Semakin banyak
upaya untuk menemukan siapa Yesus sebenarnya, semakin tampak betapa sedikitnya
sejarah beliau yang diketahui. Catatan yang membahas tentang kehidupan dan
ajarannya sangat terbatas. Gambaran tentang Yesus yang diberikan oleh
kebanyakan orang hanyalah sebuah polesan yang direkayasa. Sekalipun ada suatu
kebenaran di dalamnya, tetapi riset sejarah telah membuktikan bahwa keempat
Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes)
yang dipilih dalam Konsili Nicea tahun 325 M itu sudah dirubah dan disesuaikan
dengan rumusan keyakinan resmi yang ditetapkan pada konsili, yakni doktrin
Trinitas. Naskah-naskah yang berisi ajaran Tauhid yang dinyatakan bidat oleh
konsili tersebut dimusnahkan.
Tulisan-tulisan
sejarawan Romawi dan Yahudi di perte-ngahan abad pertama Masehi tidak ada yang
menyebut nama Yesus. Satu-satunya dasar yang dipegangi untuk mengungkap
ke-hidupan Yesus adalah keempat Injil Kristen yang disahkan dalam Konsili Nicea
itu. Injil Markus yang dianggap sebagai naskah tertua, ditulis sekitar tahun 60
M. Penulisnya, Markus. Beliau adalah kemenakan St. Barnabas, putra saudara
wanita-nya. Matius adalah seorang pemungut cukai, pegawai rendahan, yang tidak
mengikuti perjalanan Yesus di Galilea maupun Judea. Injil Lukas yang ditulis
belakangan, tampaknya memper-gunakan sumber dari Injil Markus dan Matius. Lukas
adalah dokter pribadi Paulus yang tidak pernah bertemu dengan Yesus. Injil
Yohanes tampak menggunakan sumber yang sangat berbeda sekali dengan Injil
lainnya. Ia ditulis sekitar tahun 100 M. Penulis Injil ini bukan Yohanes murid
Yesus. Hampir selama dua abad Injil ini masih dianggap kontroversial dan selalu
diperdebatkan, apakah Injil ini layak dipakai sumber cerita tentang Yesus dan
apakah dapat diterima sebagai kitab suci.
Penemuan
naskah-naskah gulungan dari laut mati (Dead
Sea Scrolls) memberikan suasana baru dalam memahami kehidupan masyarakat
tempat Yesus dilahirkan. Injil Barnabas mengungkapkan kehidupan Yesus lebih
luas daripada keempat Injil yang diresmikan oleh gereja. Sedangkan Alqur’an dan
hadits milik ummat Islam memberikan pandangan yang lebih jelas tentang siapa
sebenarnya Yesus itu. Setelah ditemukan naskah-naskah tua, sejak Codex Sinaiticus pada tahun 1862 M
sampai Dead Sea Scrolls yang pada
tahun 1948, makin tampak kebenaran yang diungkapkan oleh Alqur’an dan hadits.
Pada akhirnya,
kita menemukan bahwa Yesus itu bukanlah “Anak
Allah”, dia hanyalah manusia biasa seperti Ibrahim dan Musa yang hidup
sebelum dia, dan seperti Muhammad yang hidup sesudahnya, yang membutuhkan makan
dan minum, bahkan keluar-masuk pasar. Yesus dan mereka adalah manusia biasa
yang mendapatkan amanat dari Tuhan untuk menjadi nabi-Nya.
Kita akan
mengetahui bahwa Yesus itu terpaksa harus berjuang berhadapan dengan
orang-orang yang kepentingannya bertentangan dengan ajaran Yesus. Di antara
mereka ada yang ingin mendapatkan bimbingannya, tetapi ada pula yang mengakui
kebenarannya tetapi sengaja mengabaikan karena faktor-faktor duniawi seperti
rakus kekuasaan, kekayaan, dan status quo.
Kita juga akan
mengetahui bahwa kehidupan Yesus di Palestina merupakan bagian integral dari
sejarah bangsa Yahudi. Oleh karena itu, untuk memahami kehidupan Yesus harus
mengenal sejarah bangsa Yahudi. Selama hidupnya, Yesus melakukan ibadah Yahudi
yang diajarkan oleh Taurat Musa secara murni, menegakkan dan meluruskan kembali
ajaran Taurat Musa yang telah diselewengkan penafsirannya oleh para Rabi Yahudi
dari masa ke masa.
Pada akhirnya,
kita akan mengetahui bahwa orang yang di salib itu bukanlah Yesus. Melainkan
seseorang yang diserupa-kan seperti dia. “Maka
kita ini memberitakan Yesus yang tersalib,” kata Paulus dalam suratnya
untuk Jemaat di Korintus (I Korintus 1: 23). Tetapi disusul dengan kalimat
berikutnya yang berbunyi, “Yaitu suatu
syak kepada orang Yahudi, dan suatu kebodohan kepada pandangan orang kafir.”
Setiap orang
Kristen tidak akan mengetahui tahun kelahiran Yesus secara pasti dan tepat.
Menurut Injil Lukas 2: 1-20, Yesus dilahirkan ketika diselenggarakan sensus
penduduk wilayah Syiria dan Palestina atas perintah kaisar Agustus sekitar tahun 7 M (759 Romawi), setelah Herodes Archelaus (4 SM-6 M) dipecat
oleh pemerintahan Romawi, dan Judea langsung dijadikan wilayah provinsi Roma.
Tetapi menurut Injil Matius, Yesus dilahirkan di masa pemerintahan Herodes Agung (37-4 SM), ayah Herodes
Archelaus, yang meninggal tahun 4 SM (749 Romawi). Johannes Lehman dalam The
Jesus Report halaman 14-15 mengutip pendapat Vincent Taylor yang mengatakan bahwa Yesus lahir tahun 8 SM (745
Romawi). Pertentangan penjelasan ayat Injil Lukas dan Matius sungguh amat
tajam.
Keajaiban
kelahiran Yesus ke dunia menjadi bahan aktual dalam diskusi. Sebagian ada yang
mengatakan bahwa Yesus itu darah daging Yusuf sendiri, tunangan Maria (Maryam).
Karena Lukas dan Matius membuat silsilah Yesus sebagai keturunan nabi Daud
melalui benih Yusuf. Sebagian lagi ada yang berpendirian bahwa kelahiran Yesus
itu murni dan suci, tanpa ada campur tangan dari benih manusia. Oleh karena
itu, Yesus adalah “Anak Tuhan”.
Tetapi pihak yang berpendapat demikian juga bertentangan dalam memahami dan
menafsirkan penger-tian kata “Anak Tuhan”
tersebut. Di satu pihak memahaminya secara harfiah (literal), tetapi pihak lain
memahaminya secara kiasan (figuratif).
Ternyata Injil
Markus dan Yohanes sama sekali tidak memberitakan kelahiran Yesus. Sedangkan
Matius dan Lukas hanya menceritakan sekilas saja, dan membuat silsilah Yesus
sampai kepada nabi Daud. Matius membuat garis keturunan antara Yesus sampai
terdapat 28 orang. Sedangkan Lukas mencantumkan 43 orang. Jadi, terdapat
selisih 15 generasi. Jika satu generasi memiliki masa 40 tahun, berarti
terdapat selisih 600 tahun. Bahkan nama-nama orang yang termaktub dalam
silsilah keturunan tersebut banyak perbedaan.
Karena Yesus
lahir dan hidup dalam lingkungan bangsa Yahudi di Palestina, yang meliputi
wilayah Judea bagian selatan dan Galilea bagian utara, maka amat penting untuk
mengenal kehidupan Yesus dan masyarakat Yahudi di masanya. Dia lahir dan hidup
di saat Palestina dalam keadaan tidak tenteram.
Dari masa ke
masa, bangsa Israel (Yahudi) harus bertikai dengan bangsa lain. Setelah 40
tahun tinggal di padang Tiah di semenanjung Sinai ―setelah nabi Musa wafat
(sekitar abad ke-11 SM), Josua
berhasil merebut wilayah Palestina dari suku Edom, Kanaan, dan Filistin. Tetapi
setelah nabi Sulaiman wafat (sekitar
tahun 973-933 SM), Israel ditaklukkan oleh raja Sargon I dari kerajaan Asyiria pada tahun 722 SM. Kemudian
ditakluk-kan oleh Nebukadnezar dari
Babilonia pada tahun 586 SM. Kemudian ditaklukkan oleh Cyrus (Koresi) dari kerajaan Persi pada tahun 538 SM. Kemudian
ditaklukkan oleh Alexander dari
Makedonia pada tahun 332 SM, dan berkelanjutan di bawah kekuasaan Yunani sampai
tahun 168 SM. Pada masa itu, terbentuk kerajaan Yahudi kembali di bawah dinasti
Makkabi (168-63 SM) tetapi tidak berusia lama. Karena wilayah Palestina,
Syiria, dan Asia Kecil ditaklukkan kembali oleh imperium Romawi pada tahun 63
SM. Sejak di bawah kekuasa-an imperium itulah sejarah bangsa Yahudi di
Palestina diliputi kekacauan dan pemberontakan disebabkan beban pajak yang
teramat berat beserta penghinaan-penghinaan terhadap agama Yahudi.
Disebabkan
penindasan bangsa penakluk selama berabad-abad dan silih berganti, maka mereka
menyimpan dendam yang selalu membara di hatinya. Tetapi dalam kondisi yang
sehitam-hitamnya, di antara mereka ada golongan yang mengharapkan datangnya
seorang Musa baru beserta pendampingnya, yang akan menghantam bangsa penjajah
dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran Yahwe
(Allah yang Maha Esa). Seorang yang diharapkan kedatangannya itulah disebut Mesiah atau Almasih.
Disamping itu
ada yang melakukan kebaktian setiap matahari terbit. Tetapi ibadah itu hanya
dipakai sebagai simbol saja untuk meraih kedudukan dan kemewahan, baik dari
segi duniawi maupun agama. Mereka ini dipandang oleh pihak pertama tadi sebagai
pengkhianat.
Disamping ada
dua golongan itu, juga terdapat golongan ketiga yang karakter kehidupannya
sangat jauh berbeda dengan masyarakat Yahudi pada umumnya. Mereka sengaja
mengasing-kan diri ke daerah gersang sebagai tempat hidup dan beribadah sesuai
dengan ajaran Taurat nabi Musa, serta mempersiapkan diri menjadi gerilyawan
melawan bangsa penjajah. Tentara Romawi selalu gagal untuk menemukan
tempat-tempat persem-bunyian mereka. Jumlah kader mereka selalu bertambah
banyak. Kita bisa mengenali mereka melalui tulisan seorang sejarawan Yahudi
abad pertama Masehi yang bernama Josephus
Flavius. Ketiga golongan Yahudi itu
masing-masing disebut Farisi, Saduki, dan Esenes.
Di dalam keempat
Injil diceritakan bahwa Yesus hanya mencela dan memaki sekte Farisi dan Saduki,
tetapi tidak pernah menyebut sekte Esenes. Maka dapatlah dipahami bahwa Yesus
sendiri termasuk golongan yang terakhir itu. Walaupun golongan itu tidak
disebut-sebut di dalam keempat Injil, tetapi eksistensi sekte Esenes itu
diketahui melalui catatan Josephus Flavius dan catatan Pliny the Elder, ahli sejarah Roma, dan catatan Philo Judaeus, ahli sejarah Yahudi di
Iskandariyah. Tetapi sekalipun catatan sejarah itu tidak memberikan gambar-an
yang lengkap dan sempurna mengenai kelompok Esenes itu. Tiba-tiba secara
dramatis sekali, kumpulan dokumen yang dikenal dengan Dead Sea Scrolls muncul
ke sinar terang dari pegunungan batu Jordania
yang terletak di sebelah barat Laut Mati.
Dengan penemuan itu, dunia intelektual dan dunia Kristen terbelalak bagai
diguncang topan.
Pada tahun 1947,
seorang anak-anak Arab menggembala domba-dombanya dekat Qumran. Karena seekor
domba piara-annya hilang, dia mendaki bukit batu di situ untuk mencarinya. Di
saat itulah dia melihat sebuah gua yang menurut dugaannya dombanya masuk ke
situ. Ia pun melemparkan batu ke dalam gua. Dan ternyata dari gua tersebut
terdengar suara nyaring bagaikan batu membentur bejana keramik. Dia berkhayal
akan menemukan harta terpendam. Keesokan harinya dengan mem-bawa teman, dia
memasuki gua itu. Mereka menemukan guci keramik di antara yang pecah
berantakan. Mereka membawa-nya ke tempat perkemahannya dan lalu kecewa karena
hanya berisikan gulungan-gulungan perkamen tua. Mereka membuka sebuah gulungan
yang panjangnya dari ujung yang satu ke ujung lain kemahnya. Gulungan itulah
yang kemudian terjual seperempat juta dolar AS. Mereka menjualnya kepada Kando ―seorang Kristen Syiria― dengan
harga beberapa shilling saja (pecahan Poundsterling). Kando adalah seorang
tukang sepatu, dan ia lebih memerlukan kulit untuk lapis terompah maupun
sepatu. Ketika melihat tulisan yang tidak dikenalnya pada perkamen itu, dia memperlihatkannya
kepada seorang uskup berkebangsaan Syiria dari biara St. Markus di Jerusalem.
Perkamen itu segera dibeli oleh uskup itu dengan membayar harganya sekedar
ganti rugi.
Di bawah
penyelidikan American Oriental Institute
of Jordan, terbukti gulungan perkamen itu adalah naskah tertua kitab Yesaya (salah satu isi Alkitab
Perjanjian Lama) berbahasa Ibrani. Sejak itu, pencarian dan pengumpulan
dilakukan secara intensif disertai penggalian sebuah biara tua yang sangat luas
dan besar pada sebuah dataran di punggung bukit batu ―yang berdasarkan petunjuk
ahli sejarah Pliny the Elder (23-79
M) di dalam karyanya Historica Naturalis
bab V pasal 17, tempat itu adalah kediaman sekte Esenes. Tujuh tahun kemudian,
kum-pulan seluruh naskah-naskah gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls) yang
telah ditemukan itu disimpan di gedung yang dibangun pemerintah Israel di
Jerusalem, dikenal dengan Shrine of the
Book.
Secara hitungan
kasar, terdapat lebih enam ratus buah gua pada punggung bukit batu sepanjang
pinggir sungai Jordan. Di dalam gua itulah pada masa-masa genting, setiap
kelompok Esenes tinggal dan bersembunyi. Pada masa tenang mereka adalah zahid-zahid
yang shalih, menjalankan syariat Yahudi dengan taat, menundukkan diri
sepenuhnya kepada Yahuwa (Allah Maha Esa), tidak mau menundukkan kepada siapa
pun kecuali kepada-Nya. Pada lembah-lembah di bawahnya mereka menanam kurma,
dan hidup dari buah kurma itu.
Merasa jenuh dan
bosan menyaksikan kehidupan duniawi yang penuh pertumpahan darah dan
pertentangan itu, mereka pun memisahkan diri dan hidup sebagai zahid-zahid yang
wara’. Berbeda dengan rabi-rabi di Kuil Sulaiman (Solomon’s Temple) yang
megah itu, mereka menggunakan Taurat
Musa bukan untuk kepentingan uang tetapi memahaminya untuk diamalkan.
Begitu pula sikap mereka terhadap Kitab
Nabi-nabi (Nebiim) dan Kitab-kitab
Bimbingan (Ketubim) yang terhimpun dalam Alkitab (Bibel). Dengan sikap hidup yang zuhud seperti itu, mereka
ingin mencapai kesempurnaan dan kesucian.
Mereka menulis
nyanyian-nyanyian kezuhudan (gnostik), yakni nyanyian yang bersifat ma’rifat, yang isinya menggugah dan
meresap di jiwa. Salah satu lagu itu mengatakan, kehidup-an zuhud itu bagaikan
kapal di dalam topan. Pada lagu lainnya dilukiskan bahwa seorang zuhud itu
adalah bagaikan musafir di dalam rimba raya penuh singa yang lidahnya bagaikan
pedang. Pada awal perjalanan, si musafir itu mengalami tekanan pende-ritaan
bagaikan seorang wanita yang menunggu kelahiran bayinya. Jika sang musafir
berhasil mengatasinya, maka selan-jutnya akan berada di bawah tuntunan cahaya
Tuhan (God’s Perfect Light). Pada saat itulah manusia akan menyadari bahwa
dirinya itu hanyalah makhluk kosong berasal dari tanah, serta hidup dari hasil
tanah itu, dan kelak akan pulang kembali kepada tanah. Pada tahap itu, seorang
hamba tidak berhenti mengucapkan syukur kepada Yahuwa (Allah Maha Esa), dan menyadari bahwa dirinya telah diangkat
naik dari dalam lubang, untuk menyaksikan dan menikmati keindahan Nur Ilahi. Pada saat itulah dia akan
mampu berjalan dengan kepala tegak, tidak takut dan gentar kepada siapa pun
juga, kecuali hanya kepada Allah yang Maha Kuasa.
Sebelum penemuan
Dead Sea Scrolls itu, sedikit sekali diketahui tentang kelompok Esenes itu.
Pliny maupun Josephus pernah menyebut sekte itu, tetapi hampir dua puluh abad
lamanya ia dilupakan oleh ahli-ahli sejarah. Pliny menyebutnya suatu keturunan
yang sangat berbeda dengan ras lainnya. Ia menulis sebagai berikut:
“Mereka hidup tanpa wanita, menjauhi hubungan
seksual, tanpa menggunakan uang… Anggota mereka selalu bertambah melalui
sejumlah besar orang yang tertarik kepada sikap hidup mereka… melalui cara itu
generasi mereka terus lestari selama ribuan tahun, sekalipun tidak ada
kelahiran di situ…”
Josephus sendiri
melalui hidup sebagai anggota Esenes dan menulis bahwa Esenes mempercayai
kekekalan roh. Roh itu anugerah Allah. Allah membersihkan sebagian manusia
untuk menyembah-Nya, menyingkirkan seluruh godaan daging (hawa nafsu).
Seseorang yang mencapai kesempurnaan akan memper-oleh kesucian, bebas dari
titik-titik noda.
Kelompok-kelompok
zahid itu tidak mau tunduk kepada bangsa penjajah (Asyria, Babilonia, Persi,
Yunani, dan Romawi), membebaskan diri dari hubungan sosial yang berlangsung
sehari-hari. Kehidupan di daerah gersang itu tidaklah mem-bebaskan mereka dari
tanggung jawab terhadap sejarah bangsa Yahudi. Dengan berjama’ah dalam
kebaktian sehari-hari, mereka membentuk kekuatan dari waktu ke waktu. Disamping
taat kepada hukum Taurat Musa, mereka siap memperjuangkan kemerdekaan, supaya
dapat hidup di bawah naungan Taurat Maut dengan tenteram. Dari kelompok zuhud
itulah sering muncul perlawanan sengit dari waktu ke waktu. Anggota kelompok
pejuang ini dikenal dengan kaum Zealots.
Mereka berjuang semata-mata untuk kepentingan Tuhan, bukan mengharapkan
kekuasaan maupun keuntungan pribadi. Mereka terorganisir di bawah satu bendera,
dan setiap suku punya panji-panji sendiri. Kaum pejuang Zealots itu terbagi
menjadi empat pasukan. Setiap pasukan terdiri atas tiga suku Israel, hingga
semuanya melambangkan 12 suku Israel. Pemukanya keturunan Lewi, yang di dalam Taurat Musa dinyatakan sebagai keturunan Imam.
Tokoh itu bukan sekedar panglima pasukan, tetapi juga sebagai guru tentang
Hukum Musa. Setiap pasukan mempunyai Midrash
(perguruan atau sekolah) dan setiap Lewi itu, disamping bertugas sebagai
panglima militer, juga memberikan arsh
(pelajaran) secara teratur dalam perguruan itu.
Dengan hidup di
daerah gersang itu, kelompok-kelompok Esenes itu tidak memerlukan kesenangan
dan kemewahan, mereka hidup dengan amat sederhana. Mereka membentuk kelompok
rahasia (secret society) yang tidak
pernah ditunjukkan kepada orang, bukan anggotanya. Imperium Romawi mengeta-hui
akan eksistensi mereka, tetapi tidak pernah dapat menem-bus tabir rahasia yang
melindungi mereka. Impian dari setiap orang Yahudi yang berjiwa petualang
adalah menjadi anggota masyarakat Esenes. Karena dengan cara inilah mereka
dapat melawan penjajah asing dengan praktis.
Sebagaimana yang
telah dikatakan oleh Pliny, kelompok Esenes menjauhkan diri dari pernikahan,
tetapi selalu menam-pung bayi-bayi yang sengaja dititipkan orang untuk diasuh
dan dibesarkan dalam lingkungan esenes. Dengan demikian, selama berabad-abad
kelompok Esenes tetap lestari dan berkembang walaupun tidak pernah ada
kelahiran di situ. Nabi Zakaria ―yang
menjabat Imam Besar pada Bait Allah di Jerusalem― ketika memiliki putera pada
masa tuanya, mengirim puteranya kepada kelompok Esenes di daerah gersang itu.
Disitulah dia diasuh dan dididik. Kemudian anak nabi tersebut terkenal dengan
panggilan Yahya Pembaptis.
Karena kelompok
Esenes itu tinggal di daerah gersang, maka sekarang kisah Zakaria mengirim
puteranya ke daerah itu dapat diketahui sejelas-jelasnya. Tidak mungkin dia
membuang anaknya sendirian di tengah-tengah padang gurun. Tetapi dia mempercayakan
kepada kelompok-kelompok yang mampu mempertanggungjawabkan pendidikan puteranya
itu. Maria (Maryam) misan istri Zakaria, Elizabeth,
dibesarkan oleh Zakaria disebabkan ia diserahkan ke Bait Allah untuk memenu-hi
nazar ibunya. Didalam lingkungan serupa itulah Yesus lahir ke dunia.
Sewaktu Yesus
berusia remaja, tersiar berita bahwa Yahya telah keluar dari kelompok Esenes
dan hidup seorang diri di suatu daerah gersang. “Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makannya
belalang dan madu hutan”, (Matius 3: 4). Dia berda’wah dan mengajar orang
banyak, dan tidak memberikan jangka waktu yang panjang bagi murid-murid untuk
belajar hidup sebagai anggota Esenes. Dengan begitu, gerakan Yahya itu suatu
gerakan umum. Dia mengajak bangsa Yahudi agar kembali kepada jalan Tuhannya dan
menjanjikan bahwa kerajaan Allah pasti segera datang.
Mengenai Yahya
memakai baju kasar dan sederhana itu dapat diketahui dan dibandingkan melalui
kenyataan sejarah sebagaimana yang ditulis Josephus Flavius (37-100 M) di dalam
karyanya, tentang seorang zuhud lainnya, dan Josephus adalah salah seorang di
antara muridnya. Josephus sendiri tiga tahun lamanya hidup di daerah gersang
itu. Dalam masa itu ia berada di bawah bimbingan seorang zuhud bernama Bannus yang mengenakan pakaian kulit
kayu, hidup dari makanan yang tumbuh secara liar, bersikap ketat terhadap
dirinya.
Daerah gersang
itu merupakan tempat pelarian Daud pada masa dulu, begitu pula nabi-nabi
lainnya sebelum Daud. Di daerah gersang itulah seseorang Yahudi dapat bebas
dari dominasi penguasa asing dan dari pengaruh dewa-dewa palsu yang menjadi
pujaan asing itu. Dalam suasana serupa itu dapatlah seseorang lebih mendekatkan
dirinya kepada sang pencipta dan menyembah kepada-Nya saja. Di situlah tempat
kelahiran bagi keyakinan tentang keesaan Ilahi. Daerah gersang yang tandus itu
mengikis rasa aman yang palsu dan berbalik menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Sang Pencipta yang Hakiki. Uskup Pike
di dalam The Wildeness Revolt halaman
101 mengatakan, “Di dalam ketandusan daerah
gersang, seluruh pertanggungan lainnya gugur dan diri terserah sepenuhnya kepa-da
Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, yang merupakan Sumber Tetap bagi seluruh
kehidupan, yang merupakan Akar bagi seluruh perasaan tenteram.”
Justru
perjuangan di daerah gersang itu punya dua aspek. Pertama, berlangsung dalam diri sendiri, berjuang terhadap diri
sendiri, guna mencapai kerelaan Ilahi. Sikap hidup serupa itu mau atau tidak,
harus berakibat timbulnya pertentangan (konflik) dengan pihak yang tidak
menginginkan hidup serupa itu. Dengan sikap hidup seperti itu, ia pun bersikap
tabah menghadapi aspek perjuangan yang kedua, baik menang maupun kalah.
Seruan Yahya itu
cepat menarik perhatian orang banyak, dan mereka memenuhi panggilannya dibaptis
di sungai Jordan, (Matius 3: 1-6). Yahya lupa untuk menaati suatu ketentuan
yang teramat penting di dalam kaidah hidup kelompok Esenes itu bahwa “jangan membuka rahasia sekte kepada orang
lain walaupun disiksa sampai mati”. Demikianlah bunyi sebuah kalimat di
dalam Manual Dicipline, yang dikutip Edmund Wilson di dalam karyanya Dead Sea Scrolls.
Dengan demikian,
terbukalah jalan bagi pihak Romawi untuk melakukan infiltrasi ke dalam gerakan
itu melalui mata-mata. Sewaktu anggota sekte Farisi dan sekte Saduki datang
menemuinya, Yahya mengecam mereka itu dengan amat sengit (Matius 3: 7-12).
Dengan begitu, Yahya telah mengungkapkan dirinya bahwa dirinya bukan sekte
Farisi dan bukan sekte Saduki. Tetapi dia dan para pengikutnya itu suatu
gerakan lain. Keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, Yahya) tidak pernah
menyebut nama gerakan itu. Tetapi
catatan ahli-ahli sejarah (Josephus,
Pliny, Philo) dan penemuan Dead Sea Scrolls sete-lah Perang Dunia Kedua
itu telah mengungkap misteri nama kelompok itu, yaitu kelompok Esenes. Pada
akhirnya Yesus melibatkan diri ke dalam gerakan itu dan dibaptis oleh Yahya di
sungai Jordan (Matius 3: 13-17). Mungkin di antara sejumlah orang yang dibaptis
Yahya itu termasuk Barnabas dan Matius dan lainnya. Karena merekalah kelompok
duabelas orang yang mudah sekali menerima dan menyambut panggilan Yesus.
Kemudian mereka dipanggil dengan sebutan Duabelas
Rasul (Twelve Apostles).
Yahya mengetahui
bahwa “ular-ular berbisa” telah
berhasil menyusup ke dalam gerakannya sebelum dia sempat berjuang. Oleh karena
itulah, gerakan pembaptisan secara umum itu telah memberikan kepuasan
tersendiri baginya. Karena dia mengetahui bahwa gerakannya akan tidak terhenti
dengan kematiannya. Seperti sudah diramalkan oleh Yahya, dia ditangkap oleh
tentara Herodes dan dijatuhi hukuman mati dan mantelnya kini jatuh di bahu
Yesus.
Yesus kini
berusia tiga puluh tahun. Misinya tidak lebih tiga tahun. Dia menemui kenyataan
bahwa masa persiapan telah lewat. Untuk memahami keadaan masa itu, kita harus
menyoroti Yesus dari latar belakang sejarah, terutama sejarah bahsa Yahudi. Ini
akan lebih memperjelas gambaran yang sudah mulai muncul, bahwa eksistensi
kelompok masyarakat Esenes itu ―beserta kegiatan Yahya― disusul konflik antara
Yesus dengan pihak Romawi. Semua itu adalah bagian dari bagan yang berulang
kali terjadi sepanjang sejarah bangsa Yahudi. Dalam setiap kasus yang mendorong
pihak Yahudi itu untuk memberontak, ialah campur tangan penguasa asing itu
dalam urusan kebaktian kepada Allah yang Maha Esa (Yahuwa). Keyakinan mereka
kepada Allah dan tidak mau menyembah lainnya, merupakan keyakinan yang tertanam
kokoh dalam kelompok Esenes itu.
Ketika bangsa
Yahudi memegang kekuasaan, rajanya sering melakukan pelanggaran terhadap ajaran
Tuhan. Di awal perkembangan sejarahnya, bangsa Yahudi sering menentang dan
menumbangkan rajanya disebabkan sang raja itu “berbuat hal yang jahat pada mata Yahuwa” (Kitab Raja-raja Kedua 13:
11). Kemudian Nebukadnezar dari Babilonia menaklukkan dan menguasai Jerusalem.
Bait Allah di atas bukit Zion
dibiarkan utuh, tetapi wakaf harta yang tersimpan di bait Allah dan harta
kekayaan Istana dirampas. Bangsa Yahudi memberontak terha-dap kekuasaan
Babilonia itu. Babilonia melancarkan serangan balasan dan menghancurkan Bait
Allah yang terletak di atas bukit Zion itu. Begitu pula kota Jerusalem
dihancurkan oleh tentara Nebukadnezar.
Roda nasib
berputar. Babilonia ditaklukkan Persi. Cyrus
(550-530 SM) mengizinkan orang-orang Yahudi pulang ke Judea untuk membangun
Bait Allah dan Kota Suci itu serta menyerah-kan kembali harta kekayaan yang
dirampas Nebukadnezar. Bekas tawanan Yahudi yang pulang kembali ke Judea
berjumlah 42.360 jiwa. Di samping itu membawa budak dan wanita sebanyak 7.337
jiwa. Di dalamnya termasuk 200 pria penyanyi dan gadis penyanyi. Kafilah besar
itu membawa 736 ekor kuda, 245 ekor bighal, 435 ekor unta, dan 6.720 ekor
keledai (Kitab Ezra 2: 64-69). Jumlah hewan tersebut adalah tambahan dari
hewan-hewan yang mengangkut harta kekayaan itu.
Setelah tiba di
Jerusalem, dimulailah pembangunan Bait Allah. Untuk maksud itu terkumpul
sumbangan sebanyak 61.000 dinar (emas) dan 5.000 kati perak. Itu adalah
tambahan bagi harta kekayaan Bait Allah dan harta kekayaan istana yang dibawa
pulang kembali dari babilonia. Benda-benda yang terbuat dari perak diangkut
oleh seribu ekor kuda. Sejak pulang ke Judea itu, jumlah orang Yahudi bertambah
dan berkembang.
Tapi mereka tak
lama menikmati kekuasaan otonom yang dianugerahkan pihak Persi yang
raja-rajanya masa itu meng-anut agama Zaratustra. Alexander (337-323 SM) dari Makedo-nia
menjadi raja Yunani tahun 323 SM. Setelah dia meninggal dunia pada tahun 323
SM, wilayah luas yang telah berhasil ditaklukkannya terpecah belah menjadi
beberapa kerajaan yang dipegang oleh para jenderalnya. Dinasti Ptolomeus menguasai Mesir dan
Palestina. Dinasti Seleucos terbagi
dua. Satu pihak menguasai wilayah belahan timur sampai Asia Tengah,
berke-dudukan di Babilonia. Lain pihak menguasai Makedonia, Asia Kecil dan
Syiria, berkedudukan di Antiokia.
Dinasti Ptolomeus
mengkhawatirkan perkembangan pesat jumlah orang Yahudi, lalu memaksa sebagian
besar mereka pindah ke Mesir. Terbentuklah koloni Yahudi terbesar di negara itu
di luar Palestina. Sejak itulah Yahudi berbenturan langsung dengan kebudayaan
dan filsafat Yunani.
Pada tahun 198
SM, dinasti Seleucos merampas Jerusalem
beserta wilayah Palestina dari tangan dinasti Ptolomeus. Para penguasa baru itu
terlalu mencampuri urusan keagamaan bangsa Yahudi dalam rangka memaksakan. Hellenisasi, yakni memaksakan
kebudayaan Yunani kepada bangsa taklukan. Tindakan itu mencapai puncaknya pada
masa pemerintahan Antiochus IV
Epipaphanes (175-163 SM) yang memaksakan patung dewa Zeus ditempatkan pada mezbah Bait Allah di Jerusalem dan mengadakan
upacara korban babi pada mezbah itu. Pecahlah pemberontakan total bangsa Yahudi
di bawah pimpinan Makkabe
bersaudara. Kekuasaan Yunani tersingkir dan terbentuklah kekuasaan bangsa
Yahudi kembali di bawah Dinasti Makkabe
pada tahun 168-163 SM. Mereka membangun kembali Bait Allah yang runtuh dan
rusak. Para penguasa baru itu sangat populer sekali. Karena di samping sebagai
raja, Makkabe juga memangku jabatan Imam Besar. Dengan pemu-satan kekuasaan
pada satu tangan secara turun-temurun, maka berlaku sikap yang ketat dalam
pelaksanaan Hukum Taurat berdasarkan penafsiran-penafsiran yang terlalu sulit
dari pihak Farisi maupun Saduki. Akhirnya masyarakat umum mulai memperlihatkan
tantangan dan makin merasakan lebih senang berada di bawah kekuasaan asing.
Karena menyadari bahwa kekuasaannya mendapatkan tantangan, dinasti Makkabe
bukan merubah dan memperbaiki kebijaksanaan, tetapi justru semakin congkak dan
angkuh serta berbuat sewenang-wenang. Akibatnya, kebencian umum makin meluas,
dan bangsa Yahudi makin memperlihatkan tantangannya secara terus terang
terhadap para penguasanya itu. Hal itu membukakan jalan bagi penaklukan
Palestina oleh pihak imperium Romawi tahun 63 SM, setelah menaklukkan Afrika
Utara dan Mesir.
Pihak Romawi ―menjelang
kelahiran Yesus― kembali mengulangi kekeliruan para penguasa sebelumnya. Mereka
membangun lambang rajawali dari emas pada gerbang besar Bait Allah. Hal itu
membangkitkan kemarahan bangsa Yahudi, menimbulkan rangkaian pemberontakan dan
kerusuhan yang terus-menerus. Dua orang keturunan Makkabe mengobarkan
pemberontakan untuk menghancurkan lambang rajawali pada gerbang Bait Allah itu.
Pihak Romawi tidak menganggapnya sebagai hasutan biasa, tetapi juga
memandangnya sebagai penghinaan terhadap keagungan Romawi. Setelah melalui
pertumpahan darah, pemberontakan itu dapat dipadamkan. Kedua pemimpinnya
ditangkap dan dijatuhi hukuman bakar hidup-hidup. Tetapi tidak lama kemudian,
pecah lagi kerusuhan dan pemberontakan. Roma bertindak dengan segala kekerasan.
Sekitar dua ribu kaum pemberontak itu disalibkan pada jalan-jalan raya.
Walaupun sudah
dikalahkan, semangat mereka tetap tinggi. Ketika pada tahun 6 M, kaisar Agustus
memerintahkan pelak-sanaan sensus penduduk Yahudi untuk memudahkan pengum-pulan
pajak. Membayar pajak kepada kaisar yang mengaku keturunan Tuhan sangat
bertentangan dengan ajaran Taurat. Karena orang-orang Yahudi hanya mengakui
satu raja, yakni Jehovah (Yahuwa –
Allah), maka kerusuhan pun terjadi. Unsur-unsur (masyarakat) yang lebih moderat
menyadari bahwa konflik tersebut akan berakibat kehancuran total bagi
orang-orang Yahudi. Mereka mengajukan kompromi dan menyetujui pembayaran pajak
untuk menyelamatkan rakyat dari pembu-nuhan massal. Para pemimpin yang “membeli”
perdamaian dengan harga ini (berkompromi dengan Romawi) tidak disukai, dan
dianggap sebagai pengkhianatan terhadap bangsa Yahudi. Situasi sosial pada masa
sebelum dan menjelang kelahiran Yesus, bersama dengan peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan kematian Yahya telah disinggung di atas. Sekarang kita telah sampai
pada titik dimana seluruh gerakan perlawanan terpusat di sekitar pribadi Yesus
yang mendapatkan wahyu dari Tuhan.
Sebelum
melakukan sesuatu, Yesus harus pergi selama 40 hari untuk hidup dan berdoa di
alam bebas. Waktu itu dia berusia 30 tahun. Menurut adat Yahudi, anak laki-laki
yang seusia itu sudah terlepas dari pengawasan ayahnya. Tidak seperti Yahya,
Yesus mengajari mereka menentang bangsa Romawi tidak secara terang-terangan dan
terbuka. Melainkan dia melakukan persiapan-persiapan dengan sangat hati-hati.
Upaya pemberontakan di masa lalu telah berakhir dalam kehancuran, dan kematian
Yahya masih segar dalam ingatan Yesus. Dengan sangat hati-hati, ia mulai
mempersiapkan dan menggalang orang-orang Yahudi. Yesus tidak pernah membaptis
seorang pun. Sebab hal ini bisa mengundang kecurigaan orang-orang Romawi, dan
akan menjadi bumerang. Sebab dia tidak akan mampu membendung orang jahat yang
menyusup ke dalam gerakan perlawanannya. Yesus mengangkat duabelas murid. Suatu
jumlah tradisional yang mewakili duabelas suku Israel. Pada masa berikutnya,
mereka mengangkat 70 pejuang untuk mengabdi di bawah komando mereka.
Orang-orang Farisi selalu menjaga Am Al
Arez (kekuatan tubuh) dan mereka hidup di desa-desa. Yesus mengambil mereka
sebagai anggota kelom-poknya. Penduduk-penduduk desa, kebanyakan berasal dari
komunitas Esenes, menjadi pengikut setia (Zealots) Yesus, dan siap
mempertaruhkan jiwanya untuk membela ajaran Yesus. Mereka dikenal sebagai
orang-orang fanatik. Menurut Bibel,
paling tidak enam dari duabelas murid Yesus dikenal sebagai orang-orang
fanatik. Yesus, yang telah diutus untuk membenar-kan dan bukannya menolak
ajaran Musa, menyebar-kan seruan taurat: “Siapa
saja yang menaati hukum (Taurat) dan menjaga perjanjian (dengan Jehovah), maka
biarkan dia maju dan meng-ikutiku.” (Makkabe 2: 27-31). Sejumlah besar
orang bergabung, tetapi mereka tetap bergerak secara diam-diam, dan
peng-godogan mereka dilakukan di alam bebas. Mereka juga disebut Bar Yonim yang berarti anak-anak alam. Di antara mereka ada
orang-orang yang telah belajar menggunakan pedang yang dikenal sebagai Sicari (ahli-ahli pedang). Pada perkembangan berikutnya, sejumlah laki-laki
pilihan membentuk sejenis peng-awal, dan mereka dikenal sebagai Bar Yesus atau anak-anak Yesus. Sejumlah orang yang dikenal Bar Yesus disebut
dalam sumber-sumber kesejahteraan, tetapi tirai misteri mengitari mereka dan
tidak banyak yang diketahui tentang mereka. Hal ini bisa dipahami. Mereka
berada pada lingkaran yang paling dekat dengan para pengikut Yesus, dan
identitas mereka harus disembunyikan dari mata-mata Romawi.
Yesus memerintahkan kepada para pengikutnya: “Tetapi sekarang bagi siapa yang memiliki dana, biarkan ia mengambil-nya dan juga Injilnya, dan bagi siapa yang tidak memiliki pedang, perintahkan dia menjual pakaiannya dan membelinya.” (Lukas 22: 36). Jumlah pengikutnya semakin bertambah karena dia mendapatkan wahyu disertai mukjizat. Rangkaian akibat dari semua persiapan-persiapan ini menyebabkan pengganti Pilatus, Sossianus Hierocles, (sebagaimana yang dikutip oleh bapak gereja, Lectanius), mengatakan bahwa Yesus adalah seorang pemimpin kelompok perampok jalanan yang berjumlah 900 orang. Sebuah salinan dalam bahasa Yahudi zaman pertengahan yang merupakan suatu versi yang hilang dari tulisan Josephus juga melaporkan bahwa Yesus memiliki antara 2.000 sampai 4.000 pengikut bersenjata bersamanya.
Di dalam buku Dead Sea Scrolls, Edmund Wilson mengata-kan, Yesus sangat hati-hati untuk tidak
menyimpang dari ajaran masyarakat Esenes. Catatan di dalam Manual of Dici-pline, naskah milik Esenes yang ditemukan itu, mirip
dengan catatan yang terdapat dalam Injil dan Kisah Rasul. Selama melaksanakan
misinya, Yesus tidak mengungkapkan secara keseluruhan ajarannya kepada semua
pengikutnya. Kebenaran ajaran secara keseluruhan hanya diketahui sedikit orang
dari pengikut-pengikutnya.
Saya mempunyai banyak hal yang akan kukatakan kepada-mu,
tetapi kamu tidak mampu menanggungnya sekarang. Tetapi ketika dia ―Ruh
kebenaran datang― dia akan membimbingmu ke dalam keseluruhan kebenaran, tetapi
dia tidak akan berbicara atas (dasar) dirinya sendiri, tetapi apa saja yang ia
dengar, maka pasti ia ucapkan (sampaikan). (Yahya 16: 12-14)
Yesus tidak
mencari kekuasaan duniawi baik sebagai penguasa negeri, maupun kekuasaan di
lingkungan Rabi Farisi dan Saduki. Tetapi kemasyhurannya di kalangan rakyat dan
besarnya jumlah pengikutnya telah menyebabkan orang-orang Romawi dan Rabi-rabi
Yahudi yang mendukung Romawi takut bahwa Yesus ingin menjadi Raja Yahudi. Hal
itu jelas merupa-kan ancaman bagi posisi kekuasaan mereka dan mendorong mereka
berusaha melenyapkannya.
Misi Yesus
semata-mata menetapkan peribadatan kepada Sang Pencipta dengan cara yang telah
dia tentukan. Dia dan para pengikutnya telah dipersiapkan untuk memerangi siapa
saja yang menghalangi mereka untuk hidup sesuai dengan perintah Tuhannya.
Pertempuran
pertama terjadi melawan orang-orang Yahudi yang setia kepada orang-orang
Romawi. Pertempuran yang dipimpin oleh Bar Yesus Barabbas ini benar-benar meruntuh-kan moral kelompok Yahudi ini
(yang setia kepada orang-orang Romawi), karena pemimpin mereka terbunuh dalam
pertempur-an tersebut. Tetapi Bar Yesus Barabbas ditangkap oleh tentara Romawi.
Sasaran
berikutnya adalah Bait Allah itu sendiri. Romawi mempersiapkan pasukan untuk
menjaga keamanan perayaan tahunan pesta Paskah
yang sudah semakin dekat. Tentara Romawi yang pada saat itu selalu mencari gara-gara,
semakin memperketat penjagaan untuk membantu polisi kuil yang menjaga tempat
suci itu. Cara memasuki kuil yang dilakukan Yesus telah direncanakan dengan
sangat rapi, sehingga tentara-tentara Romawi benar-benar terkejut, dan Yesus
berhasil menguasai kuil. Peristiwa ini dikenal sebagai Pembersihan Kuil. Injil Yahya menggambarkan peristiwa tersebut
sebagai berikut:
Di Bait Allah, Yesus menemukan orang-orang yang
menjual sapi, domba, dan burung dara. Dan mereka melakukan perdagangan
penukaran uang. Dan (dengan memakai) cemeti,
dia (Yesus) mengusir mereka semua bersama-sama domba-domba dan sapinya keluar
dari Bait Allah, dan menghancurkan kepingan-kepingan para pedagang uang dan
memporakporandakan meja-meja mereka. (Yahya 2: 14-15)
Mengenai penafsiran
ayat ini, terutama pengertian kata “cemeti”,
Joel Charmichael dalam tulisannya
yang berjudul The Death of Jesus
mengatakan:
“Para pengikut Yesus pasti menggunakan
kekerasan dan menjelmakan suara nurani massa hingga mendapatkan dukung-an dari
massa tersebut. Jika kita membayangkan luas Bait Allah yang terkenal megah dan
agung itu, puluhan ribu peziarah yang membanjiri Bait itu, para pelayan Bait
Allah, pasukan keamanan dan tentara Romawi, begitu juga reaksi langsung para
pedagang uang, maka kita dapat mengetahui bahwa mengambil alihan Bait itu pasti
lebih menggemparkan. Peristiwa sebenarnya dibalik penggalan cerita yang
disampaikan oleh keempat Injil pasti jauh berbeda. Penulis Injil itu sengaja
memperlunak dan memberikan ciri kerohanian
pada peristiwa yang sebenarnya.”
Salah satu
pelajaran yang diketahui oleh setiap pejuang kemerdekaan adalah bahwa polisi
setempat bersimpati kepada para patriot dan bukan kepada para tentara penjajah.
Hal ini pasti telah memainkan peranan penting dalam kejatuhan total dari
pertahanan Bait Allah.
Romawi telah
menderita kekalahan lokal, tetapi kekuatan utama mereka tidak hancur. Mereka
meminta bantuan pasukan untuk menguasai Jerusalem. Pertahanan pintu gerbang
Jerusalem bobol dalam beberapa hari saja. Pada akhirnya terbukti bahwa pasukan
Romawi selalu kuat bagi para pejuang. Sehingga semua pengikut Yesus porak
poranda. Bahkan para muridnya lari meninggalkan Yesus bersama segelintir
pengikut-nya. Yesus bersembunyi dan tentara Romawi mengadakan pencarian secara
intensif untuk menemukannya.
Penangkapan,
pengadilan, dan penyaliban dilakukan secara membabi buta, sehingga banyak
sekali kontradiksi dan kesalah-pahaman yang sulit sekali untuk mengungkap
peristiwa yang sebenarnya. Kita mengetahui bahwa pemerintah Romawi memanfaatkan
jasa sekelompok kecil orang-orang Yahudi yang memiliki kepentingan pribadi
untuk mempertahankan kekuasa-an Romawi atas Jerusalem.
Judas Iskariot,
seorang murid Yesus, terbujuk oleh janji hadiah 30 keping perak bagi siapa saja
yang dapat menunjuk-kan persembunyian Yesus. Dalam rangka menghindari akibat
yang lebih jauh, Romawi memutuskan untuk melakukan penangkapan di malam hari.
Ketika sampai di tempat persem-bunyian Yesus, Judas diminta mencium Yesus,
sehingga tentara Romawi bisa mengenalinya. Rencana tersebut salah langkah.
Ketika tentara Romawi mengamati dari kegelapan, terjadilah keributan. Dua orang
Yahudi (Judas dan Yesus) berpelukan dalam kegelapan dan tentara menangkap
Judas, bukan menangkap Yesus. Oleh karena itu, Yesus berhasil meloloskan diri.
Paulus sendiri,
yang kemudian mengembangkan ajaran tentang penyaliban Kristus sebagai penebus
dosa, menyangsi-kan kebenaran penyaliban itu sebagaimana yang dikatakannya
sebagai berikut:
“Maka kita ini memberitakan Kristus yang
tersalib, yaitu suatu keraguan bagi orang Yahudi.” (I Korintus 1: 23)
Allah SWT juga
menjelaskan di dalam Alqur’an yang berbunyi sebagai berikut:
“… Tetapi mereka tidak membunuhnya, dan tidak
menyalib-nya, hanya seorang yang serupa dengannya yang mereka lihat.” (Qs.
an-Nisa: 55)
Ketika tawanan
itu dibawa ke depan Pilatus, seorang hakim di Jerusalem, terjadi perubahan
dramatis dari peristiwa yang melegakan semua pihak. Sebagian besar orang Yahudi
merasa gembira. Sebab dengan suatu mukjizat, pengkhianat itu sedang berdiri di
tiang salib dan bukan Yesus. Orang Yahudi yang mendukung kekuasaan Romawi juga
senang. Karena dengan kematian Judas, bukti kejahatan mereka akan lenyap. Lebih
jauh lagi, karena Yesus secara resmi dinyatakan mati. Maka dia tidak bisa
tampil secara terbuka yang bisa menyulitkan mereka.
Peranan yang
dimainkan hakim Pontius Pilatus sulit ditentukan. Sebagaimana yang diceritakan
oleh keempat Injil, ketidakpastian pendirian hakim itu, yaitu di satu sisi dia
mengikuti keinginan para pemuka Yahudi, tetapi di sisi lain dia sangat simpati
kepada Yesus, membuat kisah itu sangat sulit untuk dipercaya. Bisa jadi hal ini
akibat dari usaha para penulis Injil untuk memutarbalikkan fakta agar bisa
melemparkan tanggung jawabnya atas penyaliban tersebut kepada seluruh pemuka
Yahudi. Sehingga membebaskan seluruh dosa bangsa Romawi atas kematian Yesus.
Keempat Injil yang menceritakan kisah penangkapan dan penyaliban itu adalah
hasil penyaring-an konsili (sidang) Nicea tahun 325 M yang langsung dipimpin
oleh kaisar Constantine. Oleh karena itu, satu-satunya berita resmi yang boleh
disiarkan tentang kehidupan Yesus, tidak boleh menyinggung dan menyudutkan imperium
Romawi. Oleh karena itu, cerita aktifitas tentara Romawi dan perincian
peristiwa penangkapan disamarkan sedemikian rupa, untuk menghindari kebangkitan
dendam dan kemarahan terhadap penguasa Romawi.
Penjelasan lain
berdasarkan kisah-kisah tradisional dalam dunia Kristen, bahwa Pontius Pilatus
itu disuap oleh pihak Yahudi dengan sejumlah barang yang bernilai sekitar
30.000 poundsterling. Jika yang digambarkan oleh keempat Injil itu benar, maka
jelas terbukti bahwa Pilatus benar-benar memiliki kepentingan pribadi dalam
drama yang dimainkan di Jerusalem pada saat itu.
Ada juga bukti
lain yang sangat penting. Pada kalender para Santo (orang-orang suci Kristen)
di gereja Koptik Mesir dan Ethiopia, mencantumkan Pilatus dan istrinya sebagai
orang suci dan memiliki hari yang dihormati. Hal itu baru mungkin, jika Pilatus
mengetahui betul bahwa tentara Romawi telah salah tangkap, lalu dia menjatuhkan
hukuman kepada Judas, bukan kepada Yesus serta membiarkan Yesus meloloskan
diri.
Sementara itu,
di kalangan Kristen sendiri masih menyang-sikan siapa sebenarnya yang di salib
itu. Jemaat Korintus dan Basilidius, dua jemaat asing yang
mengikuti Kristen, berpen-dapat bahwa yang di salib itu bukanlah Yesus atau pun
Judas, melainkan Simon. Korintus hidup pada masa Petrus, Paulus, dan Yohanes.
Jemaat Carpocratius yang juga
termasuk jemaat asing periode pertama, membantah bahwa Yesus di salib. Mereka
berpendapat bahwa yang di salib itu adalah murid Yesus yang wajahnya mirip
dengan gurunya. Plotinus (205-270 M) menceritakan bahwa dia pernah membaca buku
yang berjudul “Perjalanan para murid
Yesus” yang mengisahkan kehidupan Petrus, Yohanes dan Andreas, Thomas dan
Paulus. Di antara isi buku itu mengatakan bahwa Yesus tidak di salib, tetapi
ada orang lain yang menggantikannya. Justru karena itu Yesus menertawakan
orang-orang yang menyatakan dan mempercayai bahwa Yesus telah di salib.
Walaupun sudah diketahui bahwa Yesus tidak di salib, berbagai sumber memberikan
keterangan yang sangat berbeda mengenai siapa sebenarnya yang di salib itu.
Sebagian orang sulit mempercayai semua cerita tersebut:
Jika seseorang membayangkan bahwa daftar kekejaman yang dianggap bersumber dari ketentaraan Romawi, maka hampir semua peristiwa tersebut berkali-kali diulang-ulang secara kata demi kata pada kalimat tertentu di Perjanjian Lama… maka seseorang akan curiga bahwa keseluruhan episode tersebut semata-mata merupakan rekaan belaka.
Tidak terdapat
catatan sejarah lainnya yang didapatkan tentang apa yang telah terjadi terhadap
Yesus setelah Penyaliban tersebut,
selain catatan pada Injil Barnabas dan Alqur’an. Kedua sumber ini menggambarkan
peristiwa yang secara umum dikenal sebagai kenaikan
(ascension) di empat Injil yang diakui, dimana Yesus diangkat (ke atas langit)
dari dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar