Selasa, 22 April 2025

Unitarian Awal dalam Kristen

Orang-orang Kristen Apostolik ―para pengikut Yesus dan Barnabas― telah menghasilkan sejumlah sarjana yang ketakwaan dan pengetahuannya dihormati dan dimuliakan bahkan sampai saat ini. Penafsiran Apostolik terhadap kitab suci Injil bersifat kesejarahan tidak seperti pendekatan ortodoks yang dikenal saat ini. Tidak mencari makna kiasan yang tersembunyi (Allegorical) dalam teks Injil. Tetapi menerima makna lahir dari ucapan-ucapan yang diucapkan oleh ‘Isa (Yesus). Mereka juga bersikap kritis dalam memegang beberapa bagian dalam Bibel yang dipandang lebih kuat dari lainnya. Mereka berpegang teguh kepada keesaan Tuhan dan menolak setiap dogma yang berbau Trinitas. Mereka menekankan tokoh Yesus yang “menyejarah” dan menolak menggunakan istilah “anak” ketika menyebutnya. Mereka berusaha sungguh-sungguh untuk hidup sebagaimana yang dicontohkan Yesus dan bersikap sebagaimana yang dilaksanakan Yesus. Sebagian tokoh terpenting dari mereka yang mengikuti para pengikut Yesus ini adalah:

 

IRANAEUS (130-200 M)

Pada masa kelahiran Iranaeus, Kristen Antiokia telah tersebar sampai ke Afrika Utara dan sampai ke Spanyol dan bagian selatan Perancis. Catatan pertama yang dibuat yang menyangkut Iranaeus adalah pada saat ia membawa sebuah petisi untuk membela Pothinus ―uskup dari Lyons― kepada Paus Elutherus di Roma. Dalam petisi ini, sebuah permohonan diajukan ke Paus Elutherus untuk menghentikan penyiksaan terhadap orang-orang Kristen yang tidak setuju dengan doktrin Gereja Pauline. Iranaeus masih berada di Roma ketika ia mendengar bahwa semua orang-orang Kristen “pembelot” tersebut ―termasuk uskup Pothinus― telah dibunuh. Setelah kembali, Iranaeus menggantikan Pothinus sebagai uskup Lyons.

 

Pada tahun 190 M, ia sendiri menulis kepada Paus Victor untuk menghentikan pembantaian terhadap orang-orang Kristen yang dibunuh semata-mata karena keyakinan mereka yang berbeda. Cerita lama kembali terulang, dan dia sendiri dibunuh pada tahun 200 M karena membantu tujuan orang-orang Kristen yang tidak mau mengikuti Paus.

 

Iranaeus meyakini Tuhan yang Maha Esa dan mendukung doktrin tentang “kemanusiaan” Yesus. Dengan sengit ia mengkritik Paulus karena bertanggung jawab memasukkan doktrin-doktrin dari agama berhala dan filsafat Plato ke dalam Kristen. Secara luas, Iranaeus mengutip dari Injil Barnabas. Setelah membaca tulisan-tulisan Iranaeus inilah yang mendorong Fra Marino tertarik terhadap Injil Barnabas, yang pada gilirannya menyebabkan penemuannya kepada manuskrip dalam bahasa Italia yang berisi tentang Injil Barnabas di perpustakaan kepausan.

 

TERTULLIAN (160-220 M)

Tertullian menjadi (anggota) dari gereja Afrika. Dia adalah seorang penduduk asli Carthage (Kartago). Dia meyakini keesaan Tuhan dan mengidentifikasikan Yesus dengan “juru selamat” (Messiah) Yahudi. Dia menentang Paus Callistus karena mengajarkan bahwa “dosa asal” telah diampuni setelah melaksanakan penebusan dosa resmi (di bawah gereja). Dia menekankan tentang kesatuan jiwa dan eksistensi.

 

Dia menulis: “Orang-orang kebanyakan berpikir tentang Kristus sebagai seorang manusia biasa.”

 

Paus Callistus-lah yang memperkenalkan istilah “Trinitas” ke dalam tulisan-tulisan “ecclesiastical” (gerejawi) Latin ketika ia membahas doktrin baru yang aneh tersebut. Istilah Trinitas sama sekali tidak pernah digunakan dalam kitab-kitab suci.

 

ORIGEN (185-254 M)

Origen adalah seorang berkebangsaan Mesir asli. Mungkin ia dilahirkan di Alexandria. Ayahnya (Leonidas) mendirikan suatu pusat belajar dan mengangkat seorang teolog kenamaan (Clement) sebagai pimpinannya. Origen menerima pendidikannya di pusat belajar ini. Gereja Pauline tidak merestui keyakinan-keyakinan yang dipegang teguh oleh Leonidas yang telah mengikuti Kristen Apostolik dan menolak untuk menerima tafsiran-tafsiran dan inovasi-inovasi Paulus. Dia dibunuh pada 208 M. Origen sangat terpengaruh oleh peristiwa ini sehingga ia sangat ingin untuk mengorbankan dirinya sendiri sebagai seorang syahid, tetapi dihalangi oleh ibunya.

 

Gurunya (Clement) karena kehidupannya dalam bahaya, maka ia meninggalkan Alexandria. Ayahnya telah tiada, gurunya telah pergi dan Origen merasa wajib untuk meneruskannya. Sebagai pimpinan baru sekolah tersebut, dengan cepat ia mencapai reputasi karena ilmu dan keberaniannya. Karena didorong ketakwaan dan kesetiaannya yang berlebihan, ia merusak (bagian tubuh) dirinya sendiri dengan mengikuti kata-kata Matius 19: 12.

Terdapat bagian “sida-sida” (orang yang telah mengebiri) yang dilahirkan dari rahim ibunya; dan terdapat sebagian sida-sida yang dijadikan oleh manusia; dan akan ada sida-sida yang telah menjadikan dirinya sendiri sebagai sida-sida karena mengharap datangnya kerajaan surga. Dia yang mampu melakukan hal itu, semoga menerimanya (Kerajaan Surga).

 

Pada tahun 230 M, dia dinobatkan sebagai seorang pendeta di Palestina. Tetapi uskup Demerius memecat dan membuang-nya. Dia mengungsi ke Caesarea pada tahun 231 M. Dengan mengikuti contoh ayahandanya, dia mendirikan pusat belajar di Caesarea dan sekolah ini juga menjadi sangat terkenal.

 

Jerome, penulis Injil Vulgate (Injil pertama yang ditulis dalam bahasa Latin) yang terkenal, pada awalnya mendukung Origen. Tetapi kemudian ia meyakini doktrin Trinitas dan menjadi musuhnya. Jerome berusaha agar Origen dikecam oleh gereja. Tetapi karena popularitas Origen, uskup John tidak mungkin melakukannya. Dalam kenyataannya, Origen sendiri akhirnya mengasingkan diri. Tetapi pada tahun 250 M, Jerome berhasil. Dia dipenjarakan dan mengalami penyiksaan yang terus-menerus yang berakibat kematiannya pada 254 M. Alasan pemenjaraannya adalah penolakan terhadap doktrin Trinitas dan mengajarkan tentang keesaan Tuhan. Dia mempercayai bahwa Tuhan adalah Maha Tinggi dan Yesus tidak bisa menyamai-Nya, tetapi dia adalah hamba-Nya.

 

Origen menulis sekitar 600 brosur dan risalah. Dia telah digambarkan sebagai “salah satu dari karakter yang paling menarik dalam sejarah gereja”. Sejak muda sampai ajalnya, ia telah memperlihatkan keberanian yang luar biasa. Dia sangat tekun dan sabar. Dia memiliki semua kualitas seorang guru sejati dan orang-orang yang diajarnya mencintainya. Kekuatannya (dalam membedakan hal yang benar dari yang keliru), energi kreatifnya dan keluasan pengetahuannya hampir tak tertandingi di kalangan orang-orang Kristen.

 

DIODORUS

Diodorus adalah seorang uskup dari Tarsus. Dia dipandang sebagai salah satu pemimpin terpenting dalam Kristen Antiokia.

 

Dia bersiteguh bahwa dunia adalah sasaran perubahan. Tetapi perubahan itu sendiri adalah suatu keadaan, yang berarti memiliki suatu permulaan dan membutuhkan sesuatu yang menempati (sebelum permulaan tersebut). Sehingga terdapat suatu yang tetap di belakang perubahan-perubahan tersebut. Lebih jauh lagi, keberagaman eksistensi dan kebijaksanaan yang diperlihatkan dalam setiap proses perubahan itu sendiri menunjukkan terhadap kesatuan asal yang mendasarinya dan memperlihatkan kehadiran Sang Pencipta dan Pemelihara. Pastilah yang demikian itu adalah satu Pencipta yang Maha Esa.

 

Diodorus menekankan (sifat) kemanusiaan secara menyeluruh dalam diri Yesus yang memiliki jiwa manusia dan daging manusia.

 

LUCIAN (meninggal tahun 312 M)

Reputasi Lucian di samping karena ketakwaannya, juga karena kemasyhurannya sebagai seorang yang berilmu. Dia memiliki pengetahuan tentang (bahasa) Ibrani maupun Yunani. Dia tetap berada di luar jamaah gereja dari tahun 220 sampai 290 M. Kesuciannya dan pengetahuannya yang kokoh telah menarik simpati sejumlah besar orang, dan madzhabnya segera menjadi benih yang pada masa-masa berikutnya dikenal sebagai doktrin Arian. Arius adalah salah satu muridnya.

 

Lucian percaya kepada penafsiran gramatikal dan literal (sesuai dengan bunyi lahir suatu kata) dari kitab-kitab suci (Injil). Dia menentang kecenderungan untuk mencari-cari makna-makna simbolis dan kiasan dari teks-teks Injil, dan percaya kepada suatu pendekatan empiris dan kritis terhadap kitab-kitab tersebut. Bukti adanya perbedaan ini menunjukkan kenyataan bahwa pada saat itu orang-orang mulai lebih bersandar kepada kitab-kitab suci, dan semakin kurang sandaran mereka terhadap penyampaian secara lisan dari apa yang telah diajarkan Yesus. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya ajaran Yesus dalam totalitasnya telah lenyap.

 

Lucian adalah seorang ilmuwan besar. Dia merevisi Alkitab Septuaginta (Alkitab berbahasa Yunani). Dia memisahkan berbagai perubahan yang telah dilakukan terhadap sebagian Injil ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, dan menghasilkan “empat Injil”, yang urutannya merupakan Injil-injil yang sebenarnya. Empat Injil (hasil revisi Lucian) ini tidak sama dengan empat Injil yang secara umum diterima oleh Gereja Pauline saat ini.

 

Dia percaya bahwa Yesus tidaklah sama dengan Tuhan dan karenanya berada (di bawah) Tuhan. Pandangan inilah yang menyulut kebencian Gereja Pauline. Dan setelah mengalami berbagai penyiksaan, ia dihukum mati pada tahun 312 M.

 

ARIUS (250-336 M)

Kehidupan Arius sangat erat hubungannya dengan sejarah kehidupan Kaisar Constantine. Sehingga tidak mungkin memahami salah satunya tanpa mengetahu yang lainnya.

 

Contantine terlibat dengan gereja berawal dari kecemburuannya terhadap putra mahkota yang bernama Cripus. Pangeran muda tersebut sangat terkenal karena ketampanannya, berperilaku baik, dan keberaniannya di medan pertempuran. Untuk mengukuhkan posisinya sebagai Kaisar, Constantine terpaksa membunuhnya. Kematian Cripus menggoreskan kesedihan di seluruh lapisan masyarakat. Telah diketahui bahwa ibu tiri Cripus sangat menginginkan anak kandungnya bisa mengganti-kan Cripus. Oleh sebab itu, ia memiliki motif untuk membunuh Constantine. Maka Constantine membunuhnya dengan menenggelamkannya pada sebuah bak mandi yang penuh dengan air mendidih. Dia ingin menutupi satu kejahatan dengan kejahatan lainnya. Tetapi akibatnya justru bertolak belakang dengan yang ia rencanakan. Para pendukung ratu (ibu Cripus) justru bergabung dengan para pengikut putra mahkota yang mati tersebut. Dan kedua belah pihak menuntut balas dendam. Dalam keadaan putus asa, Constantine pergi ke pendeta-pendeta di kuil Jupiter di Roma untuk meminta tolong. Tetapi mereka berkata kepadanya bahwa tidak akan ada pengorbanan maupun doa yang bisa membebaskannya dari dua pembunuhan tersebut. Karena merasa tidak tenang berada di Roma, ia memutuskan pergi ke Byzantium.

 

Kemudian ia menamakan kota tersebut dengan namanya sendiri dan menyebutnya Constantinople (Kota Constantine). Di kota ini ia mendapat keberhasilan yang tidak disangka-sangka dari Gereja Paulus. Mereka berkata kepadanya, jika ia telah melakukan penebusan dosa di gereja, maka dosa-dosanya telah diampuni. Constantine memanfaatkan sepenuhnya “fasilitas” ini. Tangannya bukan saja dilumuri darah dari dua pembunuh-an tersebut, tetapi juga disibukkan dengan masalah-masalah dalam memerintah kekaisarannya. Setelah menenangkan batin-nya dengan pengakuan dosa, ia mulai tenang dan memalingkan perhatiannya kepada peristiwa-peristiwa dalam kekaisaran. Dia melihat peluang untuk memanfaatkan gereja bagi tujuannya sendiri. Jika gereja setia kepadanya, maka ia akan memberikan dukungan sepenuhnya kepada gereja. Dengan dukungan yang tak disangka-sangka ini, gereja menjadi kekuatan besar hanya dalam waktu “semalam”. Constantine memanfaatkan sepenuhnya posisi gereja. Negeri di sekitar Mediteranian dipenuhi dengan gereja-gereja Kristen, dan Kaisar memanfaatkan mereka yang sangat menguntungkan Constantine dalam peperangan yang dihadapinya. Sebagian besar pendeta (gereja) melaksanakan tugas intelijen yang sangat berguna baginya, dan bantuan mereka merupakan faktor penting dalam usahanya dan untuk mempersatukan Eropa dan Timur Tengah di bawah kekuasaannya. Sebagian karena didorong rasa terima kasihnya, dan sebagian dalam rangka mengurangi pengaruh kekuasaan para pendeta Roma di kuil Jupiter yang telah menolak untuk mendukungnya. Constantine mendorong orang-orang Kristen untuk membangun sebuah gereja di Roma. Tetapi Constantine sendiri tidak masuk Kristen. Karena rakyatnya masih banyak yang percaya pada Jupiter dan dewa-dewa lain di kuil pusat (Pantheon) di Roma. Untuk mengurangi kecurigaan, ia membuat sejumlah keputusan yang seolah-olah membuktikan bahwa ia juga menyembah dewa-dewa Romawi. Segala sesuatu tampak berjalan dengan baik sampai ketika pertentangan lama antara Gereja Paulus dengan Gereja Apostolik berkobar lagi.

 

Pemimpin Gereja Apostolik tetap mempertahankan keimanan kepada Tuhan yang Esa. Pada saat itulah muncul seorang Presbyter (ketua majelis agama/gereja) yang bernama Arius. Dia adalah seorang Libya asli yang memberikan kekuatan baru Gereja Apostolik. Secara tersirat ia mengikuti ajaran Yesus, dan menolak “temuan-temuan” baru yang diperkenalkan oleh Paulus. “Ikutilah ajaran sebagaimana yang diajarkan Yesus” adalah semboyan Arius. Kedudukannya yang penting bisa diukur dengan kenyataan bahwa namanya menjadi identik dengan aliran Unitarianisme sampai sekarang.

 

Gereja Paulus menerima kritikan tajam dari Arius. Dia bukan sekedar “seorang pendeta yang sibuk” sebagaimana para musuhnya meyakinkan orang-orang untuk mempercayai tuduhan tersebut, tetapi mereka bahkan dipaksa untuk mengakui dengan bukti yang sebenarnya bahwa dia adalah seorang “Presbyter yang tulus dan tidak bersalah”. Pada saat di mana tradisi lisan yang menjaga ajaran Yesus mulai melemah, dan ketika pemahaman terhadap apa yang telah ditulis mulai berkurang, Arius menghidupkan kembali keduanya dan memper-baruinya dengan kerja keras dan kebijaksanaannya. Dia tetap menjauhkan diri dari persekutuan yang dilakukan gereja dengan Kaisar Constantine.

 

Arius adalah mantan murid dari kritikus terbesar terhadap Gereja Paulus, seorang syahid agung, dia bernama Lucian dari Antiokia yang terkenal karena keluasan ilmunya. Dan seperti para pendahulunya, ia dibunuh karena mempertahankan pandangan-pandangannya yang tidak disetujui oleh Gereja Paulus. Dengan demikian, Arius menyadari akan bahaya yang mengan-camnya bila mengajarkan kepercayaan yang berbeda dari ajaran-ajaran yang diakui gereja tersebut. Sekalipun masa mudanya tidak diketahui, tetapi tercatat bahwa pada tahun 318 M, ia bertugas di Gereja Baucalis di Alexandria. Gereja itu adalah gereja tertua dan yang terpenting di kota tersebut.

 

Dari sedikit catatan yang bisa dipercaya, diketahui bahwa dia adalah seorang yang tinggi dan kurus. Sebenarnya ia tampan. Tetapi karena kurus, kulit mukanya pucat dan pan-dangannya muram. Terkesan dari kelemahan sorot matanya. Dia berpakaian dan bertingkah laku seperti orang-orang zuhud (ascetic). Dia memakai jubah panjang dengan lengan pendek. Rambutnya panjang tak teratur. Biasanya ia pendiam. Tetapi jika suasana telah memanas, ia akan memcahkan keheningan dengan kata-katanya yang tajam dan mengagumkan. Suaranya merdu dan tingkah lakunya yang menawan telah merebut hati orang-orang yang pernah bergaul dengannya. Dia dipandang sebagai salah satu Presbyter yang terpenting dan terkenal di Alexandria, dan selalu dihormati oleh siapa saja yang menemuinya:

Kemasyhurannya tersebar dengan cepat, bahkan di luar Alexandria sebagai seorang pekerja yang rajin membimbing ke arah kehidupan lurus dan ascetic (zuhud). Seorang da’i yang kuat, bersikap jantan dan terang-terangan dalam masalah prinsip-prinsip dasar agama. Dia dikaruniai kemampuan berbicara yang luar biasa dan tingkah laku yang menawan. Dia juga mampu mengobarkan semangat seperti kobaran pemimpin-pemimpin keagamaan besar dunia. Dia adalah seorang yang sangat tulus dan doktrin yang ia ajarkan adalah vital dan kokoh. Juga diketahui bahwa dia memiliki pengikut wanita tidak kurang dari 700 orang di Alexandria.

 

Sampai pada masa itu, agama Kristen bukan merupakan hasil dari suatu paksaan. Terdapat perbedaan-perbedaan antara sekte-sekte Kristen. Kadang-kadang perbedaan tersebut sangat dalam dan pahit. Tetapi keyakinan apa pun yang dipegang oleh seseorang didasarkan atas keyakinan pribadinya dan kesetiaan-nya. Pada periode setelah “menghilangnya” Yesus dari bumi inilah orang-orang suci dan para mujahid dengan senang hati menyerahkan nyawa mereka daripada melakukan kompromi dengan menjual keimanan mereka. Pedang-pedang penguasa telah diayunkan ke seluruh negeri untuk melenyapkan keimanan-keimanan seperti ini. Ketika Constantine melakukan persekutuannya yang pertama kali dengan gereja, terjadilah perubahan dramatis. Sekalipun ia tetap menjadi Pontifex Maximus (pendeta tertinggi dalam kuil Roma), dan tetap dalam kapasitasnya sebagai pemimpin agama berhala yang secara resmi merupakan agama negara, tetapi secara terbuka ia mulai mendukung gereja Kristen. Mungkin ia sedikit mengetahui perbedaan antara Gereja Pauline dan cabang-cabang dari Gereja Apostolik. Tanda-tanda yang menguntungkan ini telah menempatkan Kristen dalam posisi baru dan akhirnya benar-benar menjadi satu-satunya peribadatan resmi di kekaisaran Romawi. Bagi banyak orang, agama Kristen secara tiba-tiba telah menjadi masalah kebijaksanaan politik dan kepentingan. Sebagian orang yang “murtad” dengan segera bergabung kembali dengan “sedikit” bantuan tekanan dari pemerintah. Oleh sebab itu, banyak para pemeluk baru Kristen yang tidak berdasar panggilan nurani, tetapi sebagai akibat dari bentuk keyakinan yang sama sekali berbeda. Agama Kristen telah menjadi suatu gerakan massal. Tetapi gerakan ini adalah suatu gerakan yang menyulut kembali perbedaan antara Gereja Paulus dan Gereja Apostolik. Mereka yang masuk Kristen karena panggilan nurani, biasanya memilih pendekatan yang tidak terlalu kuat terhadap pendekatan Gereja Paulus. Gereja Apostolik hanya disambut oleh mereka yang secara tulus ingin mengikuti cara hidup Yesus.

 

Pada tahapan ini, Constantine yang tidak mengerti dan juga tidak percaya terhadap agama Kristen, melihat keuntungan politis dengan memiliki suatu gereja kesatuan yang mematuhinya. Dan pusatnya akan berada di Roma, bukan di Jerusalem. Ketika anggota-anggota Gereja Apostolik menolak untuk memenuhi keinginan ini, Constantine berusaha memaksa mereka dengan kekerasan. Tetapi tekanan dari luar ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Sejumlah komunitas kekuasaan Uskup Roma memandang perubahan ini sebagai siasat politis dari seorang penguasa asing, dan jauh menyimpang dari ajaran Yesus.

 

Pemberontakan pertama berasal dari kalangan komunitas Barbar di Afrika Utara. Pemberontakan ini tidak dipimpin oleh Arius. Tetapi oleh seorang yang bernama Donatus. Orang-orang Barbar selalu mempertahankan keyakinan-keyakinan dasar tertentu. Yang terkuat di antaranya adalah keyakinan mereka tentang keesaan Tuhan. Mereka bisa mempercayai Yesus sebagai manusia, bukan sebagai Tuhan. Karena Yesus tidak pernah mengatakan bahwa Roma akan menjadi pusat ajarannya, mereka tidak bisa menerima rencana kaisar itu. Pada tahun 313 M, Donatus terpilih sebagai uskup. Dan selama 40 tahun ia tetap menjadi pemimpin Gereja Apostolik yang terus berkembang secara bertolak belakang dengan Uskup Roma. Menurut Jerome, “Donatisme” menjadi agama bagi hampir semua daerah Afrika Utara dalam waktu satu generasi, dan tidak ada kekuatan maupun argumen yang bisa mengubahnya.

 

Uskup Roma berupaya untuk memasang salah satu dari uskup-uskupnya di Kartago untuk menggantikan Donatus. Nama uskup tersebut adalah Cacealian. Prestise Constantine telah menjulang tinggi. Sehingga dalam konflik yang semakin tajam tersebut, kedua belah pihak menghadap kepadanya. Mereka mengharapkan dukungan kaisar agar tidak usah susah payah melawan pihak lawannya. Upaya mendapatkan perlindungan dari Constantine ini telah menyebabkan suatu perubahan yang sangat penting dalam sejarah Kristen. Constantine memutuskan untuk memenangkan Cacealian. Masyarakat Kartago berkumpul di sekitar kantor konsul yang memihak Roma dan menuntut pemecatan Cacealian. Constantine merasa terganggu dengan aksi mereka. Dan untuk itu, memutuskan pengadilan di bawah pimpinan Uskup Roma untuk menengahi kedua belah pihak tersebut. Donatus tidak hadir dan tidak ada seorang pun yang hadir dalam persidangan untuk membela kasusnya. Keputusan yang ada menjatuhkan “vonis salah” in absentia. Gereja Apostolik di Afrika Utara menolak untuk menerima keputusan ex parte (sepihak) dari Uskup Roma. Constantine merasa malu karena para pelayan Tuhan bertentangan di kalangan mereka sendiri sebagaimana orang-orang awam lainnya. Sekalipun ia kecewa, ia mengatur persidangan baru di Arles. Dua pihak yang bertikai diminta untuk mengambil jalur yang terpisah agar tidak terjadi pertikaian-pertikaian sebelum persidangan dilaksanakan. Orang-orang Donatus kalah lagi. Keputusannya adalah “para uskup berhadapan dengan orang-orang berbahaya yang tidak memiliki rasa hormat kepada kekuasaan ataupun tradisi. Mereka hanya pantas mendapatkan kecaman.” Keputusan ini benar-benar tidak bisa lagi diterima oleh orang-orang Kristen Afrika Utara daripada keputusan-keputusan yang dibuat oleh para penguasa terdahulu. Sebagaimana yang terjadi, mereka kurang menghormati Konsul Roma dan pegawai-pegawai kekaisaran lainnya. Selama beberapa generasi, orang-orang Kristen Afrika Utara telah mengalami penyiksaan di tangan para pejabat kekaisaran, dan memandang mereka sebagai utusan-utusan setan. Pada masa lalu mereka telah disiksa karena beragama Kristen. Sekarang mereka disiksa karena menganut “jenis” Kristen yang “keliru”. Orang-orang Afrika tidak bisa menerima bahwa para pejabat kekaisaran Romawi telah menjadi pelayan-pelayan Tuhan dalam semalam. Karena mereka semata-mata berupaya untuk memperkuat seorang uskup Gereja Paulus di Roma yang sedang berkuasa. Sampai pada titik ini, Donatus tetap menjadi uskup mereka yang paling termasyhur.

 

Sedikit sekali yang diketahui tentang tokoh terkenal ini. Buku-buku yang ditulisnya dan perpustakaannya berisi manuskrip-manuskrip yang sangat tinggi nilainya semua dibakar oleh tentara Romawi. Mereka melakukan tindakan itu atas nama Gereja Kristen dukungan kaisar kafir yang telah berkembang kedudukan dan kekuatannya, penampilan pribadinya, sahabat-sahabatnya dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Diketahui bahwa Donatus adalah seorang pembicara yang baik dan pemimpin yang hebat. Dia selalu disambut dengan penuh semangat kapan saja ia pergi, sehingga ia tetap dikenal lama setelah ketiadaannya. Para pengikutnya biasa bersumpah dengan “rambutnya yang putih”. Tampaknya ia telah menggambarkan sebagai rohaniawan yang yakin akan hidup dengan baik di dunia dan di akhirat jika mereka melaksanakan tindakan-tindakan yang benar. Integritas dan kejujurannya diakui oleh teman-teman maupun musuh-musuhnya. Dia dikenal sebagai pembaru keagamaan “yang memurnikan gereja Kartago dari kesalahan”. Dia dipandang masyarakat sebagai seorang pekerja yang aneh dan seorang suci yang lebih bijaksana dari Daniel. Dia bersikap kokoh dalam menentang segala usaha untuk mengurangi atau mengubah ajaran asli Yesus.

 

Constantine menulis sepucuk surat kepada kedua kelompok dan meminta mereka untuk melupakan perbedaan-perbedaan mereka, untuk bersatu di bawah gereja yang disukainya. Surat ini penting artinya, karena Constantine menganggap dirinya lebih tinggi dari gereja. Apa pun bentuknya, dan setiap rujukan kepada Yesus akan dicurigai tanpa (penyebutan) dirinya. Surat tersebut tidak berpengaruh sama sekali, dan tidak ada kemajuan yang dicapai dalam memperkuat keputusan dari persidangan yang dilaksanakan di Arles tersebut.

 

Pada bulan Juli 315 M, kaisar kembali ke Roma. Ia harus pergi ke Milan untuk membasmi serangan-serangan orang-orang Perancis yang meletus di bagian utara Italia. Setelah selesai dengan tugas-tugas perang ini, ia mengangkat suatu komisi untuk pergi ke Afrika. Mengamati keadaan dan mendamaikan pertikaian yang ada. Ketika tiba di Afrika, komisi ini diboikot dan kerusuhan terjadi. Sehingga anggota-anggota komisi tersebut di paksa kembali ke Italia tanpa mencapai hasil apa pun. Berita yang mengagetkan ini sampai pada Constantine pada tahun 316 M. Dia memutuskan untuk pergi ke Afrika Utara secara pribadi, dan dia sendiri yang akan memberikan aturan yang jelas tentang bagaimana Tuhan yang Maha Tinggi itu.

 

Menarik untuk dilihat bahwa Constantine mempertimbangkan hal ini dalam kepentingannya untuk membuat keputusan semacam ini. Dalam surat yang ia tulis kepada kedua gereja Afrika tersebut ia mengatakan:

Apalagi yang bisa dilakukan dengan kesibukan yang terus-menerus dan kedudukan saya sebagai seorang kaisar, setelah membasmi kesalahan dan menghancurkan pandangan yang gegabah, apalagi kalau bukan mengarahkan semua orang untuk membahas secara bersama-sama untuk mengikuti agama yang benar dan kesederhanaan hidup, dan untuk menyerah kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan (hanya) menyembah kepada-Nya.

 

Jelas terlihat bahwa begitu teladan Yesus telah dilupakan atau diabaikan, maka “agama yang benar” menjadi suatu masalah pendapat. Dan tidak ada pendapat yang disukai Constantine kecuali pendapatnya sendiri. Hanya dengan pendekatan Kristen semacam inilah Constantine bisa sangat tertarik terhadap masalah-masalah internal dari suatu agama yang belum dipeluknya. Constantine memandang dirinya sebagai seorang yang berbicara dengan kekuasaan yang lebih besar daripada para pemimpin gereja. Dan tampaknya ia menganggap dirinya lebih sebagai “nabi” Tuhan daripada sebagai manusia biasa. Uskup-uskup Gereja Paulus yang duduk pada persidangan di Arles tampaknya memiliki pandangan yang sama dengan Constantine. Mereka mengklaim bahwa keputusan mereka telah tercatat “dengan kehadiran Roh Kudus dan malaikat-malaikat-Nya”. Tetapi ketika kekuasaan mereka diabaikan, maka mereka berpaling ke kaisar untuk meminta pertolongan.

 

Sebagaimana yang telah terjadi, Constantine tidak jadi pergi ke Afrika sebagaimana yang telah direncanakan. Orang-orang Donatus telah berkembang menjadi sangat kuat. Sehingga tidak bijaksana untuk terlibat secara pribadi dalam pertikaian antara Donatus dan Cacealian. Karena jika campur tangannya secara pribadi gagal, maka hal itu akan menjadi pukulan besar bari prestise-nya. Tetapi sebaliknya, ia justru mengeluarkan suatu keputusan yang mengutuk Donatus dan mengalihkan perhatiannya untuk “memanfaatkan dari penyembahan terhadap Dewa Tertinggi dengan cara yang tepat”. Ketika keputusan ini diabaikan, “suatu hukum yang sangat keras” dikirimkan ke Afrika: gereja-gereja yang dimiliki oleh orang-orang Donatus harus diambil alih, dan para pemimpinnya dibuang ke pengasingan. Pada awalnya Cacealian berusaha menyuap para pemimpin gereja Donatus, tetapi tidak berhasil. Mereka menentang perintah kekaisaran tersebut, mengabaikan suapannya, dan mengumumkan upaya penyuapan tersebut secara luas. Cacealian dicap sebagai “seorang yang lebih kejam dari pembunuh dan lebih brutal dari seorang tiran”.

 

Gereja Roma, yang saat itu telah mengambil sebutan “Katholik” untuk menunjukkan universalitas pendekatannya dalam menyembah Tuhan (Catholic berarti “luas” dan “menyelu-ruh”), meminta orang-orang Donatus untuk bersatu. Pengajuan tersebut tidak berpengaruh. Dan Donatus menolak penyerahan gerejanya kepada Cacealian. Akhirnya, tentara Romawi bertindak. Terjadilah pembunuhan massal. Mayat-mayat dilemparkan ke dalam sumur dan uskup-uskup dibunuh di dalam gerejanya. Tetapi orang-orang Donatus yang lolos dari pembantaian itu tetap teguh dan gerakan mereka menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Mereka menamakan gerejanya dengan “Gereja Para Syahid”. Peristiwa ini semakin memperlebar per-bedaan antara Gereja-gereja Donatus dan Gereja Katholik. Karena Gereja Katholik bersekutu dengan hakim-hakim kafir dan pasukannya, maka orang-orang Katholik disebut sebagai “Schismatic” (yang memecah-belah) dan gereja mereka diidentikkan sebagai tempat berhala kebencian. Constantine menyadari kesalahannya dengan mencoba membangun harmoni keagamaan dan persatuan dengan cara kekerasan. Dengan menimbang bahwa kebijaksanaan lebih baik dari keberanian, maka ia membiarkan penduduk Afrika Utara (untuk menyelesai-kan masalahnya sendiri). Tetapi dari peristiwa mengerikan itulah Constantine mengajak seluruh sekte-sekte gereja untuk melaksanakan sidang umum yang dikenal dengan Konsili Nicea.

 

Sebelum kembali kepada sejarah Arius ―yang pada tahap ini baru mulai terdengar “suaranya”― akan menjadi menarik untuk memberikan sejarah singkat tentang orang-orang Donatus sampai datangnya Islam. Begitu Constantine telah mengalihkan perhatiannya dari Afrika Utara kepada bagian-bagian lain dalam kekaisarannya, maka penyiksaan terhadap orang-orang Donatus semakin berkurang, dan jumlah mereka berkembang pesat. Mereka menjadi kuat. Sehingga pada saat kaisar ingin membangun sebuah gereja bagi orang-orang Katholik Afrika Utara pada tahun 330 M, orang-orang Donatus merampasnya. Kaisar menjadi murka. Tetapi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menjanjikan kepada orang-orang Katholik dengan sejumlah uang yang cukup untuk membangun gereja lain mereka. Gerakan Donatus bahkan tersebar sampai ke Roma. Mereka juga memiliki seorang uskup di Roma. Tetapi ia dipandang berada di bawah tingkatan uskup di Kartago dan Nicomedia.

 

Donatus telah mencapai kekuasaan penuh di Kartago. Dia dianggap oleh rakyat sebagai seorang yang lebih dari manusia biasa. Dia tidak pernah dipanggil “uskup”, tetapi dikenal sebagai “Donatus dari Kartago”. Augustin menjelaskan, jika Donatus dihina, maka reaksi pengikutnya sangat keras, daripada jika mendengar Yesus dihina. Hal ini membuktikan dengan jelas kasarnya perkataan yang digunakan orang-orang Katholik pada saat membicarakan tentang Donatus.

 

Pada saat pemerintahan Constantine berakhir, orang-orang Donatus tetap menjaga kebebasan gereja mereka dan menen-tang setiap campur-tangan dari kaisar atau pejabat-pejabatnya dalam masalah agama. Tetapi mereka bukanlah orang Sektarian yang picik. Augustin sendiri mengamati bahwa orang-orang Donatus tidak menindas orang-orang Katholik ketika jumlahnya kecil. Tetapi orang-orang Katholik yang selalu mengklaim sebagai orang-orang yang toleran, ternyata tidak menjamin kelangsungan hidup orang-orang Donatus ketika sekali lagi kekuatan-kekuatan kekaisaran dikirim untuk menaklukkan orang-orang yang tidak mengenal rasa takut ini. Tetapi, di samping adanya penyiksaan yang terus berlanjut, orang-orang Donatus menolak kaisar untuk mengubah cara peribadatan mereka. Dalam pandangan mereka, “orang-orang Katholik adalah pendeta-pendeta jahat yang bekerjasama dengan raja-raja dunia. Karena mengharapkan restu istana, mereka telah menurunkan derajat Kristus.”

 

Setelah wafatnya Donatus, penduduk Afrika Utara tetap mengikuti teladannya. Dan selama tiga ratus tahun, ajarannya tentang apa yang telah di bawa Yesus tetap diikuti. Ketika Islam datang kepada mereka, mereka segera memeluknya. Karena mereka telah lama mempersiapkan diri untuk menerima keesaan Tuhan, sehingga (Islam) sebagai penyempurnaan dan penegasan terhadap ajaran yang selama ini mereka ikuti.

 

Terdapat gerakan lain yang mirip dengan gerakan Donatus yang terjadi secara bersamaan. Tetapi tidak terkait dengan gerakan Donatus yang tumbuh di daerah selatan Mesir. Constantine baru akan melakukan upaya lain untuk menyelesaikan keruwetan masalah Kristen di Afrika Utara pada tahun 324 M ketika perhatiannya beralih ke Mesir, sebuah negeri yang selalu di guncang oleh pemberontakan dan pertikaian. Ketika penyiksaan terhadap orang-orang Kristen oleh Diocletianus sampai pada puncaknya, banyak dari mereka yang terpaksa melakukan kompromi untuk menghindarkan siksaan. Seorang pendeta bernama Meletius menyatakan bahwa pendeta-pendeta yang secara terang-terangan merendahkan agama Kristen akan dilarang melaksanakan fungsi kependetaan mereka. Juga dilarang menghadiri semua majelis yang melakukan penyembahan murni, kecuali kalau mereka menunjukkan bukti yang memuaskan terhadap penjelasan mereka. Peter, yang pada saat itu menjadi Patriach (ketua dewan gereja) Alexandria, mengusulkan suatu cara yang lebih lunak. Tetapi mayoritas penduduk mendukung Meletius. Ketika Alexander menduduki tahta keuskupan, dia membuang Meletius ke daerah pertambangan.

 

Ketika Meletius kembali, banyak dari pengikutnya berkumpul di sekitarnya. Dia mengangkat uskup-uskup, pendeta-pendeta, dan deacon (orang yang bekerja untuk membantu gereja) dan membangun banyak gereja. Mereka menolak untuk menyerah terhadap para penyiksanya. Meletius menamakan gerejanya dengan “Gereja Para Syahid” yang bertentangan dengan para pengikut Alexander yang menyebut diri Katholik dan mengikuti versi Paulus. Setelah kematian Meletius, Alexander melarang para pengikutnya untuk melaksanakan majelis-majelis peribadatan mereka. Untuk menentang aturan ini, mereka mengirim utusan ke Constantine. Hanya dengan bantuan Eusibius dari Nicomedia sajalah akhirnya mereka diijinkan untuk menemui kaisar. Kehadiran mereka di istana merupakan alasan lain yang menyebabkan Constantine menyerukan pelaksanaan Konsili Nicea. Eusibius adalah sahabat Arius, dan melalui pertemuan inilah terjadi hubungan antara gerakan Arian dan Meletian.

 

Gerakan yang dipimpin Arius ini terjadi karena untuk menentang penindasan kedua Gereja Para Syahid tersebut. Tidak satu pun terdapat catatan yang membela Arius, atau semua catatan yang netral tentang gerakannya benar-benar telah dihancurkan. Hampir semua buku yang memuat Arius yang masih ada ditulis oleh musuh-musuhnya. Untuk itu, tidak mungkin memberikan pandangan sepenuhnya tentang kehidupannya. Dengan mengaitkan ceceran-ceceran informasi yang masih ada, gambaran berikut akan muncul: Peter ―uskup Alexandria― mengangkatnya sebagai “deacon” tetapi kemudian memecatnya. Achillas ―penerus Peter― sekali lagi mengang-katnya sebagai seorang pendeta. Arius menjadi sangat terkenal. Sehingga ketika Achillas meninggal, dia memiliki kesempatan yang besar untuk menggantikannya. Tetapi Arius tidak mempunyai keinginan untuk terlibat dalam pemilihan. Maka Alexander-lah yang dipilih menduduki kursi keuskupan. Sebuah kecaman dibuat menentang Arius karena ajarannya. Saingannya (Alexander) menjadi hakim (dalam persidangan), dan akhirnya Arius dipecat lagi.

 

Sampai pada titik ini, telah terdapat berbagai bentuk dalam keyakinan-keyakinan Kristen. Doktrin Trinitas saat itu diterima oleh sebagian besar rakyat yang menyebut diri sebagai orang Kristen. Tetapi tidak ada seorang pun yang yakin arti sebenarnya dari istilah tersebut. Sebagian orang secara membabi-buta membenarkan yang lain. Tetapi Donatus dan Meletius menolaknya. Mereka yang berada di antara dua kutub ini secara bebas menjelaskan doktrin tersebut dengan cara yang mereka anggap terbaik. Setelah lebih dari dua abad pembahasan dan perdebat-an, tidak ada seorang pun yang mampu menyatakan doktrin tersebut dalam istilah-istilah yang bebas dari penjelasan yang bertele-tele dan mengelak dari pertanyaan-pertanyaan rumit. Arius berdiri tegak dan menentang setiap orang yang mendefinisikannya. Alexander menyerah secara total. Semakin ia mencoba menjelaskannya, maka semakin bingung dibuatnya. Arius ―dengan menggunakan nalar dan bersandar kepada otoritas dari kitab-kitab suci (Injil)― membuktikan bahwa doktrin tersebut palsu.

 

Arius mengajukan penolakan terhadap penjelasan-penjelas-an Alexander dengan mengacu kepada Yesus. Jika Yesus memang benar “anak Tuhan”, maka akan segera disertai penger-tian bahwa “Bapak” pastilah akan ada sebelum “anak” ada. Oleh sebab itu, pasti terdapat rentang waktu ketika “anak” belum ada. Oleh karena itu, “anak” adalah makhluk yang tersusun dari sebuah “esensi” atau makhluk yang tidak “selalu” ada. Karena Tuhan adalah “zat” Mutlak (abadi, tak bermula) dan eksistensi yang Maha Ada (selalu ada), maka Yesus tidak mungkin bisa menjadi “esensi” yang sama sebagaimana “esensi” Tuhan.

 

Arius selalu mengajukan pandangannya berdasar akal dan logika. Karena Alexander tidak mampu mengembangkan argumen-argumen sanggahan yang masuk akal, maka ia selalu kalah dan kehilangan kesabarannya. Setelah mengajukan per-syaratan-persyaratannya ia berkata: “Dimanakah kelemahan deduksi saya dan manakah silogisme saya yang salah?” Pada tahun 321 M, Arius menjadi seorang pendeta “pembelot” yang terkenal, dan ia sangat teguh memegang keyakinannya.

 

Setelah kekalahannya, Alexander memanggil Synode (majelis gereja) daerah untuk mengumumkan keputusan terhadap doktrin Arius. Sekitar 100 Uskup Mesir dan Libya hadir dalam synode tersebut. Arius dengan jantan mempertahankan sikapnya, dan dengan kemampuannya yang kuat ia menyatakan pandangannya: “Terdapat suatu (rentang) waktu ketika Yesus tidak ada, sementara Tuhan telah ada (tak bermula). Karena Yesus diciptakan oleh Tuhan, maka keberadaannya terbatas. Sehingga ia tidak mungkin memiliki sifat kekal dan tak bermula. Hanya Tuhan yang abadi. Karena Yesus adalah seorang makhluk, maka ia adalah subyek yang bisa berubah seperti makhluk-makhluk rasional lainnya. Hanya Tuhan yang “tidak berubah”. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa Yesus bukan Tuhan. Sebagaimana penggunaan logika dalam pandangannya, Arius juga mendukung argumen-argumennya dengan berbagai ayat dari Bibel yang tidak pernah mengajarkan Trinitas. Jika Yesus berkata: “Bapakku lebih besar dari aku”. Maka barang-siapa yang mempercayai Tuhan dan Yesus adalah sama, berarti menolak kebenaran Yesus. Begitu Arius berargumen.

 

Argumen-argumen Arius tidak terbantah. Tetapi Alexander dengan posisinya yang menguntungkan, memecatnya. Tetapi Arius telah memiliki pengikut yang besar, sehingga ia tidak bisa diabaikan oleg Gereja Paulus. Terutama karena uskup-uskup daerah Timur tidak mau menerima keputusan Alexander tersebut. Perbedaan yang telah “membara” hampir tiga ratus tahun tersebut meledak. Alexander merasa gundah dan terganggu karena begitu banyak uskup-uskup Timur yang mendukung Arius, dan Eusibius dari Nicomedia adalah sekutu terbesarnya. Dia dan Arius adalah sahabat lama. Karena keduanya pernah menjadi murid Lucian, seorang yang secara luas dihormati karena kesucian dan ilmunya. Kematian Lucian pada 312 M. Semakin memperkuat persahabatan mereka dan meneguhkan sikap mereka.

 

Terdapat sepucuk surat yang ditulis Arius kepada Eusibius di Constantinople setelah pemecatannya oleh Alexander, dan surat tersebut sampai sekarang masih ada. Arius mengeluh terhadap penyiksaan yang dilakukan Alexander, yang mencoba untuk mengusirnya dari Alexandria (Iskandariyah) sebagai seorang “atheis kotor”, karena dia dan sahabat-sahabatnya tidak mau mengakui doktrin-doktrin yang “memalukan” yang diyakini uskup tersebut:

Kami disiksa karena mengatakan bahwa Yesus memiliki permulaan, sementara Tuhan tidak bermula”.

 

Sebagai akibatnya, Arius semakin didukung Eusibius yang memiliki pengaruh besar. Bukan saja pada rakyat biasa, tetapi juga di kalangan istana. Di samping adanya dukungan ini, Arius selalu menampakkan kecenderungan ke arah dukungan siliasi daripada oposisi, sejauh menyangkut ketertiban gereja dan bukan pada masalah doktrin.

 

Sayangnya, catatan tentang pertikaian ini sangat sedikit. Tetapi terdapat beberapa surat yang masih ada penunjukkan bahwa tujuan Arius adalah semata-mata untuk menjaga ajaran Yesus tetap murni dan bebas dari perubahan, dan bukan untuk membawa perpecahan di kalangan orang-orang Kristen. Di sisi lain, surat-surat yang ditulis Alexander memperlihatkan bahwa uskup tersebut menggunakan kata-kata kasar dalam menen-tang Arius dan para pendukungnya. Dalam satu surat ia menulis: “Mereka dikuasai setan yang bersemayam dalam diri mereka dan mendorong mereka kepada kemarahan. Mereka adalah pendusta dan penipu, pembicara-pembicara cerdik deng-an kata-kata yang mengagumkan. Mereka adalah perampok yang memiliki sarang di siang maupun malam hari. Mereka menghina Kristus. Mereka menarik penganut melalui agen wanita-wanita muda tuna susila di kota-kota.”

 

Penggunaan bahasa yang keras dan kasar oleh seorang patriach (ketua dewan gereja kota) menimbulkan kecurigaan bahwa dia sendiri sebenarnya menyadari kelemahan pendapatnya.

 

Eusibius membalas dengan “panas” nada bicara patriach Alexander. Dia menyelenggarakan synode uskup-uskup Timur dan meletakkan semua masalah tersebut di depan mereka. Hasil dari pertemuan ini adalah sebuah surat yang dikirim ke seluruh uskup Timur dan Barat, meminta mereka untuk me-maksa Alexander untuk mengembalikan Arius ke dalam gereja. Tetapi Alexander menuntut “penyerahan” total dari Arius. Arius kembali ke Palestina dan tetap melayani para pengikutnya, Alexander mengeluarkan sebuah surat yang panjang yang ditujukan kepada “semua koleganya di gereja Katholik”. Surat yang ditandatangani olehnya menyatakan bahwa: kesejahteraan gereja tergantung kepada “anggukan” kepalanya. Dia menam-bahkan bahwa Eusibius mendukung Arius, bukan karena secara tulus meyakini doktrin Arian, tetapi untuk ambisi-ambisi pribadinya. Dengan demikian maka kontroversi kerohanian tersebut telah memiliki konflik pribadi antara uskup-uskup Timur dan Barat.

 

Masalah-masalah yang menjadi perdebatan di kalangan uskup, akhirnya diketahui juga oleh orang-orang awam. Grego-ry dari Nyssea menulis:

Setiap sudut Constantinople dipenuhi perdebatan-perdebatan mereka. Jalan-jalan, pasar, agen penukaran uang, dan toko-toko obat. Tanyakan kepada seorang pedagang berapa banyak ketip uang yang ia inginkan untuk beberapa barang dalam tokonya, maka ia akan menjawab dengan uraian panjang-lebar tentang “anak” tersebut diciptakan atau tidak. Tanyakan harga roti hari ini dan tukang roti akan mengatakan kepada Anda: “Anak lebih rendah dari Bapak”. Tanyakan kepada pembantu Anda apakah bak mandi telah siap, ia akan menjawab: “Anak berasal dari ketiadaan”. Bila orang Katholik mengatakan satu-satunya “anak Tuhan”, dan orang-orang Arian segera menjawab: “Tetapi Dia lebih besar dari anak-Nya.”

 

Orang-orang akan bertanya kepada wanita-wanita apakah seorang anak telah ada sebelum dia dilahirkan. Perdebatan pada lingkungan kependetaan yang lebih tinggi juga sama-sama panas dan menyakitkan. Tercatat bahwa “di setiap kota, para uskup sibuk mempersiapkan perdebatan dengan uskup lainnya. Orang-orang bertentangan dengan orang-orang lainnya dan saling menyerang dengan kekerasan”.

 

Sejauh yang menyangkut Constantine, masalah-masalah tersebut berubah dari “jelek” menjadi “sangat buruk”. Dia terpaksa ikut campur dan mengirim sepucuk surat kepada Alexander dan Arius. Dia mengatakan bahwa keinginannya ada-lah persatuan pandangan keagamaan. Karena hal itu merupakan jaminan terbaik bagi perdamaian di dalam kekaisaran. Karena sangat kecewa dengan peristiwa-peristiwa di Afrika Utara, ia berharap keadaan yang lebih baik dari “kuncup Timur” karena telah muncul “sinar ketuhanan”. Dia melanjutkan:

Oh… tetapi oh, Tuhan yang Maha Perkasa dan Suci. Alangkah sakit luka yang kuderita. Bukan saja pada telinga-ku, tetapi juga pada hatiku. Ketika kau mendengar bahwa perpecahan-perpecahan yang ada di antara kamu lebih menyakitkan daripada di Afrika. Sehingga kamu ternyata lebih membutuhkan penyembuhan daripada mereka. Tetapi setelah mengkaji secara mendalam, saya menemukan bahwa penyebab dari pendekatan-pendekatan ini tidaklah penting dan secara menyeluruh tidak layak bagi pertikaian semacam itu. Saya simpulkan bahwa perbedaan yang sedang terjadi ini berasal dari hal-hal berikut: Karena ketika kamu ―Alexander― menanyakan kepada setiap pendeta apa yang ia pikirkan tentang kalimat-kalimat tertentu dalam kitab-kitab suci (Injil) ―atau lebih tepat apa yang ia pikir-kan― tentang aspek tertentu dari suatu pertanyaan yang bodoh tersebut, dan kamu ―Arius― tanpa pertimbangan yang hati-hati, mengemukakan proposisi-proposisi yang tidak akan pernah bisa dipercayai. Atau jika bisa dipercaya, seharusnya jangan disiarkan. Pertentangan-pertentangan timbul di antara kamu: “jamuan suci” dilarang, dan semua orang ―karena bertanduk dua (bingung)― tidak lagi men-jaga persatuan dari suatu ummat.

 

Kaisar kemudian mendesak mereka untuk membiarkan permasalahan tersebut tidak terjawab dan jawaban “yang tanpa pertimbangan” dilakukan dan dimaafkan:

Masalah tersebut hendaknya tidak usah dibicarakan lagi. Karena selalu terdapat kekeliruan pada tangan-tangan yang malas untuk bekerja, dan akal-akal yang malas untuk berpikir. Tidak ada perbedaan antara kamu karena doktrin dasar yang diletakkan dalam Injil, ataupun doktrin baru yang diajukan. Kamu berdua memegang satu dan pandangan yang sama. Untuk itu, penyatuan kembali adalah sangat mudah terjadi.

 

Kaisar kemudian mengutip contoh dari para filosof kafir yang “setuju untuk tidak setuju” pada (masalah-masalah) detail, sementara mereka memegang prinsip-prinsip umum yang sama. Kemudian ia bertanya, bagaimana mungkin bisa dibenarkan bagi “mereka yang bersaudara” bersikap kepada yang lainnya seperti musuh karena perbedaan-perbedaan kecil dan verbal belaka. Sikap semacam itu adalah pandangannya adalah:

Kaku, kekanak-kanakan, dan pemberang, tidak pantas bagi pendeta-pendeta Tuhan dan manusia-manusia berpenge-tahuan. Semua itu adalah tipu muslihat dan godaan setan. Marilah kita tinggalkan. Jika kita tidak bisa sepakat pada semua masalah, paling tidak kita bisa bersepakat pada (masalah-masalah) dasar. Dengan memandang Tuhan yang Maha Bijak, biarkan hanya terdapat satu agama dan satu pengertian, satu pandangan yang bersatu dalam merujuk kepada Tuhan.

 

Surat tersebut menyimpulkan:

Kembalikanlah hari-hariku yang tenang dan malam-malam-ku yang damai sehingga aku bisa menikmati kesenanganku, kebahagiaanku dalam kehidupan yang damai. Jika tidak, maka aku akan menjerit kesakitan dan tenggelam dalam air mata, dan jiwaku tidak akan tenang sampai aku mati. Sementara itu wahai para pengabdi Tuhan, pegawai-pegawai, apakah perbedaan-perbedaan pendapat itu akan berakhir dengan kepingan-kepingan duka dengan akhir pertentangan yang berbahaya dan di luar tatanan, lalu bagaimana jiwaku bisa tenang?

 

Surat kaisar Constantine yang isinya ramah dan penuh rayuan itu memperlihatkan bahwa kaisar sebenarnya sama sekali tidak memahami pokok permasalahan dalam agama Kristen. Sehingga perselisihan paham antara Alexander dan Arius dianggapnya sepele, tidak penting, tidak seimbang dengan perpecahan ummat, dan bukan persoalan yang fundamental dalam agama Kristen. Surat tersebut menunjukkan bahwa Constantine tidak tertarik kepada kebenaran Tuhan, tetapi hanya tertarik kepada kedamaian jiwanya semata. Tidaklah mengherankan suratnya tidak menghasilkan apa-apa. Surat tersebut disampaikan kepada Alexandria oleh Hosius dari Cordoba. Setelah tinggal sebentar, ia kembali dengan tangan kosong untuk melaporkan kegagalan misinya kepada kaisar.

 

Sementara masalah perbedaan keagamaan ini berlangsung, Constantine terlibat pertempuran dengan saudara iparnya ―Licinus― dan dalam pertempuran tersebut Licinus terbunuh. Licinus adalah pendukung Arius, dan dengan kematiannya maka melemahkan posisi Arius di istana. Tetapi Constantine menyadari bahwa adalah mungkin untuk mencapai kemenang-an tetapi kehilangan kedamaian. Karena kegagalan misi Hosius, situasi di Timur menjadi sangat tidak menentu. Senandung-senandung dan argumen-argumen Arius telah mengakibatkan darah tertumpah di Alexandria, dan kekacauan di Afrika Utara. Constantine menyadari, sahabat-sahabatnya di Gereja Paulus tidak cukup kuat untuk menghapus masalah ini. Pengalamannya dalam menghadapi orang-orang Afrika Utara, yang merupa-kan sebagian alasan dia datang ke daerah Timur setelah peristiwa tersebut hampir membakar kemarahannya di Roma. Rupanya dia sudah mendapatkan pengalaman bahwa ia tidak seharusnya berpihak kepada salah satu pihak secara terang-terangan. Maka dia memutuskan untuk menyelenggarakan suatu pertemuan uskup-uskup Kristen dalam rangka menye-lesaikan masalah perbedaan pandangan keagamaan secara tuntas dan selamanya. Posisinya sebagai seorang kafir merupakan suatu keuntungan besar karena tidak adanya keberpihakan kepada salah satu sekte tersebut. Dia akan memberikan keputusan yang adil dan tidak memihak. Hal ini akan menyelesaikan masalah yang telah dihadapi para uskup sampai saat itu. Karena mereka tidak bisa mencapai kesepakatan tentang salah satu dari sekte Kristen untuk memimpin pertemuan semacam ini sebagai hakim mereka. Pertemuan para uskup di bawah pimpinan Constantine ini dikenal sebagai Konsili Nicea.

 

Undangan segera disebarkan, dan semua biaya ditanggung oleh Constantine yang diambil dari perbendaharaan negara. Di luar dari pemimpin-pemimpin kedua kelompok yang saling bertentangan tersebut, sebagian besar mereka yang diundang banyak yang masih awam dalam berfilsafat. Tidak satu pun dari anggota Gereja Donatus yang diminta hadir ―sekalipun Cacealian― diundang. Di antara uskup-uskup penting yang ikut serta dalam konsili tersebut adalah:

Eusibius dari Caesaria yang merupakan bapak sejarah gereja. Bukunya merupakan sumber utama dari tradisi-tradisi yang menghubungkan abad ke-4 dengan era Kristen pertama. Di samping pengetahuannya yang luas, tingkat pengaruhnya terletak pada kenyataan bahwa dialah satu-satunya pendeta tinggi (wali gereja) Timur yang bisa menceritakan apa yang sedang terjadi pada pikiran kaisar. Karena ia adalah penerjemah dan pendeta resmi serta penerima pengakuan dosa kaisar. Di lubuk hatinya ia adalah pendukung Arian, dan mendapat dukungan seluruh uskup di Palestina.

 

Eusibius dari Nicomedia, berasal dari keluarga aristokrat bangsawan, dan pengikut Lucian pada saat yang sama dengan Arius. Kemasyhuran spiritualnya sangat luas. Oleh sebab itu, terdapat dua manusia pengabdi Tuhan yang penting dalam masa ini yang memiliki nama yang sama, yang banyak membingungkan para sejarawan pada periodenya. Eusibius dari Nicomedia adalah pendukung terkuat Arius. Dia dipanggil “bapak besar” oleh para pengikut Arius. Keajaiban-keajaiban dirujukkan kepadanya. Pada asalnya ia adalah uskup Beirut kemudian dipindahkan ke Nicomedia yang merupakan ibukota kekaisaran di wilayah Timur. Dia merupakan sahabat baik saudari ipar dan saingan kaisar ―Licinus― dan karenanya memiliki pengaruh kepada Constantina, saudara perempuan Constantine. Istri Licinus yang baru bertempur dengan kaisar dan kehilangan hidupnya. Setelah kematian suaminya, Constantina dan hubungan kekerabatan dengan keluarga kekaisaran inilah ia tetap berhubungan dengan istana dan tidak pernah meninggalkannya. Melalui pengaruhnya itulah akhirnya kaisar Constantine menerima agama Kristen di Gereja Arius, dan akhirnya meninggal sebagai seorang beriman kepada keesaan Tuhan.

 

Athanasius adalah pendukung muda dan penuh semangat terhadap madzhab Trinitas dalam teologi. Alexander yang telah lanjut usia dan telah seringkali dikalahkan oleh Arius, memutuskan mengirim Athanasius ke Nicea sebagai wakilnya.

 

Hosius merupakan Ketua Dewan Penasehat kaisar. Dia mewakili Gereja Paulus di wilayah barat, daerah pengaruh kaisar paling lemah. Hosius dikenal sebagai seorang teolog yang kokoh dari pihaknya. Dalam sejarah, dia dikenal sebagai seorang tua yang mulia yang dipanggil “orang suci” oleh Athanasius. Karakternya yang tinggi dikenal setiap orang. Kedudukannya yang penting semakin kuat karena keakrabannya dengan kaisar.

 

Di luar segelintir orang ini, konsili tersebut terdiri dari orang-orang yang memiliki reputasi ketakwaan, tetapi bukan keilmuannya. Orang-orang yang hatinya suci, tetapi lidahnya tidak bisa berbicara dengan lancar. Mereka itu adalah:

 

Spiridem, salah seorang yang polos dan sederhana. Sebagian besar uskup-uskup gereja pada saat itu hampir-hampir orang-orang yang buta huruf. Kajian yang teliti tentang Spiridem akan membantu menggambarkan jenis manusia apa yang (hadir) pada konsili tersebut. Dia adalah seorang penggembala yang telah mengalami penyiksaan, tetapi tetap teguh dalam imannya. Dia diangkat sebagai uskup karena banyak keajaiban yang disandarkan pada dirinya. Setelah menjadi uskup, ia tidak merubah cara berpakaiannya yang kasar dan sederhana. Dia selalu berjalan kaki. “Pangeran-pangeran” dari Gereja Paulus lainnya tidak menyukainya dan sangat berkeinginan agar dia tidak bisa mencapai Nicea pada saat konsili dilaksanakan. Ketika Spiridem menerima undangan dari kaisar, dia sadar bahwa dia harus bepergian dengan bighol (semacam keledai) jika ia ingin sampai pada waktunya. Dia berangkat dengan seorang pendampingnya, tidak seperti uskup-uskup lainnya yang pergi dengan seluruh rombongannya. Mereka pergi dengan dua bighol. Yang satu berwarna putih, yang lain berwarna belang. Suatu malam mereka menginap di sebuah penginapan di mana di tempat tersebut juga telah datang uskup-uskup yang tidak yakin apakah Spiridem orang yang layak untuk ikut dalam pertimbangan-pertimbangan mendalam dalam konsili. Pada pagi dini hari berikutnya ketika Spiridem masih tidur, mereka memenggal kepala kedua bigholnya dan berangkat pergi. Ketika ia terjaga, ia menyuruh pembantunya untuk memberi makan dan memasang pelana. Pembantu tersebut menemukan bangkai kedua binatang itu dan melaporkan “malapetaka”  tersebut kepada Spiridem. Spiridem mengatakan kepada pembantunya untuk meletakkan masing-masing kepala tersebut secara salah. Begitu ia selesai meletakkan, bighol-bighol tersebut bangkit dan hidup kembali. Dan mereka meneruskan perjalanan. Setelah beberapa lama, mereka berdua menyusul uskup-uskup tersebut yang mengira mereka telah meninggalkan Spiridem jauh di belakang dan yakin bahwa dia tidak akan sampai ke Nicea pada waktunya. Keterkejutan mereka semakin menjadi-jadi ketika mereka menemukan bahwa bighol putih memiliki kepala belang dan yang belang berkepala putih.

Patammom dikenal hanya karena semangat puritannya.

Oecius yang dikenal hanya karena semangat puritannya.

Myser dari Nicolas yang namanya tetap terkenal. Terutama oleh sejarawan-sejarawan gereja. Karena saat Arius sedang berbicara, dia menempeleng telinganya.

 

Demikianlah. Konsili tersebut sebagian besar terdiri dari uskup-uskup yang memegang keimanan mereka secara sungguh dan tulus, tetapi tanpa memiliki banyak pengetahuan intelektual sebagai dasar-dasar pandangannya. Orang-orang ini tiba-tiba harus berhadapan secara langsung dengan tokoh-tokoh filsafat Yunani yang paling cerdas dan paling luas pengetahuannya pada masa itu. Cara pengungkapan pandangan mereka sedemikian rupa sehingga uskup-uskup tersebut tidak mampu menangkap pengertian sebenarnya dari apa yang dikatakan. Karena tidak mampu memberikan penjelasan-penjelasan rasional terhadap pengetahuan keimanan mereka atau tidak mampu memasuki inti argumen-argumen musuh-musuhnya. Maka mereka hanya diam terpaku terhadap keyakinan-keyakinan mereka atau menyetujui apa saja yang diputuskan kaisar.

 

Semua delegasi sampai di Nicea beberapa hari sebelum konsili direncanakan untuk dimulai. Mereka dikumpulkan bersama dalam kelompok-kelompok kecil untuk membahas masalah-masalah yang masih dipertentangkan di kalangan mereka. Dalam kelompok-kelompok ini, yang bertempat di Gymnasium atau di beberapa tempat terbuka, para filosof Yunani melancarkan serbuan-serbuan argumen dan ejekan mereka dengan sangat efektif. Hal ini tidak sedikit telah menyebabkan kebingungan di kalangan para delegasi.

 

Akhirnya, hari tersebut tiba. Dan setiap orang berkumpul untuk pembukaan konsili yang akan dibuka oleh kaisar sendiri. ruangan pertemuan tersebut panjang sekali. Sebuah ruang pertemuan tersebut lurus di dalam istana. Di tengah-tengah ruangan tersebut di tempatkan salinan-salinan dari Injil yang dikenal, yang pada saat itu jumlahnya sekitar 300 buah. Setiap pasang mata tertuju kepada singgasana kekaisaran yang dipenuhi ukiran dan mengkilat. Singgasana itu ditempatkan pada ujung tertinggi dari ruang tersebut yang berada di antara deretan-deretan tempat duduk yang saling berhadapan. Keheningan tersebut dipecahkan oleh suara-suara prosesi yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Suara itu semakin mendekati istana. Kemudian para pejabat istana masuk satu-persatu. Kemudian akhirnya sebuah tanda yang tidak diketahui tempatnya mengumumkan bahwa kaisar akan segera tiba. Seluruh majelis berdiri, dan untuk pertama kali pandangan mata mereka menatap penuh kagum terhadap Constantine Sang Penakluk, yang mulia, yang besar. Postur tubuhnya yang tinggi, tegap, dadanya bidang, dan wajahnya yang tampan, semuanya sesuai dengan kedudukannya yang terhormat. Ekspresi wajahnya sedemikian rupa, sehingga banyak orang menganggapnya perwujudan dari Apollo, Dewa Matahari Roma. Banyak dari para uskup tersebut dikejutkan oleh pakaian-pakaiannya yang berwarna-warni dengan warna-warna mencolok dan megah. Rambutnya yang panjang ditutupi dengan mahkota kekaisaran yang penuh dengan mutiara. Jubahnya yang berwarna merah menyala yang berkilat-kilat dengan batu-batu mulia serta sulam benang emas. Dia mengenakan sepatu merah menyala, yang hanya dipakai oleh kaisar dan pada waktu sekarang hanya dipakai oleh Paus.

 

Hosius dan Eusibius duduk di samping kanan-kiri kaisar. Eusibius membuka pertemuan tersebut dengan kata pembuka-an oleh kaisar. Kaisar menjawab dengan pidato singkat yang diterjemahkan dari bahasa Latin ke bahasa Yunani yang kurang banyak dipahami ―termasuk kaisar sendiri yang kemampuan bahasa Yunaninya sangat lemah. Dengan resmi pertemuan tersebut dibuka dan masalah-masalah yang diperdebatkan mulai dibahas. Constantine dengan bahasa Yunaninya yang patah-patah memusatkan semua tenaganya pada satu titik yaitu mencapai suatu keputusan mutlak. Dia memberitahu kepada semua yang hadir bahwa dia telah membakar semua petisi surat-surat permohonan yang telah ia terima dari berbagai pihak beberapa waktu sebelum konsili tersebut. Maka dia bisa terbuka dan tidak memihak kepada salah satu kelompok yang ada.

 

Wakil dari Gereja Paulus menginginkan untuk meletakkan tiga “oknum” Tuhan pada kekuasaan ketuhanan. Tetapi argu-men-argumen yang diambil dari Bibel hanya mengisyaratkan dua “oknum”. Sekalipun demikian, “oknum” ketiga dari Tuhan yang dinamakan Roh Kudus, dinyatakan menjadi pribadi ketiga dalam Trinitas. Sekalipun tidak ada dasar yang diberikan untuk mendukung inovasi ini. Para murid Lucian di sisi lain sangat yakin dengan pijakan mereka, dan memaksa pendukung-pendukung Trinitas untuk beralih dari satu masalah yang mustahil tersebut kepada masalah lainnya.

 

Para penganut Trinitas terbukti kesulitan untuk merumuskan definisi agama Kristen untuk bisa mengeluarkan Arius dan orang-orang yang menganut Unitarianism (keesaan Tuhan) dari definisi ini. Mereka, terutama karena kepercayaan kepada doktrin Trinitas yang mereka nyatakan sebagai faktor yang membedakan antara kedua belah pihak, yang sebenarnya tidak pernah tercatat dalam Injil. Mereka mengatakan bahwa “anak” adalah berasal dari Tuhan. Orang-orang Arian menjawab bahwa diri mereka sendiri juga berasal dari Tuhan. Oleh sebab itu, jika argumen ini di terima, maka semua makhluk juga memiliki sifat ketuhanan. Uskup-uskup Gereja Paulus kemudian ber-dalih bahwa Yesus bukan saja “Tuhan”, tetapi juga merupakan “esensi Tuhan”. Pernyataan uskup Gereja Paulus ini membang-kitkan penentangan dari semua orang, bahkan dari Kristen Ortodoks sendiri. Mereka menyatakan kata-kata ini tidak terdapat dalam Bibel. Demikianlah usaha untuk membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan, tetapi justru semakin memecah belah mereka. Dalam keadaan putus asa, para penganut Trinitas berdalih bahwa Bibel menyatakan, “Yesus adalah titisan (image) abadi dari Bapak dan Tuhan yang sebenarnya”. Orang-orang Arian menjawab bahwa Bibel juga mengatakan, “Kita manusia merupakan citra (image) dan kemuliaan Tuhan”. Oleh sebab itu, jika argumen ini digunakan, maka tidak saja Yesus tetapi semua manusia bisa mengklaim dirinya menjadi Tuhan.

 

Perdebatan berlanjut. Tidak saja di ruang pertemuan, tetapi juga di dalam istana kekaisaran. Helena, ibunda ratu, mendukung Gereja Paulus. Dia adalah “manusia Politis”, dan bakat kepemimpinannya mengalir dalam darahnya. Di sisi lain, Constantina saudara perempuan kaisar adalah penganut doktrin keesaan Tuhan dan mendukung Arius. Dalam pandang-annya, Arius mengikuti ajaran Yesus. Dia membenci politik dan cinta serta takut kepada Tuhan. Perdebatan tersebar di seluruh bagian istana. Apa yang pada mulanya adalah sebuah konsili gereja telah berkembang menjadi suatu intrik istana di mana sida-sida (orang-orang yang telah dikebiri) dan juru masak istana telah memainkan peranan yang cukup penting. Kaisar, seorang yang piawai dalam strategi, tetap menjaga jarak dari kedua belah pihak yang bertikai, dan membiarkan orang-orang menduga-duga. Karena ia adalah kafir (belum masuk Kristen), maka ia tidak menjadi milik salah satu sekte. Hal ini merupa-kan faktor terkuat yang menguntungkannya.

 

Di saat perdebatan masih berlangsung, menjadi jelas bagi kedua belah pihak bahwa suatu keputusan yang jelas dan tegas tidak akan tercapai pada ruang konsili tersebut. Tetapi, mereka berdua masih mengharapkan dukungan dari kaisar. Karena bagi Gereja Paulus, dukungan tersebut akan berarti peningkatan dalam kekuasaan, dan bagi gereja Afrika Utara berarti penyiksaan akan berakhir. Untuk menjaga restu kaisar, semua uskup yang hadir sepakat untuk melakukan beberapa perubahan dalam agama. Puteri Constantina telah menasihati Eusibius dari Nicomedia bahwa kaisar sangat menginginkan gereja yang bersatu. Sebab suatu gereja yang terpecah-pecah akan membahayakan kekaisarannya. Tetapi jika tidak ada kesepakatan dalam tubuh gereja, bisa jadi ia akan kehilangan kesabarannya dan menarik dukungannya dari seluruh penganut Kristen. Jika ia melakukan tindakan ini maka situasi orang-orang Kristen akan semakin terancam. Karena dinasihati oleh Eusibius, maka Arius dan para pengikutnya mengambil peran pasif. Tetapi tetap menjauhkan diri dari perubahan-perubahan yang disetujui konsili. Karena penyembahan kepada Dewa Matahari Romawi sangat populer di seluruh kekaisaran pada saat itu dan kaisar sendiri dianggap menjadi perwujudan dari Dewa Matahari di bumi, maka Gereja Paulus menyatakan:

-       Bahwa hari Matahari Roma menjadi hari Sabar Kristen.

-       Mengambil hari kelahiran tradisional dari Dewa Matahari, yaitu pada tanggal 25 Desember, sebagai hari Kelahiran Yesus (Natal).

-       Meminjam lambang Dewa Matahari, yaitu silang cahaya (salib), menjadi lambang agama Kristen.

-       Dan memutuskan untuk menggabungkan semua upacara yang dilakukan pada perayaan kelahiran Dewa Matahari ke dalam upacara-upacara (keagamaan) mereka sendiri.

 

Pernyataan-pernyataan di atas pastilah sangat melegakan Constantine. Karena melihat jurang pemisah yang ada antara agama Kristen dan agama resmi kekaisaran semakin tipis. Gereja Paulus telah tenggelam dalam genggamannya dan kepura-puraannya dalam mendukung gereja yang tampaknya lemah, sekarang semakin kuat.

 

Akhirnya, dogma Trinitas diterima sebagai suatu doktrin dasar dalam Kristen. Adalah mungkin masih memiliki pengalaman langsung terhadap ajaran keesaan Tuhan dan membenarkannya. Bagi mereka, doktrin Trinitas tidak lebih daripada sarana yang digunakan untuk menggambarkan apa yang mereka saksikan. Istilah “keesaan” dalam bahasa Ibrani yang telah digunakan Yesus saat itu lenyap ketika di salin dalam terminologi filsafat neo-Platonik (yang dikenal dengan Mistic Trynity yang ghaib). Pandangan filosofis ini hanya terbuka bagi sedikit orang. “Aku mengabaikan secara diam-diam”, tulis Apuleius, “Doktrin-doktrin yang rumit dan berasal dari Plato yang hanya dipahami oleh sedikit orang yang shaleh, dan secara mutlak tidak dimengerti oleh semua orang awam.” Plato mengatakan bahwa, “Untuk menemukan Sang Pencipta adalah sulit. Tetapi untuk menjelaskannya kepada orang bodoh adalah tidak mungkin.” Pythagoras mengatakan, “Untuk mengatakan tentang Tuhan di kalangan orang-orang yang berpandangan penuh kecurigaan adalah tidak aman. Untuk mengatakan kebenaran ataupun kesalahan adalah sama-sama berbahaya.”

 

Sekalipun penggunaan terminologi ini dibenarkan oleh sebagian orang yang berupaya untuk menjelaskan sifat dari keesaan Tuhan. Dalam kenyataannya, usaha tersebut gagal total. Konsep Yunani tentang “theos” yang berdasar wahyu. Hanya karena inovasiinovasi yang dilakukan Paulus dan para pengikutnya saja yang menjadikan konsep-konsep tersebut tampak sangat mungkin. Bagi mereka yang tidak mampu menangkap ide-ide dari para filosof Yunani, konsep-konsep tersebut hanya menambah kebingungan. Demikian juga kenyataan yang dialami oleh sebagian besar dari mereka yang berhubungan dengan doktrin Trinitas. Kebingungan yang mereka rasakan telah membawa mereka kepada perkiraan-perkiraan yang tidak ada akhirnya sebagaimana dengan jekas diperlihatkan pada jalannya Konsili Nicea. Bisa dimengerti bagaimana doktrin tersebut tercipta dan mengapa pula bisa diterima pada awalnya secara tidak resmi dan kemudian secara resmi diterima pada Konsili Nicea. Juga terlihat jelas dengan memandang kerancuan yang disebabkan doktrin tersebut, mengapa Arius memaksa untuk kembali kepada sumber agama Kristen sebagai pegangan daripada berusaha memakai pikiran dari para filosof Yunani yang tidak bersumber dari wahyu yang dibawa Yesus.

 

Begitu perubahan-perubahan ajaran ini dibakukan pada Konsili Nicea, langkah berikutnya untuk meninggalkan ajaran Yesus menjadi mungkin. Doktrin yang saat ini dikenal adalah rumusan dari Nicea yang disusun dan ditegaskan oleh mereka yang hadir dengan dukungan penuh kaisar Constantine. Keyakinan tersebut mengukuhkan pandangan orang-orang penganut Trinitas, dan tulisan berikut adalah kutukan yang dibubuhkan sebagai penolakan langsung terhadap ajaran Arius:

 

Tetapi bagi mereka yang mengatakan, “Ada rentang waktu ketika ia belum ada dan sebelum dilahirkan dia tidak ada, dan ia menjadi ada berasal dari ketiadaan”, atau mereka yang menyatakan bahwa Anak Tuhan berasal dari suatu substansi yang berbeda, atau diciptakan atau merupakan subyek pergantian atau perubahan, semua keyakinan seperti itu dikutuk oleh Gereja Katholik.

 

Mereka yang menandatangani keyakinan tersebut, sebagian meyakini dan sebagian tidak mengetahui apa yang mereka laku-kan. Dan mayoritas dari delegasi konsili tidak setuju terhadap doktrin Trinitas. Tetapi mereka terpaksa menandatanganinya dengan niatan untuk menyenangkan hati kaisar. Salah seorang dari mereka mengatakan: “Jiwa bukanlah sesuatu yang sangat buruk bagi setitik tinta”. Dengan mengacu pada pernyataan ini, Profesor Gwatkin menggerutu bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang melegakan bagi seorang sejarawan. Mungkin hal ini disebabkan Profesor Gwatkin tidak menulis sebagai seorang sejarawan, tetapi sebagai seorang pembela Trinitas yang menerima suatu bukti untuk menyenangkan sebuah kasus yang lemah!

 

Mereka inilah orang-orang yang menentukan ―di bawah seorang kaisar kafir― apa yang seharusnya menjadi ujian bagi ajaran Kristen Ortodoks. Akibatnya, mengejutkan bagi penganut Trinitas maupun Arian. Tidak satu pun yang mengharapkan perputaran peristiwa yang kemudian terjadi. Ide tentang suatu percobaan universal adalah suatu perubahan revolusioner. Hal ini tidak disukai siapa pun. Maklumat tentang pengecaman langsung terhadap ajaran Arianisme masih merupakan langkah yang sangat serius. Bahkan bagi mereka yang menyetujui pene-gasan kebenaran keyakinan tersebut, melakukannya dengan salah langkah. Ketika mereka harus menandatangani untuk mendukung suatu istilah yang tidak terdapat dalam kitab-kitab suci dan tanpa otoritas Yesus atau sahabat-sahabatnya, mereka meyakinkan diri bahwa mereka harus menandatanganinya di bawah tekanan. Konsili yang telah dibuka dengan semarak tersebut pada kenyataannya secara menyeluruh telah gagal untuk mencapai hasil yang diinginkan.

 

Satu-satunya orang yang tahu apa yang ia lakukan adalah kaisar. Dia tahu bahwa sebuah keyakinan yang tidak didasar-kan pada keimanan tetapi atas dasar pengambilan suara tidak akan diyakini secara sungguh-sungguh. Seseorang bisa saja percaya kepada Tuhan, tetapi tidak bisa memilih-Nya dengan cara demokratis. Dia menyetujui bagaimana dan mengapa uskup-uskup tersebut harus menandatangani kepercayaan tersebut. Dia tidak bermaksud untuk menciptakan kesan bahwa ia telah memaksa uskup-uskup tersebut menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Maka diputuskan untuk menggunakan suatu mukjizat Tuhan untuk membenarkan dan mendukung keputusan konsili: Tumpukan Injil ―catatan tertulis ajaran Yesus― masih terletak di tengah-tengah ruangan sidang yang telah mereka tempatkan sejak awal konsili. Menurut salah satu sumber, pada saat itu paling tidak terdapat 270 versi Injil. Sementara sumber lain menyatakan terdapat sebanyak 4.000 versi Injil yang berbeda-beda. Bahkan jika seseorang menerima catatan (jumlah) yang paling konser-vatif sekali pun, jumlah tersebut pasti sangat besar bagi kesusasteraan Kristen pada masa itu. Penyusunan suatu keyakinan yang berisi ide-ide yang tidak ditemukan pada Injil ―dan dalam beberapa kasus― bertentangan langsung dengan apa yang ada dalam Injil, pasti menjadikan masalah-masalah tersebut semakin membingungkan bagi sebagian orang. Sementara keberadaan dari Injil-injil tersebut pastilah sangat mengganggu bagi orang-orang lainnya.

 

Diputuskan bahwa semua Injil yang berbeda-beda itu ditempatkan di bawah sebuah meja di dalam ruangan konsili tersebut. Kemudian semua orang meninggalkan ruangan itu dan pintu ruangan di kunci. Para uskup diminta untuk berdoa sepanjang malam, sehingga versi yang benar dari Injil tersebut bisa berada di atas meja. Di pagi hari berikutnya, Injil-injil yang bisa diterima ―diakui oleh Athanasius, wakil Alexander― ditemukan dengan rapi berada di atas meja. Kemudian diputus-kan bahwa semua Injil yang masih berada di bawah meja langsung di bakar. Tidak ada catatan mengenai siapa yang memegang kunci ruangan tersebut pada malam harinya.

 

Untuk memiliki sebuah Injil yang tidak diakui, bisa dikena-kan hukuman mati. Akibatnya, lebih dari sejuta orang Kristen dibunuh pada tahun-tahun setelah keputusan-keputusan kon-sili tersebut. Inilah upaya Athanasius mencoba mempersatukan orang-orang Kristen.

 

Pada saat perjalanan kembali dari konsili, para uskup segera meneruskan kembali pertikaian yang telah mereka tinggalkan dihadapan saksi kaisar secara pribadi. Pertempuran meledak kembali dan pertikaian pendapat terus berkembang. Mereka melupakan tanda tangan yang telah dibubuhkan pada doktrin tersebut. Para pendukung Arius tidak mau menerima kepercayaan tersebut sebagai pembenaran dari ajaran Kristus (Kristen) yang sebenarnya. Hanya Athanasius saja yang mungkin mematuhi kepercayaan tersebut. Tetapi bahkan para pendukungnya sekalipun meragukan kebenaran kepercayaan itu. Di Barat, kepercayaan tersebut hampir tidak dikenal.

 

Saint Hillary masih asing terhadap kepercayaan Nicea 30 tahun setelah Konsili Nicea tersebut terjadi. Dia menulis:

Kita mengutuk kepercayaan yang justru kita pertahankan. Kita mengecam doktrin orang lain dengan doktrin kita dan sebaliknya. Dan kita saling menyobek catatan masing-masing. Kita telah menjadi penyebab kehancuran masing-masing pihak. Penerjemahan kepercayaan tersebut dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin tidaklah sempurna. Karena istilah-istilah Yunani dari filsafat Plato yang disuci-kan gereja telah gagal menjelaskan rahasia-rahasia keiman-an Kristen. Penyelewengan-penyelewengan verbal dalam kitab-kitab suci bisa jadi telah diperkenalkan ke dalam teologi Latin tersebut menjadi suatu rangkaian kesalahan yang panjang dan terus-menerus.

 

Sabinas adalah salah seorang dari uskup Thrace awal, menggambarkan semua orang yang bersidang di Nicea tersebut sebagai orang-orang tolol. Dia mencap keimanan yang mereka putuskan pada konsili tersebut merupakan susunan ajaran yang dibuat oleh orang-orang gegabah yang tidak memiliki pengetahuan dalam masalah itu. Socritus, seorang sejarawan, membandingkan dua pihak yang bertikai tersebut dengan tentara yang terlibat pertempuran di malam hari. Tak satu pun mengerti makna dari kata-kata yang digunakan oleh lawannya. Dr. Stanley menulis, “Jika saja Athanasius ketika mudanya mengambil sikap moderat sebagaimana yang diperlihatkan pada masa tuanya, maka Gereja Katholik tidak terpecah-belah, dan darah tidak perlu tertumpah.”

 

Dengan demikian, konsili Nicea bukan menjembatani jurang pemisah antara sekte-sekte Kristen, tetapi justru me-lebarkannya. Dan pertikaian di antara mereka bukan menurun, tetapi justru meningkat. Demikianlah perangai gereja. Di mana dengan kekebalan pendirian dan persuasinya dan karena telah mempelajari kekuatan kekerasan, maka darah orang-orang Arian mulai tumpah. Orang-orang Goth (Gothic) dan Lombard “dikristenkan” dengan cara-cara serupa. Ketakutan terhadap kematian ―yang merupakan akibat dari Perang Salib― menyertainya. Di Eropa selama 30 tahun, beriman kepada Trinitas dirasa belum cukup sebelum mematuhi perintah gereja. Pada masa reformasi, situasi telah sedemikian rupa. Sehingga tindakan-tindakan Luther tidak dimaksudkan kepada upaya mengembalikan kepada ajaran Yesus sebenarnya. Tetapi memperlihatkan suatu perjuangan demi kekuasaan semata-mata.

 

Dengan menelaah kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah tahun 325 M, kita mendapati bahwa uskup Alexander meninggal pada tahun 328 M. Suatu pemilihan yang penuh gejolak pada keuskupan Alexandria menyertainya. Orang-orang Arian terpilih dan dikukuhkan sebagai uskup. Pemilihannya dipertentangkan. Orang-orang yang menentang pemilihannya disiksa, diteror, dan bahkan diguna-gunai.

 

Sementara itu di istana kaisar Constantine, Constantina yang mencintai dan bertakwa kepada Tuhan tetap melontarkan oposisinya terhadap pembunuhan orang-orang Kristen. Dia menganggap Arius mewakili ajaran Yesus yang sebenarnya. Dia juga menentang perlakuan kaisar yang membuang Eusibius karena keyakinannya. Dengan usahanya yang gigih, akhirnya Eusibius diperbolehkan kembali. Kembalinya Eusibius merupa-kan pukulan berat bagi kelompok penganut Athanasius. Kaisar secara perlahan-lahan mulai condong ke pihak Arius. Ketika ia menerima berita bahwa pemilihan Athanasius dipertentangkan, dia memanggil uskup baru tersebut ke ibukota. Akan tetapi Athanasius meminta maaf dan tidak mau pergi ke Constantinople. Pada tahun 335 M, sebuah konsili diselenggarakan di Tyree untuk merayakan kekuasaan Constantine yang ketiga puluh tahun. Di sinilah Athanasius diadili. Dia dituduh melakukan tirani keuskupan, dan suasana sangat memberat-kannya. Sehingga ia meninggalkan konsili tanpa menunggu ke-putusan yang akan diambil. Dia dikutuk. Para uskup kemudian berkumpul di Jerusalem di mana pengutukan terhadap Athana-sius ditegaskan. Arius dikembalikan ke gereja dan diijinkan melakukan pelayanan terhadap ummat.

 

Kaisar mengundang Arius dan sahabatnya, Euzous, ke Constantinople. Perdamaian antara Arius dengan kaisar benar-benar sempurna. Dan lebih dari itu, para uskup sekali lagi secara resmi mengutuk Athanasius. Athanasius memutuskan untuk mencoba menghadapi singa di kandangnya sendiri. dia datang ke Constantinople sendirian, dan dia dijamin keselamat-annya oleh kaisar. Eusibius mengetahui sepenuhnya bahwa keputusan yang dibuat pada Konsili Nicea telah menentang Arius karena alasan-alasan politis. Maka daripada memulai perdebatan keagamaan yang tidak akan dipahami kaisar, ia menuduh Athanasius menghalangi pengiriman gandum ke ibukota. Tindakan ini sangat mengejutkan Athanasius. Athana-sius menyadari ternyata orang lain juga ahli “bermain” dengan permainan yang biasa ia mainkan. Tuduhan tersebut dengan mudah bisa “dibuktikan” dan Athanasius dibuang ke Trier di Gaul. Arius diangkat sebagai uskup Constantinople. Akan tetapi ia segera meninggal pada tahun 336 M karena racun. Gereja (Paulus) menyebutnya sebagai sebuah mukjizat, tetapi kaisar mencurigainya sebagai pembunuhan. Dia mengangkat sebuah komisi untuk menyelidiki kematian yang terjadi secara misterius tersebut. Athanasius terbukti bertanggung jawab terhadap kematian tersebut, dan dihukum karena membunuh Arius.

 

Kaisar, karena sangat tersentuh hatinya dengan kematian Arius dan pengaruh dari saudara perempuannya, akhirnya ia masuk Kristen. Dia di baptis oleh Eusibius dari Nicomedia. Setahun kemudian ia meninggal pada 337 M. Constantine, yang menghabiskan masa pemerintahannya untuk menyiksa orang-orang yang membenarkan doktrin keesaan Tuhan, mati dalam keimanan seperti orang-orang yang dibunuhnya.

 

Arius telah memainkan peranan penting dalam sejarah Kristen. Dia bukan saja sebagai wahana yang mengantarkan Constantine memeluk Kristen, tetapi juga mewakili orang-orang yang berusaha mengikuti ajaran Yesus secara sembunyi-sembunyi. Pada suatu masa di mana ajaran ini mulai merosot secara serius, dan ketika ingatan tentang Yesus sebagai seorang manusia yang telah mengejewantahkan ajarannya mulai menghilang. Arius berdiri tegak sebagai seorang yang tidak mau menyerah begitu saja.

 

Dia meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Esa. Dan untuk itu, ajaran ini sangat sederhana dan mudah dipahami. Dia meyakini bahwa Tuhan itu adalah Esa yang tidak diperanakkan, kekal, tak bermula, yang Maha Baik, Maha Kuasa, tak berubah, dan Zat-Nya tersembunyi dalam misteri kekal dari pandangan lahiriyah setiap makhluk. Arius menentang segala pandangan tentang sifat kemanusiaan pada diri Tuhan.

 

Secara implisit ia telah menekankan kebenaran ajaran Yesus. Dia mau mengakui setiap atribut sifat yang istimewa sebagai manusia pada diri Yesus dan keesaan Tuhan. Tetapi ia menentang untuk berkompromi kepada segala pandangan yang membawa kepada keyakinan tentang keberagaman wujud Tuhan. Oleh sebab itu, ia merasa wajib untuk menolak setiap dogma yang mengakui ketuhanan Yesus. Karena sifat ketidak-adanya anak adalah sangat mendasar dalam ketuhanan, maka tidak akan ada anak Tuhan dalam pengertian yang ketat dari istilah tersebut.

 

Dia mengatakan bahwa jika tindakan “menurunkan” anak disandarkan kepada Tuhan, maka hal itu akan menghancurkan keesaan-Nya. Pandangan ini juga menyandarkan kepada adanya kebutuhan badaniyah Tuhan yang merupakan sifat-sifat dari manusia. Dan berarti bahwa Tuhan adalah subyek yang mem-butuhkan. Padahal Dia tidaklah demikian. Oleh sebab itu, dengan alasan apapun juga, adalah tidak mungkin menyandar-kan adanya tindakan “menurunkan” anak kepada Tuhan.

 

Arius juga menyatakan bahwa karena Yesus terbatas, maka ia berbeda dari Tuhan yang Maha Mutlak. Adalah mungkin untuk menggambarkan suatu masa ketika Yesus belum ada, yang juga membuktikan bahwa ia berbeda dari Tuhan. Yesus bukan merupakan esensi Tuhan. Tetapi sebuah ciptaan Tuhan, secara mendasar sama dengan makhluk-makhluk lainnya. Tetapi secara pasti ia bersifat unik di kalangan manusia biasa karena kenabiannya. Jangankan memiliki esensi Tuhan, bah-kan ia sendiri tidak memahami secara keseluruhan esensinya sendiri. dia pasti tergantung seperti makhluk lainnya terhadap kemurahan Tuhan. Sementara Tuhan tidak tergantung kepada suatu apapun. Seperti semua manusia, ia memiliki kehendak merdeka dan sifat yang bisa membawanya kepada tindakan-tindakan yang diridhai atau pun tidak diridhai Tuhan. Akan tetapi, sekalipun Yesus secara potensial mampu bertindak dalam suatu cara yang tidak diridhai Tuhan, nilai kebenaran dalam dirinya menjaganya dari tindakan semacam itu.

 

Ajaran-ajaran dasar dari keimanan Arius ini sampai saat ini tetap bertahan. Dan masih menjadi dasar keimanan dari orang-orang Kristen Unitarian yang meyakini keesaan Tuhan.

 

Setelah kematian Constantine, juga menerima keimanan Arius, dan ajaran tentang keesaan Tuhan secara resmi tetap diterima sebagai ajaran Kristen Ortodoks. Sebuah konferensi diadakan pada tahun 341 M di Antiokia dan menerima mono-theisme sebagai dasar agama Kristen yang sebenarnya, kepu-tusan ini juga dibenarkan oleh konsili lainnya yang diadakan pada tahun 351 M di Sirmium. Dan lagi-lagi dengan persetuju-an kaisar yang sedang berkuasa. Dengan demikian, ajaran Arius telah diterima oleh sebagian besar ummat Kristen. Pada tahun 359 M, St. Jerome menulis bahwa “Seluruh dunia bergumam dan merasa heran karena mendapati dirinya sebagai seorang Arian”. Pada tahun-tahun berikutnya, orang-orang penganut Trinitas semakin berkembang jumlahnya. Tetapi pada tahun 381 M, agama resmi kaisar di Constantinople adalah ajaran Arian. Akan tetapi doktrin Trinitas secara perlahan-lahan diteri-ma sebagai dasar agama Kristen di Barat. Gejala banyaknya “konsili” dan resolusi-resolusi “resmi” yang dikeluarkan menun-jukkan betapa jauhnya Kristen Ortodoks di Eropa telah terpisahkan dari apa yang telah diajarkan Yesus.

 

Yesus sendiri tidak pernah mengupayakan organisasi semacam ini, yang biasanya ditemukan pada istana-istana para penguasa.

 

Pada tahun 387 M Jerome menyelesaikan Bibel Vulgata-nya yang terkenal. Kitab ini merupakan terjemahan Latin pertama dari kitab-kitab suci yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dari teks-teks bahasa Hebrew (Ibrani). Kitab tersebut termasuk yang disebut Perjanjian Lama. Bibel inilah yang menjadi dasar dari semua Bibel lainnya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa dan yang diambil oleh Gereja Katholik Roma. Kemudian oleh Gereja Protestan sebagai kitab resmi mereka. Begitu Bibel ini telah dibakukan, maka semua Injil yang tidak termasuk dalam seleksi Jerome hampir secara menyeluruh dihancurkan oleh dua gereja tersebut pada berbagai tahapan. Oleh sebab itu, semua hubungan dengan Yesus yang sebenar-nya secara perlahan-lahan lenyap.

 

Tokoh penting berikutnya adalah Paus Honorius. Seorang yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad saw. Ia menyak-sikan sendiri kebangkitan Islam yang ajaran-ajarannya sangat serupa dengan ajaran-ajaran Arius. Pembunuhan-pembunuhan yang silih berganti dalam masing-masing kelompok di dalam ummat Kristiani masih segar dalam ingatannya. Dan ia berpikir bahwa apa yang ia dengar tentang Islam mungkin bisa menyem-buhkan perbedaan-perbedaan di antara ummat Kristen. Dalam surat-suratnya, ia mulai mendukung doktrin “satu jiwa” dalam doktrin Trinitas. Dia menyatakan bahwa jika Tuhan memiliki jiwa yang bebas (independen), maka akibatnya adalah kekacau-an. Kesimpulan logis tersebut menunjuk kepada keimanan terhadap eksistensi Tuhan yang Maha Esa.

 

Konsili Chalcedon pada tahun 451 M telah menyatakan bahwa sifat-sifat Kristus tidak bisa dipilah-pilah. Hal ini mem-pengaruhi Honorius untuk menyimpulkan bahwa hanya ter-dapat suatu kehendak tunggal dalam Kristus mengambil bentuk manusia bebas dari adanya kutukan dosa asal. Menurut pandangan ini, Kristus memiliki kehendak manusia. Oleh sebab itu, keimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa secara tidak langsung dibenarkan dalam Gereja Paulus. Perbedaan-perbeda-an yang ada ini semua menjadi satu bukti sejauh mana inovasi yang dilakukan Paulus telah menyebabkan kebingungan di kalangan ummat. Paus Honorius meninggal pada tahun 638 M. Pada tahun yang sama, kaisar Heraclius secara resmi meneri-ma doktrin Honorius dan mengeluarkan suatu peraturan bahwa “semua pegawai kekaisaran harus mengakui satu kehendak dalam diri Yesus (Kristus)”. Synode (Dewan Gereja) Constan-tinople yang dilaksanakan pada tahun 638 M mendukung doktrin tersebut sebagai “benar-benar sesuai dengan ajaran Apostolik”. Doktrin Honorius tersebut tidak mendapat ten-tangan selama hampir setengah abad. Pada tahun 680 M ―42 tahun setelah kematiannya― sebuah konsili diadakan di Constantinople dan Paus Honorius dikutuk karena dia “tidak memadamkan kobaran api dari ajaran bid’ah tersebut pada awalnya. Tetapi justru meneguhkannya dengan kelalaiannya”. Dan untuk itu, “membiarkan ajaran suci Trinitas dinodai”. Keputusan ini ―di mana seorang Paus digugat oleh penerusnya dengan dukungan gereja― adalah suatu yang unik dalam sejarah kepausan.

 

Gereja Paulus ―atau lebih tepatnya Gereja Katholik Roma― semakin besar dan kuat. Hal ini sebagian besar disebabkan hubungannya dengan kaisar-kaisar Romawi. Semakin gereja menyesuaikan dirinya dengan mereka yang sedang berkuasa, maka semakin identik dengan mereka. Selama delapan abad setelah Konsili Nicea, Gereja Katholik Roma semakin kokoh dengan pesatnya di Roma, dan bukan di Jerusalem. Gereja tersebut mendapatkan tanah yang sangat luas di dalam dan di sekitar kota Roma. Semua ini dikenal sebagai “Pemberian Constantine”. Menjadi sangat berbahaya bagi siapa saja untuk berbeda ajaran dari Gereja Katholik Roma yang memiliki dukungan tentara kekaisaran dan juga pasukan milik gereja. Setelah tahun 325 M, lebih dari satu juta orang Kristen dibunuh karena tidak mau mengakui doktrin Katholik. Masa ini benar-benar masa kegelapan, dan sedikit sekali orang-orang di Eropa yang berani terang-terangan membenarkan ajaran tentang keesaan Tuhan.

 

Sementara Gereja Katholik disibukkan untuk mengenyah-kan para “penyeleweng” yang dicap sebagai “tukang bid’ah”. Orang-orang Islam mulai dikenal pada daerah pinggiran dari dunia Kristen. Hampir semua pengikut Yesus di Afrika Utara mengakui Islam sebagai pelanjut ajaran dari Tuhan, dan akhirnya mereka menjadi Muslim. Hanya ummat Kristiani Eropa saja yang masih tetap bertahan.

 

Para pemimpin Vatican pasti telah melihat kemiripan antara Islam dengan Unitarianisme yang diajarkan Arius. Keduanya sama-sama mengakui Tuhan yang Esa. Keduanya sama-sama menerima Yesus sebagai seorang Nabi dan manusia biasa. Keduanya samapsama meyakini kesucian perawan Maria dan kesucian ajaran Yesus. Keduanya sama-sama menerima adanya Roh Kudus (Jibril). Keduanya sama-sama menolak sifat ketuhanan yang disandarkan pada Yesus. Maka kebencian terhadap orang-orang Arian dialihkan kepada orang-orang Islam. Dengan cara pandang seperti ini, tentara Salib bukan suatu fenomena yang terpisahkan dari sejarah gereja. Tetapi justru menjadi suatu perluasan dari pembantaian terhadap orang-orang Arian yang dilakukan oleh Gereja Paulus.

 

Selama periode ini, gereja tidak mengabaikan adanya oposisi dari dalam. Sebuah badan yang dikenal dengan inquisition (Penyelidikan Gereja) di adakan untuk menyelidiki dan melenyapkan setiap jejak “penyimpangan” dari doktrin resmi gereja. Catatan yang pasti tentang berapa banyak orang yang telah dibunuh oleh badan ini tidak diketahui. Tetapi yang pasti, sejumlah besar orang telah menderita dan binasa di tangan mereka.

 

Dengan peristiwa reformasi dan berdirinya gereja-gereja Protestan sebagai hasilnya ―yang juga menjadi sangat kuat― doktrin Trinitas semakin diperketat. Sekalipun orang-orang Protestan dan Katholik Roma secara sengit saling bertentangan terhadap masalah-masalah lain seperti validitas dari dokumen yang membenarkan tentang “Pemberian Constantine”. Beberapa sarjana meneliti secara mendalam terhadap akte tersebut dan menemukan bahwa dokumen tersebut adalah palsu. Sejak saat itu, Vatican berhenti menggembar-gemborkan dokumen terse-but. Perang 30 tahun yang terkenal antara orang-orang Protestan dan Katholik adalah bukti lain bahwa perang gereja ini tidka dimaksudkan untuk menetapkan ajaran Yesus yang sebenarnya. Seperti halnya serangan Gereja Paulus terhadap orang-orang Arian, dan kemudian kepada orang-orang Islam, dengan jelas perang ini memperlihatkan bahwa apa yang diinginkan oleh gereja adalah kekuasaan. Pada ketiga peristiwa ini, gereja berjuang dalam rangka untuk mengokohkan kebera-daannya sebagai sebuah lembaga dan bukan untuk menyebar-kan apa yang diajarkan Yesus.

 

Karena Islam terus berkembang semakin luas, maka sebuah strategi besar disusun untuk menyerang orang-orang Islam, baik dari Timur maupun dari Barat. Gereja berharap menggabungkan kekuatannya dengan seorang raja Kristen India legendaris. Dan dengan bantuannya tersebut, akan menakluk-kan seluruh dunia. Dalam upayanya menemukan India, Colum-bus justru menemukan Amerika, dan Vesco de Gama menemu-kan jalan baru ke India. Kedua penemuan ini secara finansial menjadi petualangan-petualangan yang menguntungkan. Orang-orang Kristen tidak menemukan raja dongengan mereka dan juga tidak bisa melenyapkan Islam. Tetapi mereka bisa menjajah sebagian besar dunia, dan hasilnya para pemimpin dan pedagang mereka menjadi kaya raya.

 

Di samping adanya kekuasaan Gereja Katholik Roma dan Protestan yang besar, tetapi mereka tidak bisa melenyapkan keimanan terhadap keesaan Tuhan. Baik ajaran tersebut dikenal dengan sebutan Arianisme, Socianisme, maupun Unita-rianisme. Ajaran ini sampai sekarang tetap bertahan di dalam gerakan Kristiani, sebagaimana biografi-biografi singkat dari para penganutnya yang paling terkenal memperlihatkannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar