Orang-orang Kristen Apostolik ―para pengikut Yesus dan Barnabas― telah menghasilkan sejumlah sarjana yang ketakwaan dan pengetahuannya dihormati dan dimuliakan bahkan sampai saat ini. Penafsiran Apostolik terhadap kitab suci Injil bersifat kesejarahan tidak seperti pendekatan ortodoks yang dikenal saat ini. Tidak mencari makna kiasan yang tersembunyi (Allegorical) dalam teks Injil. Tetapi menerima makna lahir dari ucapan-ucapan yang diucapkan oleh ‘Isa (Yesus). Mereka juga bersikap kritis dalam memegang beberapa bagian dalam Bibel yang dipandang lebih kuat dari lainnya. Mereka berpegang teguh kepada keesaan Tuhan dan menolak setiap dogma yang berbau Trinitas. Mereka menekankan tokoh Yesus yang “menyejarah” dan menolak menggunakan istilah “anak” ketika menyebutnya. Mereka berusaha sungguh-sungguh untuk hidup sebagaimana yang dicontohkan Yesus dan bersikap sebagaimana yang dilaksanakan Yesus. Sebagian tokoh terpenting dari mereka yang mengikuti para pengikut Yesus ini adalah:
IRANAEUS (130-200 M)
Pada masa
kelahiran Iranaeus, Kristen Antiokia telah tersebar sampai ke Afrika Utara dan
sampai ke Spanyol dan bagian selatan Perancis. Catatan pertama yang dibuat yang
menyangkut Iranaeus adalah pada saat ia membawa sebuah petisi untuk membela Pothinus ―uskup dari Lyons― kepada Paus Elutherus di Roma. Dalam petisi ini, sebuah permohonan
diajukan ke Paus Elutherus untuk menghentikan penyiksaan terhadap orang-orang
Kristen yang tidak setuju dengan doktrin Gereja Pauline. Iranaeus masih berada
di Roma ketika ia mendengar bahwa semua orang-orang Kristen “pembelot” tersebut
―termasuk uskup Pothinus― telah dibunuh. Setelah kembali, Iranaeus menggantikan
Pothinus sebagai uskup Lyons.
Pada tahun 190
M, ia sendiri menulis kepada Paus Victor
untuk menghentikan pembantaian terhadap orang-orang Kristen yang dibunuh
semata-mata karena keyakinan mereka yang berbeda. Cerita lama kembali terulang,
dan dia sendiri dibunuh pada tahun 200 M karena membantu tujuan orang-orang
Kristen yang tidak mau mengikuti Paus.
Iranaeus meyakini
Tuhan yang Maha Esa dan mendukung doktrin tentang “kemanusiaan” Yesus. Dengan sengit ia mengkritik Paulus karena
bertanggung jawab memasukkan doktrin-doktrin dari agama berhala dan filsafat
Plato ke dalam Kristen. Secara luas, Iranaeus mengutip dari Injil Barnabas.
Setelah membaca tulisan-tulisan Iranaeus inilah yang mendorong Fra Marino
tertarik terhadap Injil Barnabas, yang pada gilirannya menyebabkan penemuannya
kepada manuskrip dalam bahasa Italia yang berisi tentang Injil Barnabas di
perpustakaan kepausan.
TERTULLIAN (160-220 M)
Tertullian
menjadi (anggota) dari gereja Afrika. Dia adalah seorang penduduk asli Carthage (Kartago). Dia meyakini keesaan
Tuhan dan mengidentifikasikan Yesus dengan “juru
selamat” (Messiah) Yahudi. Dia menentang Paus Callistus karena mengajarkan bahwa “dosa asal” telah diampuni setelah melaksanakan penebusan dosa
resmi (di bawah gereja). Dia menekankan tentang kesatuan jiwa dan eksistensi.
Dia menulis:
“Orang-orang kebanyakan berpikir tentang Kristus sebagai seorang manusia
biasa.”
Paus
Callistus-lah yang memperkenalkan istilah “Trinitas” ke dalam tulisan-tulisan “ecclesiastical” (gerejawi) Latin ketika
ia membahas doktrin baru yang aneh tersebut. Istilah Trinitas sama sekali tidak
pernah digunakan dalam kitab-kitab suci.
ORIGEN (185-254 M)
Origen adalah
seorang berkebangsaan Mesir asli. Mungkin ia dilahirkan di Alexandria. Ayahnya
(Leonidas) mendirikan suatu pusat belajar
dan mengangkat seorang teolog kenamaan (Clement) sebagai pimpinannya. Origen
menerima pendidikannya di pusat belajar ini. Gereja Pauline tidak merestui
keyakinan-keyakinan yang dipegang teguh oleh Leonidas yang telah mengikuti
Kristen Apostolik dan menolak untuk menerima tafsiran-tafsiran dan
inovasi-inovasi Paulus. Dia dibunuh pada 208 M. Origen sangat terpengaruh oleh
peristiwa ini sehingga ia sangat ingin untuk mengorbankan dirinya sendiri
sebagai seorang syahid, tetapi dihalangi oleh ibunya.
Gurunya
(Clement) karena kehidupannya dalam bahaya, maka ia meninggalkan Alexandria.
Ayahnya telah tiada, gurunya telah pergi dan Origen merasa wajib untuk
meneruskannya. Sebagai pimpinan baru sekolah tersebut, dengan cepat ia mencapai
reputasi karena ilmu dan keberaniannya. Karena didorong ketakwaan dan
kesetiaannya yang berlebihan, ia merusak (bagian tubuh) dirinya sendiri dengan
mengikuti kata-kata Matius 19: 12.
Terdapat bagian “sida-sida” (orang yang telah
mengebiri) yang dilahirkan dari rahim ibunya; dan terdapat sebagian sida-sida
yang dijadikan oleh manusia; dan akan ada sida-sida yang telah menjadikan dirinya
sendiri sebagai sida-sida karena mengharap datangnya kerajaan surga. Dia yang
mampu melakukan hal itu, semoga menerimanya (Kerajaan Surga).
Pada tahun 230
M, dia dinobatkan sebagai seorang pendeta di Palestina. Tetapi uskup Demerius memecat dan membuang-nya. Dia
mengungsi ke Caesarea pada tahun 231
M. Dengan mengikuti contoh ayahandanya, dia mendirikan pusat belajar di
Caesarea dan sekolah ini juga menjadi sangat terkenal.
Jerome, penulis Injil Vulgate (Injil pertama yang ditulis dalam bahasa Latin) yang
terkenal, pada awalnya mendukung Origen. Tetapi kemudian ia meyakini doktrin
Trinitas dan menjadi musuhnya. Jerome berusaha agar Origen dikecam oleh gereja.
Tetapi karena popularitas Origen, uskup
John tidak mungkin melakukannya. Dalam kenyataannya, Origen sendiri
akhirnya mengasingkan diri. Tetapi pada tahun 250 M, Jerome berhasil. Dia
dipenjarakan dan mengalami penyiksaan yang terus-menerus yang berakibat
kematiannya pada 254 M. Alasan pemenjaraannya adalah penolakan terhadap doktrin
Trinitas dan mengajarkan tentang keesaan Tuhan. Dia mempercayai bahwa Tuhan
adalah Maha Tinggi dan Yesus tidak bisa menyamai-Nya, tetapi dia adalah
hamba-Nya.
Origen menulis
sekitar 600 brosur dan risalah. Dia telah digambarkan sebagai “salah satu dari karakter yang paling menarik
dalam sejarah gereja”. Sejak muda sampai ajalnya, ia telah memperlihatkan
keberanian yang luar biasa. Dia sangat tekun dan sabar. Dia memiliki semua
kualitas seorang guru sejati dan orang-orang yang diajarnya mencintainya.
Kekuatannya (dalam membedakan hal yang benar dari yang keliru), energi
kreatifnya dan keluasan pengetahuannya hampir tak tertandingi di kalangan
orang-orang Kristen.
DIODORUS
Diodorus adalah
seorang uskup dari Tarsus. Dia dipandang sebagai salah satu pemimpin terpenting
dalam Kristen Antiokia.
Dia bersiteguh
bahwa dunia adalah sasaran perubahan. Tetapi perubahan itu sendiri adalah suatu
keadaan, yang berarti memiliki suatu permulaan dan membutuhkan sesuatu yang
menempati (sebelum permulaan tersebut). Sehingga terdapat suatu yang tetap di
belakang perubahan-perubahan tersebut. Lebih jauh lagi, keberagaman eksistensi
dan kebijaksanaan yang diperlihatkan dalam setiap proses perubahan itu sendiri
menunjukkan terhadap kesatuan asal yang mendasarinya dan memperlihatkan
kehadiran Sang Pencipta dan Pemelihara. Pastilah yang demikian itu adalah satu
Pencipta yang Maha Esa.
Diodorus
menekankan (sifat) kemanusiaan secara menyeluruh dalam diri Yesus yang
memiliki jiwa manusia dan daging manusia.
LUCIAN (meninggal tahun 312 M)
Reputasi Lucian
di samping karena ketakwaannya, juga karena kemasyhurannya sebagai seorang yang
berilmu. Dia memiliki pengetahuan tentang (bahasa) Ibrani maupun Yunani. Dia
tetap berada di luar jamaah gereja dari tahun 220 sampai 290 M. Kesuciannya dan
pengetahuannya yang kokoh telah menarik simpati sejumlah besar orang, dan
madzhabnya segera menjadi benih yang pada masa-masa berikutnya dikenal sebagai
doktrin Arian. Arius adalah salah satu muridnya.
Lucian percaya
kepada penafsiran gramatikal dan literal (sesuai dengan bunyi lahir suatu kata)
dari kitab-kitab suci (Injil). Dia menentang kecenderungan untuk mencari-cari
makna-makna simbolis dan kiasan dari teks-teks Injil, dan percaya kepada suatu
pendekatan empiris dan kritis terhadap kitab-kitab tersebut. Bukti adanya
perbedaan ini menunjukkan kenyataan bahwa pada saat itu orang-orang mulai lebih
bersandar kepada kitab-kitab suci, dan semakin kurang sandaran mereka terhadap
penyampaian secara lisan dari apa yang telah diajarkan Yesus. Hal ini
menunjukkan betapa cepatnya ajaran Yesus dalam totalitasnya telah lenyap.
Lucian adalah
seorang ilmuwan besar. Dia merevisi Alkitab Septuaginta (Alkitab berbahasa Yunani). Dia memisahkan berbagai
perubahan yang telah dilakukan terhadap sebagian Injil ketika diterjemahkan ke
dalam bahasa Yunani, dan menghasilkan “empat
Injil”, yang urutannya merupakan Injil-injil yang sebenarnya. Empat Injil
(hasil revisi Lucian) ini tidak sama dengan empat Injil yang secara umum
diterima oleh Gereja Pauline saat ini.
Dia percaya
bahwa Yesus tidaklah sama dengan Tuhan dan karenanya berada (di bawah) Tuhan.
Pandangan inilah yang menyulut kebencian Gereja Pauline. Dan setelah mengalami
berbagai penyiksaan, ia dihukum mati pada tahun 312 M.
ARIUS (250-336 M)
Kehidupan Arius
sangat erat hubungannya dengan sejarah kehidupan Kaisar Constantine. Sehingga tidak mungkin memahami salah satunya
tanpa mengetahu yang lainnya.
Contantine
terlibat dengan gereja berawal dari kecemburuannya terhadap putra mahkota yang
bernama Cripus. Pangeran muda
tersebut sangat terkenal karena ketampanannya, berperilaku baik, dan
keberaniannya di medan pertempuran. Untuk mengukuhkan posisinya sebagai Kaisar,
Constantine terpaksa membunuhnya. Kematian Cripus menggoreskan kesedihan di
seluruh lapisan masyarakat. Telah diketahui bahwa ibu tiri Cripus sangat
menginginkan anak kandungnya bisa mengganti-kan Cripus. Oleh sebab itu, ia
memiliki motif untuk membunuh Constantine. Maka Constantine membunuhnya dengan
menenggelamkannya pada sebuah bak mandi yang penuh dengan air mendidih. Dia
ingin menutupi satu kejahatan dengan kejahatan lainnya. Tetapi akibatnya justru
bertolak belakang dengan yang ia rencanakan. Para pendukung ratu (ibu Cripus)
justru bergabung dengan para pengikut putra mahkota yang mati tersebut. Dan
kedua belah pihak menuntut balas dendam. Dalam keadaan putus asa, Constantine
pergi ke pendeta-pendeta di kuil Jupiter di Roma untuk meminta tolong. Tetapi
mereka berkata kepadanya bahwa tidak akan ada pengorbanan maupun doa yang bisa
membebaskannya dari dua pembunuhan tersebut. Karena merasa tidak tenang berada
di Roma, ia memutuskan pergi ke Byzantium.
Kemudian ia
menamakan kota tersebut dengan namanya sendiri dan menyebutnya Constantinople
(Kota Constantine). Di kota ini ia mendapat keberhasilan yang tidak
disangka-sangka dari Gereja Paulus. Mereka berkata kepadanya, jika ia telah
melakukan penebusan dosa di gereja, maka dosa-dosanya telah diampuni.
Constantine memanfaatkan sepenuhnya “fasilitas” ini. Tangannya bukan saja
dilumuri darah dari dua pembunuh-an tersebut, tetapi juga disibukkan dengan
masalah-masalah dalam memerintah kekaisarannya. Setelah menenangkan batin-nya
dengan pengakuan dosa, ia mulai tenang dan memalingkan perhatiannya kepada
peristiwa-peristiwa dalam kekaisaran. Dia melihat peluang untuk memanfaatkan
gereja bagi tujuannya sendiri. Jika gereja setia kepadanya, maka ia akan
memberikan dukungan sepenuhnya kepada gereja. Dengan dukungan yang tak
disangka-sangka ini, gereja menjadi kekuatan besar hanya dalam waktu “semalam”. Constantine memanfaatkan sepenuhnya
posisi gereja. Negeri di sekitar Mediteranian dipenuhi dengan gereja-gereja
Kristen, dan Kaisar memanfaatkan mereka yang sangat menguntungkan Constantine
dalam peperangan yang dihadapinya. Sebagian besar pendeta (gereja)
melaksanakan tugas intelijen yang sangat berguna baginya, dan bantuan mereka
merupakan faktor penting dalam usahanya dan untuk mempersatukan Eropa dan Timur
Tengah di bawah kekuasaannya. Sebagian karena didorong rasa terima kasihnya,
dan sebagian dalam rangka mengurangi pengaruh kekuasaan para pendeta Roma di
kuil Jupiter yang telah menolak untuk mendukungnya. Constantine mendorong
orang-orang Kristen untuk membangun sebuah gereja di Roma. Tetapi Constantine
sendiri tidak masuk Kristen. Karena rakyatnya masih banyak yang percaya pada Jupiter
dan dewa-dewa lain di kuil pusat (Pantheon) di Roma. Untuk mengurangi
kecurigaan, ia membuat sejumlah keputusan yang seolah-olah membuktikan bahwa ia
juga menyembah dewa-dewa Romawi. Segala sesuatu tampak berjalan dengan baik
sampai ketika pertentangan lama antara Gereja Paulus dengan Gereja Apostolik
berkobar lagi.
Pemimpin Gereja
Apostolik tetap mempertahankan keimanan kepada Tuhan yang Esa. Pada saat
itulah muncul seorang Presbyter
(ketua majelis agama/gereja) yang bernama Arius. Dia adalah seorang Libya asli
yang memberikan kekuatan baru Gereja Apostolik. Secara tersirat ia mengikuti
ajaran Yesus, dan menolak “temuan-temuan”
baru yang diperkenalkan oleh Paulus. “Ikutilah
ajaran sebagaimana yang diajarkan Yesus” adalah semboyan Arius.
Kedudukannya yang penting bisa diukur dengan kenyataan bahwa namanya menjadi
identik dengan aliran Unitarianisme sampai sekarang.
Gereja Paulus
menerima kritikan tajam dari Arius. Dia bukan sekedar “seorang pendeta yang sibuk” sebagaimana para musuhnya meyakinkan
orang-orang untuk mempercayai tuduhan tersebut, tetapi mereka bahkan dipaksa
untuk mengakui dengan bukti yang sebenarnya bahwa dia adalah seorang “Presbyter yang tulus dan tidak bersalah”.
Pada saat di mana tradisi lisan yang menjaga ajaran Yesus mulai melemah, dan
ketika pemahaman terhadap apa yang telah ditulis mulai berkurang, Arius
menghidupkan kembali keduanya dan memper-baruinya dengan kerja keras dan
kebijaksanaannya. Dia tetap menjauhkan diri dari persekutuan yang dilakukan
gereja dengan Kaisar Constantine.
Arius adalah
mantan murid dari kritikus terbesar terhadap Gereja Paulus, seorang syahid
agung, dia bernama Lucian dari
Antiokia yang terkenal karena keluasan ilmunya. Dan seperti para pendahulunya,
ia dibunuh karena mempertahankan pandangan-pandangannya yang tidak disetujui
oleh Gereja Paulus. Dengan demikian, Arius menyadari akan bahaya yang
mengan-camnya bila mengajarkan kepercayaan yang berbeda dari ajaran-ajaran yang
diakui gereja tersebut. Sekalipun masa mudanya tidak diketahui, tetapi tercatat
bahwa pada tahun 318 M, ia bertugas di Gereja
Baucalis di Alexandria. Gereja itu adalah gereja tertua dan yang terpenting
di kota tersebut.
Dari sedikit
catatan yang bisa dipercaya, diketahui bahwa dia adalah seorang yang tinggi dan
kurus. Sebenarnya ia tampan. Tetapi karena kurus, kulit mukanya pucat dan
pan-dangannya muram. Terkesan dari kelemahan sorot matanya. Dia berpakaian dan
bertingkah laku seperti orang-orang zuhud (ascetic).
Dia memakai jubah panjang dengan lengan pendek. Rambutnya panjang tak teratur.
Biasanya ia pendiam. Tetapi jika suasana telah memanas, ia akan memcahkan
keheningan dengan kata-katanya yang tajam dan mengagumkan. Suaranya merdu dan
tingkah lakunya yang menawan telah merebut hati orang-orang yang pernah bergaul
dengannya. Dia dipandang sebagai salah satu Presbyter
yang terpenting dan terkenal di Alexandria, dan selalu dihormati oleh siapa
saja yang menemuinya:
Kemasyhurannya tersebar dengan cepat, bahkan di luar
Alexandria sebagai seorang pekerja yang rajin membimbing ke arah kehidupan
lurus dan ascetic (zuhud). Seorang da’i yang kuat, bersikap jantan dan
terang-terangan dalam masalah prinsip-prinsip dasar agama. Dia dikaruniai
kemampuan berbicara yang luar biasa dan tingkah laku yang menawan. Dia juga
mampu mengobarkan semangat seperti kobaran pemimpin-pemimpin keagamaan besar
dunia. Dia adalah seorang yang sangat tulus dan doktrin yang ia ajarkan adalah
vital dan kokoh. Juga diketahui bahwa dia memiliki pengikut wanita
tidak kurang dari 700 orang di Alexandria.
Sampai pada masa
itu, agama Kristen bukan merupakan hasil dari suatu paksaan. Terdapat
perbedaan-perbedaan antara sekte-sekte Kristen. Kadang-kadang perbedaan
tersebut sangat dalam dan pahit. Tetapi keyakinan apa pun yang dipegang oleh
seseorang didasarkan atas keyakinan pribadinya dan kesetiaan-nya. Pada periode
setelah “menghilangnya” Yesus dari bumi inilah orang-orang suci dan para
mujahid dengan senang hati menyerahkan nyawa mereka daripada melakukan kompromi
dengan menjual keimanan mereka. Pedang-pedang penguasa telah diayunkan ke
seluruh negeri untuk melenyapkan keimanan-keimanan seperti ini. Ketika
Constantine melakukan persekutuannya yang pertama kali dengan gereja,
terjadilah perubahan dramatis. Sekalipun ia tetap menjadi Pontifex Maximus (pendeta tertinggi dalam kuil Roma), dan tetap
dalam kapasitasnya sebagai pemimpin agama berhala yang secara resmi merupakan
agama negara, tetapi secara terbuka ia mulai mendukung gereja Kristen. Mungkin
ia sedikit mengetahui perbedaan antara Gereja Pauline dan cabang-cabang dari Gereja
Apostolik. Tanda-tanda yang menguntungkan ini telah menempatkan Kristen dalam
posisi baru dan akhirnya benar-benar menjadi satu-satunya peribadatan resmi di
kekaisaran Romawi. Bagi banyak orang, agama Kristen secara tiba-tiba telah
menjadi masalah kebijaksanaan politik dan kepentingan. Sebagian orang yang “murtad” dengan segera bergabung kembali
dengan “sedikit” bantuan tekanan
dari pemerintah. Oleh sebab itu, banyak para pemeluk baru Kristen yang tidak
berdasar panggilan nurani, tetapi sebagai akibat dari bentuk keyakinan yang
sama sekali berbeda. Agama Kristen telah menjadi suatu gerakan massal. Tetapi
gerakan ini adalah suatu gerakan yang menyulut kembali perbedaan antara Gereja
Paulus dan Gereja Apostolik. Mereka yang masuk Kristen karena panggilan nurani,
biasanya memilih pendekatan yang tidak terlalu kuat terhadap pendekatan Gereja
Paulus. Gereja Apostolik hanya disambut oleh mereka yang secara tulus ingin
mengikuti cara hidup Yesus.
Pada tahapan
ini, Constantine yang tidak mengerti dan juga tidak percaya terhadap agama
Kristen, melihat keuntungan politis dengan memiliki suatu gereja kesatuan yang
mematuhinya. Dan pusatnya akan berada di Roma, bukan di Jerusalem. Ketika
anggota-anggota Gereja Apostolik menolak untuk memenuhi keinginan ini, Constantine
berusaha memaksa mereka dengan kekerasan. Tetapi tekanan dari luar ini tidak
membuahkan hasil yang diharapkan. Sejumlah komunitas kekuasaan Uskup Roma
memandang perubahan ini sebagai siasat politis dari seorang penguasa asing, dan
jauh menyimpang dari ajaran Yesus.
Pemberontakan
pertama berasal dari kalangan komunitas Barbar di Afrika Utara. Pemberontakan
ini tidak dipimpin oleh Arius. Tetapi oleh seorang yang bernama Donatus. Orang-orang Barbar selalu
mempertahankan keyakinan-keyakinan dasar tertentu. Yang terkuat di antaranya
adalah keyakinan mereka tentang keesaan Tuhan. Mereka bisa mempercayai Yesus
sebagai manusia, bukan sebagai Tuhan. Karena Yesus tidak pernah mengatakan
bahwa Roma akan menjadi pusat ajarannya, mereka tidak bisa menerima rencana
kaisar itu. Pada tahun 313 M, Donatus terpilih sebagai uskup. Dan selama 40
tahun ia tetap menjadi pemimpin Gereja Apostolik yang terus berkembang secara
bertolak belakang dengan Uskup Roma. Menurut Jerome, “Donatisme” menjadi agama bagi hampir semua daerah Afrika Utara
dalam waktu satu generasi, dan tidak ada kekuatan maupun argumen yang bisa
mengubahnya.
Uskup Roma
berupaya untuk memasang salah satu dari uskup-uskupnya di Kartago untuk
menggantikan Donatus. Nama uskup tersebut adalah Cacealian. Prestise Constantine telah menjulang tinggi. Sehingga
dalam konflik yang semakin tajam tersebut, kedua belah pihak menghadap
kepadanya. Mereka mengharapkan dukungan kaisar agar tidak usah susah payah
melawan pihak lawannya. Upaya mendapatkan perlindungan dari Constantine ini
telah menyebabkan suatu perubahan yang sangat penting dalam sejarah Kristen. Constantine
memutuskan untuk memenangkan Cacealian. Masyarakat Kartago berkumpul di sekitar
kantor konsul yang memihak Roma dan menuntut pemecatan Cacealian. Constantine
merasa terganggu dengan aksi mereka. Dan untuk itu, memutuskan pengadilan di
bawah pimpinan Uskup Roma untuk menengahi kedua belah pihak tersebut. Donatus
tidak hadir dan tidak ada seorang pun yang hadir dalam persidangan untuk
membela kasusnya. Keputusan yang ada menjatuhkan “vonis salah” in absentia. Gereja Apostolik di Afrika Utara menolak
untuk menerima keputusan ex parte
(sepihak) dari Uskup Roma. Constantine merasa malu karena para pelayan Tuhan
bertentangan di kalangan mereka sendiri sebagaimana orang-orang awam lainnya.
Sekalipun ia kecewa, ia mengatur persidangan baru di Arles. Dua pihak yang bertikai diminta untuk mengambil jalur yang
terpisah agar tidak terjadi pertikaian-pertikaian sebelum persidangan
dilaksanakan. Orang-orang Donatus kalah lagi. Keputusannya adalah “para uskup berhadapan dengan orang-orang
berbahaya yang tidak memiliki rasa hormat kepada kekuasaan ataupun tradisi.
Mereka hanya pantas mendapatkan kecaman.” Keputusan ini benar-benar tidak
bisa lagi diterima oleh orang-orang Kristen Afrika Utara daripada
keputusan-keputusan yang dibuat oleh para penguasa terdahulu. Sebagaimana yang
terjadi, mereka kurang menghormati Konsul Roma dan pegawai-pegawai kekaisaran
lainnya. Selama beberapa generasi, orang-orang Kristen Afrika Utara telah
mengalami penyiksaan di tangan para pejabat kekaisaran, dan memandang mereka
sebagai utusan-utusan setan. Pada masa lalu mereka telah disiksa karena
beragama Kristen. Sekarang mereka disiksa karena menganut “jenis” Kristen yang “keliru”.
Orang-orang Afrika tidak bisa menerima bahwa para pejabat kekaisaran Romawi
telah menjadi pelayan-pelayan Tuhan dalam semalam. Karena mereka semata-mata
berupaya untuk memperkuat seorang uskup Gereja Paulus di Roma yang sedang
berkuasa. Sampai pada titik ini, Donatus tetap menjadi uskup mereka yang paling
termasyhur.
Sedikit sekali
yang diketahui tentang tokoh terkenal ini. Buku-buku yang ditulisnya dan
perpustakaannya berisi manuskrip-manuskrip yang sangat tinggi nilainya semua
dibakar oleh tentara Romawi. Mereka melakukan tindakan itu atas nama Gereja
Kristen dukungan kaisar kafir yang telah berkembang kedudukan dan kekuatannya,
penampilan pribadinya, sahabat-sahabatnya dan peristiwa-peristiwa dalam
hidupnya. Diketahui bahwa Donatus adalah seorang pembicara yang baik dan
pemimpin yang hebat. Dia selalu disambut dengan penuh semangat kapan saja ia
pergi, sehingga ia tetap dikenal lama setelah ketiadaannya. Para pengikutnya
biasa bersumpah dengan “rambutnya yang
putih”. Tampaknya ia telah menggambarkan sebagai rohaniawan yang yakin
akan hidup dengan baik di dunia dan di akhirat jika mereka melaksanakan
tindakan-tindakan yang benar. Integritas dan kejujurannya diakui oleh
teman-teman maupun musuh-musuhnya. Dia dikenal sebagai pembaru keagamaan “yang memurnikan gereja Kartago dari
kesalahan”. Dia dipandang masyarakat sebagai seorang pekerja yang aneh dan
seorang suci yang lebih bijaksana dari Daniel. Dia bersikap kokoh dalam
menentang segala usaha untuk mengurangi atau mengubah ajaran asli Yesus.
Constantine
menulis sepucuk surat kepada kedua kelompok dan meminta mereka untuk melupakan
perbedaan-perbedaan mereka, untuk bersatu di bawah gereja yang disukainya.
Surat ini penting artinya, karena Constantine menganggap dirinya lebih tinggi
dari gereja. Apa pun bentuknya, dan setiap rujukan kepada Yesus akan dicurigai
tanpa (penyebutan) dirinya. Surat tersebut tidak berpengaruh sama sekali, dan
tidak ada kemajuan yang dicapai dalam memperkuat keputusan dari persidangan
yang dilaksanakan di Arles tersebut.
Pada bulan Juli
315 M, kaisar kembali ke Roma. Ia harus pergi ke Milan untuk membasmi
serangan-serangan orang-orang Perancis yang meletus di bagian utara Italia.
Setelah selesai dengan tugas-tugas perang ini, ia mengangkat suatu komisi untuk
pergi ke Afrika. Mengamati keadaan dan mendamaikan pertikaian yang ada. Ketika
tiba di Afrika, komisi ini diboikot dan kerusuhan terjadi. Sehingga
anggota-anggota komisi tersebut di paksa kembali ke Italia tanpa mencapai hasil
apa pun. Berita yang mengagetkan ini sampai pada Constantine pada tahun 316 M.
Dia memutuskan untuk pergi ke Afrika Utara secara pribadi, dan dia sendiri yang
akan memberikan aturan yang jelas tentang bagaimana Tuhan yang Maha Tinggi itu.
Menarik untuk
dilihat bahwa Constantine mempertimbangkan hal ini dalam kepentingannya untuk
membuat keputusan semacam ini. Dalam surat yang ia tulis kepada kedua gereja
Afrika tersebut ia mengatakan:
Apalagi yang bisa dilakukan dengan kesibukan yang
terus-menerus dan kedudukan saya sebagai seorang kaisar, setelah membasmi kesalahan
dan menghancurkan pandangan yang gegabah, apalagi kalau bukan mengarahkan
semua orang untuk membahas secara bersama-sama untuk mengikuti agama yang
benar dan kesederhanaan hidup, dan untuk menyerah kepada Tuhan yang Maha Kuasa
dan (hanya) menyembah kepada-Nya.
Jelas terlihat
bahwa begitu teladan Yesus telah dilupakan atau diabaikan, maka “agama yang benar” menjadi suatu masalah
pendapat. Dan tidak ada pendapat yang disukai Constantine kecuali pendapatnya
sendiri. Hanya dengan pendekatan Kristen semacam inilah Constantine bisa sangat
tertarik terhadap masalah-masalah internal dari suatu agama yang belum
dipeluknya. Constantine memandang dirinya sebagai seorang yang berbicara dengan
kekuasaan yang lebih besar daripada para pemimpin gereja. Dan tampaknya ia
menganggap dirinya lebih sebagai “nabi”
Tuhan daripada sebagai manusia biasa. Uskup-uskup Gereja Paulus yang duduk pada
persidangan di Arles tampaknya memiliki pandangan yang sama dengan Constantine.
Mereka mengklaim bahwa keputusan mereka telah tercatat “dengan kehadiran Roh Kudus dan malaikat-malaikat-Nya”. Tetapi
ketika kekuasaan mereka diabaikan, maka mereka berpaling ke kaisar untuk
meminta pertolongan.
Sebagaimana yang
telah terjadi, Constantine tidak jadi pergi ke Afrika sebagaimana yang telah
direncanakan. Orang-orang Donatus telah berkembang menjadi sangat kuat.
Sehingga tidak bijaksana untuk terlibat secara pribadi dalam pertikaian antara
Donatus dan Cacealian. Karena jika campur tangannya secara pribadi gagal, maka
hal itu akan menjadi pukulan besar bari prestise-nya. Tetapi sebaliknya, ia
justru mengeluarkan suatu keputusan yang mengutuk Donatus dan mengalihkan
perhatiannya untuk “memanfaatkan dari
penyembahan terhadap Dewa Tertinggi dengan cara yang tepat”. Ketika keputusan ini diabaikan, “suatu
hukum yang sangat keras” dikirimkan ke Afrika: gereja-gereja yang dimiliki
oleh orang-orang Donatus harus diambil alih, dan para pemimpinnya dibuang ke
pengasingan. Pada awalnya Cacealian berusaha menyuap para pemimpin gereja
Donatus, tetapi tidak berhasil. Mereka menentang perintah kekaisaran tersebut,
mengabaikan suapannya, dan mengumumkan upaya penyuapan tersebut secara luas.
Cacealian dicap sebagai “seorang yang
lebih kejam dari pembunuh dan lebih brutal dari seorang tiran”.
Gereja Roma, yang
saat itu telah mengambil sebutan “Katholik” untuk menunjukkan universalitas
pendekatannya dalam menyembah Tuhan (Catholic berarti “luas” dan “menyelu-ruh”),
meminta orang-orang Donatus untuk bersatu. Pengajuan tersebut tidak
berpengaruh. Dan Donatus menolak penyerahan gerejanya kepada Cacealian.
Akhirnya, tentara Romawi bertindak. Terjadilah pembunuhan massal. Mayat-mayat
dilemparkan ke dalam sumur dan uskup-uskup dibunuh di dalam gerejanya. Tetapi
orang-orang Donatus yang lolos dari pembantaian itu tetap teguh dan gerakan
mereka menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Mereka menamakan gerejanya dengan “Gereja Para Syahid”. Peristiwa ini
semakin memperlebar per-bedaan antara Gereja-gereja Donatus dan Gereja
Katholik. Karena Gereja Katholik bersekutu dengan hakim-hakim kafir dan
pasukannya, maka orang-orang Katholik disebut sebagai “Schismatic” (yang memecah-belah) dan gereja mereka diidentikkan
sebagai tempat berhala kebencian. Constantine menyadari kesalahannya dengan
mencoba membangun harmoni keagamaan dan persatuan dengan cara kekerasan. Dengan
menimbang bahwa kebijaksanaan lebih baik dari keberanian, maka ia membiarkan
penduduk Afrika Utara (untuk menyelesai-kan masalahnya sendiri). Tetapi dari
peristiwa mengerikan itulah Constantine mengajak seluruh sekte-sekte gereja
untuk melaksanakan sidang umum yang dikenal dengan Konsili Nicea.
Sebelum kembali
kepada sejarah Arius ―yang pada tahap ini baru mulai terdengar “suaranya”― akan menjadi menarik untuk
memberikan sejarah singkat tentang orang-orang Donatus sampai datangnya Islam.
Begitu Constantine telah mengalihkan perhatiannya dari Afrika Utara kepada
bagian-bagian lain dalam kekaisarannya, maka penyiksaan terhadap orang-orang
Donatus semakin berkurang, dan jumlah mereka berkembang pesat. Mereka menjadi
kuat. Sehingga pada saat kaisar ingin membangun sebuah gereja bagi orang-orang
Katholik Afrika Utara pada tahun 330 M, orang-orang Donatus merampasnya. Kaisar
menjadi murka. Tetapi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menjanjikan kepada
orang-orang Katholik dengan sejumlah uang yang cukup untuk membangun gereja
lain mereka. Gerakan Donatus bahkan tersebar sampai ke Roma. Mereka juga
memiliki seorang uskup di Roma. Tetapi ia dipandang berada di bawah tingkatan
uskup di Kartago dan Nicomedia.
Donatus telah
mencapai kekuasaan penuh di Kartago. Dia dianggap oleh rakyat sebagai seorang
yang lebih dari manusia biasa. Dia tidak pernah dipanggil “uskup”, tetapi dikenal sebagai “Donatus
dari Kartago”. Augustin
menjelaskan, jika Donatus dihina, maka reaksi pengikutnya sangat keras,
daripada jika mendengar Yesus dihina. Hal ini membuktikan dengan jelas kasarnya
perkataan yang digunakan orang-orang Katholik pada saat membicarakan tentang
Donatus.
Pada saat
pemerintahan Constantine berakhir, orang-orang Donatus tetap menjaga kebebasan
gereja mereka dan menen-tang setiap campur-tangan dari kaisar atau
pejabat-pejabatnya dalam masalah agama. Tetapi mereka bukanlah orang Sektarian
yang picik. Augustin sendiri mengamati bahwa orang-orang Donatus tidak menindas
orang-orang Katholik ketika jumlahnya kecil. Tetapi orang-orang Katholik yang
selalu mengklaim sebagai orang-orang yang toleran, ternyata tidak menjamin
kelangsungan hidup orang-orang Donatus ketika sekali lagi kekuatan-kekuatan
kekaisaran dikirim untuk menaklukkan orang-orang yang tidak mengenal rasa takut
ini. Tetapi, di samping adanya penyiksaan yang terus berlanjut, orang-orang
Donatus menolak kaisar untuk mengubah cara peribadatan mereka. Dalam pandangan
mereka, “orang-orang Katholik adalah pendeta-pendeta jahat yang bekerjasama
dengan raja-raja dunia. Karena mengharapkan restu istana, mereka telah
menurunkan derajat Kristus.”
Setelah wafatnya
Donatus, penduduk Afrika Utara tetap mengikuti teladannya. Dan selama tiga
ratus tahun, ajarannya tentang apa yang telah di bawa Yesus tetap diikuti.
Ketika Islam datang kepada mereka, mereka segera memeluknya. Karena mereka
telah lama mempersiapkan diri untuk menerima keesaan Tuhan, sehingga (Islam)
sebagai penyempurnaan dan penegasan terhadap ajaran yang selama ini mereka
ikuti.
Terdapat gerakan
lain yang mirip dengan gerakan Donatus yang terjadi secara bersamaan. Tetapi
tidak terkait dengan gerakan Donatus yang tumbuh di daerah selatan Mesir.
Constantine baru akan melakukan upaya lain untuk menyelesaikan keruwetan
masalah Kristen di Afrika Utara pada tahun 324 M ketika perhatiannya beralih ke
Mesir, sebuah negeri yang selalu di guncang oleh pemberontakan dan pertikaian.
Ketika penyiksaan terhadap orang-orang Kristen oleh Diocletianus sampai pada puncaknya, banyak dari mereka yang terpaksa
melakukan kompromi untuk menghindarkan siksaan. Seorang pendeta bernama Meletius menyatakan bahwa
pendeta-pendeta yang secara terang-terangan merendahkan agama Kristen akan
dilarang melaksanakan fungsi kependetaan mereka. Juga dilarang menghadiri semua
majelis yang melakukan penyembahan murni, kecuali kalau mereka menunjukkan
bukti yang memuaskan terhadap penjelasan mereka. Peter, yang pada saat itu menjadi Patriach (ketua dewan gereja) Alexandria, mengusulkan suatu cara
yang lebih lunak. Tetapi mayoritas penduduk mendukung Meletius. Ketika
Alexander menduduki tahta keuskupan, dia membuang Meletius ke daerah
pertambangan.
Ketika Meletius
kembali, banyak dari pengikutnya berkumpul di sekitarnya. Dia mengangkat
uskup-uskup, pendeta-pendeta, dan deacon
(orang yang bekerja untuk membantu gereja) dan membangun banyak gereja. Mereka
menolak untuk menyerah terhadap para penyiksanya. Meletius menamakan gerejanya
dengan “Gereja Para Syahid” yang
bertentangan dengan para pengikut Alexander yang menyebut diri Katholik dan
mengikuti versi Paulus. Setelah kematian Meletius, Alexander melarang para
pengikutnya untuk melaksanakan majelis-majelis peribadatan mereka. Untuk
menentang aturan ini, mereka mengirim utusan ke Constantine. Hanya dengan
bantuan Eusibius dari Nicomedia
sajalah akhirnya mereka diijinkan untuk menemui kaisar. Kehadiran mereka di
istana merupakan alasan lain yang menyebabkan Constantine menyerukan
pelaksanaan Konsili Nicea. Eusibius adalah sahabat Arius, dan melalui pertemuan
inilah terjadi hubungan antara gerakan Arian dan Meletian.
Gerakan yang
dipimpin Arius ini terjadi karena untuk menentang penindasan kedua Gereja Para
Syahid tersebut. Tidak satu pun terdapat catatan yang membela Arius, atau semua
catatan yang netral tentang gerakannya benar-benar telah dihancurkan. Hampir
semua buku yang memuat Arius yang masih ada ditulis oleh musuh-musuhnya. Untuk
itu, tidak mungkin memberikan pandangan sepenuhnya tentang kehidupannya.
Dengan mengaitkan ceceran-ceceran informasi yang masih ada, gambaran berikut
akan muncul: Peter ―uskup Alexandria― mengangkatnya sebagai “deacon” tetapi kemudian memecatnya. Achillas ―penerus Peter― sekali lagi
mengang-katnya sebagai seorang pendeta. Arius menjadi sangat terkenal. Sehingga
ketika Achillas meninggal, dia memiliki kesempatan yang besar untuk
menggantikannya. Tetapi Arius tidak mempunyai keinginan untuk terlibat dalam
pemilihan. Maka Alexander-lah yang dipilih menduduki kursi keuskupan. Sebuah
kecaman dibuat menentang Arius karena ajarannya. Saingannya (Alexander) menjadi
hakim (dalam persidangan), dan akhirnya Arius dipecat lagi.
Sampai pada
titik ini, telah terdapat berbagai bentuk dalam keyakinan-keyakinan Kristen.
Doktrin Trinitas saat itu diterima oleh sebagian besar rakyat yang menyebut
diri sebagai orang Kristen. Tetapi tidak ada seorang pun yang yakin arti
sebenarnya dari istilah tersebut. Sebagian orang secara membabi-buta
membenarkan yang lain. Tetapi Donatus dan Meletius menolaknya. Mereka yang
berada di antara dua kutub ini secara bebas menjelaskan doktrin tersebut dengan
cara yang mereka anggap terbaik. Setelah lebih dari dua abad pembahasan dan
perdebat-an, tidak ada seorang pun yang mampu menyatakan doktrin tersebut dalam
istilah-istilah yang bebas dari penjelasan yang bertele-tele dan mengelak dari
pertanyaan-pertanyaan rumit. Arius berdiri tegak dan menentang setiap orang
yang mendefinisikannya. Alexander menyerah secara total. Semakin ia mencoba
menjelaskannya, maka semakin bingung dibuatnya. Arius ―dengan menggunakan nalar
dan bersandar kepada otoritas dari kitab-kitab suci (Injil)― membuktikan bahwa
doktrin tersebut palsu.
Arius mengajukan
penolakan terhadap penjelasan-penjelas-an Alexander dengan mengacu kepada
Yesus. Jika Yesus memang benar “anak
Tuhan”, maka akan segera disertai penger-tian bahwa “Bapak” pastilah akan ada sebelum “anak” ada. Oleh sebab itu, pasti terdapat rentang waktu ketika “anak” belum ada. Oleh karena itu, “anak” adalah makhluk yang tersusun dari
sebuah “esensi” atau makhluk yang tidak “selalu” ada. Karena Tuhan adalah “zat”
Mutlak (abadi, tak bermula) dan eksistensi yang Maha Ada (selalu ada), maka
Yesus tidak mungkin bisa menjadi “esensi” yang sama sebagaimana “esensi” Tuhan.
Arius selalu
mengajukan pandangannya berdasar akal dan logika. Karena Alexander tidak mampu mengembangkan
argumen-argumen sanggahan yang masuk akal, maka ia selalu kalah dan kehilangan
kesabarannya. Setelah mengajukan per-syaratan-persyaratannya ia berkata:
“Dimanakah kelemahan deduksi saya dan manakah silogisme saya yang salah?” Pada tahun 321 M, Arius menjadi seorang
pendeta “pembelot” yang terkenal, dan
ia sangat teguh memegang keyakinannya.
Setelah
kekalahannya, Alexander memanggil Synode
(majelis gereja) daerah untuk mengumumkan keputusan terhadap doktrin Arius.
Sekitar 100 Uskup Mesir dan Libya hadir dalam synode tersebut. Arius dengan
jantan mempertahankan sikapnya, dan dengan kemampuannya yang kuat ia
menyatakan pandangannya: “Terdapat suatu (rentang) waktu ketika Yesus tidak
ada, sementara Tuhan telah ada (tak bermula). Karena Yesus diciptakan oleh
Tuhan, maka keberadaannya terbatas. Sehingga ia tidak mungkin memiliki sifat
kekal dan tak bermula. Hanya Tuhan yang abadi. Karena Yesus adalah seorang
makhluk, maka ia adalah subyek yang bisa berubah seperti makhluk-makhluk
rasional lainnya. Hanya Tuhan yang “tidak
berubah”. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa Yesus bukan Tuhan.
Sebagaimana penggunaan logika dalam pandangannya, Arius juga mendukung
argumen-argumennya dengan berbagai ayat dari Bibel yang tidak pernah
mengajarkan Trinitas. Jika Yesus berkata: “Bapakku
lebih besar dari aku”. Maka barang-siapa yang mempercayai Tuhan dan Yesus
adalah sama, berarti menolak kebenaran Yesus. Begitu Arius berargumen.
Argumen-argumen
Arius tidak terbantah. Tetapi Alexander dengan posisinya yang menguntungkan,
memecatnya. Tetapi Arius telah memiliki pengikut yang besar, sehingga ia tidak
bisa diabaikan oleg Gereja Paulus. Terutama karena uskup-uskup daerah Timur
tidak mau menerima keputusan Alexander tersebut. Perbedaan yang telah “membara” hampir tiga ratus tahun
tersebut meledak. Alexander merasa gundah dan terganggu karena begitu banyak uskup-uskup
Timur yang mendukung Arius, dan Eusibius dari Nicomedia adalah sekutu
terbesarnya. Dia dan Arius adalah sahabat lama. Karena keduanya pernah menjadi
murid Lucian, seorang yang secara luas dihormati karena kesucian dan ilmunya.
Kematian Lucian pada 312 M. Semakin memperkuat persahabatan mereka dan
meneguhkan sikap mereka.
Terdapat sepucuk
surat yang ditulis Arius kepada Eusibius di Constantinople setelah pemecatannya
oleh Alexander, dan surat tersebut sampai sekarang masih ada. Arius mengeluh
terhadap penyiksaan yang dilakukan Alexander, yang mencoba untuk mengusirnya
dari Alexandria (Iskandariyah) sebagai seorang “atheis kotor”, karena dia dan sahabat-sahabatnya tidak mau mengakui
doktrin-doktrin yang “memalukan” yang
diyakini uskup tersebut:
“Kami disiksa karena mengatakan bahwa Yesus
memiliki permulaan, sementara Tuhan tidak bermula”.
Sebagai
akibatnya, Arius semakin didukung Eusibius yang memiliki pengaruh besar. Bukan
saja pada rakyat biasa, tetapi juga di kalangan istana. Di samping adanya
dukungan ini, Arius selalu menampakkan kecenderungan ke arah dukungan siliasi daripada oposisi, sejauh
menyangkut ketertiban gereja dan bukan pada masalah doktrin.
Sayangnya,
catatan tentang pertikaian ini sangat sedikit. Tetapi terdapat beberapa surat
yang masih ada penunjukkan bahwa tujuan Arius adalah semata-mata untuk menjaga
ajaran Yesus tetap murni dan bebas dari perubahan, dan bukan untuk membawa
perpecahan di kalangan orang-orang Kristen. Di sisi lain, surat-surat yang
ditulis Alexander memperlihatkan bahwa uskup tersebut menggunakan kata-kata
kasar dalam menen-tang Arius dan para pendukungnya. Dalam satu surat ia
menulis: “Mereka dikuasai setan yang bersemayam dalam diri mereka dan mendorong
mereka kepada kemarahan. Mereka adalah pendusta dan penipu, pembicara-pembicara
cerdik deng-an kata-kata yang mengagumkan. Mereka adalah perampok yang memiliki
sarang di siang maupun malam hari. Mereka menghina Kristus. Mereka menarik
penganut melalui agen wanita-wanita muda tuna susila di kota-kota.”
Penggunaan
bahasa yang keras dan kasar oleh seorang patriach
(ketua dewan gereja kota) menimbulkan kecurigaan bahwa dia sendiri sebenarnya
menyadari kelemahan pendapatnya.
Eusibius
membalas dengan “panas” nada bicara patriach
Alexander. Dia menyelenggarakan synode uskup-uskup Timur dan meletakkan semua
masalah tersebut di depan mereka. Hasil dari pertemuan ini adalah sebuah surat
yang dikirim ke seluruh uskup Timur dan Barat, meminta mereka untuk me-maksa
Alexander untuk mengembalikan Arius ke dalam gereja. Tetapi Alexander menuntut
“penyerahan” total dari Arius. Arius kembali ke Palestina dan tetap melayani
para pengikutnya, Alexander mengeluarkan sebuah surat yang panjang yang
ditujukan kepada “semua koleganya di gereja Katholik”. Surat yang
ditandatangani olehnya menyatakan bahwa: kesejahteraan gereja tergantung kepada
“anggukan” kepalanya. Dia menam-bahkan bahwa Eusibius mendukung
Arius, bukan karena secara tulus meyakini doktrin Arian, tetapi untuk
ambisi-ambisi pribadinya. Dengan demikian maka kontroversi kerohanian tersebut
telah memiliki konflik pribadi antara uskup-uskup Timur dan Barat.
Masalah-masalah
yang menjadi perdebatan di kalangan uskup, akhirnya diketahui juga oleh
orang-orang awam. Grego-ry dari Nyssea menulis:
Setiap sudut
Constantinople dipenuhi perdebatan-perdebatan mereka. Jalan-jalan, pasar, agen
penukaran uang, dan toko-toko obat. Tanyakan kepada seorang pedagang berapa
banyak ketip uang yang ia inginkan untuk beberapa barang dalam tokonya, maka ia
akan menjawab dengan uraian panjang-lebar tentang “anak” tersebut diciptakan atau tidak. Tanyakan harga roti hari ini
dan tukang roti akan mengatakan kepada Anda: “Anak lebih rendah dari Bapak”. Tanyakan kepada pembantu Anda apakah
bak mandi telah siap, ia akan menjawab: “Anak
berasal dari ketiadaan”. Bila orang Katholik mengatakan satu-satunya “anak Tuhan”, dan orang-orang Arian
segera menjawab: “Tetapi Dia lebih besar
dari anak-Nya.”
Orang-orang akan
bertanya kepada wanita-wanita apakah seorang anak telah ada sebelum dia
dilahirkan. Perdebatan pada lingkungan kependetaan yang lebih tinggi juga
sama-sama panas dan menyakitkan. Tercatat bahwa “di setiap kota, para uskup sibuk mempersiapkan perdebatan dengan uskup
lainnya. Orang-orang bertentangan dengan orang-orang lainnya dan saling
menyerang dengan kekerasan”.
Sejauh yang
menyangkut Constantine, masalah-masalah tersebut berubah dari “jelek” menjadi “sangat buruk”. Dia terpaksa ikut campur dan mengirim sepucuk surat
kepada Alexander dan Arius. Dia mengatakan bahwa keinginannya ada-lah persatuan
pandangan keagamaan. Karena hal itu merupakan jaminan terbaik bagi perdamaian
di dalam kekaisaran. Karena sangat kecewa dengan peristiwa-peristiwa di Afrika
Utara, ia berharap keadaan yang lebih baik dari “kuncup Timur” karena telah muncul “sinar ketuhanan”. Dia melanjutkan:
Oh… tetapi oh, Tuhan yang Maha Perkasa dan Suci.
Alangkah sakit luka yang kuderita. Bukan saja pada telinga-ku, tetapi juga pada
hatiku. Ketika kau mendengar bahwa perpecahan-perpecahan yang ada di antara
kamu lebih menyakitkan daripada di Afrika. Sehingga kamu ternyata lebih
membutuhkan penyembuhan daripada mereka. Tetapi setelah mengkaji secara
mendalam, saya menemukan bahwa penyebab dari pendekatan-pendekatan ini tidaklah
penting dan secara menyeluruh tidak layak bagi pertikaian semacam itu. Saya
simpulkan bahwa perbedaan yang sedang terjadi ini berasal dari hal-hal berikut:
Karena ketika kamu ―Alexander― menanyakan kepada setiap pendeta apa yang ia
pikirkan tentang kalimat-kalimat tertentu dalam kitab-kitab suci (Injil) ―atau
lebih tepat apa yang ia pikir-kan― tentang aspek tertentu dari suatu pertanyaan
yang bodoh tersebut, dan kamu ―Arius― tanpa pertimbangan yang hati-hati,
mengemukakan proposisi-proposisi yang tidak akan pernah bisa dipercayai. Atau
jika bisa dipercaya, seharusnya jangan disiarkan. Pertentangan-pertentangan
timbul di antara kamu: “jamuan suci” dilarang, dan semua orang ―karena
bertanduk dua (bingung)― tidak lagi men-jaga persatuan dari suatu ummat.
Kaisar kemudian
mendesak mereka untuk membiarkan permasalahan tersebut tidak terjawab dan
jawaban “yang tanpa pertimbangan”
dilakukan dan dimaafkan:
Masalah tersebut hendaknya tidak usah dibicarakan
lagi. Karena selalu terdapat kekeliruan pada tangan-tangan yang malas untuk
bekerja, dan akal-akal yang malas untuk berpikir. Tidak ada perbedaan antara
kamu karena doktrin dasar yang diletakkan dalam Injil, ataupun doktrin baru
yang diajukan. Kamu berdua memegang satu dan pandangan yang sama. Untuk itu,
penyatuan kembali adalah sangat mudah terjadi.
Kaisar kemudian
mengutip contoh dari para filosof kafir yang “setuju untuk tidak setuju” pada (masalah-masalah) detail, sementara
mereka memegang prinsip-prinsip umum yang sama. Kemudian ia bertanya, bagaimana
mungkin bisa dibenarkan bagi “mereka yang
bersaudara” bersikap kepada yang lainnya seperti musuh karena
perbedaan-perbedaan kecil dan verbal belaka. Sikap semacam itu adalah
pandangannya adalah:
Kaku, kekanak-kanakan, dan pemberang, tidak pantas
bagi pendeta-pendeta Tuhan dan manusia-manusia berpenge-tahuan. Semua itu
adalah tipu muslihat dan godaan setan. Marilah kita tinggalkan. Jika kita tidak
bisa sepakat pada semua masalah, paling tidak kita bisa bersepakat pada
(masalah-masalah) dasar. Dengan memandang Tuhan yang Maha Bijak, biarkan hanya
terdapat satu agama dan satu pengertian, satu pandangan yang bersatu dalam
merujuk kepada Tuhan.
Surat tersebut
menyimpulkan:
Kembalikanlah hari-hariku yang tenang dan
malam-malam-ku yang damai sehingga aku bisa menikmati kesenanganku,
kebahagiaanku dalam kehidupan yang damai. Jika tidak, maka aku akan menjerit
kesakitan dan tenggelam dalam air mata, dan jiwaku tidak akan tenang sampai aku
mati. Sementara itu wahai para pengabdi Tuhan, pegawai-pegawai, apakah
perbedaan-perbedaan pendapat itu akan berakhir dengan kepingan-kepingan duka
dengan akhir pertentangan yang berbahaya dan di luar tatanan, lalu bagaimana
jiwaku bisa tenang?
Surat kaisar
Constantine yang isinya ramah dan penuh rayuan itu memperlihatkan bahwa kaisar
sebenarnya sama sekali tidak memahami pokok permasalahan dalam agama Kristen.
Sehingga perselisihan paham antara Alexander dan Arius dianggapnya sepele,
tidak penting, tidak seimbang dengan perpecahan ummat, dan bukan persoalan yang
fundamental dalam agama Kristen. Surat tersebut menunjukkan bahwa Constantine
tidak tertarik kepada kebenaran Tuhan, tetapi hanya tertarik kepada kedamaian
jiwanya semata. Tidaklah mengherankan suratnya tidak menghasilkan apa-apa.
Surat tersebut disampaikan kepada Alexandria oleh Hosius dari Cordoba.
Setelah tinggal sebentar, ia kembali dengan tangan kosong untuk melaporkan
kegagalan misinya kepada kaisar.
Sementara
masalah perbedaan keagamaan ini berlangsung, Constantine terlibat pertempuran
dengan saudara iparnya ―Licinus― dan
dalam pertempuran tersebut Licinus terbunuh. Licinus adalah pendukung Arius,
dan dengan kematiannya maka melemahkan posisi Arius di istana. Tetapi
Constantine menyadari bahwa adalah mungkin untuk mencapai kemenang-an tetapi
kehilangan kedamaian. Karena kegagalan misi Hosius, situasi di Timur menjadi
sangat tidak menentu. Senandung-senandung dan argumen-argumen Arius telah
mengakibatkan darah tertumpah di Alexandria, dan kekacauan di Afrika Utara.
Constantine menyadari, sahabat-sahabatnya di Gereja Paulus tidak cukup kuat
untuk menghapus masalah ini. Pengalamannya dalam menghadapi orang-orang Afrika
Utara, yang merupa-kan sebagian alasan dia datang ke daerah Timur setelah
peristiwa tersebut hampir membakar kemarahannya di Roma. Rupanya dia sudah
mendapatkan pengalaman bahwa ia tidak seharusnya berpihak kepada salah satu
pihak secara terang-terangan. Maka dia memutuskan untuk menyelenggarakan suatu
pertemuan uskup-uskup Kristen dalam rangka menye-lesaikan masalah perbedaan
pandangan keagamaan secara tuntas dan selamanya. Posisinya sebagai seorang
kafir merupakan suatu keuntungan besar karena tidak adanya keberpihakan kepada
salah satu sekte tersebut. Dia akan memberikan keputusan yang adil dan tidak
memihak. Hal ini akan menyelesaikan masalah yang telah dihadapi para uskup
sampai saat itu. Karena mereka tidak bisa mencapai kesepakatan tentang salah
satu dari sekte Kristen untuk memimpin pertemuan semacam ini sebagai hakim
mereka. Pertemuan para uskup di bawah pimpinan Constantine ini dikenal sebagai
Konsili Nicea.
Undangan segera
disebarkan, dan semua biaya ditanggung oleh Constantine yang diambil dari
perbendaharaan negara. Di luar dari pemimpin-pemimpin kedua kelompok yang
saling bertentangan tersebut, sebagian besar mereka yang diundang banyak yang
masih awam dalam berfilsafat. Tidak satu pun dari anggota Gereja Donatus yang
diminta hadir ―sekalipun Cacealian― diundang. Di antara uskup-uskup penting
yang ikut serta dalam konsili tersebut adalah:
Eusibius dari Caesaria yang merupakan bapak
sejarah gereja. Bukunya merupakan sumber utama dari tradisi-tradisi yang
menghubungkan abad ke-4 dengan era Kristen pertama. Di samping pengetahuannya
yang luas, tingkat pengaruhnya terletak pada kenyataan bahwa dialah
satu-satunya pendeta tinggi (wali gereja) Timur yang bisa menceritakan apa yang
sedang terjadi pada pikiran kaisar. Karena ia adalah penerjemah dan pendeta
resmi serta penerima pengakuan dosa kaisar. Di lubuk hatinya ia adalah
pendukung Arian, dan mendapat dukungan seluruh uskup di Palestina.
Eusibius dari Nicomedia, berasal dari keluarga
aristokrat bangsawan, dan pengikut Lucian pada saat yang sama dengan Arius.
Kemasyhuran spiritualnya sangat luas. Oleh sebab itu, terdapat dua manusia
pengabdi Tuhan yang penting dalam masa ini yang memiliki nama yang sama, yang
banyak membingungkan para sejarawan pada periodenya. Eusibius dari Nicomedia
adalah pendukung terkuat Arius. Dia dipanggil “bapak besar” oleh para pengikut Arius. Keajaiban-keajaiban
dirujukkan kepadanya. Pada asalnya ia adalah uskup Beirut kemudian dipindahkan
ke Nicomedia yang merupakan ibukota kekaisaran di wilayah Timur. Dia merupakan
sahabat baik saudari ipar dan saingan kaisar ―Licinus― dan karenanya memiliki
pengaruh kepada Constantina, saudara
perempuan Constantine. Istri Licinus yang baru bertempur dengan kaisar dan
kehilangan hidupnya. Setelah kematian suaminya, Constantina dan hubungan
kekerabatan dengan keluarga kekaisaran inilah ia tetap berhubungan dengan
istana dan tidak pernah meninggalkannya. Melalui pengaruhnya itulah akhirnya
kaisar Constantine menerima agama Kristen di Gereja Arius, dan akhirnya
meninggal sebagai seorang beriman kepada keesaan Tuhan.
Athanasius adalah pendukung muda dan penuh
semangat terhadap madzhab Trinitas dalam teologi. Alexander yang telah lanjut
usia dan telah seringkali dikalahkan oleh Arius, memutuskan mengirim
Athanasius ke Nicea sebagai wakilnya.
Hosius merupakan Ketua Dewan Penasehat kaisar.
Dia mewakili Gereja Paulus di wilayah barat, daerah pengaruh kaisar paling
lemah. Hosius dikenal sebagai seorang teolog yang kokoh dari pihaknya. Dalam
sejarah, dia dikenal sebagai seorang tua yang mulia yang dipanggil “orang suci” oleh Athanasius. Karakternya
yang tinggi dikenal setiap orang. Kedudukannya yang penting semakin kuat karena
keakrabannya dengan kaisar.
Di luar
segelintir orang ini, konsili tersebut terdiri dari orang-orang yang memiliki
reputasi ketakwaan, tetapi bukan keilmuannya. Orang-orang yang hatinya suci,
tetapi lidahnya tidak bisa berbicara dengan lancar. Mereka itu adalah:
Spiridem, salah seorang
yang polos dan sederhana. Sebagian besar uskup-uskup gereja pada saat itu
hampir-hampir orang-orang yang buta huruf. Kajian yang teliti tentang Spiridem
akan membantu menggambarkan jenis manusia apa yang (hadir) pada konsili
tersebut. Dia adalah seorang penggembala yang telah mengalami penyiksaan,
tetapi tetap teguh dalam imannya. Dia diangkat sebagai uskup karena banyak
keajaiban yang disandarkan pada dirinya. Setelah menjadi uskup, ia tidak
merubah cara berpakaiannya yang kasar dan sederhana. Dia selalu berjalan kaki.
“Pangeran-pangeran” dari Gereja Paulus lainnya tidak menyukainya dan sangat
berkeinginan agar dia tidak bisa mencapai Nicea pada saat konsili dilaksanakan.
Ketika Spiridem menerima undangan dari kaisar, dia sadar bahwa dia harus bepergian
dengan bighol (semacam keledai) jika ia ingin sampai pada waktunya. Dia
berangkat dengan seorang pendampingnya, tidak seperti uskup-uskup lainnya yang
pergi dengan seluruh rombongannya. Mereka pergi dengan dua bighol. Yang satu
berwarna putih, yang lain berwarna belang. Suatu malam mereka menginap di
sebuah penginapan di mana di tempat tersebut juga telah datang uskup-uskup yang
tidak yakin apakah Spiridem orang yang layak untuk ikut dalam
pertimbangan-pertimbangan mendalam dalam konsili. Pada pagi dini hari
berikutnya ketika Spiridem masih tidur, mereka memenggal kepala kedua bigholnya
dan berangkat pergi. Ketika ia terjaga, ia menyuruh pembantunya untuk memberi
makan dan memasang pelana. Pembantu tersebut menemukan bangkai kedua binatang
itu dan melaporkan “malapetaka” tersebut
kepada Spiridem. Spiridem mengatakan kepada pembantunya untuk meletakkan
masing-masing kepala tersebut secara salah. Begitu ia selesai meletakkan,
bighol-bighol tersebut bangkit dan hidup kembali. Dan mereka meneruskan perjalanan.
Setelah beberapa lama, mereka berdua menyusul uskup-uskup tersebut yang mengira
mereka telah meninggalkan Spiridem jauh di belakang dan yakin bahwa dia tidak
akan sampai ke Nicea pada waktunya. Keterkejutan mereka semakin menjadi-jadi
ketika mereka menemukan bahwa bighol putih memiliki kepala belang dan yang
belang berkepala putih.
Patammom dikenal hanya
karena semangat puritannya.
Oecius yang dikenal
hanya karena semangat puritannya.
Myser dari Nicolas
yang namanya tetap terkenal. Terutama oleh sejarawan-sejarawan gereja. Karena
saat Arius sedang berbicara, dia menempeleng telinganya.
Demikianlah.
Konsili tersebut sebagian besar terdiri dari uskup-uskup yang memegang keimanan
mereka secara sungguh dan tulus, tetapi tanpa memiliki banyak pengetahuan
intelektual sebagai dasar-dasar pandangannya. Orang-orang ini tiba-tiba harus
berhadapan secara langsung dengan tokoh-tokoh filsafat Yunani yang paling
cerdas dan paling luas pengetahuannya pada masa itu. Cara pengungkapan pandangan
mereka sedemikian rupa sehingga uskup-uskup tersebut tidak mampu menangkap
pengertian sebenarnya dari apa yang dikatakan. Karena tidak mampu memberikan
penjelasan-penjelasan rasional terhadap pengetahuan keimanan mereka atau tidak
mampu memasuki inti argumen-argumen musuh-musuhnya. Maka mereka hanya diam
terpaku terhadap keyakinan-keyakinan mereka atau menyetujui apa saja yang
diputuskan kaisar.
Semua delegasi
sampai di Nicea beberapa hari sebelum konsili direncanakan untuk dimulai.
Mereka dikumpulkan bersama dalam kelompok-kelompok kecil untuk membahas
masalah-masalah yang masih dipertentangkan di kalangan mereka. Dalam
kelompok-kelompok ini, yang bertempat di Gymnasium atau di beberapa tempat
terbuka, para filosof Yunani melancarkan serbuan-serbuan argumen dan ejekan
mereka dengan sangat efektif. Hal ini tidak sedikit telah menyebabkan
kebingungan di kalangan para delegasi.
Akhirnya, hari
tersebut tiba. Dan setiap orang berkumpul untuk pembukaan konsili yang akan
dibuka oleh kaisar sendiri. ruangan pertemuan tersebut panjang sekali. Sebuah
ruang pertemuan tersebut lurus di dalam istana. Di tengah-tengah ruangan
tersebut di tempatkan salinan-salinan dari Injil yang dikenal, yang pada saat
itu jumlahnya sekitar 300 buah. Setiap pasang mata tertuju kepada singgasana kekaisaran
yang dipenuhi ukiran dan mengkilat. Singgasana itu ditempatkan pada ujung
tertinggi dari ruang tersebut yang berada di antara deretan-deretan tempat
duduk yang saling berhadapan. Keheningan tersebut dipecahkan oleh suara-suara
prosesi yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Suara itu semakin mendekati
istana. Kemudian para pejabat istana masuk satu-persatu. Kemudian akhirnya
sebuah tanda yang tidak diketahui tempatnya mengumumkan bahwa kaisar akan
segera tiba. Seluruh majelis berdiri, dan untuk pertama kali pandangan mata
mereka menatap penuh kagum terhadap Constantine Sang Penakluk, yang mulia, yang
besar. Postur tubuhnya yang tinggi, tegap, dadanya bidang, dan wajahnya yang
tampan, semuanya sesuai dengan kedudukannya yang terhormat. Ekspresi wajahnya
sedemikian rupa, sehingga banyak orang menganggapnya perwujudan dari Apollo, Dewa Matahari Roma. Banyak dari
para uskup tersebut dikejutkan oleh pakaian-pakaiannya yang berwarna-warni
dengan warna-warna mencolok dan megah. Rambutnya yang panjang ditutupi dengan
mahkota kekaisaran yang penuh dengan mutiara. Jubahnya yang berwarna merah
menyala yang berkilat-kilat dengan batu-batu mulia serta sulam benang emas. Dia
mengenakan sepatu merah menyala, yang hanya dipakai oleh kaisar dan pada waktu
sekarang hanya dipakai oleh Paus.
Hosius dan
Eusibius duduk di samping kanan-kiri kaisar. Eusibius membuka pertemuan
tersebut dengan kata pembuka-an oleh kaisar. Kaisar menjawab dengan pidato
singkat yang diterjemahkan dari bahasa Latin ke bahasa Yunani yang kurang
banyak dipahami ―termasuk kaisar sendiri yang kemampuan bahasa Yunaninya sangat
lemah. Dengan resmi pertemuan tersebut dibuka dan masalah-masalah yang
diperdebatkan mulai dibahas. Constantine dengan bahasa Yunaninya yang
patah-patah memusatkan semua tenaganya pada satu titik yaitu mencapai suatu
keputusan mutlak. Dia memberitahu kepada semua yang hadir bahwa dia telah
membakar semua petisi surat-surat permohonan yang telah ia terima dari berbagai
pihak beberapa waktu sebelum konsili tersebut. Maka dia bisa terbuka dan tidak
memihak kepada salah satu kelompok yang ada.
Wakil dari
Gereja Paulus menginginkan untuk meletakkan tiga “oknum” Tuhan pada kekuasaan ketuhanan. Tetapi argu-men-argumen yang
diambil dari Bibel hanya mengisyaratkan dua “oknum”. Sekalipun demikian, “oknum”
ketiga dari Tuhan yang dinamakan Roh Kudus, dinyatakan menjadi pribadi ketiga
dalam Trinitas. Sekalipun tidak ada dasar yang diberikan untuk mendukung
inovasi ini. Para murid Lucian di sisi lain sangat yakin dengan pijakan mereka,
dan memaksa pendukung-pendukung Trinitas untuk beralih dari satu masalah yang
mustahil tersebut kepada masalah lainnya.
Para penganut
Trinitas terbukti kesulitan untuk merumuskan definisi agama Kristen untuk bisa
mengeluarkan Arius dan orang-orang yang menganut Unitarianism (keesaan Tuhan)
dari definisi ini. Mereka, terutama karena kepercayaan kepada doktrin Trinitas
yang mereka nyatakan sebagai faktor yang membedakan antara kedua belah pihak,
yang sebenarnya tidak pernah tercatat dalam Injil. Mereka mengatakan bahwa “anak” adalah berasal dari Tuhan.
Orang-orang Arian menjawab bahwa diri mereka sendiri juga berasal dari Tuhan. Oleh sebab itu, jika argumen ini di terima, maka semua makhluk juga memiliki
sifat ketuhanan. Uskup-uskup Gereja Paulus kemudian ber-dalih bahwa Yesus bukan
saja “Tuhan”, tetapi juga merupakan “esensi Tuhan”. Pernyataan uskup Gereja
Paulus ini membang-kitkan penentangan dari semua orang, bahkan dari Kristen
Ortodoks sendiri. Mereka menyatakan kata-kata ini tidak terdapat dalam Bibel.
Demikianlah usaha untuk membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan, tetapi justru
semakin memecah belah mereka. Dalam keadaan putus asa, para penganut Trinitas
berdalih bahwa Bibel menyatakan, “Yesus adalah
titisan (image) abadi dari Bapak dan Tuhan yang sebenarnya”. Orang-orang Arian menjawab bahwa Bibel juga mengatakan, “Kita manusia merupakan citra (image) dan kemuliaan Tuhan”. Oleh sebab itu, jika argumen ini digunakan, maka tidak saja Yesus tetapi semua
manusia bisa mengklaim dirinya menjadi Tuhan.
Perdebatan
berlanjut. Tidak saja di ruang pertemuan, tetapi juga di dalam istana
kekaisaran. Helena, ibunda ratu, mendukung Gereja Paulus. Dia adalah “manusia Politis”, dan bakat
kepemimpinannya mengalir dalam darahnya. Di sisi lain, Constantina saudara
perempuan kaisar adalah penganut doktrin keesaan Tuhan dan mendukung Arius.
Dalam pandang-annya, Arius mengikuti ajaran Yesus. Dia membenci politik dan
cinta serta takut kepada Tuhan. Perdebatan tersebar di seluruh bagian istana.
Apa yang pada mulanya adalah sebuah konsili gereja telah berkembang menjadi
suatu intrik istana di mana sida-sida (orang-orang yang telah dikebiri) dan
juru masak istana telah memainkan peranan yang cukup penting. Kaisar, seorang
yang piawai dalam strategi, tetap menjaga jarak dari kedua belah pihak yang bertikai,
dan membiarkan orang-orang menduga-duga. Karena ia adalah kafir (belum masuk
Kristen), maka ia tidak menjadi milik salah satu sekte. Hal ini merupa-kan
faktor terkuat yang menguntungkannya.
Di saat
perdebatan masih berlangsung, menjadi jelas bagi kedua belah pihak bahwa suatu
keputusan yang jelas dan tegas tidak akan tercapai pada ruang konsili tersebut.
Tetapi, mereka berdua masih mengharapkan dukungan dari kaisar. Karena bagi
Gereja Paulus, dukungan tersebut akan berarti peningkatan dalam kekuasaan, dan
bagi gereja Afrika Utara berarti penyiksaan akan berakhir. Untuk menjaga restu
kaisar, semua uskup yang hadir sepakat untuk melakukan beberapa perubahan
dalam agama. Puteri Constantina telah menasihati Eusibius dari Nicomedia bahwa
kaisar sangat menginginkan gereja yang bersatu. Sebab suatu gereja yang
terpecah-pecah akan membahayakan kekaisarannya. Tetapi jika tidak ada
kesepakatan dalam tubuh gereja, bisa jadi ia akan kehilangan kesabarannya dan
menarik dukungannya dari seluruh penganut Kristen. Jika ia melakukan tindakan
ini maka situasi orang-orang Kristen akan semakin terancam. Karena dinasihati
oleh Eusibius, maka Arius dan para pengikutnya mengambil peran pasif. Tetapi
tetap menjauhkan diri dari perubahan-perubahan yang disetujui konsili. Karena
penyembahan kepada Dewa Matahari Romawi sangat populer di seluruh kekaisaran
pada saat itu dan kaisar sendiri dianggap menjadi perwujudan dari Dewa Matahari
di bumi, maka Gereja Paulus menyatakan:
-
Bahwa
hari Matahari Roma menjadi hari Sabar Kristen.
-
Mengambil
hari kelahiran tradisional dari Dewa Matahari, yaitu pada tanggal 25 Desember,
sebagai hari Kelahiran Yesus (Natal).
-
Meminjam
lambang Dewa Matahari, yaitu silang cahaya (salib), menjadi lambang agama
Kristen.
-
Dan
memutuskan untuk menggabungkan semua upacara yang dilakukan pada perayaan
kelahiran Dewa Matahari ke dalam upacara-upacara (keagamaan) mereka sendiri.
Pernyataan-pernyataan
di atas pastilah sangat melegakan Constantine. Karena melihat jurang pemisah
yang ada antara agama Kristen dan agama resmi kekaisaran semakin tipis. Gereja
Paulus telah tenggelam dalam genggamannya dan kepura-puraannya dalam mendukung
gereja yang tampaknya lemah, sekarang semakin kuat.
Akhirnya, dogma
Trinitas diterima sebagai suatu doktrin dasar dalam Kristen. Adalah mungkin
masih memiliki pengalaman langsung terhadap ajaran keesaan Tuhan dan
membenarkannya. Bagi mereka, doktrin Trinitas tidak lebih daripada sarana yang
digunakan untuk menggambarkan apa yang mereka saksikan. Istilah “keesaan” dalam
bahasa Ibrani yang telah digunakan Yesus saat itu lenyap ketika di salin dalam
terminologi filsafat neo-Platonik (yang dikenal dengan Mistic Trynity yang ghaib). Pandangan filosofis ini hanya terbuka
bagi sedikit orang. “Aku mengabaikan secara diam-diam”, tulis Apuleius, “Doktrin-doktrin yang rumit dan berasal dari Plato yang hanya dipahami
oleh sedikit orang yang shaleh, dan secara mutlak tidak dimengerti oleh semua
orang awam.” Plato mengatakan bahwa, “Untuk
menemukan Sang Pencipta adalah sulit. Tetapi untuk menjelaskannya kepada orang
bodoh adalah tidak mungkin.” Pythagoras mengatakan, “Untuk mengatakan tentang Tuhan di kalangan orang-orang yang
berpandangan penuh kecurigaan adalah tidak aman. Untuk mengatakan kebenaran
ataupun kesalahan adalah sama-sama berbahaya.”
Sekalipun
penggunaan terminologi ini dibenarkan oleh sebagian orang yang berupaya untuk
menjelaskan sifat dari keesaan Tuhan. Dalam kenyataannya, usaha tersebut gagal
total. Konsep Yunani tentang “theos” yang berdasar wahyu. Hanya karena
inovasiinovasi yang dilakukan Paulus dan para pengikutnya saja yang menjadikan
konsep-konsep tersebut tampak sangat mungkin. Bagi mereka yang tidak mampu
menangkap ide-ide dari para filosof Yunani, konsep-konsep tersebut hanya
menambah kebingungan. Demikian juga kenyataan yang dialami oleh sebagian besar
dari mereka yang berhubungan dengan doktrin Trinitas. Kebingungan yang mereka
rasakan telah membawa mereka kepada perkiraan-perkiraan yang tidak ada akhirnya
sebagaimana dengan jekas diperlihatkan pada jalannya Konsili Nicea. Bisa dimengerti
bagaimana doktrin tersebut tercipta dan mengapa pula bisa diterima pada awalnya
secara tidak resmi dan kemudian secara resmi diterima pada Konsili Nicea. Juga
terlihat jelas dengan memandang kerancuan yang disebabkan doktrin tersebut,
mengapa Arius memaksa untuk kembali kepada sumber agama Kristen sebagai
pegangan daripada berusaha memakai pikiran dari para filosof Yunani yang tidak
bersumber dari wahyu yang dibawa Yesus.
Begitu
perubahan-perubahan ajaran ini dibakukan pada Konsili Nicea, langkah berikutnya
untuk meninggalkan ajaran Yesus menjadi mungkin. Doktrin yang saat ini dikenal
adalah rumusan dari Nicea yang disusun dan ditegaskan oleh mereka yang hadir
dengan dukungan penuh kaisar Constantine. Keyakinan tersebut mengukuhkan
pandangan orang-orang penganut Trinitas, dan tulisan berikut adalah kutukan
yang dibubuhkan sebagai penolakan langsung terhadap ajaran Arius:
Tetapi bagi
mereka yang mengatakan, “Ada rentang waktu ketika ia belum ada dan sebelum
dilahirkan dia tidak ada, dan ia menjadi ada berasal dari ketiadaan”, atau
mereka yang menyatakan bahwa Anak Tuhan berasal dari suatu substansi yang
berbeda, atau diciptakan atau merupakan subyek pergantian atau perubahan,
semua keyakinan seperti itu dikutuk oleh Gereja Katholik.
Mereka yang menandatangani
keyakinan tersebut, sebagian meyakini dan sebagian tidak mengetahui apa yang
mereka laku-kan. Dan mayoritas dari delegasi konsili tidak setuju terhadap
doktrin Trinitas. Tetapi mereka terpaksa menandatanganinya dengan niatan untuk
menyenangkan hati kaisar. Salah seorang dari mereka mengatakan: “Jiwa bukanlah sesuatu yang sangat buruk bagi
setitik tinta”. Dengan mengacu pada pernyataan ini, Profesor Gwatkin menggerutu bahwa hal
ini bukanlah sesuatu yang melegakan bagi seorang sejarawan. Mungkin hal ini
disebabkan Profesor Gwatkin tidak menulis sebagai seorang sejarawan, tetapi
sebagai seorang pembela Trinitas yang menerima suatu bukti untuk menyenangkan
sebuah kasus yang lemah!
Mereka inilah
orang-orang yang menentukan ―di bawah seorang kaisar kafir― apa yang seharusnya
menjadi ujian bagi ajaran Kristen Ortodoks. Akibatnya, mengejutkan bagi
penganut Trinitas maupun Arian. Tidak satu pun yang mengharapkan perputaran
peristiwa yang kemudian terjadi. Ide tentang suatu percobaan universal adalah
suatu perubahan revolusioner. Hal ini tidak disukai siapa pun. Maklumat tentang
pengecaman langsung terhadap ajaran Arianisme masih merupakan langkah yang
sangat serius. Bahkan bagi mereka yang menyetujui pene-gasan kebenaran keyakinan
tersebut, melakukannya dengan salah langkah. Ketika mereka harus menandatangani
untuk mendukung suatu istilah yang tidak terdapat dalam kitab-kitab suci dan
tanpa otoritas Yesus atau sahabat-sahabatnya, mereka meyakinkan diri bahwa
mereka harus menandatanganinya di bawah tekanan. Konsili yang telah dibuka
dengan semarak tersebut pada kenyataannya secara menyeluruh telah gagal untuk
mencapai hasil yang diinginkan.
Satu-satunya
orang yang tahu apa yang ia lakukan adalah kaisar. Dia tahu bahwa sebuah
keyakinan yang tidak didasar-kan pada keimanan tetapi atas dasar pengambilan
suara tidak akan diyakini secara sungguh-sungguh. Seseorang bisa saja percaya
kepada Tuhan, tetapi tidak bisa memilih-Nya dengan cara demokratis. Dia menyetujui
bagaimana dan mengapa uskup-uskup tersebut harus menandatangani kepercayaan
tersebut. Dia tidak bermaksud untuk menciptakan kesan bahwa ia telah memaksa uskup-uskup
tersebut menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Maka
diputuskan untuk menggunakan suatu mukjizat Tuhan untuk membenarkan dan
mendukung keputusan konsili: Tumpukan Injil ―catatan tertulis ajaran Yesus―
masih terletak di tengah-tengah ruangan sidang yang telah mereka tempatkan
sejak awal konsili. Menurut salah satu sumber, pada saat itu paling tidak
terdapat 270 versi Injil. Sementara sumber lain menyatakan terdapat sebanyak
4.000 versi Injil yang berbeda-beda. Bahkan jika seseorang menerima catatan
(jumlah) yang paling konser-vatif sekali pun, jumlah tersebut pasti sangat
besar bagi kesusasteraan Kristen pada masa itu. Penyusunan suatu keyakinan
yang berisi ide-ide yang tidak ditemukan pada Injil ―dan dalam beberapa kasus―
bertentangan langsung dengan apa yang ada dalam Injil, pasti menjadikan
masalah-masalah tersebut semakin membingungkan bagi sebagian orang. Sementara
keberadaan dari Injil-injil tersebut pastilah sangat mengganggu bagi orang-orang
lainnya.
Diputuskan bahwa
semua Injil yang berbeda-beda itu ditempatkan di bawah sebuah meja di dalam
ruangan konsili tersebut. Kemudian semua orang meninggalkan ruangan itu dan
pintu ruangan di kunci. Para uskup diminta untuk berdoa sepanjang malam, sehingga
versi yang benar dari Injil tersebut bisa berada di atas meja. Di pagi hari
berikutnya, Injil-injil yang bisa diterima ―diakui oleh Athanasius, wakil
Alexander― ditemukan dengan rapi berada di atas meja. Kemudian diputus-kan
bahwa semua Injil yang masih berada di bawah meja langsung di bakar. Tidak ada
catatan mengenai siapa yang memegang kunci ruangan tersebut pada malam harinya.
Untuk memiliki
sebuah Injil yang tidak diakui, bisa dikena-kan hukuman mati. Akibatnya, lebih
dari sejuta orang Kristen dibunuh pada tahun-tahun setelah keputusan-keputusan
kon-sili tersebut. Inilah upaya Athanasius mencoba mempersatukan orang-orang
Kristen.
Pada saat
perjalanan kembali dari konsili, para uskup segera meneruskan kembali
pertikaian yang telah mereka tinggalkan dihadapan saksi kaisar secara pribadi.
Pertempuran meledak kembali dan pertikaian pendapat terus berkembang. Mereka
melupakan tanda tangan yang telah dibubuhkan pada doktrin tersebut. Para
pendukung Arius tidak mau menerima kepercayaan tersebut sebagai pembenaran dari
ajaran Kristus (Kristen) yang sebenarnya. Hanya Athanasius saja yang mungkin
mematuhi kepercayaan tersebut. Tetapi bahkan para pendukungnya sekalipun
meragukan kebenaran kepercayaan itu. Di Barat, kepercayaan tersebut hampir
tidak dikenal.
Saint Hillary masih asing terhadap kepercayaan Nicea
30 tahun setelah Konsili Nicea tersebut terjadi. Dia menulis:
Kita mengutuk kepercayaan yang justru kita
pertahankan. Kita mengecam doktrin orang lain dengan doktrin kita dan
sebaliknya. Dan kita saling menyobek catatan masing-masing. Kita telah menjadi
penyebab kehancuran masing-masing pihak. Penerjemahan kepercayaan tersebut dari
bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin tidaklah sempurna. Karena istilah-istilah
Yunani dari filsafat Plato yang disuci-kan gereja telah gagal menjelaskan
rahasia-rahasia keiman-an Kristen. Penyelewengan-penyelewengan verbal dalam
kitab-kitab suci bisa jadi telah diperkenalkan ke dalam teologi Latin tersebut
menjadi suatu rangkaian kesalahan yang panjang dan terus-menerus.
Sabinas adalah salah
seorang dari uskup Thrace awal,
menggambarkan semua orang yang bersidang di Nicea tersebut sebagai orang-orang
tolol. Dia mencap keimanan yang mereka putuskan pada konsili tersebut merupakan
susunan ajaran yang dibuat oleh orang-orang gegabah yang tidak memiliki
pengetahuan dalam masalah itu. Socritus,
seorang sejarawan, membandingkan dua pihak yang bertikai tersebut dengan
tentara yang terlibat pertempuran di malam hari. Tak satu pun mengerti makna
dari kata-kata yang digunakan oleh lawannya. Dr. Stanley menulis, “Jika saja
Athanasius ketika mudanya mengambil sikap moderat sebagaimana yang
diperlihatkan pada masa tuanya, maka Gereja Katholik tidak terpecah-belah, dan
darah tidak perlu tertumpah.”
Dengan demikian,
konsili Nicea bukan menjembatani jurang pemisah antara sekte-sekte Kristen,
tetapi justru me-lebarkannya. Dan pertikaian di antara mereka bukan menurun,
tetapi justru meningkat. Demikianlah perangai gereja. Di mana dengan kekebalan
pendirian dan persuasinya dan karena telah mempelajari kekuatan kekerasan, maka
darah orang-orang Arian mulai tumpah. Orang-orang Goth (Gothic) dan Lombard “dikristenkan” dengan cara-cara
serupa. Ketakutan terhadap kematian ―yang merupakan akibat dari Perang Salib―
menyertainya. Di Eropa selama 30 tahun, beriman kepada Trinitas dirasa belum
cukup sebelum mematuhi perintah gereja. Pada masa reformasi, situasi telah
sedemikian rupa. Sehingga tindakan-tindakan Luther tidak dimaksudkan kepada
upaya mengembalikan kepada ajaran Yesus sebenarnya. Tetapi memperlihatkan suatu
perjuangan demi kekuasaan semata-mata.
Dengan menelaah
kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah tahun 325 M, kita mendapati
bahwa uskup Alexander meninggal pada tahun 328 M. Suatu pemilihan yang penuh
gejolak pada keuskupan Alexandria menyertainya. Orang-orang Arian terpilih dan
dikukuhkan sebagai uskup. Pemilihannya dipertentangkan. Orang-orang yang
menentang pemilihannya disiksa, diteror, dan bahkan diguna-gunai.
Sementara itu di
istana kaisar Constantine, Constantina yang mencintai dan bertakwa kepada Tuhan
tetap melontarkan oposisinya terhadap pembunuhan orang-orang Kristen. Dia
menganggap Arius mewakili ajaran Yesus yang sebenarnya. Dia juga menentang perlakuan
kaisar yang membuang Eusibius karena keyakinannya. Dengan usahanya yang gigih,
akhirnya Eusibius diperbolehkan kembali. Kembalinya Eusibius merupa-kan pukulan
berat bagi kelompok penganut Athanasius. Kaisar secara perlahan-lahan mulai
condong ke pihak Arius. Ketika ia menerima berita bahwa pemilihan Athanasius
dipertentangkan, dia memanggil uskup baru tersebut ke ibukota. Akan tetapi
Athanasius meminta maaf dan tidak mau pergi ke Constantinople. Pada tahun 335
M, sebuah konsili diselenggarakan di Tyree
untuk merayakan kekuasaan Constantine yang ketiga puluh tahun. Di sinilah
Athanasius diadili. Dia dituduh melakukan tirani keuskupan, dan suasana sangat
memberat-kannya. Sehingga ia meninggalkan konsili tanpa menunggu ke-putusan
yang akan diambil. Dia dikutuk. Para uskup kemudian berkumpul di Jerusalem di
mana pengutukan terhadap Athana-sius ditegaskan. Arius dikembalikan ke gereja
dan diijinkan melakukan pelayanan terhadap ummat.
Kaisar
mengundang Arius dan sahabatnya, Euzous,
ke Constantinople. Perdamaian antara Arius dengan kaisar benar-benar sempurna.
Dan lebih dari itu, para uskup sekali lagi secara resmi mengutuk Athanasius.
Athanasius memutuskan untuk mencoba menghadapi singa di kandangnya sendiri. dia
datang ke Constantinople sendirian, dan dia dijamin keselamat-annya oleh
kaisar. Eusibius mengetahui sepenuhnya bahwa keputusan yang dibuat pada Konsili
Nicea telah menentang Arius karena alasan-alasan politis. Maka daripada memulai
perdebatan keagamaan yang tidak akan dipahami kaisar, ia menuduh Athanasius
menghalangi pengiriman gandum ke ibukota. Tindakan ini sangat mengejutkan
Athanasius. Athana-sius menyadari ternyata orang lain juga ahli “bermain”
dengan permainan yang biasa ia mainkan. Tuduhan tersebut dengan mudah bisa
“dibuktikan” dan Athanasius dibuang ke Trier
di Gaul. Arius diangkat sebagai
uskup Constantinople. Akan tetapi ia segera meninggal pada tahun 336 M karena
racun. Gereja (Paulus) menyebutnya sebagai sebuah mukjizat, tetapi kaisar
mencurigainya sebagai pembunuhan. Dia mengangkat sebuah komisi untuk
menyelidiki kematian yang terjadi secara misterius tersebut. Athanasius
terbukti bertanggung jawab terhadap kematian tersebut, dan dihukum karena
membunuh Arius.
Kaisar, karena
sangat tersentuh hatinya dengan kematian Arius dan pengaruh dari saudara
perempuannya, akhirnya ia masuk Kristen. Dia di baptis oleh Eusibius dari
Nicomedia. Setahun kemudian ia meninggal pada 337 M. Constantine, yang
menghabiskan masa pemerintahannya untuk menyiksa orang-orang yang membenarkan
doktrin keesaan Tuhan, mati dalam keimanan seperti orang-orang yang dibunuhnya.
Arius telah
memainkan peranan penting dalam sejarah Kristen. Dia bukan saja sebagai wahana
yang mengantarkan Constantine memeluk Kristen, tetapi juga mewakili orang-orang
yang berusaha mengikuti ajaran Yesus secara sembunyi-sembunyi. Pada suatu masa
di mana ajaran ini mulai merosot secara serius, dan ketika ingatan tentang
Yesus sebagai seorang manusia yang telah mengejewantahkan ajarannya mulai
menghilang. Arius berdiri tegak sebagai seorang yang tidak mau menyerah begitu
saja.
Dia meyakini
bahwa Tuhan adalah Maha Esa. Dan untuk itu, ajaran ini sangat sederhana dan
mudah dipahami. Dia meyakini bahwa Tuhan itu adalah Esa yang tidak
diperanakkan, kekal, tak bermula, yang Maha Baik, Maha Kuasa, tak berubah, dan
Zat-Nya tersembunyi dalam misteri kekal dari pandangan lahiriyah setiap
makhluk. Arius menentang segala pandangan tentang sifat kemanusiaan pada diri
Tuhan.
Secara implisit
ia telah menekankan kebenaran ajaran Yesus. Dia mau mengakui setiap atribut
sifat yang istimewa sebagai manusia pada diri Yesus dan keesaan Tuhan. Tetapi
ia menentang untuk berkompromi kepada segala pandangan yang membawa kepada
keyakinan tentang keberagaman wujud Tuhan. Oleh sebab itu, ia merasa wajib
untuk menolak setiap dogma yang mengakui ketuhanan Yesus. Karena sifat
ketidak-adanya anak adalah sangat mendasar dalam ketuhanan, maka tidak akan ada
anak Tuhan dalam pengertian yang ketat dari istilah tersebut.
Dia mengatakan
bahwa jika tindakan “menurunkan” anak disandarkan kepada Tuhan, maka hal itu
akan menghancurkan keesaan-Nya. Pandangan ini juga menyandarkan kepada adanya
kebutuhan badaniyah Tuhan yang merupakan sifat-sifat dari manusia. Dan berarti
bahwa Tuhan adalah subyek yang mem-butuhkan. Padahal Dia tidaklah demikian.
Oleh sebab itu, dengan alasan apapun juga, adalah tidak mungkin menyandar-kan
adanya tindakan “menurunkan” anak kepada Tuhan.
Arius juga
menyatakan bahwa karena Yesus terbatas, maka ia berbeda dari Tuhan yang Maha
Mutlak. Adalah mungkin untuk menggambarkan suatu masa ketika Yesus belum ada,
yang juga membuktikan bahwa ia berbeda dari Tuhan. Yesus bukan merupakan esensi
Tuhan. Tetapi sebuah ciptaan Tuhan, secara mendasar sama dengan makhluk-makhluk
lainnya. Tetapi secara pasti ia bersifat unik di kalangan manusia biasa karena
kenabiannya. Jangankan memiliki esensi Tuhan, bah-kan ia sendiri tidak memahami
secara keseluruhan esensinya sendiri. dia pasti tergantung seperti makhluk
lainnya terhadap kemurahan Tuhan. Sementara Tuhan tidak tergantung kepada suatu
apapun. Seperti semua manusia, ia memiliki kehendak merdeka dan sifat yang bisa
membawanya kepada tindakan-tindakan yang diridhai atau pun tidak diridhai
Tuhan. Akan tetapi, sekalipun Yesus secara potensial mampu bertindak dalam
suatu cara yang tidak diridhai Tuhan, nilai kebenaran dalam dirinya menjaganya
dari tindakan semacam itu.
Ajaran-ajaran
dasar dari keimanan Arius ini sampai saat ini tetap bertahan. Dan masih menjadi
dasar keimanan dari orang-orang Kristen Unitarian yang meyakini keesaan Tuhan.
Setelah kematian
Constantine, juga menerima keimanan Arius, dan ajaran tentang keesaan Tuhan
secara resmi tetap diterima sebagai ajaran Kristen Ortodoks. Sebuah konferensi
diadakan pada tahun 341 M di Antiokia dan menerima mono-theisme sebagai dasar
agama Kristen yang sebenarnya, kepu-tusan ini juga dibenarkan oleh konsili
lainnya yang diadakan pada tahun 351 M di Sirmium.
Dan lagi-lagi dengan persetuju-an kaisar yang sedang berkuasa. Dengan demikian,
ajaran Arius telah diterima oleh sebagian besar ummat Kristen. Pada tahun 359
M, St. Jerome menulis bahwa “Seluruh dunia bergumam dan merasa heran karena
mendapati dirinya sebagai seorang Arian”. Pada tahun-tahun berikutnya,
orang-orang penganut Trinitas semakin berkembang jumlahnya. Tetapi pada tahun
381 M, agama resmi kaisar di Constantinople adalah ajaran Arian. Akan tetapi
doktrin Trinitas secara perlahan-lahan diteri-ma sebagai dasar agama Kristen di
Barat. Gejala banyaknya “konsili” dan resolusi-resolusi “resmi” yang
dikeluarkan menun-jukkan betapa jauhnya Kristen Ortodoks di Eropa telah
terpisahkan dari apa yang telah diajarkan Yesus.
Yesus sendiri
tidak pernah mengupayakan organisasi semacam ini, yang biasanya ditemukan pada
istana-istana para penguasa.
Pada tahun 387 M
Jerome menyelesaikan Bibel Vulgata-nya yang terkenal. Kitab ini merupakan
terjemahan Latin pertama dari kitab-kitab suci yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Yunani dari teks-teks bahasa Hebrew (Ibrani). Kitab tersebut
termasuk yang disebut Perjanjian Lama. Bibel inilah yang menjadi dasar dari
semua Bibel lainnya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa dan yang diambil oleh
Gereja Katholik Roma. Kemudian oleh Gereja Protestan sebagai kitab resmi
mereka. Begitu Bibel ini telah dibakukan, maka semua Injil yang tidak termasuk
dalam seleksi Jerome hampir secara menyeluruh dihancurkan oleh dua gereja
tersebut pada berbagai tahapan. Oleh sebab itu, semua hubungan dengan Yesus
yang sebenar-nya secara perlahan-lahan lenyap.
Tokoh penting
berikutnya adalah Paus Honorius.
Seorang yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad saw. Ia menyak-sikan sendiri
kebangkitan Islam yang ajaran-ajarannya sangat serupa dengan ajaran-ajaran
Arius. Pembunuhan-pembunuhan yang silih berganti dalam masing-masing kelompok
di dalam ummat Kristiani masih segar dalam ingatannya. Dan ia berpikir bahwa
apa yang ia dengar tentang Islam mungkin bisa menyem-buhkan perbedaan-perbedaan
di antara ummat Kristen. Dalam surat-suratnya, ia mulai mendukung doktrin “satu
jiwa” dalam doktrin Trinitas. Dia menyatakan bahwa jika Tuhan memiliki jiwa
yang bebas (independen), maka akibatnya adalah kekacau-an. Kesimpulan logis
tersebut menunjuk kepada keimanan terhadap eksistensi Tuhan yang Maha Esa.
Konsili Chalcedon pada tahun 451 M telah
menyatakan bahwa sifat-sifat Kristus tidak bisa dipilah-pilah. Hal ini
mem-pengaruhi Honorius untuk menyimpulkan bahwa hanya ter-dapat suatu kehendak
tunggal dalam Kristus mengambil bentuk manusia bebas dari adanya kutukan dosa
asal. Menurut pandangan ini, Kristus memiliki kehendak manusia. Oleh sebab itu,
keimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa secara tidak langsung dibenarkan dalam
Gereja Paulus. Perbedaan-perbeda-an yang ada ini semua menjadi satu bukti
sejauh mana inovasi yang dilakukan Paulus telah menyebabkan kebingungan di
kalangan ummat. Paus Honorius meninggal pada tahun 638 M. Pada tahun yang sama,
kaisar Heraclius secara resmi meneri-ma
doktrin Honorius dan mengeluarkan suatu peraturan bahwa “semua pegawai
kekaisaran harus mengakui satu kehendak dalam diri Yesus (Kristus)”. Synode
(Dewan Gereja) Constan-tinople yang dilaksanakan pada tahun 638 M mendukung
doktrin tersebut sebagai “benar-benar sesuai dengan ajaran Apostolik”. Doktrin
Honorius tersebut tidak mendapat ten-tangan selama hampir setengah abad. Pada
tahun 680 M ―42 tahun setelah kematiannya― sebuah konsili diadakan di
Constantinople dan Paus Honorius dikutuk karena dia “tidak memadamkan kobaran api dari ajaran bid’ah tersebut pada awalnya.
Tetapi justru meneguhkannya dengan kelalaiannya”. Dan untuk itu, “membiarkan ajaran suci Trinitas dinodai”.
Keputusan ini ―di mana seorang Paus digugat oleh penerusnya dengan dukungan
gereja― adalah suatu yang unik dalam sejarah kepausan.
Gereja Paulus ―atau
lebih tepatnya Gereja Katholik Roma― semakin besar dan kuat. Hal ini sebagian
besar disebabkan hubungannya dengan kaisar-kaisar Romawi. Semakin gereja
menyesuaikan dirinya dengan mereka yang sedang berkuasa, maka semakin identik
dengan mereka. Selama delapan abad setelah Konsili Nicea, Gereja Katholik Roma
semakin kokoh dengan pesatnya di Roma, dan bukan di Jerusalem. Gereja tersebut
mendapatkan tanah yang sangat luas di dalam dan di sekitar kota Roma. Semua ini
dikenal sebagai “Pemberian Constantine”.
Menjadi sangat berbahaya bagi siapa saja untuk berbeda ajaran dari Gereja
Katholik Roma yang memiliki dukungan tentara kekaisaran dan juga pasukan milik
gereja. Setelah tahun 325 M, lebih dari satu juta orang Kristen dibunuh karena
tidak mau mengakui doktrin Katholik. Masa ini benar-benar masa kegelapan, dan
sedikit sekali orang-orang di Eropa yang berani terang-terangan membenarkan
ajaran tentang keesaan Tuhan.
Sementara Gereja
Katholik disibukkan untuk mengenyah-kan para “penyeleweng” yang dicap sebagai
“tukang bid’ah”. Orang-orang Islam mulai dikenal pada daerah pinggiran dari
dunia Kristen. Hampir semua pengikut Yesus di Afrika Utara mengakui Islam
sebagai pelanjut ajaran dari Tuhan, dan akhirnya mereka menjadi Muslim. Hanya
ummat Kristiani Eropa saja yang masih tetap bertahan.
Para pemimpin
Vatican pasti telah melihat kemiripan antara Islam dengan Unitarianisme yang
diajarkan Arius. Keduanya sama-sama mengakui Tuhan yang Esa. Keduanya sama-sama
menerima Yesus sebagai seorang Nabi dan manusia biasa. Keduanya samapsama
meyakini kesucian perawan Maria dan kesucian ajaran Yesus. Keduanya sama-sama
menerima adanya Roh Kudus (Jibril). Keduanya sama-sama menolak sifat ketuhanan
yang disandarkan pada Yesus. Maka kebencian terhadap orang-orang Arian
dialihkan kepada orang-orang Islam. Dengan cara pandang seperti ini, tentara
Salib bukan suatu fenomena yang terpisahkan dari sejarah gereja. Tetapi justru
menjadi suatu perluasan dari pembantaian terhadap orang-orang Arian yang
dilakukan oleh Gereja Paulus.
Selama periode
ini, gereja tidak mengabaikan adanya oposisi dari dalam. Sebuah badan yang
dikenal dengan inquisition
(Penyelidikan Gereja) di adakan untuk menyelidiki dan melenyapkan setiap jejak
“penyimpangan” dari doktrin resmi gereja. Catatan yang pasti tentang berapa
banyak orang yang telah dibunuh oleh badan ini tidak diketahui. Tetapi yang
pasti, sejumlah besar orang telah menderita dan binasa di tangan mereka.
Dengan peristiwa
reformasi dan berdirinya gereja-gereja Protestan sebagai hasilnya ―yang juga
menjadi sangat kuat― doktrin Trinitas semakin diperketat. Sekalipun orang-orang
Protestan dan Katholik Roma secara sengit saling bertentangan terhadap
masalah-masalah lain seperti validitas dari dokumen yang membenarkan tentang
“Pemberian Constantine”. Beberapa sarjana meneliti secara mendalam terhadap
akte tersebut dan menemukan bahwa dokumen tersebut adalah palsu. Sejak saat
itu, Vatican berhenti menggembar-gemborkan dokumen terse-but. Perang 30 tahun
yang terkenal antara orang-orang Protestan dan Katholik adalah bukti lain bahwa
perang gereja ini tidka dimaksudkan untuk menetapkan ajaran Yesus yang
sebenarnya. Seperti halnya serangan Gereja Paulus terhadap orang-orang Arian,
dan kemudian kepada orang-orang Islam, dengan jelas perang ini memperlihatkan
bahwa apa yang diinginkan oleh gereja adalah kekuasaan. Pada ketiga peristiwa
ini, gereja berjuang dalam rangka untuk mengokohkan kebera-daannya sebagai
sebuah lembaga dan bukan untuk menyebar-kan apa yang diajarkan Yesus.
Karena Islam
terus berkembang semakin luas, maka sebuah strategi besar disusun untuk
menyerang orang-orang Islam, baik dari Timur maupun dari Barat. Gereja berharap
menggabungkan kekuatannya dengan seorang raja Kristen India legendaris. Dan
dengan bantuannya tersebut, akan menakluk-kan seluruh dunia. Dalam upayanya
menemukan India, Colum-bus justru menemukan Amerika, dan Vesco de Gama menemu-kan jalan baru ke India. Kedua penemuan ini
secara finansial menjadi petualangan-petualangan yang menguntungkan.
Orang-orang Kristen tidak menemukan raja dongengan mereka dan juga tidak bisa
melenyapkan Islam. Tetapi mereka bisa menjajah sebagian besar dunia, dan
hasilnya para pemimpin dan pedagang mereka menjadi kaya raya.
Di samping
adanya kekuasaan Gereja Katholik Roma dan Protestan yang besar, tetapi mereka
tidak bisa melenyapkan keimanan terhadap keesaan Tuhan. Baik ajaran tersebut
dikenal dengan sebutan Arianisme, Socianisme, maupun Unita-rianisme. Ajaran ini
sampai sekarang tetap bertahan di dalam gerakan Kristiani, sebagaimana
biografi-biografi singkat dari para penganutnya yang paling terkenal
memperlihatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar