke-hidupan Yesus adalah keempat Injil Kristen yang disahkan dalam Konsili Nicea itu. Injil Markus yang dianggap sebagai naskah tertua, ditulis sekitar tahun 60 M. Penulisnya, Markus. Beliau adalah kemenakan St. Barnabas, putra saudara wanita-nya. Matius adalah seorang pemungut cukai, pegawai rendahan, yang tidak mengikuti perjalanan Yesus di Galilea maupun Judea. Injil Lukas yang ditulis belakangan, tampaknya memper-gunakan sumber dari Injil Markus dan Matius. Lukas adalah dokter pribadi Paulus yang tidak pernah bertemu dengan Yesus. Injil Yohanes tampak menggunakan sumber yang sangat berbeda sekali dengan Injil lainnya. Ia ditulis sekitar tahun 100 M. Penulis Injil ini bukan Yohanes murid Yesus. Hampir selama dua abad Injil ini masih dianggap kontroversial dan selalu diperdebatkan, apakah Injil ini layak dipakai sumber cerita tentang Yesus dan apakah dapat diterima sebagai kitab suci.

 

Penemuan naskah-naskah gulungan dari laut mati (Dead Sea Scrolls) memberikan suasana baru dalam memahami kehidupan masyarakat tempat Yesus dilahirkan. Injil Barnabas mengungkapkan kehidupan Yesus lebih luas daripada keempat Injil yang diresmikan oleh gereja. Sedangkan Alqur’an dan hadits milik ummat Islam memberikan pandangan yang lebih jelas tentang siapa sebenarnya Yesus itu. Setelah ditemukan naskah-naskah tua, sejak Codex Sinaiticus pada tahun 1862 M sampai Dead Sea Scrolls yang pada tahun 1948, makin tampak kebenaran yang diungkapkan oleh Alqur’an dan hadits.

 

Pada akhirnya, kita menemukan bahwa Yesus itu bukanlah “Anak Allah”, dia hanyalah manusia biasa seperti Ibrahim dan Musa yang hidup sebelum dia, dan seperti Muhammad yang hidup sesudahnya, yang membutuhkan makan dan minum, bahkan keluar-masuk pasar. Yesus dan mereka adalah manusia biasa yang mendapatkan amanat dari Tuhan untuk menjadi nabi-Nya.

 

Kita akan mengetahui bahwa Yesus itu terpaksa harus berjuang berhadapan dengan orang-orang yang kepentingannya bertentangan dengan ajaran Yesus. Di antara mereka ada yang ingin mendapatkan bimbingannya, tetapi ada pula yang mengakui kebenarannya tetapi sengaja mengabaikan karena faktor-faktor duniawi seperti rakus kekuasaan, kekayaan, dan status quo.

 

Kita juga akan mengetahui bahwa kehidupan Yesus di Palestina merupakan bagian integral dari sejarah bangsa Yahudi. Oleh karena itu, untuk memahami kehidupan Yesus harus mengenal sejarah bangsa Yahudi. Selama hidupnya, Yesus melakukan ibadah Yahudi yang diajarkan oleh Taurat Musa secara murni, menegakkan dan meluruskan kembali ajaran Taurat Musa yang telah diselewengkan penafsirannya oleh para Rabi Yahudi dari masa ke masa.

 

Pada akhirnya, kita akan mengetahui bahwa orang yang di salib itu bukanlah Yesus. Melainkan seseorang yang diserupa-kan seperti dia. “Maka kita ini memberitakan Yesus yang tersalib,” kata Paulus dalam suratnya untuk Jemaat di Korintus (I Korintus 1: 23). Tetapi disusul dengan kalimat berikutnya yang berbunyi, “Yaitu suatu syak kepada orang Yahudi, dan suatu kebodohan kepada pandangan orang kafir.”

 

Setiap orang Kristen tidak akan mengetahui tahun kelahiran Yesus secara pasti dan tepat. Menurut Injil Lukas 2: 1-20, Yesus dilahirkan ketika diselenggarakan sensus penduduk wilayah Syiria dan Palestina atas perintah kaisar Agustus sekitar tahun 7 M (759 Romawi), setelah Herodes Archelaus (4 SM-6 M) dipecat oleh pemerintahan Romawi, dan Judea langsung dijadikan wilayah provinsi Roma. Tetapi menurut Injil Matius, Yesus dilahirkan di masa pemerintahan Herodes Agung (37-4 SM), ayah Herodes Archelaus, yang meninggal tahun 4 SM (749 Romawi). Johannes Lehman dalam The Jesus Report halaman 14-15 mengutip pendapat Vincent Taylor yang mengatakan bahwa Yesus lahir tahun 8 SM (745 Romawi). Pertentangan penjelasan ayat Injil Lukas dan Matius sungguh amat tajam.

 

Keajaiban kelahiran Yesus ke dunia menjadi bahan aktual dalam diskusi. Sebagian ada yang mengatakan bahwa Yesus itu darah daging Yusuf sendiri, tunangan Maria (Maryam). Karena Lukas dan Matius membuat silsilah Yesus sebagai keturunan nabi Daud melalui benih Yusuf. Sebagian lagi ada yang berpendirian bahwa kelahiran Yesus itu murni dan suci, tanpa ada campur tangan dari benih manusia. Oleh karena itu, Yesus adalah “Anak Tuhan”. Tetapi pihak yang berpendapat demikian juga bertentangan dalam memahami dan menafsirkan penger-tian kata “Anak Tuhan” tersebut. Di satu pihak memahaminya secara harfiah (literal), tetapi pihak lain memahaminya secara kiasan (figuratif).

 

Ternyata Injil Markus dan Yohanes sama sekali tidak memberitakan kelahiran Yesus. Sedangkan Matius dan Lukas hanya menceritakan sekilas saja, dan membuat silsilah Yesus sampai kepada nabi Daud. Matius membuat garis keturunan antara Yesus sampai terdapat 28 orang. Sedangkan Lukas mencantumkan 43 orang. Jadi, terdapat selisih 15 generasi. Jika satu generasi memiliki masa 40 tahun, berarti terdapat selisih 600 tahun. Bahkan nama-nama orang yang termaktub dalam silsilah keturunan tersebut banyak perbedaan.

 

Karena Yesus lahir dan hidup dalam lingkungan bangsa Yahudi di Palestina, yang meliputi wilayah Judea bagian selatan dan Galilea bagian utara, maka amat penting untuk mengenal kehidupan Yesus dan masyarakat Yahudi di masanya. Dia lahir dan hidup di saat Palestina dalam keadaan tidak tenteram.

 

Dari masa ke masa, bangsa Israel (Yahudi) harus bertikai dengan bangsa lain. Setelah 40 tahun tinggal di padang Tiah di semenanjung Sinai ―setelah nabi Musa wafat (sekitar abad ke-11 SM), Josua berhasil merebut wilayah Palestina dari suku Edom, Kanaan, dan Filistin. Tetapi setelah nabi Sulaiman wafat (sekitar tahun 973-933 SM), Israel ditaklukkan oleh raja Sargon I dari kerajaan Asyiria pada tahun 722 SM. Kemudian ditakluk-kan oleh Nebukadnezar dari Babilonia pada tahun 586 SM. Kemudian ditaklukkan oleh Cyrus (Koresi) dari kerajaan Persi pada tahun 538 SM. Kemudian ditaklukkan oleh Alexander dari Makedonia pada tahun 332 SM, dan berkelanjutan di bawah kekuasaan Yunani sampai tahun 168 SM. Pada masa itu, terbentuk kerajaan Yahudi kembali di bawah dinasti Makkabi (168-63 SM) tetapi tidak berusia lama. Karena wilayah Palestina, Syiria, dan Asia Kecil ditaklukkan kembali oleh imperium Romawi pada tahun 63 SM. Sejak di bawah kekuasa-an imperium itulah sejarah bangsa Yahudi di Palestina diliputi kekacauan dan pemberontakan disebabkan beban pajak yang teramat berat beserta penghinaan-penghinaan terhadap agama Yahudi.

 

Disebabkan penindasan bangsa penakluk selama berabad-abad dan silih berganti, maka mereka menyimpan dendam yang selalu membara di hatinya. Tetapi dalam kondisi yang sehitam-hitamnya, di antara mereka ada golongan yang mengharapkan datangnya seorang Musa baru beserta pendampingnya, yang akan menghantam bangsa penjajah dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran Yahwe (Allah yang Maha Esa). Seorang yang diharapkan kedatangannya itulah disebut Mesiah atau Almasih.

 

Disamping itu ada yang melakukan kebaktian setiap matahari terbit. Tetapi ibadah itu hanya dipakai sebagai simbol saja untuk meraih kedudukan dan kemewahan, baik dari segi duniawi maupun agama. Mereka ini dipandang oleh pihak pertama tadi sebagai pengkhianat.

 

Disamping ada dua golongan itu, juga terdapat golongan ketiga yang karakter kehidupannya sangat jauh berbeda dengan masyarakat Yahudi pada umumnya. Mereka sengaja mengasing-kan diri ke daerah gersang sebagai tempat hidup dan beribadah sesuai dengan ajaran Taurat nabi Musa, serta mempersiapkan diri menjadi gerilyawan melawan bangsa penjajah. Tentara Romawi selalu gagal untuk menemukan tempat-tempat persem-bunyian mereka. Jumlah kader mereka selalu bertambah banyak. Kita bisa mengenali mereka melalui tulisan seorang sejarawan Yahudi abad pertama Masehi yang bernama Josephus Flavius. Ketiga golongan Yahudi itu masing-masing disebut Farisi, Saduki, dan Esenes.

 

Di dalam keempat Injil diceritakan bahwa Yesus hanya mencela dan memaki sekte Farisi dan Saduki, tetapi tidak pernah menyebut sekte Esenes. Maka dapatlah dipahami bahwa Yesus sendiri termasuk golongan yang terakhir itu. Walaupun golongan itu tidak disebut-sebut di dalam keempat Injil, tetapi eksistensi sekte Esenes itu diketahui melalui catatan Josephus Flavius dan catatan Pliny the Elder, ahli sejarah Roma, dan catatan Philo Judaeus, ahli sejarah Yahudi di Iskandariyah. Tetapi sekalipun catatan sejarah itu tidak memberikan gambar-an yang lengkap dan sempurna mengenai kelompok Esenes itu. Tiba-tiba secara dramatis sekali, kumpulan dokumen yang dikenal dengan Dead Sea Scrolls muncul ke sinar terang dari pegunungan batu Jordania yang terletak di sebelah barat Laut Mati. Dengan penemuan itu, dunia intelektual dan dunia Kristen terbelalak bagai diguncang topan.

 

Pada tahun 1947, seorang anak-anak Arab menggembala domba-dombanya dekat Qumran. Karena seekor domba piara-annya hilang, dia mendaki bukit batu di situ untuk mencarinya. Di saat itulah dia melihat sebuah gua yang menurut dugaannya dombanya masuk ke situ. Ia pun melemparkan batu ke dalam gua. Dan ternyata dari gua tersebut terdengar suara nyaring bagaikan batu membentur bejana keramik. Dia berkhayal akan menemukan harta terpendam. Keesokan harinya dengan mem-bawa teman, dia memasuki gua itu. Mereka menemukan guci keramik di antara yang pecah berantakan. Mereka membawa-nya ke tempat perkemahannya dan lalu kecewa karena hanya berisikan gulungan-gulungan perkamen tua. Mereka membuka sebuah gulungan yang panjangnya dari ujung yang satu ke ujung lain kemahnya. Gulungan itulah yang kemudian terjual seperempat juta dolar AS. Mereka menjualnya kepada Kando ―seorang Kristen Syiria― dengan harga beberapa shilling saja (pecahan Poundsterling). Kando adalah seorang tukang sepatu, dan ia lebih memerlukan kulit untuk lapis terompah maupun sepatu. Ketika melihat tulisan yang tidak dikenalnya pada perkamen itu, dia memperlihatkannya kepada seorang uskup berkebangsaan Syiria dari biara St. Markus di Jerusalem. Perkamen itu segera dibeli oleh uskup itu dengan membayar harganya sekedar ganti rugi.

 

Di bawah penyelidikan American Oriental Institute of Jordan, terbukti gulungan perkamen itu adalah naskah tertua kitab Yesaya (salah satu isi Alkitab Perjanjian Lama) berbahasa Ibrani. Sejak itu, pencarian dan pengumpulan dilakukan secara intensif disertai penggalian sebuah biara tua yang sangat luas dan besar pada sebuah dataran di punggung bukit batu ―yang berdasarkan petunjuk ahli sejarah Pliny the Elder (23-79 M) di dalam karyanya Historica Naturalis bab V pasal 17, tempat itu adalah kediaman sekte Esenes. Tujuh tahun kemudian, kum-pulan seluruh naskah-naskah gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls) yang telah ditemukan itu disimpan di gedung yang dibangun pemerintah Israel di Jerusalem, dikenal dengan Shrine of the Book.

 

Secara hitungan kasar, terdapat lebih enam ratus buah gua pada punggung bukit batu sepanjang pinggir sungai Jordan. Di dalam gua itulah pada masa-masa genting, setiap kelompok Esenes tinggal dan bersembunyi. Pada masa tenang mereka adalah zahid-zahid yang shalih, menjalankan syariat Yahudi dengan taat, menundukkan diri sepenuhnya kepada Yahuwa (Allah Maha Esa), tidak mau menundukkan kepada siapa pun kecuali kepada-Nya. Pada lembah-lembah di bawahnya mereka menanam kurma, dan hidup dari buah kurma itu.

 

Merasa jenuh dan bosan menyaksikan kehidupan duniawi yang penuh pertumpahan darah dan pertentangan itu, mereka pun memisahkan diri dan hidup sebagai zahid-zahid yang wara’. Berbeda dengan rabi-rabi di Kuil Sulaiman (Solomon’s Temple) yang megah itu, mereka menggunakan Taurat Musa bukan untuk kepentingan uang tetapi memahaminya untuk diamalkan. Begitu pula sikap mereka terhadap Kitab Nabi-nabi (Nebiim) dan Kitab-kitab Bimbingan (Ketubim) yang terhimpun dalam Alkitab (Bibel). Dengan sikap hidup yang zuhud seperti itu, mereka ingin mencapai kesempurnaan dan kesucian.

 

Mereka menulis nyanyian-nyanyian kezuhudan (gnostik), yakni nyanyian yang bersifat ma’rifat, yang isinya menggugah dan meresap di jiwa. Salah satu lagu itu mengatakan, kehidup-an zuhud itu bagaikan kapal di dalam topan. Pada lagu lainnya dilukiskan bahwa seorang zuhud itu adalah bagaikan musafir di dalam rimba raya penuh singa yang lidahnya bagaikan pedang. Pada awal perjalanan, si musafir itu mengalami tekanan pende-ritaan bagaikan seorang wanita yang menunggu kelahiran bayinya. Jika sang musafir berhasil mengatasinya, maka selan-jutnya akan berada di bawah tuntunan cahaya Tuhan (God’s Perfect Light). Pada saat itulah manusia akan menyadari bahwa dirinya itu hanyalah makhluk kosong berasal dari tanah, serta hidup dari hasil tanah itu, dan kelak akan pulang kembali kepada tanah. Pada tahap itu, seorang hamba tidak berhenti mengucapkan syukur kepada Yahuwa (Allah Maha Esa), dan menyadari bahwa dirinya telah diangkat naik dari dalam lubang, untuk menyaksikan dan menikmati keindahan Nur Ilahi. Pada saat itulah dia akan mampu berjalan dengan kepala tegak, tidak takut dan gentar kepada siapa pun juga, kecuali hanya kepada Allah yang Maha Kuasa.

 

Sebelum penemuan Dead Sea Scrolls itu, sedikit sekali diketahui tentang kelompok Esenes itu. Pliny maupun Josephus pernah menyebut sekte itu, tetapi hampir dua puluh abad lamanya ia dilupakan oleh ahli-ahli sejarah. Pliny menyebutnya suatu keturunan yang sangat berbeda dengan ras lainnya. Ia menulis sebagai berikut:

Mereka hidup tanpa wanita, menjauhi hubungan seksual, tanpa menggunakan uang… Anggota mereka selalu bertambah melalui sejumlah besar orang yang tertarik kepada sikap hidup mereka… melalui cara itu generasi mereka terus lestari selama ribuan tahun, sekalipun tidak ada kelahiran di situ…”

 

Josephus sendiri melalui hidup sebagai anggota Esenes dan menulis bahwa Esenes mempercayai kekekalan roh. Roh itu anugerah Allah. Allah membersihkan sebagian manusia untuk menyembah-Nya, menyingkirkan seluruh godaan daging (hawa nafsu). Seseorang yang mencapai kesempurnaan akan memper-oleh kesucian, bebas dari titik-titik noda.

 

Kelompok-kelompok zahid itu tidak mau tunduk kepada bangsa penjajah (Asyria, Babilonia, Persi, Yunani, dan Romawi), membebaskan diri dari hubungan sosial yang berlangsung sehari-hari. Kehidupan di daerah gersang itu tidaklah mem-bebaskan mereka dari tanggung jawab terhadap sejarah bangsa Yahudi. Dengan berjama’ah dalam kebaktian sehari-hari, mereka membentuk kekuatan dari waktu ke waktu. Disamping taat kepada hukum Taurat Musa, mereka siap memperjuangkan kemerdekaan, supaya dapat hidup di bawah naungan Taurat Maut dengan tenteram. Dari kelompok zuhud itulah sering muncul perlawanan sengit dari waktu ke waktu. Anggota kelompok pejuang ini dikenal dengan kaum Zealots. Mereka berjuang semata-mata untuk kepentingan Tuhan, bukan mengharapkan kekuasaan maupun keuntungan pribadi. Mereka terorganisir di bawah satu bendera, dan setiap suku punya panji-panji sendiri. Kaum pejuang Zealots itu terbagi menjadi empat pasukan. Setiap pasukan terdiri atas tiga suku Israel, hingga semuanya melambangkan 12 suku Israel. Pemukanya keturunan Lewi, yang di dalam Taurat Musa dinyatakan sebagai keturunan Imam. Tokoh itu bukan sekedar panglima pasukan, tetapi juga sebagai guru tentang Hukum Musa. Setiap pasukan mempunyai Midrash (perguruan atau sekolah) dan setiap Lewi itu, disamping bertugas sebagai panglima militer, juga memberikan arsh (pelajaran) secara teratur dalam perguruan itu.

 

Dengan hidup di daerah gersang itu, kelompok-kelompok Esenes itu tidak memerlukan kesenangan dan kemewahan, mereka hidup dengan amat sederhana. Mereka membentuk kelompok rahasia (secret society) yang tidak pernah ditunjukkan kepada orang, bukan anggotanya. Imperium Romawi mengeta-hui akan eksistensi mereka, tetapi tidak pernah dapat menem-bus tabir rahasia yang melindungi mereka. Impian dari setiap orang Yahudi yang berjiwa petualang adalah menjadi anggota masyarakat Esenes. Karena dengan cara inilah mereka dapat melawan penjajah asing dengan praktis.

 

Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Pliny, kelompok Esenes menjauhkan diri dari pernikahan, tetapi selalu menam-pung bayi-bayi yang sengaja dititipkan orang untuk diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan esenes. Dengan demikian, selama berabad-abad kelompok Esenes tetap lestari dan berkembang walaupun tidak pernah ada kelahiran di situ. Nabi Zakaria ―yang menjabat Imam Besar pada Bait Allah di Jerusalem― ketika memiliki putera pada masa tuanya, mengirim puteranya kepada kelompok Esenes di daerah gersang itu. Disitulah dia diasuh dan dididik. Kemudian anak nabi tersebut terkenal dengan panggilan Yahya Pembaptis.

 

Karena kelompok Esenes itu tinggal di daerah gersang, maka sekarang kisah Zakaria mengirim puteranya ke daerah itu dapat diketahui sejelas-jelasnya. Tidak mungkin dia membuang anaknya sendirian di tengah-tengah padang gurun. Tetapi dia mempercayakan kepada kelompok-kelompok yang mampu mempertanggungjawabkan pendidikan puteranya itu. Maria (Maryam) misan istri Zakaria, Elizabeth, dibesarkan oleh Zakaria disebabkan ia diserahkan ke Bait Allah untuk memenu-hi nazar ibunya. Didalam lingkungan serupa itulah Yesus lahir ke dunia.

 

Sewaktu Yesus berusia remaja, tersiar berita bahwa Yahya telah keluar dari kelompok Esenes dan hidup seorang diri di suatu daerah gersang. “Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makannya belalang dan madu hutan”, (Matius 3: 4). Dia berda’wah dan mengajar orang banyak, dan tidak memberikan jangka waktu yang panjang bagi murid-murid untuk belajar hidup sebagai anggota Esenes. Dengan begitu, gerakan Yahya itu suatu gerakan umum. Dia mengajak bangsa Yahudi agar kembali kepada jalan Tuhannya dan menjanjikan bahwa kerajaan Allah pasti segera datang.

 

Mengenai Yahya memakai baju kasar dan sederhana itu dapat diketahui dan dibandingkan melalui kenyataan sejarah sebagaimana yang ditulis Josephus Flavius (37-100 M) di dalam karyanya, tentang seorang zuhud lainnya, dan Josephus adalah salah seorang di antara muridnya. Josephus sendiri tiga tahun lamanya hidup di daerah gersang itu. Dalam masa itu ia berada di bawah bimbingan seorang zuhud bernama Bannus yang mengenakan pakaian kulit kayu, hidup dari makanan yang tumbuh secara liar, bersikap ketat terhadap dirinya.

 

Daerah gersang itu merupakan tempat pelarian Daud pada masa dulu, begitu pula nabi-nabi lainnya sebelum Daud. Di daerah gersang itulah seseorang Yahudi dapat bebas dari dominasi penguasa asing dan dari pengaruh dewa-dewa palsu yang menjadi pujaan asing itu. Dalam suasana serupa itu dapatlah seseorang lebih mendekatkan dirinya kepada sang pencipta dan menyembah kepada-Nya saja. Di situlah tempat kelahiran bagi keyakinan tentang keesaan Ilahi. Daerah gersang yang tandus itu mengikis rasa aman yang palsu dan berbalik menyerahkan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta yang Hakiki. Uskup Pike di dalam The Wildeness Revolt halaman 101 mengatakan, “Di dalam ketandusan daerah gersang, seluruh pertanggungan lainnya gugur dan diri terserah sepenuhnya kepa-da Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, yang merupakan Sumber Tetap bagi seluruh kehidupan, yang merupakan Akar bagi seluruh perasaan tenteram.”

 

Justru perjuangan di daerah gersang itu punya dua aspek. Pertama, berlangsung dalam diri sendiri, berjuang terhadap diri sendiri, guna mencapai kerelaan Ilahi. Sikap hidup serupa itu mau atau tidak, harus berakibat timbulnya pertentangan (konflik) dengan pihak yang tidak menginginkan hidup serupa itu. Dengan sikap hidup seperti itu, ia pun bersikap tabah menghadapi aspek perjuangan yang kedua, baik menang maupun kalah.

 

Seruan Yahya itu cepat menarik perhatian orang banyak, dan mereka memenuhi panggilannya dibaptis di sungai Jordan, (Matius 3: 1-6). Yahya lupa untuk menaati suatu ketentuan yang teramat penting di dalam kaidah hidup kelompok Esenes itu bahwa “jangan membuka rahasia sekte kepada orang lain walaupun disiksa sampai mati”. Demikianlah bunyi sebuah kalimat di dalam Manual Dicipline, yang dikutip Edmund Wilson di dalam karyanya Dead Sea Scrolls.

 

Dengan demikian, terbukalah jalan bagi pihak Romawi untuk melakukan infiltrasi ke dalam gerakan itu melalui mata-mata. Sewaktu anggota sekte Farisi dan sekte Saduki datang menemuinya, Yahya mengecam mereka itu dengan amat sengit (Matius 3: 7-12). Dengan begitu, Yahya telah mengungkapkan dirinya bahwa dirinya bukan sekte Farisi dan bukan sekte Saduki. Tetapi dia dan para pengikutnya itu suatu gerakan lain. Keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, Yahya) tidak pernah menyebut nama gerakan itu. Tetapi catatan ahli-ahli sejarah (Josephus, Pliny, Philo) dan penemuan Dead Sea Scrolls sete-lah Perang Dunia Kedua itu telah mengungkap misteri nama kelompok itu, yaitu kelompok Esenes. Pada akhirnya Yesus melibatkan diri ke dalam gerakan itu dan dibaptis oleh Yahya di sungai Jordan (Matius 3: 13-17). Mungkin di antara sejumlah orang yang dibaptis Yahya itu termasuk Barnabas dan Matius dan lainnya. Karena merekalah kelompok duabelas orang yang mudah sekali menerima dan menyambut panggilan Yesus. Kemudian mereka dipanggil dengan sebutan Duabelas Rasul (Twelve Apostles).

 

Yahya mengetahui bahwa “ular-ular berbisa” telah berhasil menyusup ke dalam gerakannya sebelum dia sempat berjuang. Oleh karena itulah, gerakan pembaptisan secara umum itu telah memberikan kepuasan tersendiri baginya. Karena dia mengetahui bahwa gerakannya akan tidak terhenti dengan kematiannya. Seperti sudah diramalkan oleh Yahya, dia ditangkap oleh tentara Herodes dan dijatuhi hukuman mati dan mantelnya kini jatuh di bahu Yesus.

 

Yesus kini berusia tiga puluh tahun. Misinya tidak lebih tiga tahun. Dia menemui kenyataan bahwa masa persiapan telah lewat. Untuk memahami keadaan masa itu, kita harus menyoroti Yesus dari latar belakang sejarah, terutama sejarah bahsa Yahudi. Ini akan lebih memperjelas gambaran yang sudah mulai muncul, bahwa eksistensi kelompok masyarakat Esenes itu ―beserta kegiatan Yahya― disusul konflik antara Yesus dengan pihak Romawi. Semua itu adalah bagian dari bagan yang berulang kali terjadi sepanjang sejarah bangsa Yahudi. Dalam setiap kasus yang mendorong pihak Yahudi itu untuk memberontak, ialah campur tangan penguasa asing itu dalam urusan kebaktian kepada Allah yang Maha Esa (Yahuwa). Keyakinan mereka kepada Allah dan tidak mau menyembah lainnya, merupakan keyakinan yang tertanam kokoh dalam kelompok Esenes itu.

 

Ketika bangsa Yahudi memegang kekuasaan, rajanya sering melakukan pelanggaran terhadap ajaran Tuhan. Di awal perkembangan sejarahnya, bangsa Yahudi sering menentang dan menumbangkan rajanya disebabkan sang raja itu “berbuat hal yang jahat pada mata Yahuwa” (Kitab Raja-raja Kedua 13: 11). Kemudian Nebukadnezar dari Babilonia menaklukkan dan menguasai Jerusalem. Bait Allah di atas bukit Zion dibiarkan utuh, tetapi wakaf harta yang tersimpan di bait Allah dan harta kekayaan Istana dirampas. Bangsa Yahudi memberontak terha-dap kekuasaan Babilonia itu. Babilonia melancarkan serangan balasan dan menghancurkan Bait Allah yang terletak di atas bukit Zion itu. Begitu pula kota Jerusalem dihancurkan oleh tentara Nebukadnezar.

 

Roda nasib berputar. Babilonia ditaklukkan Persi. Cyrus (550-530 SM) mengizinkan orang-orang Yahudi pulang ke Judea untuk membangun Bait Allah dan Kota Suci itu serta menyerah-kan kembali harta kekayaan yang dirampas Nebukadnezar. Bekas tawanan Yahudi yang pulang kembali ke Judea berjumlah 42.360 jiwa. Di samping itu membawa budak dan wanita sebanyak 7.337 jiwa. Di dalamnya termasuk 200 pria penyanyi dan gadis penyanyi. Kafilah besar itu membawa 736 ekor kuda, 245 ekor bighal, 435 ekor unta, dan 6.720 ekor keledai (Kitab Ezra 2: 64-69). Jumlah hewan tersebut adalah tambahan dari hewan-hewan yang mengangkut harta kekayaan itu.

 

Setelah tiba di Jerusalem, dimulailah pembangunan Bait Allah. Untuk maksud itu terkumpul sumbangan sebanyak 61.000 dinar (emas) dan 5.000 kati perak. Itu adalah tambahan bagi harta kekayaan Bait Allah dan harta kekayaan istana yang dibawa pulang kembali dari babilonia. Benda-benda yang terbuat dari perak diangkut oleh seribu ekor kuda. Sejak pulang ke Judea itu, jumlah orang Yahudi bertambah dan berkembang.

 

Tapi mereka tak lama menikmati kekuasaan otonom yang dianugerahkan pihak Persi yang raja-rajanya masa itu meng-anut agama Zaratustra. Alexander (337-323 SM) dari Makedo-nia menjadi raja Yunani tahun 323 SM. Setelah dia meninggal dunia pada tahun 323 SM, wilayah luas yang telah berhasil ditaklukkannya terpecah belah menjadi beberapa kerajaan yang dipegang oleh para jenderalnya. Dinasti Ptolomeus menguasai Mesir dan Palestina. Dinasti Seleucos terbagi dua. Satu pihak menguasai wilayah belahan timur sampai Asia Tengah, berke-dudukan di Babilonia. Lain pihak menguasai Makedonia, Asia Kecil dan Syiria, berkedudukan di Antiokia.

 

Dinasti Ptolomeus mengkhawatirkan perkembangan pesat jumlah orang Yahudi, lalu memaksa sebagian besar mereka pindah ke Mesir. Terbentuklah koloni Yahudi terbesar di negara itu di luar Palestina. Sejak itulah Yahudi berbenturan langsung dengan kebudayaan dan filsafat Yunani.

 

Pada tahun 198 SM, dinasti Seleucos merampas Jerusalem beserta wilayah Palestina dari tangan dinasti Ptolomeus. Para penguasa baru itu terlalu mencampuri urusan keagamaan bangsa Yahudi dalam rangka memaksakan. Hellenisasi, yakni memaksakan kebudayaan Yunani kepada bangsa taklukan. Tindakan itu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Antiochus IV Epipaphanes (175-163 SM) yang memaksakan patung dewa Zeus ditempatkan pada mezbah Bait Allah di Jerusalem dan mengadakan upacara korban babi pada mezbah itu. Pecahlah pemberontakan total bangsa Yahudi di bawah pimpinan Makkabe bersaudara. Kekuasaan Yunani tersingkir dan terbentuklah kekuasaan bangsa Yahudi kembali di bawah Dinasti Makkabe pada tahun 168-163 SM. Mereka membangun kembali Bait Allah yang runtuh dan rusak. Para penguasa baru itu sangat populer sekali. Karena di samping sebagai raja, Makkabe juga memangku jabatan Imam Besar. Dengan pemu-satan kekuasaan pada satu tangan secara turun-temurun, maka berlaku sikap yang ketat dalam pelaksanaan Hukum Taurat berdasarkan penafsiran-penafsiran yang terlalu sulit dari pihak Farisi maupun Saduki. Akhirnya masyarakat umum mulai memperlihatkan tantangan dan makin merasakan lebih senang berada di bawah kekuasaan asing. Karena menyadari bahwa kekuasaannya mendapatkan tantangan, dinasti Makkabe bukan merubah dan memperbaiki kebijaksanaan, tetapi justru semakin congkak dan angkuh serta berbuat sewenang-wenang. Akibatnya, kebencian umum makin meluas, dan bangsa Yahudi makin memperlihatkan tantangannya secara terus terang terhadap para penguasanya itu. Hal itu membukakan jalan bagi penaklukan Palestina oleh pihak imperium Romawi tahun 63 SM, setelah menaklukkan Afrika Utara dan Mesir.

 

Pihak Romawi ―menjelang kelahiran Yesus― kembali mengulangi kekeliruan para penguasa sebelumnya. Mereka membangun lambang rajawali dari emas pada gerbang besar Bait Allah. Hal itu membangkitkan kemarahan bangsa Yahudi, menimbulkan rangkaian pemberontakan dan kerusuhan yang terus-menerus. Dua orang keturunan Makkabe mengobarkan pemberontakan untuk menghancurkan lambang rajawali pada gerbang Bait Allah itu. Pihak Romawi tidak menganggapnya sebagai hasutan biasa, tetapi juga memandangnya sebagai penghinaan terhadap keagungan Romawi. Setelah melalui pertumpahan darah, pemberontakan itu dapat dipadamkan. Kedua pemimpinnya ditangkap dan dijatuhi hukuman bakar hidup-hidup. Tetapi tidak lama kemudian, pecah lagi kerusuhan dan pemberontakan. Roma bertindak dengan segala kekerasan. Sekitar dua ribu kaum pemberontak itu disalibkan pada jalan-jalan raya.

 

Walaupun sudah dikalahkan, semangat mereka tetap tinggi. Ketika pada tahun 6 M, kaisar Agustus memerintahkan pelak-sanaan sensus penduduk Yahudi untuk memudahkan pengum-pulan pajak. Membayar pajak kepada kaisar yang mengaku keturunan Tuhan sangat bertentangan dengan ajaran Taurat. Karena orang-orang Yahudi hanya mengakui satu raja, yakni Jehovah (Yahuwa – Allah), maka kerusuhan pun terjadi. Unsur-unsur (masyarakat) yang lebih moderat menyadari bahwa konflik tersebut akan berakibat kehancuran total bagi orang-orang Yahudi. Mereka mengajukan kompromi dan menyetujui pembayaran pajak untuk menyelamatkan rakyat dari pembu-nuhan massal. Para pemimpin yang “membeli” perdamaian dengan harga ini (berkompromi dengan Romawi) tidak disukai, dan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap bangsa Yahudi. Situasi sosial pada masa sebelum dan menjelang kelahiran Yesus, bersama dengan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan kematian Yahya telah disinggung di atas. Sekarang kita telah sampai pada titik dimana seluruh gerakan perlawanan terpusat di sekitar pribadi Yesus yang mendapatkan wahyu dari Tuhan.

 

Sebelum melakukan sesuatu, Yesus harus pergi selama 40 hari untuk hidup dan berdoa di alam bebas. Waktu itu dia berusia 30 tahun. Menurut adat Yahudi, anak laki-laki yang seusia itu sudah terlepas dari pengawasan ayahnya. Tidak seperti Yahya, Yesus mengajari mereka menentang bangsa Romawi tidak secara terang-terangan dan terbuka. Melainkan dia melakukan persiapan-persiapan dengan sangat hati-hati. Upaya pemberontakan di masa lalu telah berakhir dalam kehancuran, dan kematian Yahya masih segar dalam ingatan Yesus. Dengan sangat hati-hati, ia mulai mempersiapkan dan menggalang orang-orang Yahudi. Yesus tidak pernah membaptis seorang pun. Sebab hal ini bisa mengundang kecurigaan orang-orang Romawi, dan akan menjadi bumerang. Sebab dia tidak akan mampu membendung orang jahat yang menyusup ke dalam gerakan perlawanannya. Yesus mengangkat duabelas murid. Suatu jumlah tradisional yang mewakili duabelas suku Israel. Pada masa berikutnya, mereka mengangkat 70 pejuang untuk mengabdi di bawah komando mereka. Orang-orang Farisi selalu menjaga Am Al Arez (kekuatan tubuh) dan mereka hidup di desa-desa. Yesus mengambil mereka sebagai anggota kelom-poknya. Penduduk-penduduk desa, kebanyakan berasal dari komunitas Esenes, menjadi pengikut setia (Zealots) Yesus, dan siap mempertaruhkan jiwanya untuk membela ajaran Yesus. Mereka dikenal sebagai orang-orang fanatik. Menurut Bibel, paling tidak enam dari duabelas murid Yesus dikenal sebagai orang-orang fanatik. Yesus, yang telah diutus untuk membenar-kan dan bukannya menolak ajaran Musa, menyebar-kan seruan taurat: “Siapa saja yang menaati hukum (Taurat) dan menjaga perjanjian (dengan Jehovah), maka biarkan dia maju dan meng-ikutiku.” (Makkabe 2: 27-31). Sejumlah besar orang bergabung, tetapi mereka tetap bergerak secara diam-diam, dan peng-godogan mereka dilakukan di alam bebas. Mereka juga disebut Bar Yonim yang berarti anak-anak alam. Di antara mereka ada orang-orang yang telah belajar menggunakan pedang yang dikenal sebagai Sicari (ahli-ahli pedang). Pada perkembangan berikutnya, sejumlah laki-laki pilihan membentuk sejenis peng-awal, dan mereka dikenal sebagai Bar Yesus atau anak-anak Yesus. Sejumlah orang yang dikenal Bar Yesus disebut dalam sumber-sumber kesejahteraan, tetapi tirai misteri mengitari mereka dan tidak banyak yang diketahui tentang mereka. Hal ini bisa dipahami. Mereka berada pada lingkaran yang paling dekat dengan para pengikut Yesus, dan identitas mereka harus disembunyikan dari mata-mata Romawi.

 

Yesus memerintahkan kepada para pengikutnya: “Tetapi sekarang bagi siapa yang memiliki dana, biarkan ia mengambil-nya dan juga Injilnya, dan bagi siapa yang tidak memiliki pedang, perintahkan dia menjual pakaiannya dan membelinya.” (Lukas 22: 36). Jumlah pengikutnya semakin bertambah karena dia mendapatkan wahyu disertai mukjizat. Rangkaian akibat dari semua persiapan-persiapan ini menyebabkan pengganti Pilatus, Sossianus Hierocles, (sebagaimana yang dikutip oleh bapak gereja, Lectanius), mengatakan bahwa Yesus adalah seorang pemimpin kelompok perampok jalanan yang berjumlah 900 orang. Sebuah salinan dalam bahasa Yahudi zaman pertengahan yang merupakan suatu versi yang hilang dari tulisan Josephus juga melaporkan bahwa Yesus memiliki antara 2.000 sampai 4.000 pengikut bersenjata bersamanya.

 

Di dalam buku Dead Sea Scrolls, Edmund Wilson mengata-kan, Yesus sangat hati-hati untuk tidak menyimpang dari ajaran masyarakat Esenes. Catatan di dalam Manual of Dici-pline, naskah milik Esenes yang ditemukan itu, mirip dengan catatan yang terdapat dalam Injil dan Kisah Rasul. Selama melaksanakan misinya, Yesus tidak mengungkapkan secara keseluruhan ajarannya kepada semua pengikutnya. Kebenaran ajaran secara keseluruhan hanya diketahui sedikit orang dari pengikut-pengikutnya.

Saya mempunyai banyak hal yang akan kukatakan kepada-mu, tetapi kamu tidak mampu menanggungnya sekarang. Tetapi ketika dia ―Ruh kebenaran datang― dia akan membimbingmu ke dalam keseluruhan kebenaran, tetapi dia tidak akan berbicara atas (dasar) dirinya sendiri, tetapi apa saja yang ia dengar, maka pasti ia ucapkan (sampaikan). (Yahya 16: 12-14)

 

Yesus tidak mencari kekuasaan duniawi baik sebagai penguasa negeri, maupun kekuasaan di lingkungan Rabi Farisi dan Saduki. Tetapi kemasyhurannya di kalangan rakyat dan besarnya jumlah pengikutnya telah menyebabkan orang-orang Romawi dan Rabi-rabi Yahudi yang mendukung Romawi takut bahwa Yesus ingin menjadi Raja Yahudi. Hal itu jelas merupa-kan ancaman bagi posisi kekuasaan mereka dan mendorong mereka berusaha melenyapkannya.

 

Misi Yesus semata-mata menetapkan peribadatan kepada Sang Pencipta dengan cara yang telah dia tentukan. Dia dan para pengikutnya telah dipersiapkan untuk memerangi siapa saja yang menghalangi mereka untuk hidup sesuai dengan perintah Tuhannya.

 

Pertempuran pertama terjadi melawan orang-orang Yahudi yang setia kepada orang-orang Romawi. Pertempuran yang dipimpin oleh Bar Yesus Barabbas ini benar-benar meruntuh-kan moral kelompok Yahudi ini (yang setia kepada orang-orang Romawi), karena pemimpin mereka terbunuh dalam pertempur-an tersebut. Tetapi Bar Yesus Barabbas ditangkap oleh tentara Romawi.

 

Sasaran berikutnya adalah Bait Allah itu sendiri. Romawi mempersiapkan pasukan untuk menjaga keamanan perayaan tahunan pesta Paskah yang sudah semakin dekat. Tentara Romawi yang pada saat itu selalu mencari gara-gara, semakin memperketat penjagaan untuk membantu polisi kuil yang menjaga tempat suci itu. Cara memasuki kuil yang dilakukan Yesus telah direncanakan dengan sangat rapi, sehingga tentara-tentara Romawi benar-benar terkejut, dan Yesus berhasil menguasai kuil. Peristiwa ini dikenal sebagai Pembersihan Kuil. Injil Yahya menggambarkan peristiwa tersebut sebagai berikut:

Di Bait Allah, Yesus menemukan orang-orang yang menjual sapi, domba, dan burung dara. Dan mereka melakukan perdagangan penukaran uang. Dan (dengan memakai) cemeti, dia (Yesus) mengusir mereka semua bersama-sama domba-domba dan sapinya keluar dari Bait Allah, dan menghancurkan kepingan-kepingan para pedagang uang dan memporakporandakan meja-meja mereka. (Yahya 2: 14-15)

 

Mengenai penafsiran ayat ini, terutama pengertian kata “cemeti”, Joel Charmichael dalam tulisannya yang berjudul The Death of Jesus mengatakan:

Para pengikut Yesus pasti menggunakan kekerasan dan menjelmakan suara nurani massa hingga mendapatkan dukung-an dari massa tersebut. Jika kita membayangkan luas Bait Allah yang terkenal megah dan agung itu, puluhan ribu peziarah yang membanjiri Bait itu, para pelayan Bait Allah, pasukan keamanan dan tentara Romawi, begitu juga reaksi langsung para pedagang uang, maka kita dapat mengetahui bahwa mengambil alihan Bait itu pasti lebih menggemparkan. Peristiwa sebenarnya dibalik penggalan cerita yang disampaikan oleh keempat Injil pasti jauh berbeda. Penulis Injil itu sengaja memperlunak dan memberikan ciri kerohanian pada peristiwa yang sebenarnya.”

 

Salah satu pelajaran yang diketahui oleh setiap pejuang kemerdekaan adalah bahwa polisi setempat bersimpati kepada para patriot dan bukan kepada para tentara penjajah. Hal ini pasti telah memainkan peranan penting dalam kejatuhan total dari pertahanan Bait Allah.

 

Romawi telah menderita kekalahan lokal, tetapi kekuatan utama mereka tidak hancur. Mereka meminta bantuan pasukan untuk menguasai Jerusalem. Pertahanan pintu gerbang Jerusalem bobol dalam beberapa hari saja. Pada akhirnya terbukti bahwa pasukan Romawi selalu kuat bagi para pejuang. Sehingga semua pengikut Yesus porak poranda. Bahkan para muridnya lari meninggalkan Yesus bersama segelintir pengikut-nya. Yesus bersembunyi dan tentara Romawi mengadakan pencarian secara intensif untuk menemukannya.

 

Penangkapan, pengadilan, dan penyaliban dilakukan secara membabi buta, sehingga banyak sekali kontradiksi dan kesalah-pahaman yang sulit sekali untuk mengungkap peristiwa yang sebenarnya. Kita mengetahui bahwa pemerintah Romawi memanfaatkan jasa sekelompok kecil orang-orang Yahudi yang memiliki kepentingan pribadi untuk mempertahankan kekuasa-an Romawi atas Jerusalem.

 

Judas Iskariot, seorang murid Yesus, terbujuk oleh janji hadiah 30 keping perak bagi siapa saja yang dapat menunjuk-kan persembunyian Yesus. Dalam rangka menghindari akibat yang lebih jauh, Romawi memutuskan untuk melakukan penangkapan di malam hari. Ketika sampai di tempat persem-bunyian Yesus, Judas diminta mencium Yesus, sehingga tentara Romawi bisa mengenalinya. Rencana tersebut salah langkah. Ketika tentara Romawi mengamati dari kegelapan, terjadilah keributan. Dua orang Yahudi (Judas dan Yesus) berpelukan dalam kegelapan dan tentara menangkap Judas, bukan menangkap Yesus. Oleh karena itu, Yesus berhasil meloloskan diri.

 

Paulus sendiri, yang kemudian mengembangkan ajaran tentang penyaliban Kristus sebagai penebus dosa, menyangsi-kan kebenaran penyaliban itu sebagaimana yang dikatakannya sebagai berikut:

Maka kita ini memberitakan Kristus yang tersalib, yaitu suatu keraguan bagi orang Yahudi.” (I Korintus 1: 23)

 

Allah SWT juga menjelaskan di dalam Alqur’an yang berbunyi sebagai berikut:

“… Tetapi mereka tidak membunuhnya, dan tidak menyalib-nya, hanya seorang yang serupa dengannya yang mereka lihat.” (Qs. an-Nisa: 55)

 

Ketika tawanan itu dibawa ke depan Pilatus, seorang hakim di Jerusalem, terjadi perubahan dramatis dari peristiwa yang melegakan semua pihak. Sebagian besar orang Yahudi merasa gembira. Sebab dengan suatu mukjizat, pengkhianat itu sedang berdiri di tiang salib dan bukan Yesus. Orang Yahudi yang mendukung kekuasaan Romawi juga senang. Karena dengan kematian Judas, bukti kejahatan mereka akan lenyap. Lebih jauh lagi, karena Yesus secara resmi dinyatakan mati. Maka dia tidak bisa tampil secara terbuka yang bisa menyulitkan mereka.

 

Peranan yang dimainkan hakim Pontius Pilatus sulit ditentukan. Sebagaimana yang diceritakan oleh keempat Injil, ketidakpastian pendirian hakim itu, yaitu di satu sisi dia mengikuti keinginan para pemuka Yahudi, tetapi di sisi lain dia sangat simpati kepada Yesus, membuat kisah itu sangat sulit untuk dipercaya. Bisa jadi hal ini akibat dari usaha para penulis Injil untuk memutarbalikkan fakta agar bisa melemparkan tanggung jawabnya atas penyaliban tersebut kepada seluruh pemuka Yahudi. Sehingga membebaskan seluruh dosa bangsa Romawi atas kematian Yesus. Keempat Injil yang menceritakan kisah penangkapan dan penyaliban itu adalah hasil penyaring-an konsili (sidang) Nicea tahun 325 M yang langsung dipimpin oleh kaisar Constantine. Oleh karena itu, satu-satunya berita resmi yang boleh disiarkan tentang kehidupan Yesus, tidak boleh menyinggung dan menyudutkan imperium Romawi. Oleh karena itu, cerita aktifitas tentara Romawi dan perincian peristiwa penangkapan disamarkan sedemikian rupa, untuk menghindari kebangkitan dendam dan kemarahan terhadap penguasa Romawi.

 

Penjelasan lain berdasarkan kisah-kisah tradisional dalam dunia Kristen, bahwa Pontius Pilatus itu disuap oleh pihak Yahudi dengan sejumlah barang yang bernilai sekitar 30.000 poundsterling. Jika yang digambarkan oleh keempat Injil itu benar, maka jelas terbukti bahwa Pilatus benar-benar memiliki kepentingan pribadi dalam drama yang dimainkan di Jerusalem pada saat itu.

 

Ada juga bukti lain yang sangat penting. Pada kalender para Santo (orang-orang suci Kristen) di gereja Koptik Mesir dan Ethiopia, mencantumkan Pilatus dan istrinya sebagai orang suci dan memiliki hari yang dihormati. Hal itu baru mungkin, jika Pilatus mengetahui betul bahwa tentara Romawi telah salah tangkap, lalu dia menjatuhkan hukuman kepada Judas, bukan kepada Yesus serta membiarkan Yesus meloloskan diri.

 

Sementara itu, di kalangan Kristen sendiri masih menyang-sikan siapa sebenarnya yang di salib itu. Jemaat Korintus dan Basilidius, dua jemaat asing yang mengikuti Kristen, berpen-dapat bahwa yang di salib itu bukanlah Yesus atau pun Judas, melainkan Simon. Korintus hidup pada masa Petrus, Paulus, dan Yohanes. Jemaat Carpocratius yang juga termasuk jemaat asing periode pertama, membantah bahwa Yesus di salib. Mereka berpendapat bahwa yang di salib itu adalah murid Yesus yang wajahnya mirip dengan gurunya. Plotinus (205-270 M) menceritakan bahwa dia pernah membaca buku yang berjudul “Perjalanan para murid Yesus” yang mengisahkan kehidupan Petrus, Yohanes dan Andreas, Thomas dan Paulus. Di antara isi buku itu mengatakan bahwa Yesus tidak di salib, tetapi ada orang lain yang menggantikannya. Justru karena itu Yesus menertawakan orang-orang yang menyatakan dan mempercayai bahwa Yesus telah di salib. Walaupun sudah diketahui bahwa Yesus tidak di salib, berbagai sumber memberikan keterangan yang sangat berbeda mengenai siapa sebenarnya yang di salib itu. Sebagian orang sulit mempercayai semua cerita tersebut:

Jika seseorang membayangkan bahwa daftar kekejaman yang dianggap bersumber dari ketentaraan Romawi, maka hampir semua peristiwa tersebut berkali-kali diulang-ulang secara kata demi kata pada kalimat tertentu di Perjanjian Lama… maka seseorang akan curiga bahwa keseluruhan episode tersebut semata-mata merupakan rekaan belaka.

 

Tidak terdapat catatan sejarah lainnya yang didapatkan tentang apa yang telah terjadi terhadap Yesus setelah Penyaliban tersebut, selain catatan pada Injil Barnabas dan Alqur’an. Kedua sumber ini menggambarkan peristiwa yang secara umum dikenal sebagai kenaikan (ascension) di empat Injil yang diakui, dimana Yesus diangkat (ke atas langit) dari dunia ini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar