MICHAEL SERVETUS (1511-1553)
Michael Servetus
dilahirkan pada tahun 1511 di Villanueva,
Spanyol. Dia adalah putra dari seorang hakim lokal yang hidup pada suatu zaman di
mana gejolak sedang melanda Gereja Resmi, dan dalam suatu periode di mana
setiap orang mempertanyakan sifat Kristiani. Pada tahun 1517, ketika Servetus
berusia enam tahun, Martin Luther memulai pemberontakannya menentang Gereja
Katholik Roma. Peristiwa ini berakibat pemecatannya dan dia menjadi seorang
pemimpin dari sebuah agama “Protestan” baru. Gerakan ini sekarang dikenal
sebagai gerakan Reformasi, menyebar seperti api liar. Bahkan mereka yang tidak
setuju terhadap Luther sekalipun terpaksa memperhatikannya. Di samping konflik
ini, terdapat masalah lain yang lebih mendesak: sekalipun orang-orang Islam dan
Kristen di Spanyol telah menikmati hubungan yang lebih baik di masa lalu,
tetapi akibat-akibat Perang Salib di Timur telah menyebabkan orang-orang
Kristen mengalihkan kemarahan mereka kepada orang-orang Islam di Spanyol.
Organisasi yang dikenal dengan “Inquisisi
Spanyol” memaksa semua orang yang bukan Kristen untuk memeluk Katholikisme
Roma. Setiap kelengahan dalam melaksanakan ibadah-ibadah lahiriyah gereja,
berakibat hukuman yang berat, jika bukan kematian.
Pada saat ia
tumbuh lebih dewasa dan berpengalaman, Servetus muda dikejutkan dengan
banyaknya darah yang mengalir. Terdapat sebuah pemukiman besar orang-orang
Islam dan Yahudi di negeri tersebut. Dan mereka hanya terhindar dari ayunan
pedang jika mereka secara publik mengakui bahwa Katholik Roma dan Trinitas
sebagai agama mereka. Bayangkan rasa terkejutnya di saat ia mengkaji Bibel
secara teliti. Dia justru menemukan bahwa Bibel tidak selalu mendukung apa yang
diajarkan gereja. Dia baru berumur dua puluh tahun ketika memutuskan untuk
menceritakan kebenaran yang ia temukan kepada dunia. Sebab jika orang-orang
Kristen menerima bahwa hanya ada Tuhan yang Esa, maka semua penyebab
pertumpahan darah antara orang-orang Kristen dan Islam akan berakhir. Dan
keduanya bisa hidup bersama-sama dalam kedamaian. Pemuda yang peka tetapi tidak
berpengalaman ini, imajinasinya yang sedang terbakar api semangat, merasa bahwa
tujuan ini dengan mudah bisa dicapai dengan bantuan para pemimpin Reformasi
yang telah berpisah dari Gereja Katholik. Gereja-gereja baru Protestan akan
menjadi Unitarian. Dan dengan bantuan mereka, maka orang-orang Kristen, Islam,
dan Yahudi akan mampu hidup bersama dalam kedamaian. Suatu dunia yang penuh
dengan timbangan rasa akan menjadi mungkin, dengan berdasar pada Tuhan yang
Esa, “Bapak” dari keluarga manusia.
Servetus masih
terlalu muda untuk menyadari bahwa pikiran-pikiran dari para pemimpin Reformasi
masih terjebak dalam pandangan metafisik palsu yang sama. Dia akhirnya
menemukan bahwa baik Luther maupun Calvin tidak berkaitan sama sekali degan
keimanannya terhadap keesaan Tuhan. Mereka (Calvin dan Luther) khawatir bahwa
Reformasi akan melangkah terlalu jauh. Sejumlah upacara dalam Gereja Katholik
dihapuskan. Tetapi mereka merasa takut untuk menemukan kembali ajaran asli
Yesus. Karena hal ini akan menambah kesulitan mereka dan mengakibatkan
mengecilnya kekuasaan dan reputasi mereka sendiri. Mungkin mereka berdua tidak
menyadari bagaimana jauhnya praktik-praktik Katholik Roma telah menyimpang dari
ajaran Yesus. Yang pasti, mereka merasa keberatan untuk mengemban “agama
reformasi” tersebut di dalam kerangka kerja ortodoks Katholik. Pertentangan
mereka tidak banyak terkait dengan teologi Roma daripada dengan organisasinya.
Dan terutama tentang masalah siapakah yang seharusnya menguasai gereja.
Keyakinan-keyakinan Servetus membawa ancaman bagi kedua organisasi ini. Secara
ironis, pengaduannya kepada orang-orang Reformis hanya menyebab-kan mereka
menggabungkan kekuatan mereka dengan Gereja Katholik dalam rangka melindungi
kepentingan umum mereka. Semua ini tidak sepenuhnya disadari oleh Servetus yang
masih terlalu muda.
Dia menumpahkan
semua harapannya kepada para pemimpin Reformasi. Karena dia yakin bahwa
Katholikisme Roma bukanlah agama Yesus. Kajian-kajiannya telah mengoyak-ngoyak
keyakinannya kepada Tuhan yang Esa dan Yesus adalah salah satu dari
Nabi-nabi-Nya. Keyakinannya semakin diperkuat dengan penyaksiannya terhadap
penobatan Raja Charles V dari
Spanyol oleh Paus.
Pada tahun 1527,
Charles V menyerbu dan menguasai Roma. Pada awalnya, dia memenjarakan Paus.
Tetapi kemudian menyadari perlunya menjadikan Paus sebagai sekutu. Seorang Paus
tawanan pastilah akan mempengaruhi rakyat dengan cara yang ia inginkan. Maka ia
memperbaiki beberapa aturan pem-bebasannya.
Untuk
memperlihatkan bagaimana baiknya hubungan mereka, Charles V memutuskan untuk
dinobatkan dengan tangan Paus sendiri. Dengan kata lain yang lebih tegas, hal
tersebut sebenarnya tidak perlu. Hal ini seperti melaksanakan perkawinan di
gereja setelah kawin di catatan sipil. Para pendukung Charles V telah
menghentikan praktik ini. Tetapi ia merasa bahwa saat itu cukup kuat, dan Paus
dalam keadaan lemah untuk menghidupkan kembali tradisi tersebut. Upacara
penobatan tidak diadalan di Roma, tetapi di Bologna. Sebab, menurut keyakinan
umum, “Paus selalu berada di Roma”.
Ser-vetus menyaksikan kerakusan dan perasaannya berubah total terhadap Gereja
Katholik. Untuk menggambarkan peristiwa tersebut, ia menulis:
Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat Paus
terikat pada kemegahan pundak para pangeran dengan membuat salib dengan
tangannya. Di sanjung di jalan-jalan terbuka dan semua orang berlutut begitu
dalam, sehingga mereka yang bisa mencium kaki atau terompahnya merasa dirinya
lebih beruntung dari lainnya dan menyatakan bahwa mere-ka telah mendapatkan
kepuasan. Dan dengan pandangan ini, siksa neraka akan berkurang bertahun-tahun.
Alangkah hina dari segala binatang buas, yang paling tidak tahu malu dari
wanita lacur.
Harapan-harapan
Servetus digantungkan pada para pemimpin Reformasi. Dia merasa bahwa jika ia
mampu menunjukkan kekeliruan pada doktrin Trinitas pada mereka, maka mereka
akan membuang keyakinan terhadap dogma tersebut. Kesalahan pandang ini harus
dibayar dengan nyawanya. Dia meninggalkan Spanyol dan menetap di Toulouse di mana dia belajar kedokteran
dan pada akhirnya meraih gelar dokter pada tahun 1534. Pada tahun-tahun
berikutnya, ia segera menjadi dokter praktik. Tetapi selama masa-masa tersebut,
perhatiannya ditujukan kepada upaya meneguhkan kembali Kristiani murni. Dia
tidak pernah tinggal lama di satu tempat. Tetapi selalu bepergian ke mana-mana
untuk mencari orang yang berpikiran terbuka untuk mendengarkan terhadap apa yang
ia yakini sebagai agama Kristen yang sebenarnya, sebagaimana yang telah
diajarkan Yesus.
Dia pergi ke Balse untuk menemui Oeclampadius yang merupakan salah satu
dari pemimpin Reformasi. Dia beberapa kali bertemu dengannya dan pembicaraan
terutama terpusat pada masalah tentang dua sifat dari Kristus. Servetus menolak
keyakinan bahwa Yesus telah ada sebelum terciptanya dunia. Dia menunjukkan
bahwa para Nabi Yahudi selalu berbicara ten-tang “Anak Tuhan” dalam bentuk “akan
datang” (future tense). Akan tetapi ia mendapati kenyataan bahwa
pandangan-pandangannya tidak bisa diterima di Switzerland. Maka ia meninggalkan Balse pada tahun 1530. Hal ini
sangat mengejut-kannya. Sebab ia sangat berharap ―tidak seperti orang-orang
Katholik Perancis― bahwa orang-orang Protestan akan men-dengarkan dengan sabar
terhadap apa yang harus ia katakan tentang Yesus dan ajarannya. Dia pergi ke Strasbourg hanya menemui kegagalan
karena ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Karena ia tidak bisa berbahasa Jerman, maka ia tidak bisa berpraktik.
Sehingga ia terpaksa pergi ke Lyons. Servetus juga melakukan korespondensi
dengan Calvin. Tetapi tidak mendapatkan jawaban yang melegakan. Walaupun
Calvin dikenal keberaniannya menolak rumusan kebaktian dari pihak Katholik
Roma, tetapi dia tidak berani melangkah terlalu jauh. Karena khawatir akan
kehilangan kedudukannya sebagai tokoh reformis Kristen. Karena semua upayanya
untuk mempengaruhi orang dengan cara hubungan pribadi, gagal. Maka Servetus me-nuangkan
pandangan-pandangannya dalam sebuah buku yang berjudul The Errors of Trinity. Buku ini diterbitkan pada tahun 1531. Pada
tahun yang sama, ia menerbitkan buku lain yang berjudul Two Dialogues on Trinity. Dua buku tersebut mengguncang seluruh
Eropa. Tidak ada seorang pun yang pernah menulis buku seberani itu. Akibatnya,
gereja memburu Servetus dari satu tempat ke tempat lainnya. Servetus terpaksa
mengubah namanya, tetapi bukan pandangan-pandangannya. Dari tahun 1532 sampai
kematiannya, ia hidup dengan nama samaran. Dalam pandangan Calvin, Servetus
dianggap sebagai “kanak-kanak”.
Sehingga setelah membaca buku-bukunya, ia sangat membenci anak muda yang “lancang” yang ingin meng-ajarinya
tentang teologi. Servetus tetap berkirim surat kepada Calvin. Dan kemarahannya
semakin kuat ketika Calvin mendapati bahwa Servetus menolak untuk menerima
pandangan-pandangannya. Para pemimpin gerakan Protestan khawatir jika pandangan
anak muda yang penuh semangat ini diketahui rakyat banyak, maka akan
menyurutkan gerakan Reformasi. Para “pembaru”
juga risau terhadap penyiksaan dari Gereja Katholik jika doktrin Protestan
terlalu jauh menyimpang dari doktrin Katholik. Oleh sebab itu, bukannya
Servetus bisa menarik orang-orang Protestan ke dalam pandangan-pandangannya,
tetapi justru “memaksa” mereka
memeluk doktrin Trinitas lebih fanatik. Sebagai contoh, Luther mengutuknya
secara resmi pada tahun 1539.
Selama masa ini,
Servetus tetap berpraktik sebagai dokter dan menjadi terkenal dalam profesinya.
Di samping kesibukan-nya sebagai dokter yang menyita waktu, Servetus masih
sempat mengawasi pencetakan Bibel. Bibel ini diterbitkan pada tahun 1540.
Servetus menuliskan kata pengantarnya di mana ia mempertanyakan apakah sebuah
teks kitab suci bisa memiliki makna lebih dari satu. Calvin menulis dan
membenarkan perta-nyaan tersebut. Tetapi Servetus tidak sependapat dengannya.
Sekarang Gereja Calvinis menerima dasar pokok penafsiran yang dikemukakan
Calvin dan menganggap penafsiran Servetus itu berlawanan dengan paham ortodoks.
Servetus menyatakan bahwa ia mengikuti pandangan-pandangan yang dipegang teguh
oleh para murid awal yang menjadi anggota dari madzhab Antiokia.
Sungguh
melegakan untuk menemukan bahwa pada saat kontroversi tersebut sampai pada
puncaknya, Servetus menda-patkan tempat berlindung dan kedamaian di rumah sahabat
lamanya, Peter Palmier, yang
kemudian menjadi uskup besar Katholik Roma di Wina Austria. Dia tinggal di sini
selama tiga belas tahun, menikmati kebebasan untuk berpraktik kedokter-an. Dan
dia menjadi sangat terkenal sebagai dokter. Dia adalah orang pertama di Eropa
yang menulis tentang geografi. Di samping prestasi-prestasi kesusasteraannya,
masalah Kristiani selalu menjadi pusat perhatiannya. Dia tetap berkoresponden
dengan Calvin. Tetap berharap agar ia mau menerima pandang-an-pandangannya.
Tetapi dengan tegas Calvin menolak keyakin-an-keyakinan yang dinyatakan dalam
surat-suratnya. Servetus menolak untuk menerima Obiter Dicta dari Calvin. Calvin, yang pada saat itu diakui sebagai
pemikir yang paling terkemuka tentang agama Protestan, merasa “berhak” untuk mengatakan kejengkelan
terhadap Servetus karena berani menentang kekua-saannya dalam masalah-masalah
agama. Servetus menolak untuk menerima Calvin sebagai otoritas yang tidak bisa
diban-tah dalam agama. Calvin membalas surat dengan kemarahan, dan Servetus
menjawabnya dengan sarkasme (bahasa yang kasar). Kemudian Servetus menulis buku
yang lainnya yang berjudul The
Restoration of Christianity, dan mengirimkan salinannya kepada Calvin. Buku
tersebut memiliki tujuh bagian. Bagian pertama dan terakhir seluruhnya
dikhususkan membahas doktrin-doktrin Kristiani.
Bagian kelima
berisi salinan-salinan dari tiga puluh surat Servetus dan Calvin. Buku ini
menunjukkan apapun jasa yang mungkin dimiliki Calvin ternyata ia kurang
memahami apa yang disebut sebagai “Kelembutan
Kristiani”. Buku tersebut meng-akibatkan Servetus dikecam oleh Gereja
Protestan dan Katholik. Keduanya bersatu untuk menghancurkan seluruh buku
terse-but. Sehingga yang masih tersisa tidak lebih dari dua salinan yang sampai
saat ini masih ada. Sebuah tiruan dari buku itu diterbitkan pada tahun 1791.
Tetapi salinan-salinan dari buku tersebut juga dihancurkan. Dalam sebuah surat
yang ditulis pada tahun 1546, Calvin mengancam Servetus dengan mengata-kan
bahwa jika dia berani datang ke Jenewa, maka ia tidak akan dibiarkan hidup.
Tampaknya Servetus tidak mempercayai-nya, tetapi kata-kata Calvin meyakinkan.
Ketika Servetus pada akhirnya datang ke Jenewa dan pergi menemuinya, ia tetap
yakin bahwa pertemuan pemikiran adalah mungkin. Tetapi Calvin menyuruh menangkapnya
yang dilakukan oleh Gereja Katholik dan melemparkannya ke penjara dengan
tuduhan melakukan bid’ah (sesat).
Servetus
terkenal sebagai seorang dokter. Sehingga ia ber-hasil meloloskan diri dari
penjara dengan bantuan dari bebera-pa mantan pasiennya. Dia memutuskan untuk
pergi ke Naples. Rutenya melalui kota Jenewa. Dia mengira telah menyamar cukup
baik untuk lolos dari penggeledahan. Tetapi ia keliru. Pada saat melewati kota
tersebut, dia dikenali dan ditangkap sekali lagi. Kali ini ia tidak bisa lolos.
Pada pengadilannya, ia dinyatakan bersalah karena tindakan bid’ah. Sebagian
dari keputusan-keputusan tersebut sebagai berikut:
Servetus dalam bukunya mengakui telah menyebut orang-orang yang percaya terhadap Trinitas dengan sebutan Trinitarian dan atheis. Dia menyebut Trinitas suatu monster kejam dengan tiga kepala. Dia menyebut pembaptisan bayi sebagai suatu rekaan setan dan ilmu sihir. Doktrin ini mengakibatkan pembunuhan dan menghancurkan banyak jiwa. Lebih jauh lagi, is menulis sepucuk surat kepada salah seorang pendeta di mana di dalamnya ―bersama-sama dengan sumpah serapahnya kepada Tuhan― ia mengatakan bahwa agama Evangelical (Injil) kita adalah tanpa keimanan dan Tuhan. Dan sebagai gantinya, Tuhan kita memiliki monster dengan tiga kepala. Ditujukan kepada Servetus, pengadilan mengatakan bahwa kamu (Servetus) tidak punya malu maupun rasa takut menempatkan dirimu menentang Tuhan yang Maha Gagah dari Trinitas yang suci, dan kamu tetap bersikeras berupaya meracuni dunia dengan bid’ah. Karena hal-hal ini dan alasan-alasan lainnya yang berkeinginan untuk membersihkan gereja Tuhan dari racun tersebut dan memangkas akar-akarnya, sekarang kita ―dalam tulisan― menjatuhkan hukuman mati dan mengu-tuk kamu ―Michael Servetus― untuk diikat dan diseret ke Kapel (tempat kecil yang digunakan untuk berdoa di dalam gereja) dan dibawa ke tiang pancung untuk di bakar dengan bukumu menjadi abu. Maka kamu akan mengakhiri hidupmu dan menjadi contoh bagi orang lain yang berbuat serupa.
Pada tanggal 26
Oktober 1553, Servetus diikat di kayu, kakinya terjulur hampir menyentuh tanah.
Setumpukan jerami dan dedaunan yang ditaburi belerang di tempatkan pada
kepalanya. Ikatan-ikatan kayu yang tercampur dengan kayu bakar yang masih basah
diletakkan di sekitar kakinya. Badan-nya kemudian diikat ke tiang pancung
dengan sebuah rantai dan tali tampar di sekeliling lehernya. Kemudian kayu pun
dinyalakan. Api pun menyiksanya. Tetapi tidak membakarnya sekaligus.
Menyaksikan kebiadaban ini, segelintir orang yang masih berperasaan menambahkan
minyak untuk mengakhiri penderitaannya. Menurut seorang saksi mata, Servetus
meng-geliat selama dua jam sebelum mati. Sebuah salinan buku The Errors of Christianity diikatkan ke
pinggangnya sebelum api dinyalakan. Dikatakan bahwa buku tersebut diselamatkan
oleh seseorang, sehingga setengahnya masih tetap utuh. Calvin men-jadi sasaran
tudingan, sehingga banyak orang yang tidak bisa melupakan ingatannya terhadap
peristiwa tersebut. Sebagai-mana Castillo, seorang pengikut Servetus, menulis:
“Membakar orang hidup-hidup bukanlah
(bukti) kebenaran sebuah doktrin.” Pada tahun-tahun berikutnya, orang-orang
Jenewa mengenang-nya dengan mendirikan sebuah patung, bukan untuk Calvin tetapi
untuk seseorang yang di bakar hidup-hidup tersebut.
Cowper tergerak hatinya untuk menuliskan syair
berikut:
Mereka hidup tak dikenal
Sampai penyiksaan menyeretnya ke dalam kemasyhuran.
Tak satu pun pualam menceritakan kehinaan pada kita
Dengan nama-nama mereka.
Tak ada semangat mensucikan kidungnya.
Dan sejarah begitu hangat terhadap kidung-kidung
kerdil.
Tetapi dingin untuk ini.
Kematian
Servetus bukan berarti suatu “kecelakaan”
lang-ka. Hal serupa sedang terjadi di seluruh Eropa pada saat itu, sebagaimana
kalimat-kalimat yang diambil dari buku Rise
of the Dutch Republic karya Motley:
Pada tanggal 15 Februari 1568, sebuah hukuman dari
pengadilan suci (Holy Office) mengutuk semua penduduk Nederland sampai mati
sebagai para pembid’ah. Dari istana dunia inilah segelintir orang, terutama
yang ternama, dikecualikan. Sebuah pernyataan dari Raja Felipe II dari Spanyol
yang tertanggal sepuluh hari kemudian, membenar-kan keputusan Inquisisi
tersebut dan memerintahkan untuk dilakukan pelaksanaannya segera. Tiga juta
manusia, laki-laki, perempuan, dan anak-anak, dihukum gantung berjejer
tiga-tiga. Di bawah keputusan baru, hukuman-hukuman mati tidak berkurang.
Orang-orang yang berada pada posisi tertinggi atau pun terendah setiap hari dan
(bahkan) setiap jam diseret ke tiang pancang. Alva, dalam sepucuk suratnya kepada Felipe II, dengan dingin
memperkirakan jumlah hukuman mati yang dilaksanakan segera setelah usainya
Minggu Suci adalah “delapan ratus kepala”.
Beberapa kutipan
dari buku The Errors of Trinity,
yang telah menyebabkan tindakan-tindakan kekersan tersebut, antara lain:
Para filosof telah memasukkan suatu “zat” ketiga
yang terpisah yang benar-benar berbeda dari dua zat lainnya, yang mereka sebut
pribadi ketiga atau Roh Kudus. Dan dengan demikian, mereka telah menyusun suatu
doktrin Trinitas imajiner, tiga zat dalam satu sifat. Tetapi dalam kenyataannya
adalah tiga tuhan, atau satu Tuhan dengan tiga perwujudan, diselipkan pada kita
dengan diam-diam, dan dengan nama kesatuan (Unity). Bagi mereka, hal ini mudah
saja. Mengambil kata-kata tersebut dalam maknanya yang ketat, yang begitu
berbeda, tetapi yang satu lahir dari lainnya, dan yang satu memenuhi yang
lainnya. Tetapi semuanya berada dalam satu “tempat”. Karena saya tidak ingin
untuk keliru menggunakan kata-kata pribadi, maka saya akan menyebutkan zat
pertama, zat kedua, dan zat ketiga. Karena kitab suci saya tidak menemukan nama
lain untuk ketiganya. Untuk itu, dengan mengakui ketiga “zat” ini, yang mereka
sebut “pribadi”, dengan bebas mereka mengakui keberagaman “zat”, keberagaman
kesatuan “lahir”, keberagaman esensi, keberagaman substansi, dan dengan
mengambil makna kata-kata Tuhan secara ketat, mereka akan memiliki keberagaman
Tuhan.
Dia melanjutkan:
Jika demikian, lalu mengapa orang-orang yang
bertuhan tiga (Tritorite) dikecam yang menyatakan bahwa terdapat tiga Tuhan
karena mereka juga menyusun kepercayaan tiga Tuhan atau satu berwujud tiga atau
tiga berwujud satu. Tiga perwujudan Tuhan mereka ini membentuk satu susunan substansi.
Dan sekali pun sebagian orang tidak mau meng-gunakan kata-kata yang mengandung
arti bahwa ketiga per-wujudan tersebut tersusun bersama jadi satu, tetapi
mereka benar-benar menggunakan satu kata bahwa ketiganya diangkat dan berkuasa
bersama-sama, dan bahwa Tuhan tersebut terdiri dari tiga zat. Jelas bahwa
mereka adalah orang-orang yang bertuhan tiga dan kita orang Kristen memiliki
satu Tuhan dengan tiga perwujudan. Kita telah menjadi atheis, manusia tanpa
Tuhan. Sebab, begitu kita berpikir tentang Tuhan, kita dihadapkan kepada tiga
setan. Sehingga tidak ada sifat keesaan yang tinggal dalam konsepsi kita. Orang
tanpa Tuhan pada dasarnya adalah manusia yang tidak bisa berpikir tentang
Tuhan. Karena dalam pemahaman kita, selalu hadir kerancuan tentang adanya tiga
zat. Dengan pemahaman semacam itu, kita selamanya terpedaya anggapan bahwa kita
benar-benar sedang berpikir tentang Tuhan. Mereka sepertinya hidup di dunia
lain sambil bermimpi segala hal untuk kerajaan surga, tanpa menyadari segala
omong kosong ini. Dan dengan cara lain, hal ini (tentang kerajaan surga) tidak
diketahui oleh mereka, bahwa kitab-kitab suci berbicara tentang Roh Kudus.
Dia menambahkan:
Berapa banyak tradisi dari Trinitas ini telah
menjadi bahan tertawaan orang-orang Islam (Mohammedans) hanyalah Tuhan yang
tahu. Orang-orang Yahudi juga segan mengikuti doktrin yang “lucu” milik kita
ini, dan menertawakan ke-bodohan kita tentang Trinitas, dan disebabkan
penghinaan-penghinaan terhadap Tuhannya, mereka tidak percaya bahwa Yesus
adalah Mesiah yang dijanjikan dalam kitab mereka (agama Musa). Dan bukan
orang-orang Islam dan Yahudi saja, tetapi orang yang paling biadab sekali pun
akan menertawakan kita. Mereka sungguh-sungguh me-mahami pemahaman kita yang
fantastik. Karena semua pelayan Tuhan hanya memuji Tuhan yang Esa. Tetapi
penyakit yang paling mematikan ini, ditambahkan dan dimasukkan dengan paksa,
sebagaimana pada masa lalu terhadap Tuhan-tuhan baru yang baru saja lahir. Yang
tidak pernah disembuhkan oleh nenek moyang kita. Dan penyakit filsafat ini
dibawa kepada kira oleh orang-orang Yunani. Karena mereka adalah
manusia-manusia yang meletakkan filsafat di atas segalanya. Dan kita, karena
tergantung di bibir mereka, telah menjadi para filosof. Dan mereka tidak pernah
memahami kalimat-kalimat dalam kitab-kitab suci yang mereka kemukakan untuk
menjelaskan masalah ini.”
Servetus juga
menekankan apa yang ia yakini sebagai sifat Yesus yang sebenarnya:
Sebagian orang menghukum saya karena saya menyebut
Kristus sebagai Nabi. Karena mereka tidak pernah menyebut demikian. Mereka
menganggap semua yang melakukan hal itu menyebut Yesus sebagai Nabi, bisa
dituduh sebagai penganut Judaisme atau Muhammadisme (Islam) tanpa memandang
kenyataan bahwa kitab-kitab suci dan penulis-penulis Injil kuno memanggilnya
Nabi.
Michael Servetus
adalah salah satu kritikus yang paling keras terhadap Gereja Resmi (Katholik)
pada masanya. Dialah satu-satunya orang yang dibakar sampai mati oleh
orang-orang Katholik dengan bantuan orang-orang Protestan. Dia meng-gabungkan di
dalam dirinya semua (segi) yang terbaik dalam Renaissance dan Reformasi, dan
mendekati kesempurnaan ideal pada masanya yang melahirkan seorang manusia
“universal” dengan pengetahuan “kebenaran” lintas bangsa (pansophic). Dia ahli dalam kedokteran, geografi, dan Alkitab dan teologi.
Kera-gaman ilmunya memberikan pandangan luas yang ditolak oleh orang-orang yang
kurang terdidik. Mungkin bagian terpenting dalam kehidupannya adalah
pertentangan (dalam pendapat) dengan Calvin. Sudah pasti hal tersebut adalah konflik
pribadi. Tetapi juga memiliki arti lebih daripada itu. Pertentangan tersebut
merupakan suatu penolakan terhadap Reformasi yang dipersiapkan untuk merubah
isi ajaran dari suatu gereja yang telah mandeg. Penolakan tersebut harus
dibayar dengan nyawanya. Tetapi sekalipun Servetus mati, keyakinannya terhadap
keesaan Tuhan tetap hidup. Dia tetap dipandang sebagai “Bapak Unitarianisme modern”.
Tidak semua
orang yang mengikuti keyakinan Servetus menerima nasib yang sama, sebagaimana
yang diperlihatkan oleh surat berikut ini yang ditulis Adam Neuser, yang sezaman dengannya. Surat tersebut ditujukan
kepada pemimpin Muslim di Constantinople, Sultan
Salim II (Turki). Surat itu dimasukkan pada “Antiquities Palatinae” (surat-surat kuno) dan sekarang berada di pusat
arsip di Hiedelberg.
Saya bernama
Adam Neuser, seorang Kristen yang lahir di Jerman dan telah menjadi pengabar
(Injil) bagi rakyat di Hiedelberg, sebuah kota pusat para terpelajar terkemuka
saat ini di Jerman. Saya ingin melarikan diri dan mencari perlindungan pada
yang mulia dengan penyerahan sedalam-dalamnya di hadapan paduka karena
kecintaan kepada Tuhan dan Nabi paduka, Muhammad saw. Semoga paduka mau
menerima saya sebagai warga negara paduka dan digolongkan pada rakyat paduka
yang percaya kepada Tuhan. Demi Tuhan yang maha Pengasih, saya melihat, saya
mengetahui, dan saya yakin sepenuhnya bahwa ajaran dan agama paduka adalah
suci, jelas, dan diridhai Tuhan. Saya sungguh yakin bahwa “pembelotan” saya
dari kalang-an orang-orang Kristen penyembah “berhala” tersebut akan menarik
banyak “ilmuwan” untuk memeluk keyakinan dan agama paduka. Terutama orang-orang
yang paling terpelajar dan terkemuka di antara mereka yang sama-sama seperasaan
dengan saya, sebagaimana yang akan saya kabarkan kepada paduka dengan mulut
saya sendiri. saya sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang dikatakan dalam Alqur’an
surat kelima ayat 82-84:
“Sesungguhnya kamu dapati
orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman
ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesung-guhnya kamu dapati
yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah
orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian
itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturun-kan kepada
Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (Alqur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman. Maka catatlah
kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alqur’an dan
kenabian Muhammad saw). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada
kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami
memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?””
Sungguh, wahai
Sultan. Saya termasuk orang-orang yang membaca Alqur’an dengan suka cita. Saya
termasuk orang-orang yang ingin menjadi rakyat paduka dan saya bersumpah di
depan Tuhan bahwa ajaran Nabi paduka, saw, tanpa ragu adalah benar. Untuk
alasan inilah saya memohon dengan segala kerendahan kepada paduka ―karena cinta
kepada Tuhan dan Nabi paduka untuk mau mendengarkan saya― dan mengetahui proses
saya menemukan kebenaran yang telah diturunkan Tuhan kepada saya.
Tetapi
sebelumnya, wahai paduka yang mulia, hendaknya menjamin bahwa saya tidak akan
diperlakukan sebagaimana orang-orang Kristen lainnya, di mana karena kejahatan,
pencurian, pembunuhan, dan sikap-sikap lacur mereka, tidak bisa hidup dengan aman
di kalangan orang-orang yang seagama dengan mereka sendiri. Karena saya telah
berupaya untuk melarikan diri setahun yang lalu kepada paduka, dan saya telah
sampai ke Presburg, maka saya tidak bisa pergi lebih jauh lagi dan terpaksa
kembali ke negeri saya. Dan saya tidak akan melakukannya jika saya melarikan
diri disebabkan saya melakukan kejahatan. Di samping tidak adanya penghalang
bagi saya untuk meme-luk agama paduka, maka siapa yang mampu memaksa saya
melakukannya tidak diketahui oleh rakyat paduka, dan betapa jauhnya jarak dari
mereka?
Maka, paduka
yang mulia, hendaknya tidak menempatkan saya pada golongan orang-orang Kristen
yang telah ditaklukkan dan dijadikan tawanan oleh pegawai-pegawai paduka dan
(akhirnya) memeluk agama paduka tanpa ketulusan dan mereka segera melarikan
diri begitu mendapat kesempatan dan keluar dari agama yang benar. Untuk itulah sekali
lagi saya memohon dengan segala kerendahan hati kepada paduka yang mulia untuk
sudi mengabarkan kepada rakyat paduka tentang sebab sebenarnya saya datang ke
kerajaan paduka.
Karena diangkat
sebagai pengabar Injil di Universitas Heidelburg yang terkenal itu oleh Electas
Palatine (Dewan Pemilih) yang kedudukannya setingkat di bawah kaisar Jerman
yang sangat kuat itu, maka saya semakin meragu-kan kebenaran agama Kristen.
Karena begitu banyak orang di antara kami (ahli agama), maka begitu banyak
pendapat dan statement yang berbeda. Saya
mulai memikirkan semua Doktor dan para penafsir Injil yang telah menulis dan
mengajar sejarah sejak zaman Yesus. Saya hanya mengikatkan diri saya kepada
hukum-hukum Musa dan Injil. Dan dengan sungguh-sungguh saya berdoa kepada Tuhan
untuk memperlihatkan kepada saya jalan yang benar, sehingga tidak mencelakakan
diri saya dan para pendengar saya. Puji Tuhan, saya menemukan “Articles of the Invoca-tion of the One Only
God”. Dengan artikel tersebut saya menyusun sebuah buku di mana dalam buku
tersebut saya membuktikan bahwa ajaran Yesus Kristus tidak menetap-kan bahwa
dia adalah Tuhan, sebagaimana orang-orang Kristen secara keliru menyatakannya.
Tetapi hanya Tuhan yang Esa yang tidak memiliki anak yang substansinya sama
dengan-Nya. Saya persembahkan buku ini kepada paduka dan saya sangat yakin
bahwa orang-orang yang paling pandai di kalangan Kristen sekalipun tidak akan
mampu membantahnya. Untuk itu, haruskah saya menyekutukan Tuhan dengan Tuhan
lainnya? Musa telah melarangnya dan Yesus tidak pernah mengajarkannya. Setelah
saya dari hari ke hari mendapat kemurahan Tuhan, dan menyadari bahwa
orang-orang Kristen bersikap semena-mena terhadap semua ajaran Yesus Kristus
sebagaimana pada masa sebe-lumnya orang-orang Yahudi telah bersikap semena-mena
tanpa rasa malu. Saya menyimpulkan bahwa tidak ada kemurnian yang bisa
ditemukan di kalangan orang-orang Kristen dan semua yang mereka ajarkan telah
dipalsukan. Karena mereka telah menyelewengkan dengan penafsiran-penafsiran
palsu terhadap hampir semua tulisan tentang Musa dan Injil. Ketika saya
mengatakan bahwa orang-orang Kristen telah memalsukan dan menyelewengkan
hukum-hukum Musa dan Injil, maka yang saya maksudkan hanya-lah kata-kata dan
kalimatnya saja. Karena ajaran Musa, Yesus, dan Muhammad selaras dalam segala
hal dan tidak bertentangan pada suatu apa pun. Alqur’an memberikan suatu kesaksian
yang sangat menguntungkan kepada Musa dan Yesus. Tetapi Alqur’an secara tegas
menyatakan bahwa orang-orang Kristen menyelewengkan hukum-hukum Musa dan Injil
dengan penafsiran-penafsiran palsu mereka. Sungguh, jika firman Tuhan
ditafsirkan dengan penuh keimanan, maka tidak akan ada perbedaan di kalangan
Yahudi, Kristen, dan Turki (Islam). Apa yang seringkali dikatakan Alqur’an
adalah benar. Ajaran Muhammad menghancurkan semua penafsiran palsu kitab-kitab
suci dan mengajarkan pandangan yang benar tentang firman Tuhan.
Dengan pertolongan Tuhan, setelah itu saya memahami bahwa hanya terdapat Tuhan yang Esa, dan saya telah mengkaji bahwa Yesus Kristus tidak mengajarkan sebagai-mana yang diajarkan gereja. Sehingga semua upacara Kristen sangat berbeda dari kelembagaan-kelembagaan pertamanya. Saya mengiran bahwa saya adalah satu-satunya orang di dunia yang berpandangan semacam itu. Saya belum pernah melihat Alqur’an dan orang-orang Kristen selalu menginformasikan kejahatan dan kebiadaban ajaran Muhammad, dan segala keburukan dan kengerian selalu disandarkan atas nama Alqur’an. Sekalipun demi-kian, dengan pertolongan Tuhan, kitab suci tersebut sampai ke tangan saya dan saya bersyukur kepada-Nya. Kepada Tuhan saya berdoa, siapa tahu bahwa di dalam doa-doa saya, saya memohon kepada-Nya agar saya bertemu dengan paduka dan orang-orang yang menjadi rakyatmu. Saya berusaha dengan segala cara untuk mengajarkan pengeta-huan kebenaran ini kepada para pendengar saya. Tetapi jika mereka tidak bisa menerima ajaran ini, saya berusaha meminta keluar dari Dewan Pemilih untuk meletakkan tanggung jawab saya dan menyerahkan kepadanya. Saya mulai menyerang dengan cara berdebat di seluruh gereja dan sekolah, beberapa hal dari ajaran kami dan saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Karena saya mem-beberkan permasalahan tersebut sedemikian rupa, sehingga hal ini diketahui oleh semua negara bagian dalam kekaisar-an (Jerman), dan saya berhasil menarik beberapa ilmuwan ke pihak saya. Dewan Pemilih (karena takut serangan dari kaisar Maximilian) memecat saya.
Surat ini jatuh
ke tangan kaisar Maximilian. Neuser ditahan dengan teman-temannya, termasuk dua
orang yang bernama Sylvan dan Mathias Vehe. Mereka dimasukkan
penjara. Pada tanggal 15 Juli 1570 Neuser melarikan diri tetapi tertangkap
lagi. Dia melarikan diri untuk kedua kalinya tetapi lagi-lagi tertangkap.
Persidangan (kasus) mereka berlangsung dua tahun dan diputuskan menghukum pancung
Sylvan. Pada titik ini, sekali lagi, Neuser melarikan diri. Kali ini dia
berhasil sampai ke Constantinople (Turki) dan memeluk Islam.
FRANCIS DAVID (1510-1579)
Francis David
dilahirkan di Kolozsar, Transylvania pada tahun 1510. Dia
seorang murid yang cerdas. Mendapatkan bea siswa ke Wittenberg, tempat dia dilatih kependetaan Katholik selama empat
tahun. Setelah kembali ke Kolozsar, ia diangkat sebagai kepala sekolah di
sebuah sekolah Katholik. Kemudian dia masuk Protestan, dan meninggalkan sekolah
Katholik tersebut pada tahun 1555. Kemudian menjadi kepala sekolah Lutheran.
Ketika perpecahan dalam gerakan Reformasi antara Luther dan Calvin terjadi,
David bergabung ke dalam kelompok Calvinis. Gerakan Reformasi masih “muda” dan
dalam suasana semangat pencarian Injil secara menyeluruh belum dilarang.
Pembahasan diperbolehkan pada setiap aspek Kristiani. Gereja Reformasi belum
mengambil suatu doktrin yang ketat dan terdapat ruang untuk berpikir secara
bebas. Dalam situasi seperti ini, adalah mungkin untuk memperjuangkan suatu
kemerdekaan dalam beriman di mana setiap pribadi hanya bertanggung jawab kepada
Tuhan.
Dua dogma yang
paling membingungkan pikiran ummat secara umum dan menyimpang dari penjelasan
rasional adalah doktrin tentang ketuhanan Yesus dan Trinitas. Pikiran David
terganggu dengan ajaran-ajaran agama yang tidak bisa dinalar itu. Dia tidak
mengerti mengapa setiap orang yang mempercayai misteri-misteri ini dan tidak
berusaha memahaminya sebagai seorang Kristen yang baik. Dia tidak dididik untk
mengikuti suatu keimanan secara membuta. Secara perlahan-lahan, dia sampai pada
kesimpulan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Dan dia membenarkan keimanan kepada
keberadaan Tuhan yang Esa.
Keimanan tauhid telah memiliki pendukung yang kuat di Polandia. Pemimpin kelompok ini ada dua: Blandrata, dokter istana, dan seorang yang bernama Socianus. Pada saat masih menyusun idenya tentang keimanan, raja Johannes dari Tran-sylvania jatuh sakit dan memanggil Blandrata untuk mengobati-nya. David bertemu Blandrata selama ia tinggal di Transylvania dan meneguhkan keyakinannya, bahwa keimanan kepada Tuhan yang Esa adalah dasar Kristiani yang sebenarnya. Pada tahun 1566, David mengeluarkan suatu pengakuan keimanan yang memperlihatkan posisi dogma Trinitas dengan tinjauan ajaran Bibel yang sebenarnya. Di dalamnya ia mengingkari konsep skolastik tentang Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Sebagai sumbangsihnya, Blandrata menerbitkan sebuah makalah yang berisi tujuh pernyataan yang menolak doktrin-doktrin tersebut baik secara positif maupun negatif. Pada tahun yang sama, dengan rekomendasi dari Blandrata, raja Johannes mengangkat David sebagai pengajar Injil istananya. Demikian juga David menjadi juru bicara mewakili kelompok Unitarian dalam debat nasional yang diadakan raja untuk menjernihkan masalah-masalah keagamaan pada masa itu. David adalah seorang pembicara publik yang luar biasa, sebagaimana kata orang yang hidup semasanya tentang dia, “yang tampaknya memiliki Perjanjian Lama dan Baru di ujung lidahnya.”
Perdebatan-perdebatan
besar selama kekuasaan Johannes bertempat di Gyualafehervat pada tahun 1566 dan 1568, dan di Nagyvarad pada tahun 1569. Perdebatan
pertama tidak mencapai kesimpulan. Tetapi raja terkesan dengan argumen-argumen
Blandrata dan David. Maka pada tahun 1567, sebuah keputusan raja tentang
toleransi dikeluarkan. Keputusan ter-sebut menyatakan:
Di setiap tempat, para pengabar Injil harus menyampaikan dan menjelaskan Injil sesuai dengan pemahamannya, dan jika jemaat menyukainya, maka itulah yang baik. Jika tidak, maka tak seorang pun yang boleh memaksanya. Dan mereka hendaknya memegangi pendapat pengabar yang ajarannya mereka setujui. Tak seorang pun boleh mengganggu atau melecehkan pengabar atau memperbolehkan seseorang dipenjara atau dihukum akibat ajarannya. Karena keimanan adalah pemberian Tuhan.
Synode (sidang
Dewan Gereja) kedua diadakan pada tahun 1568 untuk menetapkan apakah
doktrin-doktrin Trinitas dan keabadian ketuhanan Yesus benar-benar diajarkan di
dalam kitab-kitab suci. David, yang merupakan pembicara yang sangat kuat dan
meyakinkan, tidak bisa dikalahkan. Ketika lawan-lawannya menyadari bahwa mereka
akan kalah dalam perdebat-an tersebut, mereka berupaya menggunakan cara-cara
yang berlebihan dan melecehkan. Dan hal itu justru semakin me-yakinkan raja bahwa
argumen-argumen David adalah asli dan murni. Perdebatan berakhir dalam sepuluh
hari. Perdebatan tersebut telah menetapkan Unitarianisme sebagai keimanan
rakyat dan David sebagai pahlawannya.
Selama masa itu,
tulisan-tulisan Michael Servetus, yang hampir seluruhnya telah dihancurkan,
diselundupkan ke Tran-sylvania dan diterjemahkan ke dalam bahasa lokal.
Buku-buku terjemahan tersebut secara luas dibaca dan diajarkan untuk memperkuat
gerakan Unitarian di Eropa Timur.
Synode ketiga
diadakan di Hungaria pada tahun
1569. Dalam penilaian salah seorang sejarawan Hungaria, merupakan “perdebatan yang menentukan.” Raja secara pribadi memimpin synode tersebut, dan dihadiri oleh semua pejabat
tertingg, sipil, militer, dan kerajaan. Argumen-argumen David adalah sebagai
berikut:
Ajaran Trinitas yang dipegang teguh oleh Paus di
Roma adalah sungguh-sungguh suatu keimanan kepada empat atau lima Tuhan: satu
substansi (Tuhan) tiga pribadi (person) yang terpisah. Masing-masing dari
mereka dikatakan sebagai Tuhan. Dan seorang manusia (Kristus) yang juga
dipandang sebagai Tuhan. Menurut Francis David, Tuhan adalah Esa, yaitu Bapak.
Dari Dia dan oleh Dia segala sesuatu berasal. Dan yang berada di atas segala
sesuatu, yang telah menciptakan segala sesuatu melalui firman kebijaksanaan-Nya
dan nafas “firman”-Nya. Di luar Tuhan ini, tidak ada Tuhan lainnya. Bukan tiga,
bukan empat, bukan dalam bentuk substansi, bukan dalam bentuk pribadi, karena
kitab suci Injil tidak pernah mengajarkan Tuhan dengan tiga perwujudan.
Tuhan Anak (seperti yang diajarkan Gereja Katholik)
yang dianggap telah dilahirkan dari substansi Tuhan sejak awal keabadian, tidak
disebut dalam kitab-kitab suci, dan juga Tuhan Anak tidak bisa menjadi pribadi
kedua dalam Trinitas yang diturunkan dari surga dan menjadi “daging”. Ini semua
hanyalah rekaan manusia dan “tahayul”. Karenanya harus diabaikan.
Yesus tidak menciptakan dirinya sendiri. “Bapak”
memberikan kepadanya keutamaan-Nya. Bapak telah mengirimkan kepadanya Roh
Kudus (Jibril). Bapak telah mensucikan dan menurunkannya ke bumi.
Sifat hubungan Kristus dengan Tuhan hanya satu
hubungan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Tuhan tetap dalam kekuasaan-Nya
di atas segala-galanya.
Tidak ada perbedaan waktu di hadapan Tuhan. Bagi
Tuhan, segalanya adalah dalam bentuk kekinian (present tense). Tetapi
kitab-kitab suci tidak pernah mengajarkan bahwa Yesus dilahirkan dari permulaan
keabadian.
Perdebatan
berakhir selama lima hari. Sekali lagi, perdebat-an tersebut mencapai
kesimpulan. Dalam pidato terakhirnya, raja memerintahkan agar orang-orang
Unitarian diberikan kebe-basan penuh dalam keyakinan. Melius, pemimpin kelompok Lutheran, diperingatkan untuk tidak “bermain” seperti Paus. Tidak boleh
membakar kitab-kitab, tidak boleh menggunakan kekerasan untuk memaksa orang
menerima ajarannya.
Seterusnya David
meringkaskan perdebatan tersebut dengan kata-kata sebagai berikut:
Saya mengikuti jalan kitab suci. Tetapi lawan-lawan saya menyembunyikannya di kantong. Mereka merubah cahaya ke dalam kegelapan ketika mereka menjadikan tiga Tuhan: Tuhan Bapak dan dua Tuhan dalam diri Kristus. Agama mereka saling bertentangan sampai pada tingkatan sangat jauh. Sehingga mereka tidak bisa menghadirkannya sebagai suatu keseluruhan. Sekalipun demikian, mereka akan me-lihat bahwa sekalipun mereka menentang kehendak mereka sendiri, Tuhan akan membuktikan kebenaran-Nya.
Akibat
perdebatan ini, hampir seluruh kota Kolozsar men-jadi orang-orang yang beriman
kepada Tuhan yang Esa. Keimanan ini menyebar sampai ke pedalaman dan menjadi
keimanan sebagian besar rakyat di sana. Unitarianisme menjadi salah satu dari
empat agama “yang diakui” secara
resmi, yakni yang dilindungi oleh hukum kerajaan. Pada tahun 1571, hampir
terdapat 500 anggota Unitarian di Transylvania. Pada tahun inilah raja Johannes
meninggal. Sekalipun popularitas Unita-rianisme terus berkembang, raja baru
(raja Stephen) tidak mengikuti
toleransi raja Johannes. Dan dia membalikkan kebijakan tentang kebebasan
keyakinan yang dilaksanakan oleh para pendahulunya. Kehidupan menjadi sulit
bagi mereka yang membenarkan keesaan Tuhan. Dan masalah-masalah tersebut
menjadi semakin buruk karena David berselisih paham dengan Blandrata maupun
Socianus. David adalah seorang Unitarian yang tak kenal kompromi dan tidak bisa
membiarkan sesuatu apa pun disekutukan dengan Tuhan, sekalipun secara tidak
langsung. Socianus membedakan antara penghormatan dan permohonan yang diarahkan
kepada Yesus. Seseorang tidak bisa memohon kepadanya, tetapi bisa
menghormatinya. David tidak bisa menerima hal ini. Bahkan orang-orang Unitarian
Polandia mendapati perbedaan tersebut terlalu halus. Karena perbedaan yang
kecil bisa dirasakan antara keduanya. Dalam pemikiran awam dan praktik
sehari-hari, perbedaan ini cenderung membaur. Dan selama dalam peribadatan,
secara jujur tidak bisa dikatakan apakah orang tersebut menghormati Yesus
ataukah memohon kepada Yesus.
Orang-orang
Katholik mendapatkan dukungan dari raja baru tersebut. Dan perpecahan di antara
para pemimpin gerakan Unitarian memberikan kekuatan tambahan kepada mereka.
Dalam suatu jamuan di Torda pada
tahun 1571, suatu peng-aduan umum dibuat bahwa sebagian pastur dinyatakan
bersalah karena dituduh berbuat bid’ah. Hal ini diulangi pada jamuan pada tahun
1573, 1576, dan 1578. Dan pengaduan-pengaduan tersebut dibuat menjadi lebih khusus
sampai akhir-nya menunjuk pada Francis David. Sementara itu Blandrata semakin
dekat dan bersahabat dengan raja dan menikmati reputasi dan kekayaan yang
dihasilkan dari hubungan ini. Pada tahun 1578, secara terang-terangan ia
menantang David dan menasehatinya agar David tidak mempertahankan
keyakinan-keyakinannya lagi. Tetapi David tidak dididik untuk meninggal-kan
keyakinan-keyakinannya sekedar untuk menyelamatkan dirinya. Blandrata, setelah
melakukan perjuangan panjang untuk memantapkan keimanan kepada keesaan Tuhan,
telah menjadi kendor dan renta serta menginginkan ketenangan. Dia tidak ingin
mengundang masalah baru terhadap dirinya atau teman-temannya. Mereka mengetahui
bahwa apa yang dilakukan David sangatlah berbahaya, dan merasa bahwa masalah-masalah
tersebut akan menjadi lebih mudah bagi mereka semua jika David mau mengikuti
tindakan mereka.
David tetap tak
tergoyahkan. Dia bukan saja tetap ber-dakwah, tetapi juga mulai menulis dan
mengedarkan buletin-buletin yang berisi keyakinan-keyakinannya, sekalipun ada
oposisi terhadapnya. Blandrata mengundang Socianus ke Transylvania untuk
membujuk David agar mau menerima perbedaan yang ia buat antara penghormatan dan
permohonan kepada Yesus. Bujukannya tidak membawa hasil, tetapi disepakati
bahwa David akan meringkaskan keyakinan-keya-kinannya dalam tulisan. Sehingga
bisa dibacakan pada synode Gereja Unitarian Polandia. David melakukannya dengan
membuat empat poin sebagai berikut:
-
Perintah
Tuhan yang tegas adalah tidak ada sesuatu pun yang bisa dimintai permohonan
kecuali Tuhan, Bapak Pencipta langit dan bumi.
-
Kristus,
guru kebenaran, mengajarkan bahwa tidak seorang pun bisa dimintai permohonan
kecuali “Bapak” yang di surga.
-
Permohonan
yang sebenarnya ditentukan jika ditujukan kepada “Bapak” dalam semangat dan
kebenaran.
-
Bentuk-bentuk
doa sederhana tidak ditujukan kepada Kristus, tetapi kepada “Bapak”.
Socianus menulis menentang pandangan-pandangan ini, dan David menjawabnya dalam tulisan untuk mendukung pandangan-pandangannya. Perdebatan tersebut memanas dan secara perlahan-lahan menjadi lebih sengit dan bersifat pribadi. Akibatnya Blandrata dan David menjadi musuh secara terang-terangan. Hal ini memberikan dorongan raja Katholik (Stephen) untuk menempatkan David di tahanan dan tidak mengijinkan seorang pun untuk menjenguknya. David mengetahui perintah tersebut sebelum dilaksanakan. Dia segera menyebarkan ajaran-ajarannya di berbagai tempat sebisa mungkin. Di gereja-gereja, dan di lapangan umum. Dan secara terang-terangan mengatakan kepada khalayak alasan penahanan yang akan dikenakan kepadanya. Dia mengatakan, “Apapun yang akan dilakukan, justru akan memperjelas kepada seluruh dunia bahwa Tuhan adalah Esa.”
Setelah
penangkapannya, David dibawa ke pengadilan dan Blandrata bertindak sebagai
penuntut utama dan saksi utama. Penyiksaan terhadap David begitu keras. Dia
dibawa dengan kursi karena tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. David
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, dan ditempat-kan di ruang bawah tanah
pada sebuah puri yang dibangun di puncak suatu bukit yang tinggi. Tak seorang
pun tahu betapa ia menderita selama berada di sana selama lima bulan. Dia
meninggal pada bulan November 1579 dan dikubur sebagai penjahat di tempat yang
tidak diketahui.
Setelah
kematiannya, sebuah puisi ditemukan ditulis di atas tembok di dalam selnya.
Bagian dari puisi tersebut ber-bunyi:
Selama dua puluh tahun aku telah mengabdi kepada
negeri-ku dengan penuh kesetiaan, dan bagi pangeran ketulusanku telah terbukti.
Tanyakan kejahatan yang paling dibenci bapak tanah
ini.
Satu-satunya adalah: “Satu Tuhan, bukan tiga” yang
aku sembah.
Baris terakhir
puisi tersebut adalah:
Tidak ada cahaya, tidak ada salib, tidak ada pedang
Paus, tidak ada wajah yang menghadapi kematian, tidak ada kekuatan yang mampu
menahan laju kebenaran.
Apa yang kurasakan telah kutulis, dengan setulus
hati telah kuucapkan.
Setelah kematianku, dogma-dogma palsu akan runtuh.
Sekali pun David meninggal, gerakannya tetap berjalan. Selama bertahun-tahun, orang-orang Unitarian Transylvania disebut sebagai pengikut “agama Francis David”. Pada masa kini, argumen-argumennya mudah diterima, jelas, tegas, dan berdasar kitab suci. Keputusan dari semua manusia yang berakal diberikan untuk menghormati David.”
Blandrata yang sangat
berperan dalam kematian David menjadi sangat terkenal di kalangan orang-orang
Katholik dan raja. Dia menjadi sangat kaya, sehingga pewarisnya tidak bersabar
menunggu dan membunuhnya. Sekalipun penyiksaan terhadap orang-orang Unitarian
tetap berlanjut, seperti biasanya, tidak menghasilkan sebagaimana diharapkan
para penyiksanya. David akhirnya dinobatkan sebagai syahid dan teladannya
memberikan kepada orang-orang Unitarian suatu inspirasi yang mampu bertahan
dari penyiksaan yang terorganisir.
Jumlah orang
Unitarian Transylvania berkurang drastis. Tetapi mulai berkembang di daerah
selatan Hungaria yang berada di bawah kekuasaan Turki. Karena para penguasa
Muslim diperintahkan oleh Alqur’an untuk membiarkan para pemeluk agama lain
hidup dalam kedamaian, dengan syarat mereka tidak mengganggu terhadap
praktik-praktik ajaran Islam. Oleh sebab itu, di bawah kekuasaan Turki, semua
orang Kristen menikmati kebebasan yang tidak pernah ada di negeri-negeri
Kristen. Bahkan mereka memperbolehkan melaksanakan hukum-hukum pribadi
(perdata) mereka. Karena memanfaatkan kebebasan ini, sebagai contoh, seorang
uskup Calvinis meme-rintahkan menggantung seorang Unitarian dengan tuduhan
bid’ah. Pengikut Unitarian lainnya mengadukan tindakan tersebut ke Gubernur
Turki di Buda. Dia memerintahkan uskup Calvinis tersebut untuk menghadap
kepadanya, dan setelah diadili, uskup dan kedua pembantunya dijatuhi hukuman
mati karena membunuh. Seorang pendeta Unitarian menengahi atas nama uskup yang
dikenai hukuman tersebut dengan mengata-kan bahwa ia tidak bermaksud balas
dendam. Tetapi hanya menginginkan agar insiden-insiden semacam ini tidak akan
terjadi lagi. Maka pesakitan-pesakitan tersebut tidak jadi digan-tung. Tetapi
sebagai gantinya, diharuskan membayar ganti rugi yang besar (kepada keluarga
korban).
Orang-orang
Unitarian menikmati kedamaian di bawah pemerintahan Turki hampir selama satu
abad. Mereka memiliki sekitar tujuh puluh gereja di negeri yang diperintah
orang-orang Turki tersebut. Tetapi dengan keruntuhan kekuasaan Turki, maka
kebebasan keyakinan tersebut juga runtuh. Dan rakyat sekali lagi dipaksa
menjadi orang Katholik Roma. Mereka yang menolak, disiksa dengan kejam. Tetapi
pada akhir abad sem-bilan belas, tidak mungkin lagi menyiksa orang secara
terbuka. Maka jumlah orang-orang Unitarian mulai bertambah lagi. Gerakan
Unitarian masih tetap hidup di Eropa Timur sampai sekarang. Dan pengaruh David
masih ditemukan di hati persaudaraan yang sedang berkembang ini.
Terdapat
beberapa spekulasi sampai berapa banyak hubungan Francis David dengan
orang-orang Islam. Yang pasti, keyakinan-keyakinannya sangat dekat dengan
Islam. Dan paling tidak, di satu bagian dalam tulisan-tulisannya secara terbuka
dia merujuk kepada Alqur’an dalam mendukung keyakinan-keyakinan ini:
Bukanlah tanpa alasan Alqur’an menyatakan bahwa Yesus tidak bisa membantu orang-orang yang menyembahnya karena mereka telah melampaui hak Tuhan yang berten-tangan dengan doktrin yang diajarkannya. Maka mereka pantas dikutuk. Yang mengajarkan bahwa kita harus menyembah dan memohon kepada Yesus, dia sendiri telah diajarkan bahwa “Bapak”lah yang harus dimintai pertolong-an. Tuhan tidak berwujud tiga, tetapi Esa.
Tetapi dari semua kesewenang-wenangan yang dikenakan terhadap David, dia tidak pernah disebut sebagai orang Muslim. Mungkin karena orang-orang Calvinis maupun Katholik khawa-tir untuk menyebutkannya. Karena akan menyebabkan para penguasa Turki yang kuat tersebut akan membantu orang-orang Unitarian. Pengabaian yang jelas dari para penguasa Turki berkaitan gerakan Unitarian ―yang keyakinan-keyakinan-nya sangat dekat dengan agama mereka― mungkin bisa disandarkan kepada merosotnya keislaman mereka. Salah satu dari kritik utama David adalah jika pandangan-pandangannya diterima, maka perbedaan antara Judaisme dan Kristen akan lenyap. Dan yang terakhir (Kristen) akan terjatuh kepada yang pertama (Judaisme). Bahkan secara terang-terangan, Blandrata mengejek David dengan mengatakan bahwa dia kembali kepada Judaisme. Dia tidak pernah membantah argumen-argumen David, tetapi berupaya menjatuhkannya dengan memainkan sentimen umum untuk menentang orang-orang Yahudi. Dan tampaknya melupakan bahwa setiap nabi diutus untuk mene-gaskan kembali dan memperluas ajaran dari Nabi sebelumnya, sebagian besar adalah dari Yahudi. Pentingnya posisi Francis David terletak pada keyakinannya terhadap keesaan Tuhan. Berarti ia menegaskan kembali posisi Yesus dalam tradisi kenabian tanpa menolak ajaran para Nabi yang datang sebelum dan sesudahnya. Lebih dari itu, ia mengingatkan bahwa keimanan yang benar kepada Tuhan disertai dengan sikap hidup yang sesuai dengan ajaran Yesus adalah bekal yang cukup bagi kehidupan di dunia dan di akhirat.
LELIO FRANCESCO MARIA SOZINI (1525-1562)
Lelio Sozini
dilahirkan pada tahun 1525. Karena dia menjadi ahli hukum di tempat studi
hukumnya, membawanya pada penelitian-penelitian terhadap kitab Yahudi dan
Injil. Ketika masih muda, dia meninggalkan Bologna
dan pindah ke daerah sekitar Venice
yang memberi kebebasan beragama yang tidak dijumpai di daerah-daerah lain di
Italia. Tulisan-tulisan Servetus beredar di Venice dan mempengaruhi banyak
orang. Di antara mereka yang memeluk keimanannya, tulis Wallace dalam bukunya Anti
Trinitarian Biography, terdapat “pejabat-pejabat
tinggi dan tokoh-tokoh terkemuka di kota Venice.” Karena
pandangan-pandangan ini tidak terang-terangan diakui oleh senat kota, maka
mereka yang mengimaninya bertemu secara rahasia. Tujuan mereka adalah mengkaji
kebenaran Kristiani dan untuk menetapkan kembali ajaran Yesus dalam
kemurniannya. Lubinietski dalam bukunya
History of the Reformation in Poland
menulis:
Mereka sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu Maha Esa. Yesus adalah benar-benar seorang manusia biasa. Dia telah dikandung dalam rahim seorang perempuan suci melalui perantaraan Roh Kudus (Jibril). Doktrin Trinitas dan ketuhanan Yesus adalah pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh para filosof kafir (Yunani).
Wallace menyatakan bahwa Lelio bertemu dengan orang-orang ini dan segera terpengaruh oleh pandangan-pandangan ini serta mengimaninya dengan semangat anak muda yang penuh gairah disebabkan kehausan jiwanya untuk menemukan kebenaran. Seorang zahid yang bernama Camillo sangat mempengaruhinya. Suatu cakrawala baru telah terbentang di depannya. Sebelumnya, jiwanya telah terhalang dogma-dogma kaku dari Gereja Resmi. Sekarang ia merasakan kebebasan baru yang belum pernah dialami. Kehidupannya telah mem-bawa makna baru, dan dia bertekad untuk mengabdikan diri-nya dalam pencarian kebenaran. Jumlah anggota kelompok rahasia di Venice tersebut lebih dari 40 orang. Ketika kebera-daan kelompok ini terbongkar, beberapa anggotanya ditangkap dan dipenjara sampai mati. Sementara yang lain cukup beruntung bisa meloloskan diri dan mendapat perlindungan di negeri-negeri lainnya. Anggota-anggota lain yang dikenal dari kelompok ini di samping Lelio Sozini adalah Ochinus, Darius Sozini (saudara sepupu Lelio), Alciati, dan Bucolis. Terdapat suatu riwayat yang terpercaya bahwa dua orang terakhir tersebut akhirnya masuk Islam. Dr. White, dalam ceramah-ceramahnya di Brompton, menyebut para murid Sozini itu sebagai “pengikut-pengikut Nabi Arab.”
Selama
keberadaan kelompok ini masih belum terbongkar, perhatian Lelio Sozini terpusat
kepada dua orang di luar kelompok tersebut. Salah satunya adalah Servetus dan
yang lain adalah Calvin. Servetus memiliki keberanian untuk menya-takan secara
terang-terangan keyakinannya kepada keesaan Tuhan. Sementara Calvin telah
menjadikan dirinya dikenal sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan di
lingkaran para Reformis Eropa.
Sozini berusaha menemui
Calvin terlebih dahulu. Ketika Sozini menemuinya, dia sangat kecewa karena
menemukan kenyataan bahwa Calvin sepicik pendeta Katholik. Perasaan kecewa ini
segera berubah menjadi muak ketika dia menemu-kan bahwa Calvin sendiri yang
telah membantu penangkapan Servetus. Sejak saat itu, Sozini bersandar kepada
Servetus dan inspirasi Camillo dalam studi-studinya yang luas terhadap doktrin-doktrin
yang diakui oleh Gereja Resmi.
Pada tahun 1559
ia pergi ke Zurich dan menghabiskan
tiga tahun terakhir dalam kehidupannya tenggelam dalam perenungan dan
pengkajian. Dia meninggal pada tahun 1562 ketika berusia 37 tahun.
FAUSTO PAOLO SOZINI (1539-1604)
Fausto Paolo
Sozini (keponakan Lelio Sozini), dilahirkan pada tahun 1539. Pamannya telah
mewariskan kepadanya semua yang ia capai selama hidupnya yang singkat tetapi
penuh makna. Pada usia 23 tahun, pemuda Fausto Sozini atau kemu-dian dikenal
dengan sebutan Socianus, bukan saja menjadi ahli waris Lelio, tetapi juga
pewaris “cahaya” Camillo dan ilmu Servetus. Warisan yang paling berharga adalah
sejumlah besar manuskrip dan catatan-catatan penafsiran yang ditinggalkan
pamannya.
Socianus
menerima pendidikan awalnya di Siena,
tempat kelahirannya. Setelah dewasa, ia mengunjungi Lyons dan Jenewa. Dia
kembali ke Italia pada tahun 1565. Kemudian pergi ke Florence dan mengabdi kepada Isabella
de Medeci. Dia mendapatkan jabatan maupun kehormatan dari Isabella. Setelah
kematiannya, Socianus meninggalkan Italia dan tinggal di Basle. Di sinilah ilmuwan muda tersebut segera menarik perhatian
semua orang yang berminat untuk belajar teologi. Dia menerbitkan sebuah buku
untuk kalangan sendiri dengan memakai nama samaran. Sebab sangatlah berbahaya
untuk berbeda pendapat secara terang-terangan dari ajaran Gereja Resmi.
Bukunya sampai
ke tangan Blandrata yang menjadi dokter di Polandia. Pada waktu itu, Blandrata
masih memiliki sema-ngat, keberanian, pandangan, kemampuan, dan ambisi untuk
membebaskan pikiran rakyat awam dari kungkungan gereja. Kebebasan keagamaan
dari para penguasa Polandia telah menjadikan negeri tersebut sebagai tempat
yang menarik bagi semua orang yang ingin membahas ajaran agama mereka secara
bebas, dan tidak ingin mengikuti dogmatisme kaku gereja. Blandrata mengundang
Socianus ke Polandia, dan tawaran tersebut di terima dengan suka cita. Dalam
suasana bebas dan selaras yang ditemukan Socianus di Polandia, maka ia bebas
menulis dengan namanya sendiri tanpa rasa takut terhadap penyiksaan dari
gereja. Sekalipun jiwanya selamat, tetapi harta bendanya di Italia disita. Socianus
mengawini seorang wanita Polandia dan terputus hubungan dengan tanah airnya.
Para penguasa
Polandia (pada waktu itu) tidak percaya kepada doktrin Trinitas, tetapi mereka
masih mengelompok secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak tahu langkah apa yang
harus diambil untuk menghasilkan suatu dogma yang positif. Kehadiran Socianus
memenuhi kebutuhan ini, dan jelas memberikan kepuasan bagi para penguasa dan
rakyat sekali-gus. Pengetahuan yang telah diajarkan pamannya, ditambah dengan
hasil kajiannya sendiri, bersatu dalam jiwa Socianus, dan tulisan-tulisannya
memiliki dampak yang kuat terhadap Gereja Resmi.
Dengan
kemarahan, gereja memerintahkan untuk menangkapnya dan membakarnya
hidup-hidup. Tetapi, dukungan umum terhadap Socianus sangat besar. Sehingga
pengadilan memutuskan untuk merubah dengan mengguyur air dingin yang disebut Judicum dei (Hukuman Tuhan) yang telah
lama dipakai gereja untuk menyiksa para penentangnya. Walau pun cara ini tidak
pernah menjadi bagian dari ajaran Yesus, atau bahkan Paulus sekali pun. Hasil
dari ujian (hukuman) tersebut dinyatakan menjadi hukuman Tuhan secara langsung.
Dalam ujian dengan air dingin, si terdakwa dilemparkan ke dalam air yang dalam.
Jika ia tenggelam, maka ia dinyatakan bersalah. Karena mengetahui sepenuhnya
bahwa Socianus tidak bisa berenang, pendeta yang bertugas melaksanakan ujian
tersebut melemparkan Socianus ke lautan. Akan tetapi ia tidak bisa tenggelam
dan selamat sampai ia meninggal pada 1604.
Pada tahun 1605,
tulisan-tulisannya dikumpulkan dalam sebuah buku. Karena diterbitkan di Rokow, buku itu secara umum dikenal
sebagai Racovian Cathechisme (tanya-jawab Racovian).
Pada asalnya diterbitkan dalam bahasa Polandia, dan akhirnya diterjemahkan ke
dalam hampir semua bahasa di Eropa. Akhirnya, ajarannya menyebar di mana saja.
Dan mazd-hab teologinya terkenal dengan sebutan Socianisme. Harnack, dalam
bukunya Outlines of the History of Dogma,
mencan-tumkan Socianisme bersama-sama dengan Katholikisme Roma dan
Protestanisme sebagai madzhab terakhir dari tahapan-tahapan final dalam Dogma
Kristiani. Sebagian besar atas pengaruh Socianisme inilah orang-orang Unitarian
menjadi suatu kesatuan terpisah di dalam Kristiani modern. Harnack mengatakan
bahwa Socianisme memiliki ciri-ciri berikut ini:
- Socianisme
memiliki keberanian untuk menyederhanakan masalah yang berkaitan dengan
realitas dan isi agama dan membuang beban (tradisi) dari gereja di masa lalu.
- Socianisme
mendobrak ikatan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan, antara Kristiani
dan Platonisme.
- Socianisme
membantu penyebar ide bahwa statement keagamaan yang benar harus jelas dan bisa
dinalar jika ingin mendapatkan kekuatan dan dukungan.
- Socianisme
berupaya membebaskan kajian kitab-kitab suci dari ikatan dogma-dogma kuno yang
tidak terdapat dalam kitab-kitab suci. Selama ini ada pemeo yang mengatakan: “Kebutaan orang awam adalah sumber pendapatan
gereja (pendeta)”. Ajaran-ajaran Socianus telah mengurangi kedua hal
tersebut.
Agama Socian menyeberang dari daratan Eropa dan tersebar di Inggris. Uskup Hall dari Norwich tercatat telah menye-salkan kenyataan bahwa pikiran orang-orang Kristen dikejutkan melalui “bid’ah” Socian yang terkutuk oleh orang-orang Anti-Trinitas dan orang-orang Arian Baru. “Sehingga kehancuran akhir Kristiani harus menjadi keprihatinan (gereja).” Pada tahun 1638, penyiksaan secara brutal dan terorganisir terhadap orang-orang Socian dimulai. Akademi mereka di Rokow, ditindas. Dan semua pengikut Socianus dicabut hak sipilnya. Dan banyak orang yang membenarkan keesaan Tuhan, dibakar hidup-hidup. Oleh sebab itu, sebagai contoh, pada tahun 1639, Catherine Vogal, istri seorang ahli permata di Polandia, dibakar hidup-hidup pada usia 80 tahun. Kejahatannya adalah ia mem-percayai bahwa Tuhan adalah Esa. Dia adalah Pencipta dunia yang terlihat dan yang tidak terlihat. Dan Tuhan tidak bisa dibentuk (digambarkan) oleh pikiran manusia. Pandangan ini, tentu saja merupakan pandangan metafisik Islam yang murni. Fuller menulis bahwa “pembakaran terhadap pembid’ah sema-cam ini mengerikan bagi rakyat. Karena ketakutan terhadap hukuman dan mereka siap menerima pandangan apa saja. Bahkan pandangan-pandangan sesat sekalipun untuk menyela-matkan nyawanya.” Oleh sebab itu, Wallace mengatakan, “James I meringankan hukuman tersebut dengan cara-cara yang lebih lunak, yakni dengan membakar buku-buku mereka.”
Pada tahun 1658,
rakyat diberi pilihan: mau menerima Katholikisme Roma atau pergi ke penjara.
Orang-orang Unita-rian melarikan diri ke seluruh Eropa. Mereka menyebar dengan
membawa ajaran mereka. Dan tetap bertahan sebagai kesatuan masyarakat yang
terpisah selama kurun waktu yang lama.
Dalam
tulisan-tulisan yang termuat pada Racovian Cathechisme, Socianus menghantam
akar dasar Kristen Ortodoks dengan menolak doktrin penebusan dosa. Sekalipun ia
tidak tahu kenyataan (sejarah) bahwa Yesus tidak di salib maupun dibangkitkan.
Dan untuk itu, doktrin tersebut secara keselu-ruhan tidak berdasar sama sekali.
Tetapi Socianus mampu menegaskan kerancuan doktrin tersebut atas dasar-dasar
lain. Secara singkat, doktrin penebusan dosa mengajarkan bahwa manusia lahir
dalam keadaan membawa dosa karena tindakan keliru pertama dari Adam. Sehingga
Yesus ―dengan (anggapan) penyalibannya― menebus dosa tersebut dan semua
tindakan-tindakan keliru dari orang-orang yang menerima ajaran baptis dan
mengikutinya. Menurut pandangan Kristen Ortodoks, gereja adalah suatu
perkumpulan keagamaan, suatu masyarakat ketuhanan yang didirikan oleh Kristus
melalui kerja penebusan-nya bagi manusia. Hanya di dalam komunitas inilah dan
dengan lembaga gereja inilah manusia yang berdosa bisa menemukan jalan kepada
Tuhan. Oleh sebab itulah gereja dianggap lebih penting dan lebih utama daripada
pribadi yang beriman. Sozini menolak semua anggapan ini. Dia yakin bahwa
seorang manu-sia bisa berdoa minta ampun secara langsung kepada Tuhan tanpa
perantara. Untuk mencapai keselamatan, bukan melalui pembaptisan. Tetapi
melalui “penalaran yang benar”, dan
tidak perlu mengikuti gereja secara membuta. Dengan menolak doktrin ini,
menyebabkan keseluruhan wewenang gereja dan landasannya dipertanyakan. Sebagian
besar karena faktor inilah sehingga orang-orang Katholik dan Protestan
menggabung kekuatan mereka untuk memerangi Socianisme. Socianus menolak doktrin
penebusan dosa atas dasar-dasar berikut:
Kristus pasti
tidak bisa memberikan suatu pengorbanan yang tidak terbatas untuk menebus dosa,
hanya dengan menderita dalam waktu yang singkat. Penderitaan yang paling intens
untuk suatu periode yang terbatas pasti didak bisa dibandingkan dengan
penderitaan kekal di neraka yang bisa dikenakan kepada manusia. Jika dikatakan
bahwa penderitaan penyaliban tersebut lebih besar karena yang menderita
tersebut “tidak terbatas” (Tuhan?), maka kekuatan menahan penderitaan tersebut
juga lebih besar. Tetapi bahkan penderitaan dari suatu “yang tak terbatas”
sekalipun tidak bisa menggantikan pen-deritaan yang kekal.
Jika dijamin
bahwa Kristus sungguh telah memberikan penebusan dosa yang tak terbatas, maka
tidaklah mungkin untuk berbicara tentang pengampunan Tuhan atau rasa terima
kasih manusia kepada-Nya karena menjamin pengampunan-Nya. Karena seorang yang
telah dibaptis atas nama Kristus, secara otomatis telah mendapatkan penebusan
bagi dosa-dosanya. Sebelum Tuhan menurunkan hukuman kepada mereka. Mengikuti
doktrin tersebut berarti bahwa Tuhan tidak lagi mengikat hamba-hamba-Nya,
karena hukuman bagi dosa-dosanya telah “dibayar” lunas. Oleh sebab itu,
seseorang bebas sepenuhnya untuk melakukan apa yang ia suka. Karena penebusan
Kristus adalah absolut dan tak terbatas, maka penebusan tersebut mencakup
semuanya. Oleh sebab itu, penyelamatan universal haru smenjadi hasilnya. Dengan
kata lain, Tuhan tidak memiliki hak untuk menambahkan kondisi-kondisi lebih
jauh lagi terha-dap apa yang Dia tuntut dari manusia. Keseluruhan “harga” telah
dibayat, masa lalu, kini, dan akan datang. Dan oleh sebab itu, semua debitor
sekarang bebas. Katakanlah sejumlah orang memiliki hutang kepada seorang
“creditor” bumi dan seseorang telah membayar semuanya, maka hak apa yang
dimiliki creditor tersebut untuk membuat tuntutan-tuntutan atau
persyaratan-persyaratan lebih jauh terhadap orang-orang yang tidak lagi
berhutang kepadanya?
Doktrin
penebusan dosa juga dipertanyakan Socianus secara langsung dengan penegasannya
bahwa Yesus bukan Tuhan, tetapi seorang manusia biasa. Karena tidak ada alasan
bahwa seorang manusia mampu menembus semua kejahatan manusia. Kenyataan ini
sudah cukup untuk membuang doktrin mistis tersebut.
Socianus
menegaskan bahwa Yesus adalah seorang manu-sia biasa. Dia dilahirkan oleh seorang
perawan suci. Dia dibeda-kan dari semua manusia lainnya karena kesucian
hidupnya. Dia bukan Tuhan, tetapi menerima inspirasi (wahyu) dari Tuhan. Oleh
sebab itu, ia memiliki pandangan ketuhanan dan kekuatan ketuhanan sekalipun ia
bukanlah pembuat kekuatan-kekuatan tersebut. Dia diutus Tuhan dengan
wewenang-Nya yang mutlak dengan suatu misi kepada manusia. Socianus mendukung
keyakinan-keyakinan ini dengan suatu kutipan yang menyeluruh dan penafsiran
yang meyakinkan dari bagian-bagian yang relevan dalam kitab-kitab suci (Injil).
Argumennya yang “halus” dan kuat bisa memberikan suatu makna yang rasional
terhadap kata-kata Kristus. Yesus bukanlah “firman” yang berubah menjadi
daging. Dia adalah seorang manusia yang telah berhasil mengatasi tindakan
keliru dalam kehidupannya dalam daging. Dia tidak ada sebelum dunia tercipta.
Diboleh-kannya memohon bantuan Yesus dalam doa sepanjang dia tidak disembah
sebagai Tuhan.
Socianus
menegaskan bahwa Tuhan adalah penguasa mutlak terhadap segala sesuatu.
Kemahakuasaan-Nya bukan-lah sifat satu-satunya. Tetapi juga mengatur
sifat-sifat lainnya. Tidak akan ada pertanyaan yang bisa diajukan untuk menen-tang
Tuhan. Yang terbatas (manusia) tidak bisa menjadi ukuran bagi yang tidak
terbatas (Tuhan). Oleh sebab itu, semua konsep-si manusia tentang sifat Tuhan
harus dipandang sebagai landasan-landasan yang tidak memadai, di mana di
atasnya mendasarkan suatu penilaian kritis tentang Dia. Kehendak Tuhan adalah
mutlak dan tidak dibatasi oleh hukum yang merupakan rumusan akal manusia.
Kekuasaan Tuhan terdiri dari suatu hak dan wewenang mutlak untuk menentukan apa
saja yang Dia pilih, dengan kebijaksanaan-Nya menghargai kita semua dan
makhluk-makhluk lainnya. Dia bisa mengetahui pikiran-pikiran kita sekalipun
pikiran-pikiran tersebut tersem-bunyi jauh di dalam lubuk hati kita. Dia bisa
dengan bebas menentukan hukum-hukum dan menentukan baik pahala maupun hukuman
bagi kesucian dan penyelewengan tujuan manusia. Oleh sebab itu, manusia adalah
suatu pribadi yang telah diberikan kebebasan memilih, tetapi dalam kenyataannya
ia adalah pribadi yang tidak memilih kekuatan tanpa pertolong-an Tuhan.
Karena tidak
boleh ada lebih dari satu zat yang memiliki kekuasaan mutlak terhadap segala
sesuatu, Socianus menegas-kan. Maka berbicara tentang tiga pribadi mutlak
adalah berbica-ra secara tidak masuk akal. Esensi Tuhan adalah satu (Esa).
Bukan saja dalam “jenis”, tetapi juga
dalam jumlah. Oleh sebab itu, tidak bisa memuat suatu keberagaman pribadi.
Karena suatu pribadi individu tidak lain daripada suatu esensi intelijen
individual. Di mana saja terdapat tiga pribadi secara numeric (urutan angka),
maka pasti membutuhkan keserupaan cara dalam hitungan tiga esensi individual.
Jika dibenarkan bahwa hanya ada satu esensi numeric, maka harus dipegang teguh
kesimpulan bahwa hanya terdapat satu pribadi numeric.
Doktrin Trinitas
juga dibantah oleh Socianus atas dasar bahwa adalah tidak mungkin bagi Yesus
untuk memiliki dua sifat dasar dalam waktu yang bersamaan. Dia berkata bahwa
dua substansi (hakikat) yang memiliki sifat saling bertentangan tidak bisa
bergabung (menyatu) ke dalam satu pribadi. Dan sifat-sifat tersebut adalah
mortalitas (fana) dan immortalitas (kekal): memiliki suatu permulaan dan tanpa
permulaan, bisa berubah dan tidak bisa berubah. Dan juga dua sifat yang
masing-masing membentuk suatu pribadi yang terpisah, tidak bisa dikumpulkan
pada satu pribadi. Karena bukan satu, tetapi mau tidak mau memunculkan dua
pribadi dan akibatnya mereka menjadi dua Kristus. Yang satu Tuhan dan yang lain
manusia. Gereja menyatakan Kristus terdiri dari badan dan jiwa. Dalam kasus
tersebut, Socianus menjawab bahwa pandangan inis angat berbeda dari keyakinan
bahwa dua sifat Kristus tersebut jadi menyatu sehingga Kristus terdiri dari
suatu bentuk Tuhan dan manusia sekaligus. Dalam diri seorang manusia, badan dan
jiwa begitu menyatu, sehingga seorang manusia bukanlah badan (fisik) dan bukan
pula jiwa. Karena jiwa maupun badan tidak membentuk suatu pribadi secara
terpisah. Dan oleh sebab itu, mau tidak mau, maka pastilah manusia dengan
sendirinya juga membentuk suatu pribadi yang terpisah.
Lebih jauh lagi,
Socianus mengatakan, hal itu juga “menjinakkan”
bagi kitab-kitab suci itu sendiri bahwa Kristus memiliki suatu sifat Tuhan: Pertama, Tuhan yang menciptakan Yesus. Kedua, kitab-kitab suci (Injil)
mengatakan bahwa Yesus adalah seorang manusia. Ketiga, apapun keutamaan yang dimiliki Ye-sus yang ditegaskan
kitab-kitab suci adalah pemberian Tuhan. Keempat,
kitab-kitab suci dengan sangat jelas menunjukkan bahwa Yesus selalu
menyandarkan semua mukjizat tersebut bukan kepada dirinya sendiri atau setiap
sifat Tuhan sebagai miliknya sendiri, tetapi bukan kepada “Bapak”. Yesus
sendiri membenarkan adanya kehendak Tuhan.
Kutipan berikut
ini diambil dari The Rocovian Cathechism
yang ditemukan pada buku karya Reland,
“Historical and Critical Reflection upon
Mohammetanism and Socianism”:
Pandangan mereka yang menyadarkan ketuhanan kepada Yesus Kristus bukan saja “menggelikan” bagi nalar yang benar, tetapi juga bagi kitab-kitab suci. Dan mereka berada dalam tumpukan kesalahan bagi yang meyakini bahwa bukan saja Bapak tetapi juga Anak dan Roh Kudus, tiga pribadi dalam satu ketuhanan. Esensi Tuhan adalah sangat “mudah” (dipahami) dan secara mutlak hanya satu. Oleh sebab itu, merupakan suatu pertentangan yang amat tajam bagi satu Tuhan terdiri dari tiga oknum yang independen. Dan lemahnya nalar bagi musuh-musuh kita yang mencoba membuktikan bahwa Bapak telah menurunkan seorang Anak yang berasal dari substansi-Nya sendiri. Argumen itu adalah konyol dan sama sekali tidak benar sebelum konsili Nicea dan beberapa masa sesudahnya sebagaimana terlihat dari tulisan-tulisan orang-orang yang hidup di masa itu. Bapak ―satu-satunya yang diakui sebagai Tuhan yang sesungguhnya dan orang-orang yang berpikiran sebaliknya― seperti orang-orang Sabellian dan semacamnya dipandang orang-orang yang melakukan bid’ah semangat anti-Kristus yang memasuki gereja Kristen itu sama bahayanya dengan doktrin yang mengajarkan bahwa tiga oknum yang berbeda itu adalah Tuhan. Bapak bukan satu-satunya Tuhan yang sebenarnya. Tetapi Anak dan Roh Kudus harus bergabung bersama-Nya. Tidak ada sesuatu (pandangan) yang lebih rancu atau lebih mustahil dan lebih menjijikkan bagi akal sehat, orang-orang Kristen juga meyakini bahwa Yesus Kristus mati untuk memberikan penyelamatan bagi kita dan untuk mem-bayar hutang-hutang yang kita pinjam dari dosa-dosa kita. Tetapi pandangan ini palsu, sesat, dan paling merusak akal.”
Socianus
mengatakan bahwa salah satu penyebab peneri-maan doktrin Trinitas tersebut
adalah pengaruh dari para filosof kafir (Yunani) sebagaimana bagian dari buku
karya Tolland, “The Nazarenes”,
menunjukkan:
Orang-orang Socian dan orang-orang Unitarian lainnya dengan penuh keyakinan menegaskan bahwa orang-orang Gentile juga memperkenalkan ke dalam Kristiani polytheisme kuno mereka dan menuhankan orang yang telah mati dengan tetap memakai nama Kristen tetapi sungguh-sungguh telah merubah ajarannya dan menyesuaikannya dengan keyakinan mereka sebelumnya.
Dari sini
jelaslah mengapa tulisan-tulisan Socianus diteri-ma secara luas.
Tulisan-tulisan tersebut bukan saja mengem-balikan orang kepada gambaran yang
lebih tepat tentang siapa Yesus sebenarnya dan untuk apa ia diturunkan, tetapi
juga membantu menghancurkan sebagian besar kekuasaan gereja atas rakyat.
Kebesaran Socianus karena ia telah menghasilkan teologi yang didasarkan atas
logika dan juga sekaligus didasar-kan pada Bibel. Untuk itulah sangat sulit
bagi lawan-lawannya untuk melenyapkan tulisan-tulisannya. Sebagai contoh, pada
tahun 1680 ketika pendeta George Ashwell
mendapati bahwa buku-buku Socianus menjadi sangat terkenal di kalangan
murid-muridnya, ia memutuskan untuk menulis sebuah buku tentang “agama” Socian.
Penelitiannya terhadap Socianus sangat menarik karena berasal dari pena seorang
musuhnya:
Begitu besar pendiri dan bapak dari sekte ini yang
menyatu dalam dirinya segala kualitas, yang menyita penghormatan dan daya tarik
dari orang lain. Dia begitu menawan dengan suatu bentuk daya tarik dengan siapa
saja ia berbicara dan meninggalkan kesan pada jiwa semua orang dengan suatu
kesan penghormatan dan cinta. Dia begitu mulia dalam kelembutan jiwanya dan
meramahkan wataknya. Begitu juga kekuatan nalarnya dan kekuatan pidatonya.
Begitu juga tanda dari nilai-nilai luhur yang diperlihatkan pada semua orang
yang ia miliki dalam tingkat yang luar biasa. Begitu besar bakat alamnya dan
kehidupannya patut diteladani sehingga ia menyita cinta kasih manusia.
Setelah
mengatakan semua ini, Ashwell menyimpulkan bahwa Socianus adalah “jerat setan yang besar”. Pada saat ini banyak orang-orang Kristen yang tidak memiliki perasaan-perasaan
yang saling bertentangan tentang Socianus sebagai-mana yang dilakukan Reverend
Ashwell. Terdapat perasaan simpati yang besar terhadap Socianisme dan cara-cara
brutal yang dilakukan untuk menindasnya, dan terdapat suatu reaksi pasti
menentang Trinitarianisme. Banyak dari cendekia Kristen yang membenarkan
keyakinan-keyakinan Socianisme dan me-nolak ketuhanan Yesus dan semua yang
berkaitan dengannya.
JOHN BIDDLE (1615-1662)
John Boddle, bapak Unitarianisme di Inggris, dilahirkan pada tahun 1615. Dia adalah seorang murid yang cerdas dan digambarkan sebagai seorang yang “melebihi guru-gurunya serta menjadi guru bagi dirinya sendiri.” Dia masuk Universitas Oxford pada tahun 1634, lulus BA pada tahun 1638 dan MA pada tahun 1641. Setelah meninggalkan Oxford, dia diangkat sebagai guru Sekolah Bebas (Free School) St. Maryam di Crypt Gloucester. Di sinilah ia mulai mengkaji ulang pandangan-pandangan keagamaannya, dan mulai meragukan kebenaran doktrin Trinitas. Dia terpengaruh pemikiran-pemikiran orang-orang Unitarian Eropa. Karena pada saat itu, ajaran Socianus telah sampai di Inggris. Sebuah versi Latin dari Racovian Cathe-chism telah dikirimkan ke Inggris untuk dipersembahkan pada raja James. Buku tersebut dibakar oleh seorang algojo di depan umum pada tahun 1614. Sekalipun buku tersebut dibakar, tetapi isinya telah menarik perhatian publik. Langkah-langkah diambil untuk mencemarkan buku tersebut. John Owen, yang dilantik oleh Dewan Negara di bawah pimpinan Cromwell untuk membantah ajaran-ajaran Socianus, berkata: “Jangan mengang-gap masalah ini masih jauh darimu sehingga kamu mengabai-kannya. Setan itu ada di pintu rumah, tidak ada satu kota besar, kota kecil, desa-desa di Inggris yang bebas dari serangan racun ini.”
Upaya untuk
menegakkan dogma-dogma resmi gereja ini mendapat tantangan. William Chalingworth (1602-1644),
mengutuk “kesalahan keimanan tersebut
yang menyebabkan penyiksaan, pembakaran, kutukan, mencelakakan manusia kare-na
tidak mau mengakui kata-kata manusia sebagai kata firman Tuhan.” Jeremy Taylor dan Milton sama-sama membenarkan bahwa “pencarian akal yang tulus tidak menciptakan
suatu bid’ah. Kekeliruan tersebut terletak pada pengaruh-pengaruh yang
menyesatkan keinginan.” Perdebatan menyebar, dan langkah-langkah
lanjutan diambil oleh mereka yang berkuasa untuk melindungi keyakinan terhadap
Trinitas. Pada bulan Juni 1640, konvensi Canterbury
dan York memutuskan untuk mela-rang
import, pencetakan dan pengedaran buku-buku Socianus, para pendeta diperintah
tidak mengajarkan doktrin-doktrin Socianus, dan setiap orang diperingatkan
bahwa siapa saja yang meyakini doktrin-doktrin ini akan dibuang. Sejumlah
penulis dan pemikir mencela keputusan ini, tetapi tidak membawa hasil.
Dalam iklim penilaian kembali dan pengujian segar seperti inilah pandangan-pandangan pribadi Biddle mengalami peru-bahan, terutama dalam kaitannya dengan doktrin Trinitas. Dia berbicara secara bebas tentang doktrin-doktrin tersebut dan akibatnya dia diminta oleh hakim untuk memberikan suatu pengakuan keimanan secara tertulis pada tahun 1644. Dia membuatnya dalam bahasa yang sederhana: “Saya beriman kepada satu esensi yang Maha Berkuasa yang disebut Tuhan. Maka hanya terdapat satu pribadi dalam esensi (Tuhan).”
Dia juga
menerbitkan sebuah pamflet pada masa itu yang berjudul “Duabelas argumen yang menolak ketuhanan Roh Kudus.” Pamflet ini
ditujukan kepada “Pembaca Kristen”.
Pada tahun 1645, manuskrip dari “Duabelas
Argumen” tersebut disita dan Biddle dipenjara. Dia dipanggil menghadap
parlemen tetapi tetap menolak untuk menerima ketuhanan Roh Kudus. Dia mencetak
ulang pamflet tersebut pada tahun 1647. Pada tang-gal 6 September pada tahun
yang sama, parlemen memerintah-kan agar pamflet tersebut dibakar, dan perintah
itu pun dilak-sanakan. Pada tanggal 2 Mei 1648, sebuah “Undang-undang yang Ketat” dikeluarkan. Undang-undang tersebut
menyatakan bahwa siapa saja yang menolak Trinitas, atau ketuhanan Yesus atau
Roh Kudus, akan dikenai hukuman mati tanpa “pengam-punan”
dari pendeta.
Ringkasan dari “Duabelas Argumen” penyebab lahirnya
peraturan yang sangat keras ini, adalah sebagai berikut:
1.
Yang
dibedakan (berbeda) dengan Tuhan bukanlah Tuhan.
Roh Kudus
dibedakan (berbeda) dari Tuhan.
Oleh karena itu,
Roh Kudus bukan Tuhan.
Biddle lebih
lanjut menjelaskan silogisme ini dengan kata-kata berikut:
Premise mayor di atas sangatlah jelas jika kita
mengatakan bahwa Roh Kudus adalah Tuhan, tetapi berbeda dari Tuhan, maka
premise tersebut mengandung pertentangan. Premise mayor bahwa Roh Kudus
dibedakan dari Tuhan dibenarkan oleh semua isi kitab suci. Argumen yang
menyatakan bahwa Roh Kudus dibedakan dari Tuhan tersebut jika diambil secara
“person” dan bukan “esensial” adalah bertentangan dengan semua penalaran.
Pertama, adalah
tidak mungkin bagi siapa pun untuk mem-bedakan pribadi (oknum) dari esensi
Tuhan, tanpa memba-yangkan dua zat yang ada. Akibatnya, ia akan dipaksa untuk
menyimpulkan bahwa terdapat dua Tuhan.
Kedua, jika
pribadi dibedakan dari esensi Tuhan, maka pri-badi tersebut akan menjadi
“sesuatu” yang idependen. Untuk itu, pribadi tersebut akan menjadi terbatas
atau tak terbatas. Jika terbatas, maka Tuhan akan menjadi “suatu” yang
terbatas. Karena menurut gereja, segala sesuatu dalam Tuhan adalah Tuhan itu
sendiri. maka kesimpulan tersebut adalah rancu. Jika tidak terbatas, maka akan
ada dua yang tak terbatas dalam Tuhan. Dan akibatnya, dua Tuhan tersebut menjadi
lebih rancu daripada argumen sebelumnya.
Ketiga, untuk
berbicara tentang Tuhan dalam pengertian “impersonal” (tidak dalam bentuk
pribadi) adalah konyol, sebagaimana diakui oleh setiap orang bahwa Tuhan adalah
nama dari suatu pribadi yang dengan kekuasaan mutlak menguasai segala-galanya.
Tidak ada sesuatu pun yang bisa menguasai terhadap lainnya kecuali “pribadi”.
Maka memahami sebaliknya dari pengertian “kepribadiannya”, berarti memahami Dia
yang sebaliknya dari Dia.
2.
Yang
memberikan Roh Kudus kepada orang-orang Israel adalah Yehova semata.
3.
Yang
tidak berbicara bukan dari dirinya sendiri bukanlah Tuhan.
Roh Kudus tidak
berbicara dari dirinya sendiri.
Oleh sebab itu,
Roh Kudus bukan Tuhan.
4.
Yang
mendengarkan firman dari Tuhan berarti bukan Tuhan.
Yesus berbicara
menurut firman dari Tuhan.
Berarti Yesus
bukan Tuhan.
Di sini Biddle
mengutip Johanes 8: 26 di mana Yesus berkata: “Apa saja yang aku dengar dari Dia, inilah yang aku katakan.”
5.
Pada
Johanes 16: 14, Yesus berkata: “Tuhan
adalah Dia yang memberikan segala sesuatu kepada semua.”
6.
Yang
dikirim (diutus) oleh Tuhan bukanlah Tuhan.
Roh Kudus diutus
oleh Tuhan.
Oleh sebab itu,
Roh Kudus bukanlah Tuhan.
7.
Yang
bukan pemberi segala sesuatu bukanlah Tuhan.
Dia yang
merupakan pemberian Tuhan bukan pemberi segala sesuatu.
Dia sebagai
pemberian Tuhan adalah dirinya itu sendiri.
Pemberian adalah
berada dalam kekuasaan pemberinya.
Untuk itu adalah
rancu untuk membayangkan Tuhan bisa dalam kekuasaan atau pemberian dari pribadi
lain.
Di sini Biddle
mengutip Kisah Rasul 17: 25: “Tuhan mem-berikan
kepada semua: kehidupan, napas, dan segalanya.”
8.
Dia
yang berubah tempat bukanlah Tuhan.
Roh Kudus
berubah tempat.
Oleh sebab itu,
Roh Kudus bukan Tuhan.
Lebih lanjut,
Biddle menjelaskan silogisme ini dengan kata: “Jika Tuhan berubah tempat, maka
Dia tidak berada di tempat sebelumnya. Dan Dia berada ditempat yang sebelumnya
tidak ditempatinya. Hal ini bertentangan dengan kekuasaan dan ketuhanan-Nya.
Oleh sebab itu, bukanlah Tuhan yang datang kepada Yesus tetapi seorang malaikat
yang membawa pesan atas nama Tuhan.”
9.
Dia
yang berdoa kepada Kristus untuk menetapkan keputusan hukum bukanlah Tuhan.
Roh Kudus
melakukan hal tersebut.
Oleh sebab itu,
Roh Kudus bukan Tuhan.
10.
Dalam
surat kepada orang-orang Roma 10: 14 berbunyi: “Bagaimana mereka akan percaya kepadanya yang mereka tidak pernah
mendengarnya. Dia yang tidak dipercayai orang-orang, dan bahkan para murid juga
tidak percaya.”
Dia yang tidak
dipercayai bukan Tuhan.
Orang-orang
tidak percaya kepada Roh Kudus, bahkan para murid.
Oleh sebab itu,
Roh Kudus bukan Tuhan.
11.
Dia
yang mendengar dari Tuhan (melalui) tangan kedua, melalui Yesus Kristus. Apa
yang akan diucapkan pasti memiliki pengertian yang berbeda dari Tuhan.
Roh Kudus
melakukan hal tersebut.
Oleh sebab itu,
Roh Kudus bukan Tuhan.
12.
Dia
yang memiliki suatu kehendak yang berbeda jumlahnya dari keinginan Tuhan
bukanlah Tuhan.
Roh Kudus
memiliki kehendak yang berbeda jumlahnya dari (keinginan) Tuhan.
Oleh sebab itu,
Roh Kudus bukanlah Tuhan.
Di sinilah
Biddle mengutip Roma 8: 26-27 yang berbunyi: “Begitu juga Roh Kudus juga membantu. Karena kita tidak mengetahui
bagaimana kita seharusnya berdoa, tetapi Roh Kudus membuat perantaraan bagi
kita dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Dia
membuat peran bagi para orang suci menurut kehendak Tuhan.”
Biddle juga membahas salah satu ayat dalam Perjanjian Baru yang dikutip Gereja Resmi untuk mendukung pandangan Trinitas mereka. Ayat tersebut adalah Johanes 5: 7 yang ber-bunyi: “Karena terdapat tiga yang bersemayam di surga, Bapak, Firman, dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.” Biddle menyatakan bahwa ayat tersebut bertentangan dengan akal sehat. Ayat ini bertentangan dengan ayat-ayat lainnya dalam kitab-kitab suci, dan ayat ini hanya menandakan kesatuan kehendak dan kesepakatan tetapi bukan kesatuan esensi. Lebih dari itu, ayat tersebut tidak pernah tampak pada salinan-salinan Injil dalam bahasa Yunani kuno. Juga tidak ada pada terjemahan-terjemahan Injil Syria. Juga tidak ada pada edisi-edisi Injil Latin yang paling kuno sekalipun. Oleh sebab itu, tampaknya ayat tersebut telah diselipkan, dan telah ditolak oleh para penafsir kuno maupun modern.
Di samping kitab
“Kisah Rasul” pada tahun 1648, Biddle
menerbitkan dua makalah lainnya, dan mungkin dia telah digantung kalau saja
tidak ditolong oleh sejumlah anggota parlemen yang independen. Salah satu
makalah tersebut berjudul “A Confession
of Faith Touching the Holy Trinity According to the Scripture”. Makalah ini
terdiri dari enam bagian. Masing-masing didukung oleh bagian-bagian dari Bibel
dan didukung dengan argumen-argumennya sendiri. Pada kata pengantar, dengan
beraninya ia berbicara tentang kejahatan-kejahatan yang diakibatkan keimanan
doktrin Trinitas. Dia menyatakan bahwa argumen-argumen yang digunakan oleh
orang-orang Trinitarian tersebut “lebih
sesuai bagi tukang sulap daripada orang-orang Kristen”. Di bawah ini adalah
suatu kutipan dari makalah karya Biddle, “Confession
of Faith”:
Saya beriman kepada Tuhan yang Maha Tinggi, Pencipta
langit dan bumi dan penyebab pertama dari segala sesuatu dan yang menjadi
tujuan akhir keimanan kita. Sedangkan Yesus memiliki perasaan persahabatan
terhadap kelemahan-kelemahan kita dan menjadi sangat siap untuk membantu kita.
Dia hanyalah manusia biasa.
Dia tidak sebanding dengan Tuhan. Dan dia bukan
Tuhan yang lain. Tidak terdapat dua Tuhan.
Roh Kudus adalah malaikat yang karena kemuliaan dan kedekatannya kepada Tuhan, dipercaya untuk menyampai-kan pesan-Nya.
Karya lain yang
diterbitkan oleh Biddle pada masa tersebut berjudul “The Testimonies of Iraneus, Justis Martyr, etc. Concerning One God and
Persons of the Holy Trinity”.
Setelah menunggu
lama dalam penjara, seorang hakim menebusnya dengan uang jaminan, dan dia
dibebaskan. Nama hakim tersebut dirahasiakan karena ia takut terhadap kesela-matannya.
Biddle tidak menikmati kebebasannya begitu lama. Ia dijebloskan lagi ke dalam
penjara. Tak lama setelah itu hakim tersebut meninggal, dan meninggalkan
sedikit warisan untuk Biddle. Warisan itu segera habis karena biaya penjara
yang sangat tinggi, dan untuk beberapa waktu makanan Biddle dikurangi sampai
jumlah yang sangat sedikit yang terdiri dari susu pada waktu pagi dan malam.
Keadaannya agak membaik ketika sebuah penerbit di London mempekerjakannya
selama ia masih dalam penjara sebagai seorang pentashih edisi baru Septuaginta (terjemahan Bibel dalam
bahasa Yunani). Pada tanggal 16 Februari 1652, The Act of Oblivion (Undang-undang Pengampunan) dikeluarkan dan
Biddle dibebaskan. Sebuah versi Inggris dari buku Racovian Cathechism
(Tanya-Jawab Racovian) dicetak di Amsterdam, dan buku tersebut secara luas
dibaca di Inggris. Selama periode kebebasan tersebut, Biddle bertemu dengan
orang-orang Unitarian lainnya setiap minggu untuk berbakti kepada Tuhan dengan
cara mereka. Mereka yang hadir dalam kebaktian ini tidak mengimani konsep dosa
asal dan doktrin penebusan dosa. Pada tanggal 13 Desember 1654, Biddle yang
baru saja menerbitkan dua buku tanya-jawab keagamaan Kristen lagi-lagi
ditangkap dan dikirim ke penjara. Dia dilarang menggunakan pena, tinta, dan
kertas serta dila-rang untuk menerima pengunjung. Semua buku-buku karyanya
diperintahkan untuk dibakar. Dia mengajukan banding, dan dibebaskan pada
tanggal 28 Mei 1655.
Tidak berselang
lama sebelum Biddle bentrokan untuk ke sekian kalinya dengan pihak penguasa,
sebuah perdebatan umum tengah berlangsung. Pembicaraan memulai perdebatan
dengan menanyakan kepada mereka yang hadir barangkali ada yang menolak bahwa
Kristus adalah Tuhan yang Maha Tinggi. Secara spontan dan tegas, Biddle
menyatakan: “Saya menolaknya!” Pada
saat ia mendukung pernyataan tersebut dengan argumen-argumen yang tidak bisa
dibantah oleh lawan-lawannya, maka diputuskan untuk menghentikan perdebatan
yang sedang berlangsung itu dan melanjutkannya pada hari lain. Kemudian Biddle
dilaporkan kepada pihak penguasa, dan sebelum hari yang telah ditentukan untuk
melanjutkan perdebatan, sekali lagi Biddle ditangkap dan dijebloskan ke
penjara. Pada awalnya, Biddle tidak diperbolehkan didampingi pembela. Mungkin
pada saat itu tidak ada hukum yang bisa dikenakan pada tuduhan tersebut.
Sahabat-sahabatnya yang sepenuhnya menyadari kebobrokan ini, memutuskan untuk
mendekati Cromwell secara langsung. Mereka menulis sebuah petisi dan
mengirimkannya kepada Cromwell. Sebelum sampai ke tangan Cromwell, petisi itu
telah dirubah dan dirancukan, sehingga penulisnya secara terbuka tidak
mengakuinya dan menyatakan hal tersebut sebagai sebuah pemalsuan.
Cromwell yang
telah mencapai puncak kecerdikannya, me-nemukan jalan keluar dari masalah yang
pelik tersebut dengan mengasingkan Biddle ke kepulauan Scilly pada tanggal 5 Oktober 1655. Dia harus berada di bawah
pengawasan pengadilan di Puri St. Maria selama sisa hidupnya, dan diberi
tunjangan negara sebanyak 100 crown (pecahan mata uang Inggris masa lalu)
setiap tahun. Selama masa pengasingannya, Biddle menulis sebuah syair sebagai
berikut:
Perjamuan telah
dibuka, sang hakim pun telah duduk,
Manusia telah
menaiki singgasana Tuhan
Dan mereka
memutus perkara dari sana,
Hingga
meninggalkan dia kesepian.
Oh, saudaraku.
Mereka telah lacur
Dan menindas kebenaran pikir yang sangat luhur.
Semakin dia
menderita, semakin yakin dia akan kesalahan-kesalahan agama yang didukung Gereja
Resmi tersebut. Thomas Firmin yang
pernah membantu Biddle di masa lalu tetap membantunya dengan memberikan uang
yang memungkinkan kehidupannya di penjara lebih ringan. Sementara itu simpati
mengalir secara luas untuk Biddle. Semakin dia menderita, maka semakin terkenal
ajarannya. Pemerintah meminta Dr. John
Owen untuk menyerang balik pengaruh ajaran Biddle tersebut. Setelah melakukan
survey, Owen menemukan kenyataan bahwa sejumlah besar orang-orang Inggris
adalah penganut Unitarianisme, dan kemudian ia menerbitkan sebuh jawaban
terhadap Biddle pada tahun 1655. Dari sudut lain, tindakan-tindakan Cromwell
telah membantu Biddle. Dengan didukung dana pemerintah, Biddle tidak terjangkau
msuh-musuhnya dan bisa menghabiskan waktunya untuk merenung dan berdoa. Dia
tetap sebagai tawanan di Puri St. Maria sampai tahun 1658. Dia dibebaskan
kembali karena adanya tekanan yang semakin kuat dari masyarakat.
Begitu ia keluar
dari penjara, ia mulai menyelenggarakan pertemuan-pertemuan umum di mana dalam
pertemuan terse-but ia mengkaji kitab-kitab suci Injil untuk membuktikan
keesaan Tuhan dan memperlihatkan kesalahan doktrin Trinitas.
Pertemuan-pertemuan ini berkembang menjadi wahana kebakti-an Unitarian secara
teratur menurut keimanan mereka. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya di
Inggris.
Pada tanggal 1
Juni 1662, Biddle sekali lagi ditangkap bersama-sama dengan sahabat-sahabatnya
di tengah-tengah salah satu pertemuan mereka. Mereka semua di penjara dan uang
tebusan ditolak. Tidak ada undang-undang yang bisa dikenakan untuk menghukum
mereka, maka mereka dituntut atas dasar undang-undang umum (Common Law). Biddle dikenai tuntutan
100 poundsterling dan diputuskan tetap tinggal di penjara sam-pai ia bisa
membayarnya. Sahabat-sahabat seimannya dimintai sumbangan masing-masing 20
poundsterling. Biddle telah diperlakukan begitu buruk di penjara dan dikurung
di ruang secara sendirian. Hal ini, bersama dengan buruknya kondisi udara di
penjara, telah menyebabkan penyakit yang membawa kematiannya kurang dari lima
minggu setelah keluar dari penjara. Dia wafat pada tanggal 22 September 1662.
Kematian Biddle
bersamaan dengan lahirnya Undang-undang Penyeragaman (Act of Uniformity) yang dikeluarkan pada tahun yang sama. Yang
berarti bahwa peribadatan umum yang mengikuti Biddle tidak boleh dilakukan. Di
bawah Un-dang-undang No. 2, 257 para pendeta dirubah dari kehidupan mereka.
Nasib mereka tidak diketahui. Tetapi diketahui bahwa sekitar 8.000 orang
meninggal di penjara karena menolak doktrin Trinitas selama era “khusus” di Inggris tersebut. Pengarang
buku Memoar Biddle yang ditulis
sekitar duapuluh tahun setelah kematiannya, lebih suka memakai nama samaran
untuk keselamatannya. Tetapi Unitarianisme tetap menjadi sebuah madzhab
pemikiran dan para penganutnya terus berkembang. Penggunaan cara-cara kekuasaan
untuk mengembalikan orang kepada Gereja Resmi justru membantu banyak orang
untuk mengikuti ajaran-ajaran Socianus dan Biddle, dan banyak pemikir terkemuka
pada masa itu, termasuk Milton, Sir
Isaac Newton dan John Locke,
membenarkan keesaan Tuhan.
Tingkat
kesungguhan pihak penguasa untuk menghapus-kan ajaran Unitarianisme bisa diukur
dari undang-undang yang mereka keluarkan. Sebuah undang-undang tahun 1664
mengu-tuk semua orang yang terbukti menolak untuk pergi ke sebuah Gereja Resmi
dengan hukuman pembuangan. Jika orang yang dibuang tersebut kembali, maka akan
digantung. Juga terdapat hukuman bagi siapa saja yang menghadiri pertemuan
keagama-an yang terdiri dari lima orang atau lebih yang tidak diberi wewenang
oleh gereja. Bagi siapa saja yang melakukan pelang-garan ini dua kali, maka
mereka akan dibuang ke Amerika. Jika
ia kembali ke Inggris atau melarikan diri, akan dijatuhi hukuman mati tanpa
mendapat “pengampunan” pendeta dari Gereja Resmi. Undang-undang Pengujian (Test Act) tahun 1673 menyatakan bahwa
di luar dari hukuman yang telah ditentukan pada Undang-undang tahun 1664,
setiap orang yang tidak mau menerima sakramen
(pengampunan gereja) menurut tata cara Gereja Resmi Inggris, akan dikenai
sanksi tidak bisa lagi meng-gugat seseorang atau bertindak di dalam pengadilan
hukum negara. Dia tidak boleh menjadi pelindung (pemelihara) anak, atau
menerima warisan ataupun pemberian. Jika seseorang terbukti bersalah menurut
undang-undang ini dan berusaha melakukan larangan-larangan tersebut, maka
mereka bisa dikenakan denda 500 poundsterling. Pada tahun 1689, Undang-undang
Toleransi (Tolerance Act) di
keluarkan. Akan tetapi, toleransi tersebut tidak berlaku bagi mereka yang tidak
menerima doktrin Trinitas. Orang-orang Unitarian mengutuk ketidaktoleransian
undang-undang tersebut. Parlemen menja-wabnya dengan mengutuk Unitarianisme
sebagai suatu bid’ah yang menjijikkan.
Hukuman bagi “kejahatan” ini adalah dicabutnya semua hak sipil dan kurungan
penjara selama tiga tahun. Tetapi apa yang telah dipertahankan Biddle tidak
bisa dilenyapkan dari hati manusia dengan undang-undang semata, sekalipun
undang-undang tersebut menghalangi banyak orang untuk menjalankan keimanan
mereka secara terbuka. Mereka yang tidak berani melanggar undang-undang
tersebut dan tidak berani mengutuk doktrin Trinitas, berupaya dengan berbagai
cara untuk menyembunyikan keyakinan mereka yang sebenar-nya. Bahkan mereka
seringkali terpaksa mengikuti ajaran “lawan-lawan”
mereka dan sekaligus “mengejek”
doktrin mereka sendiri. Tetapi ada juga yang berani “menyerempet” bahaya. Seorang pendeta sebelum membaca doktrin
Trinitas yang diha-ruskan oleh undang-undang, mengatakan, “Saudara-saudara, ini
adalah ajaran St. Athanasius. Tetapi Tuhan melarang doktrin ini menjadi ajaran
orang-orang lain”. Tetapi secara keseluruh-an, mereka yang
meyakini doktrin keesaan Tuhan secara umum tidak berani menyatakan keimanan
mereka secara terang-terangan.
MILTON (1608-1674)
Milton yang hidup sezaman dengan Biddle dan banyak mengikuti pandangan-pandangannya, tidaklah “sekeras” Biddle. Karena menghindari “ruang penjara”. Dalam jilid kedua pada karyanya yang berjudul “Treatise of True Religion”, ia menga-takan “Orang-orang Arian dan Socian dituduh menentang Trinitas. Mereka menjalankan kepercayaan tentang Bapak, Anak, dan Roh Kudus menurut kitab suci dan ajaran Apostolik. Karena istilah Trinitas bisa berarti tiga kesatuan, esensi (Co-Essenti-ality), dan tiga kepribadian (Tri-Personality). Mereka menolak istilah-istilah tersebut sebagai pandangan-pandangan Scholas-tic yang tidak ditemukan pada kitab suci Injil. Dengan pedoman kepada kitab suci itu, dasar ajaran Protestan secara umum adalah sederhana dan secara jelas bisa dipahami maknanya dari kata-kata yang terdapat pada teks kitab suci secara langsung. Sungguh masalah ini menjadi suatu misteri dalam kerumitan sophistic (penalaran secara filosofis) mereka, tetapi dalam doktrin kitab suci adalah sederhana dan jelas.”
Di buku lain, ia lebih langsung menyerang hirarki gereja. Dia menyatakan bahwa kekuasaan yang dipegang oleh para Paus, Dewan (gereja), Uskup, dan Presbyter (Ketua Uskup) yang diklasifikasikan ke dalam bentuk tirani paling menjengkelkan. Dia melanjutkan, “Semua beban peraturan, upacara gereja, dan doktrin adalah suatu campur tangan yang semena-mena terha-dap kebebasan.”
Milton tidak secara terang-terangan menentang kekuasaan sipil negara. Tetapi ia menyimpannya sebagai suatu protes menentang kefanatikan dan kekakuan Gereja Resmi. Sebagai-mana sejumlah intelektual terkemuka lainnya, ia berhenti pergi ke gereja. Dr. Johnson mengatakan pendapatnya tentang Milton, “Dia tidak berhubungan dengan kesatuan jama’ah Protestan mana pun. Kita justru lebih mengetahui hal-ihwalnya yang bukan sebenarnya. Dia bukan anggota Gereja Roma. Dia bukan anggota Gereja Inggris. Milton menjadi dewasa tanpa kebaktian yang jelas. Dalam menghabiskan waktunya, tidak ada waktu baginya untuk berdoa, kerja, dan perenungannya adalah suatu doa baginya.”
Jelas terlihat
bahwa Dr. Johnson tidak mengetahui adanya suatu buku yang ditulis Milton dan
ditemukan hampir 150 tahun setelah kematiannya pada tahun 1823. Manuskrip terse-but
ditemukan pada kantor Arsip Negara di While
Hall dan berjudul “A Treatise
Relating to God”. Buku tersebut ditulis pada waktu ia menjadi sekretaris
Cromwell untuk bahasa Latin, dan sudah pasti buku tersebut tidak dimaksudkan
untuk diter-bitkan semasa Milton hidup.
Dalam buku I
bagian II, Milton menulis tentang sifat-sifat Tuhan dan terutama tentang
keesaan Tuhan:
Sekalipun tidak
sedikit yang menolak keberadaan Tuhan,
“Karena orang yang bodoh mengatakan di
hatinya tidak ada Tuhan”, Mazmur 14: 1, tetapi rasa ketuhanan telah diletak-kan
dalam jiwa manusia sehingga tanda-tanda keberadaan diri-Nya tidak bisa
dibantah. Jejak-jejak kreativitas-Nya tampak jelas melalui keseluruhan alam
sehingga tak seorang pun bisa mengabaikan kebenaran tersebut. Tidak ada keraguan
bahwa segala sesuatu di dunia dengan keindahan keteraturannya dan kepastian
dari suatu tujuan yang lestari dan mendatangkan manfaat tersebut, membuktikan
bahwa suatu kekuatan Maha hebat harus asa, di mana dengan kekuatan tersebut
keseluruhan jagat raya diatur untuk suatu tujuan yang pasti.
Akan tetapi tak seorang pun bisa memiliki pemikiran
yang benar tentang Tuhan dengan bukti alam, atau akal semata sebagai
pembimbingnya, terlepas dari firman atau pesan Tuhan. Oleh sebab itu, Tuhan
telah menjadikan suatu wahyu yang begitu jelas tentang diri-Nya, sehingga akal
kita mampu menerimanya atau dengan menunjukkan kelemahan dalam jagat kita yang
bisa di nalar. Pengetahuan tentang ketuhan-an semacam itu sangat penting bagi
penyelamatan manusia, sehingga Dia dengan kehendak-Nya dan kebajikan-Nya
berkenan untuk menampakkan secara melimpah dan jelas. Nama-nama dan sifat-sifat
Tuhan memperlihatkan sifat-Nya dan juga kekuatan ketuhanan-Nya serta
keutamaan-Nya.”
Milton kemudian
mencantumkan beberapa sifat Tuhan: Kebenaran, Roh (Aku adalah Aku), Maha Luas
dan Tak Terba-tas, Kekal, Lestari, tidak mengalami kerusakan, Maha Hidup, Maha
ada di mana-mana, Maha Kuasa, dan Maha Esa dengan menyatakan bahwa sifat
terakhir tersebut “merupakan keharus-an sifat dari semua sifat-sifat
sebelumnya”. Milton kemudian mencantumkan bukti-bukti berikut yang dikutip dari
Bibel:
Jehovah, Dia adalah Tuhan. Tidak ada (Tuhan) selain
Dia.
(Ulangan 4: 35)
Jehovah, Dia adalah Tuhan di langit atas dan bumi di
bawah. Tidak ada Tuhan selain Dia. (Ulangan 5: 39)
Agar semua penduduk bumi mengetahui bahwa Jehovah
adalah Tuhan dan tidak ada selain-Nya. (Raja-raja I 8: 60)
Engkau adalah Tuhan. Hanya Engkau yang Esa (yang
menguasai) kerajaan di bumi. (Raja-raja II: 19: 15)
Apakah ada Tuhan selain Aku? Ketahuilah, tidak ada
Tuhan (selain Aku).
(Yesaya 44: 8)
Mengomentari
ayat tersebut di atas, Milton mengatakan “bahwa
tidak ada Roh, Pribadi, zat selain Dia, karena kata-kata ‘tidak satupun’ adalah
suatu negasi (peniadaan) secara
menye-luruh”.
Aku adalah Tuhan. Tidak ada satu pun selain Aku. Aku
adalah Tuhan. Tak satu pun yang menyerupai Aku. (Yesaya 46: 9)
Milton
melanjutkan ulasannya,
Ayat-ayat Bibel lebih mudah, lebih jelas, lebih
sesuai bagi pemahaman umum dan menekankan bahwa hanya terdapat Tuhan yang Esa
secara bilangan dan Roh yang Esa dalam pengertian umum dari kesatuan numeric
(bilangan)? Pema-haman semacam ini adalah kebenaran yang sesuai dan bisa
diterima akal, sehingga manusia yang awam pun dituntut untuk sangat
berhati-hati dalam beribadah, agar tidak ada keraguan atau kerancuan pernyataan
yang bisa menyebab-kan mereka terjatuh ke dalam kesalahan atau keraguan. Oleh
sebab itu, orang-orang Israel di bawah hukum dan Nabi-nabi mereka selalu
memahaminya dengan arti bahwa Tuhan secara bilangan adalah Esa, tak ada
selain-Nya.
Tetapi bagi kaum penganut filsafat Yunani dengan
melalui keyakinan pada kepandaiannya, atau dapat dikatakan melalui
argumentasi-argumentasi yang penuh kontradiksi, mereka memerangi ajaran keesaan
Tuhan dengan berpura-pura menegaskan keesaan itu.
Tetapi dengan memperhatikan kepada kemahakuasaan
Tuhan, yang secara universal diakui, sebagaimana yang telah dinyatakan
sebelumnya, maka ia tidak bisa berbuat apapun terhadap kontradiksi argumennya.
Maka harus selalu diingat bahwa tidak ada yang bisa dikatakan tentang Tuhan
yang Esa tetapi tidak selaras dengan kesatuan-Nya. Dan pada waktu yang sama,
menyadarkan sifat-sifat kesa-tuan dan keberagaman kepada-Nya. Markus 12: 29-32
menjelaskan: “Dengarlah wahai Israel, Tuhan kita adalah Tuhan yang Esa”. Maka
ahli Taurat tersebut mengatakan, “Baiklah, wahai guru. Engkau telah berkata
benar karena hanya terdapat Tuhan yang Esa, dan tidak ada Tuhan selain Dia.”
Milton kemudian
membahas tentang sifat dari Roh Kudus. Injil tidak memberikan penyataan apa-apa
tentang sifat, cara keberadaannya, dan dari mana asalnya. Milton melanjutkan:
Sangat tidak masuk akal untuk tidak mengatakan
tentang bahaya dari masalah yang begitu pelik, sehingga orang-orang Kristiani
dipaksa menerima doktrin yang dianggap oleh para pembelanya sebagai suatu
ajaran yang sangat mendasar dan pasti, atau sesuatu yang sama jelasnya dengan
kesaksian kitab suci. Sekalipun bertentangan dengan akal, tetapi harus dianggap
sebagai sesuatu yang “mudah” bagi nalar.
Kemudian Milton membuat kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari pengetahuannya tentang Bibel: Roh Kudus bukan yang Maha Tahu. Roh Kudus bukan yang Maha Ada. Tidak bisa dikatakan bahwa Roh Kudus melaksanakan karya (firman) Tuhan maka ia bagian dari Tuhan. Jika memang demikian, lantas mengapa Roh Kudus disebut The Comforter (yang lebih kuat), yang akan datang sesudah Yesus, yang tidak berbicara atas kehendak dirinya atau atas namanya, dan untuk itu kekuatannya adalah merupakan pemberian (Yohanes 16: 7-14). Sehingga menjadi jelas mengapa mereka tidak menerima istilah “The Comforter” dalam pengertiannya yang paling jelas sebagai seorang Nabi yang akan datang setelah Yesus. Tetapi justeru menyebutnya Roh Kudus dan bahkan menyebutnya Tuhan yang menyebabkan kebingungan tanpa akhir.
Milton
sependapat dengan Arius bahwa Yesus tidak kekal. Dia menyatakan bahwa dalam
kekuasaan, Tuhanlah yang berhak menciptakan atau tidak menciptakannya. Dia
menyim-pulkan bahwa Yesus dilahirkan “dari
dalam batas-batas waktu”. Adalah sia-sia untuk bisa menemukan bagian dari
Injil yang mendukung “penurunan Yesus
yang abadi”. Hipotesa yang menyatakan bahwa Yesus, sekalipun secara pribadi
dan bilang-an adalah sesuatu yang lain, tetapi secara esensial adalah satu
dengan Tuhan, adalah merupakan hal yang aneh dan meng-gelikan bagi nalar. Dogma
ini tidak saja merusak akal tetapi juga bertentangan dengan bukti dari Injil.
Milton sepakat dengan “orang-orang Israelis” yang menyatakan bahwa Tuhan adalah
Esa dan hanya Tuhan yang Esa. Hal ini begitu gamblang sehingga tidak butuh
penjelasan, bahwa Tuhan semata yang merupakan Tuhan yang Ada dengan
sendiri-Nya. Dan bahwa sesuatu zat yang tidak bisa ada dengan sendirinya
bukanlah Tuhan. Dia menyimpulkan:
Adalah mengherankan hal-hal yang rumit atau lebih tepat hasil rekaan orang-orang tertentu yang secara licik berupaya mengaburkan makna yang tegas dari kitab-kitab suci.
Milton
menyatakan bahwa Roh Kudus adalah lebih rendah derajatnya baik dibanding Tuhan
maupun Yesus. Karena tugas-tugasnya adalah membawa pesan dari yang Satu kepada
yang lain. Atas kehendaknya sendiri ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menyerah
dan mematuhi Tuhan dalam segala hal. Dia diutus Tuhan dan tidak diberi hak
untuk berbicara atas nama dirinya sendiri.
Milton merasa
tidak bisa menyatakan pandangan-pandang-annya secara terang-terangan. Karena
hal tersebut bisa memba-hayakan keselamatan dirinya, dan bisa mengantarkan
dirinya kepada apa yang dialami Biddle dan orang-orang sepertinya. Pada tahun
1611, pada masa hidup Milton, terdapat dua orang yang bernama Mr. Legatt dan Mr. Wightman, di bakar hidup-hidup dengan restu raja. Karena mereka
menolak doktrin Trinitas: Bapak, Anak, dan Roh Kudus, dalam kesatuan Tuhan.
Mereka menegaskan bahwa Yesus Kristus bukanlah anak Tuhan dalam pengertian yang
sesungguhnya, atau pun memiliki substansi yang sama, kekekalan, dan kemuliaan
yang sama dengan Bapak dari pandangan ketuhanan-Nya; dan Yesus Kris-tus adalah
manusia biasa dan semata-mata seorang makhluk. Tidak ada Tuhan dan manusia yang
bersama-sama berada dalam pribadi yang sama. sikap diam Milton semasa hidupnya
tentu bisa dipahami dengan berdasarkan kenyataan tersebut di atas.
JOHN LOCKE (1632-1704)
John Locke yang
sangat terkenal dengan teorinya tentang Kontrak
Sosial, juga seorang yang memegang teguh pandang-an-pandangan Unitarian. Tetapi
ia takut secara terang-terangan untuk menyatakannya. Dalam satu keadaan, dia
dipaksa me-ninggalkan Inggris akibat dari pandangan-pandangan politisnya.
Setelah kembali pasca revolusi pada tahun 1688, ia meyakinkan bahwa dia tidak
secara langsung menggugat kekuasaan-kekua-saan gereja. Karena takut terhadap
penyiksaan lebih lanjut. Sekalipun tulisannya yang mendukung kemerdekaan akal
tidak disukai gereja dan tulisan-tulisannya harus diterbitkan dengan nama
samaran, tetapi diketahui bahwa ia telah mengkaji ajaran-ajaran dari para murid
awal Yesus dan tidak menemu-kan pembenaran terhadap doktrin Trinitas. Dia
adalah sahabat kental Newton dan
sudah pasti membahas masalah tersebut yang merupakan masalah yang paling
mendatangkan pertikaian dengannya. Le
Clere, seorang sahabat Locke dan Newton, mengamati bahwa tidak ada
kontroversi yang pernah ditanggapi dengan begitu ahli di satu sisi, dan di sisi
lain begitu disalah-artikan, keraguan, dan pengabaian daripada masalah
Trinitas. Terdapat suatu riwayat yang menyatakan bahwa istilah-istilah dalam
Undang-undang Toleransi tahun 1689 adalah hasil pengaruh John Locke.
SIR ISAAC NEWTON (1642-1727)
Kehidupan Newton
yang penuh warna-warni telah dirang-kum oleh Paus dalam bentuk syair Inggris
yang terkenal dengan kata-kata berikut:
Alam dan hukumnya tersembunyi dalam gelapnya malam, dan Tuhan berfirman, “Biarlah Newton lahir” dan semuanya jadi terang-benderang.”
Akan tetapi
Newton adalah orang yang merasakan bahwa bukan sikap yang bijaksana untuk
menyatakan keyakinan-keyakinannya secara terang-terangan. Pada tahun 1690, ia
mengirimkan sebuah paket kecil kepada John Locke yang berisi catatan-catatannya
tentang penyelewengan teks-teks Perjanjian Baru dengan merujuk kepada Surat
Kiriman Johanes I 5: 7 dan Timotius I 3: 16. Dia berharap agar John Locke bisa
menerjemahkan catatan-catatan tersebut ke dalam bahasa Perancis dan
menerbitkannya di Perancis. Karena sangat berbahaya untuk diterbitkan di
Inggris. Catatan-catatan tersebut berjudul “An Historical Account of Two Notable Corruption of Scripture”
(Sebuah Catatan Sejarah tentang Dua Penyelewengan Pokok terhadap Kitab Suci).
Pada tahun 1692, sebuah upaya dilaku-kan untuk menerbitkan sebuah terjemahan
Latin dari buku tersebut dengan nama samaran. Ketika Newton mendengar hal ini,
ia meminta Locke untuk mengambil langkah-langkah untuk menghalangi penerbitan
tersebut. Sebab ia merasa waktunya tidak tepat.
Dalam buku
“Historical Account”, Newton mengatakan dengan merujuk kepada Johanes 5: 7,
Pada semua kontroversi yang menyeluruh dan tidak ada
akhirnya tentang Trinitas pada masa Jerome, baik sebelum dan lama sesudahnya,
teks tentang “Tiga di Surga” ini tidak pernah sekali terpikirkan. Tetapi saat
ini masalah tersebut dibicarakan setiap orang dan menilai teks utama tersebut
demi kepentingan bisnis dan karena hal tersebut akan berlaku juga bagi mereka.
Demikian juga dengan buku-buku mereka.
Dia melanjutkan,
Bagi mereka yang mampu, biarlah mereka mengambil kebaikan dari kontroversi tersebut. Untuk saya sendiri, saya tidak bisa mengambil apa-apa darinya. Jika dikatakan bahwa kita tidak boleh menentukan maksud dari kitab suci dan apa yang tidak bisa ditentukan oleh penilaian-penilaian kita, maka saya mengatakan bahwa bukanlah tempatnya untuk dipertentangkan. Tetapi pada bidang-bidang yang di-pertentangkan, saya menyukai untuk mengambil apa yang paling saya mengerti. Adalah sikap keras dan sisi tahayul dari manusia dalam masalah-masalah agama menjadi bukti mistri-mistrti tersebut. Orang-orang seperti itu mungkin bisa menggunakan Rasul Johanes jika mereka suka. Tetapi karena saya menghormatinya, maka saya mengimani bahwa menulis pandangan yang baik dan untuk itu saya mengambil sisi terbaiknya.
Menurut Newton,
ayat ini terlihat pertam akali pada edisi ketiga dalam bagian Erasmus dari
Perjanjian Baru. Dia yakin bahwa sebelum publikasi edisi ini, “teks palsu” tersebut tidak ditemukan di
Perjanjian Baru: “Pada saat mereka memasukkan Trinitas ke dalam edisinya,
mereka melempar manuskripnya. Jika mereka punya, sebagai sebuah penanggalan
yang telah usang. Dan bisakah cara-cara yang berantakan tersebut memuaskan
manusia-manusia yang menggunakan akal sehat?” Dia melanjutkan, “Lebih merupakan
suatu bahaya bagi agama daripada suatu keuntungan untuk bersandar pada ‘tiang’
yang rapuh.”
Dengan merujuk kepada I Timotius 3: 16, Newton mengata-kan: “Pada semua masa dari kontroversi Arian yang panas dan tidak ada akhirnya, tidak pernah disinggung. Mereka membaca “Tuhan telah berwujud dalam daging” berpikir bahwa itu adalah salah satu teks (Injil) yang paling jelas dan tepat bagi kepenting-an bisnis.”
Newton menetang
terhadap penafsiran kiasan dan mendua dari Perjanjian Lama. Dia tidak memandang
semua kitab-kitab dari Injil memiliki otoritas (kekuatan periwayatan) yang
sama. menurut Whiston, Newton juga menulis sebuah disertasi ten-tang dua teks
Injil yang telah dicoba untuk diselewengkan oleh Athanasius. Tetapi saat ini,
buku tersebut tidak ada lagi jejaknya.
Pada akhirnya,
Newton harus mengatakan:
Kata-kata “Deity” memiliki penggunaan kekuasaan terhadap zat-zat yang lebih rendah. Dan kata-kata “God” selalu berarti Lord. Setiap kata Lord bukan berarti God. Penggunaan kekuasaan dalam sebuah makhluk spiritual merupakan “suatu” Tuhan. Jika kekuasaan-kekuasaan tersebut palsu, maka ia adalah Tuhan palsu, jika kekuasaan tersebut Maha Tinggi, maka Dia adalah Tuhan yang Maha Tinggi, maka Dia adalah Tuhan yang Maha Tinggi.
THOMAS EMLYN (1663-1741)
Thomas Emlyn
dilahirkan pada 27 Mei 1663. Dia pergi ke Cambridge
pada tahun 1678. Dan setelah menyelesaikan studi-studinya di Cambridge, ia
kembali ke Dublin, dan segera
men-jadi seorang pengabar (Injil) yang terkenal. Pendeta Prebysterian (gereja yang
tidak mau bergabung dengan Gereja Resmi) ini melakukan pengabarannya yang
pertama kali pada tahun 1682. Dan sepuluh tahun kemudian, reputasinya sebagai
seorang pengabar yang baik semakin bertambah. Sekitar tahun 1702, seorang
jemaatnya mengetahui bahwa Emlyn menghindari penggunaan pernyataan-pernyataan
dan argumen-argumen yang biasanya selalu digunakan untuk mendukung dogma Trinitas.
Hal ini menyebabkan dia ditanya tentang pandangan-nya terhadap Trinitas. Karena
ia ditanya secara langsung, maka Emlyn terpaksa menyatakan
pandangan-pandangannya secara terang-terangan dan tanpa sembunyi.
Dia mengakui
mengimani Tuhan yang Esa. Dia menyatakan bahwa Tuhan adalah Esa dan zat yang
Maha Tinggi, dan Yesus menerima semua wewenang dan kekuatannya dari Dia semata.
Dia menambahkan bahwa jika jemaatnya menganggap pandangan-pandangannya
“menjengkelkan”, maka ia sungguh-sungguh ingin meletakkan jabatannya dan
memungkinkan mereka untuk memilih seorang pendeta yang mendukung
pendapat-pendapat mereka. Sebagian besar jemaatnya tidak menginginkan hal
tersebut. Tetapi keadaan sedemikian rupa membuat ia harus mundur. Dia
disarankan pergi ke Inggris untuk sementara waktu sampai masalah tersebut
menjadi tenang. Dia melakukan nasehat tersebut.
Setelah tinggal
di Inggris selama sepuluh minggu, ia kem-bali ke Dublin untuk mengumpulkan
keluarganya dan mem-bawanya ke Inggris. Sebelum ia melakukannya, ia ditangkap
pada tahun 1703 dan dituduh melakukan bid’ah. Dia terbukti bertanggung jawab
karena menerbitkan buku tentang Unita-rianisme yang berjudul “An Humble Inquiry into Scripture Account of
Jesus Christ”, dan buku ini memberikan bukti yang mereka butuhkan. Buku
tersebut secara pokok berdasar pada teks dari Injil Yohanes 14: 28 di mana
Yesus mengatakan, “Bapak lebih besar dari
aku.” Emlyn berusaha untuk menetap-kan bahwa Yesus adalah seorang perantara
antara manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, dalam suatu cara yang cerdik, ia
memisahkan Yesus dari Tuhan. Dan untuk itu meng-hancurkan ide tentang Trinitas.
Karena kesulitan yang dialami para lawannya dalam me-lontarkan tuduhan terhadapnya, maka persidangan ditangguh-kan beberapa bulan, dan ia tetap mendekam dalam penjara. Pada akhirnya persidangan dibuka, seorang “yang terhormat dengan jubah panjang” memberitahu kepada Emlyn bahwa ia tidak diperbolehkan untuk membela dirinya, tetapi telah diten-tukan “untuk memburunya seperti seekor serigala tanpa undang-undang atau aturannya.” Tidak mengherankan jika ia kemudian terbukti bersalah “karena menulis dan menerbitkan sebuah Bibel yang memalukan dengan menyatakan bahwa Yesus Kristus bukanlah Tuhan yang Maha Tinggi.” Dia diberi pilihan untuk dipenjara selama setahun, atau membayar tebusan sebesar 1000 poundsterling. Dia harus tetap di penjara sampai tebusan dibayar. Dalam pengajuan banding terhadap keputusan ini, dia diseret dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya dan diarak di depan masyarakat sebagai seorang pem-bid’ah. Perlakuan yang memalukan tersebut dianggap sebagai hal yang masih mengenal belas-kasih. Karena jika ia di Spanyol, maka ia akan dibakar hidup-hidup. Karena besarnya tekanan terhadap pemerintah, tebusan akhirnya diturunkan menjadi 70 poundsterling. Tebusan dibayar dan Emlyn meninggalkan pen-jara dan keluar dari Irlandia. Seorang pendeta yang terkemuka, dalam mengomentari perlakuan yang diberikan terhadap para “pembid’ah”, menyatakan bahwa “Cara-cara pencerahan dengan menggunakan ancaman kurungan bawah tanah dan tebusan sungguh sangat meyakinkan.”
Demikian Emlyn
telah bergabung dengan para orang suci terkemuka yang berani menolak Trinitas
dan mendukung ke-imanan terhadap Tuhan yang Esa. Dalam kitab suci Alqur’an,
masalah tersebut sangatlah jelas. Dia adalah Maha Tinggi dan tidak satu pun
yang menyerupai-Nya. Tak ada satu pun yang disebut sebagai Tuhan. Celakanya,
tidak demikian dengan Bibel. Oleh sebab itu, Emlyn berusaha untuk menjernihkan
kebingungan tersebut dalam bukunya “God,
According to Emlyn” (Tuhan, dalam Pandangan Emlyn), “Kadang-kadang berarti zat yang Maha Tinggi, Sempurna, dan tak terbatas,
yang bersumber dari zat-Nya semata, dan tidak pernah menerima zat-Nya atau
kekuasaan-Nya, atau yang lain dari selain-Nya; dan inilah yang kita maksudkan
ketika kita menyebut Tuhan dalam ibadah, doa, dan pujian; yang kita maksudkan
adalah Tuhan dalam pengertian yang Paling Segalanya.”
Kemudian
seterusnya Emlyn memperlihatkan bahwa dalam Bibel ―sekali pun kata-kata “Tuhan”
digunakan― seringkali kata tersebut merujuk kepada pribadi-pribadi yang diberi
ke-kuasaan dan kekuatan yang lebih rendah dibanding dengan zat yang Maha
Tinggi: “Malaikat-malaikat disebut sebagai Tuhan. Engkau yang telah
menjadikannya sedikit lebih rendah dari “Tuhan-tuhan”. (Mazmur 8: 5); para
hakim adalah Tuhan-tuhan (Keluaran 22: 28, Mazmur 82: 1, Yohanes 10: 34-35);
kadang-kadang seorang manusia disebut sebagai “Tuhan” seperti Musa pernah dua
kali dipanggil dengan Tuhan oleh Harun (Aron), dan disebut Tuhan oleh Fir’aun;
dan setan juga disebut Tuhan. Tuhan di dunia ini, yakni pangeran dan penguasa
yang kuat terhadap kehidupan dunia yang dengan perbuatan kekuasaan yang tidak
adil dan adanya perkenan Tuhan menduduki posisi tersebut. Maka karena Dia yang
semata-mata sebagai Tuhan dalam pengertian yang pertama adalah tanpa batas
berada di atas segalanya, hingga kita mendapatinya berbeda dari semua hal yang
juga disebut dengan panggilan “Tuhan-tuhan”.
Untuk lebih
memperjelas perbedaan ini, Emlyn mengutip Philo yang menggambarkan zat yang
Maha Tinggi sebagai “bukan saja Tuhan
bagi manusia tetapi Tuhan bagi Tuhan-tuhan lainnya”. Ini adalah sebutan
yang paling tinggi dan mulia yang diberikan kepada-Nya di Perjanjian Lama,
ketika ia bermaksud membuat suatu pengertian yang paling segalanya tentang kebesaran
dan kemuliaan-Nya.
Karena Bibel
menggunakan sebutan Tuhan untuk meng-gambarkan Tuhan dan untuk menggambarkan
zat-zat yang lebih rendah dari Tuhan, maka Emlyn mencoba memecahkan masalah
tersebut: “Pada dua pandangan manakah
Yesus Kris-tus disebut sebagai Tuhan di kitab-kitab suci?” Dia
menyimpul-kan bahwa Kristus adalah suatu zat yang lebih rendah diban-ding
dengan Tuhan dari semua Tuhan (I Korintus 8: 5). Dia mencapai kesimpulan ini
dengan menanyakan kepada dirinya sendiri pertanyaan krusial ini: “Apakah Yesus memiliki Tuhan yang lebih
tinggi dari dirinya yang memiliki kekuasaan lebih besar yang kemampuannya lebih
besar dari dirinya atau tidak?” Jawaban terhadap pertanyaan ini akan
menentukan posisi Yesus. Jika ia memiliki Tuhan yang lebih tinggi darinya, maka
ia bukanlah Tuhan yang Maha Tinggi secara mutlak. Jawaban Emlyn adalah “Ya”,
dan ia memberikan tiga argumen untuk mendukung jawabannya:
Yesus dengan jelas berbicara tentang Tuhan yang lain
dari dirinya sendiri.
Dia menerima Tuhannya lebih tinggi dari dirinya
sendiri.
Dia memohon kesempurnaan karena ia tidak memiliki
kesempurnaan yang Maha Tinggi dan tak terbatas yang hanya menjadi milik Tuhan,
zat yang Maha Sempurna.
Emlyn merasa
bahwa tiga pandangan ini harus dijelaskan dalam suatu cara yang bisa dipahami
oleh masyarakat luas. Dia melecehkan praktik dari orang-orang yang menulis
tentang kitab-kitab suci dalam suatu cara yang tidak bisa dipahami oleh
masyarakat, tetapi mengharapkan mereka mempercayai dogma yang digambarkan dalam
tulisan-tulisan mereka. Emlyn mem-perluas tiga pandangan ini sebagai berikut:
Pertama, Yesus berbicara tentang Tuhan lain
yang berbeda dari dirinya sendiri. Beberapa kali kita menemukan dia ber-kata,
“Tuhanku, Tuhanku” yang lain (dari dirinya). (Matius 27: 46), “Tuhanku, Tuhanku,
mengapa Engkau tinggalkan aku?” (Yohanes 20: 17). Sungguh ia tidak bermaksud mengatakan
“Diriku, Diriku, mengapa engkau tinggalkan aku?” Tuhan ini berbeda dengan
dirinya sendiri, sebagai-mana ia nyatakan di tempat-tempat lain seperti pada
Yohanes 8: 42. Harus dicatat bahwa dia tidak membedakan dirinya dari Dia
sebagai Bapak, tetapi sebagai Tuhan. Untuk itulah, dalam segala bangunan yang
adil, dia tidak bisa dianggap menjadi sama dengan Tuhan, di mana dia sendiri
membedakannya.
Kedua, Yesus sendiri bukan saja seorang lain
yang bukan Tuhan, tetapi juga Dia di atas atau lebih berkuasa atas diri-nya
sendiri yang juga ditiru secara apa adanya oleh murid-muridnya. Dia sendiri
secara tegas mengatakan penyerah-annya kepada Bapak di banyak kesempatan. Secara
umum, dia menyatakan Bapaknya lebih besar dari dirinya sendiri. Dia berkata
bahwa dia datang bukan untuk berbuat atas kehendaknya sendiri, tetapi atas nama
wewenang Bapak-nya. Dia tidak berusaha atas dirinya, tetapi untuk kemulia-an
Tuhan. Juga tidak membuat kehendaknya sendiri. tetapi untuk Tuhan penguasanya.
Dalam bentuk penyerahan seperti inilah ia diturunkan dari surga ke dunia.
Sekali lagi ia tergantung kepada Tuhan, bahkan untuk segala sesuatu yang
seolah-olah menjadi miliknya. Seperti kekuatan men-ciptakan mukjizat-mukjizat,
membangkitkan orang mati, juga dalam melaksanakan keputusan universal. Tentang
semua ini ia berkata, “Jika atas kekuatan diriku sendiri aku tidak mampu
berbuat apa-apa.”
Ketiga, Yesus tidak mengaku memiliki
kesempurnaan-kesempurnaan tak terbatas ini (kekuatan yang bersumber dari
dirinya sendiri), kebajikan mutlak, pengetahuan yang tak terbatas yang hanya
menjadi milik Tuhan yang Maha Tinggi dari semua Tuhan. Dan sudah pasti, jika ia
tidak memiliki salah satu dari kesempurnaan-kesempurnaan ini yang merupakan
sesuatu yang esensial bagi ketuhanan, maka ia bukanlah Tuhan dalam pengertian
yang sama. Jika ia tidak mengakui salah satu kesempurnaan tersebut, maka ia
tidak bisa mengaku menjadi lainnya. Karena menolak bagi dirinya sendiri untuk
memiliki semua kesempurnaan Tuhan, atau menolak bagi dirinya untuk menjadi
Tuhan yang tak terbatas.
Emlyn kemudian
melanjutkan memberikan beberapa contoh untuk membuktikan pandangan terakhir
tersebut:
Salah satu
kebesaran dan kesempurnaan Tuhan yang khu-sus adalah kemahakuasaan mutlak dan
tidak bersumber dari lainnya. Dia yang tidak mampu melakukan semua mukjizat,
maka tidak akan pernah bisa menjadi suatu zat yang Maha Sempurna jika ia tidak
mampu melakukannya tanpa bantuan dari lainnya. Dia tampak menjadi suatu zat
yang tidak sempurna secara komparatif. Karena ia butuh pertolongan dan memohon
kekuatan tambahan dari selain dirinya sendiri.
Sekarang
terbukti sangat jelas bahwa Yesus (apapun ke-kuatan yang dimilikinya), mengaku
berkali-kali bahwa dia tidak memiliki kekuatan yang tak terbatas dari dirinya
sendiri: “Diriku sendiri tidak mampu
berbuat apa-apa.” (Yohanes 5: 30). Dia telah melakukan mukjizat-mukjizat
besar seperti membangkitkan yang mati. Hal ini membuat-nya lebih jelas,
sehingga orang-orang seharusnya mengeta-hui bahwa kemampuannya terhadap hal-hal
ini adalah kekuasaan dari Tuhan. Pada permulaan ia berkata, “Anak tidak mampu berbuat apa-apa, tetapi apa
yang ia lihat adalah Bapak yang melakukannya.” Maka di tengah-tengah
tersebut ia mengatakan hal yang sama. karena jika ia tidak pernah mampu
menanamkan kebenaran besar ini, ia menambahkan sebagai kesimpulan, “Aku tidak mampu berbuat apa-apa atas nama
diriku.” Sungguh ini bukanlah ucapan Tuhan, tetapi ucapan manusia! Yang
Maha Tinggi dan tidak menerima dari lainnya. Dia tidak bisa berbuat menjadi
lebih berkuasa atau lebih bijaksana karena kesempurnaan mutlak, sehingga tidak
akan ada tambahan. Karena kekuasaan dalam zat Tuhan adalah suatu kesempurnaan
yang esensial. Maka berarti jika kekuasaan tersebut diturunkan dari selainnya
sehingga menjadi esensi atau zat itu sendiri, maka hal ini hal yang memalukan
yang bertentangan dengan yang Maha Tinggi. Untuk memasuk-kannya di kalangan
zat-zat yang menerima zatnya secara tergantung kan berarti menganggapnya “bukan
Tuhan” (un-God). Tuhan yang Maha Sempurna sungguh hanyalah Dia yang merupakan
penyebab pertama dan asal-usul mutlak dari segalanya.
Emlyn juga
mengkaji pernyataan yang disandarkan kepada Yesus pada Injil Markus 13: 32.
Berbicara tentang hari Pem-balasan, ia mengatakan: “Tentang hari itu, tak seorang pun yang tahu. Tidak, bukan pula malaikat
yang di surga. Bukan pula anak. Tetapi hanyalah Bapak yang tahu.” Emlyn
meneliti bahwa bagi siapa saja yang mempercayai ketuhanan Yesus, pernyataan ini
akan berarti bahwa Tuhan memiliki dua sifat atau dua keadaan kesadaran yang
berbeda secara bersamaan. Hal ini menempatkannya pada posisi yang konyol karena
mengetahui dan tidak mengetahui sesuatu pada waktu yang sama. Jika Yesus Tuhan
dan Tuhan mengetahui pengetahuan tentang Hari Kiamat, maka Yesus tidak akan
membuat pernyataan ini. Karena dengan memiliki sifat ketuhanan ini, maka dia
juga akan memiliki pengetahuan tersebut.
Thomas Emlyn menyadari sepenuhnya bahwa ia akan disalahpahami oleh sejumlah besar orang Kristen. Dalam mem-pertahankan keyakinannya, ia menjadikan bukunya “Cofession of Christianity” sangat jelas dengan mengatakan bahwa dia memandang Yesus sebagai gurunya yang ia hormati dan cintai melebihi ayah, ibu, atau sahabat-sahabatnya. Dia melanjutkan, “Saya mengetahui bahwa Yesus tidak mencintai apa-apa kecuali kebenaran, dan tidak akan digugat oleh siapa saja yang meme-gangi ucapan-ucapannya seperti bahwa ‘Bapak lebih besar dari aku’ (Yohanes 14: 28).” Emlyn menegaskan dalam memandang pernyataan ini adalah akan berbahaya untuk mengatakan, “Tuhan tidak lebih besar dari Yesus.”
Thomas Emlyn
adalah seorang teolog yang dikenal dengan ilmu dan integritasnya serta
keteguhannya di dalam memperta-hankan keyakinannya. Sehingga ia tabah
menghadapi siksaan daripada harus menyesuaikan keyakinannya. Dia termasuk “galaxy” orang-orang suci yang berani
melawan orang-orang yang menentangnya. Mereka telah mengalami penyiksaan, pe-menjaraan,
dan bahkan kematian, tetapi mereka tidak goyah di depan keperkasaan gereja dan
negara yang seringkali bergabung untuk mengenyahkan mereka. Secara keseluruhan,
setiap bentuk penyiksaan hanya akan menambah popularitas ajaran mereka yang
memang mudah dipahami.
Tidak ada Tiga
Tuhan, tetapi Satu Tuhan!
Emlyn adalah
salah satu dari kalangan pertama Protestan yang membangkang dan berani
mengatakan penolakannya se-cara terang-terangan terhadap doktrin Trinitas.
Jumlah pendeta Presbytarian yang bergabung dengannya, dan yang memeluk
keyakinan Arian dan keyakinan-keyakinan Unitarian lainnya sejak awal abad ke-18
cukup banyak. Sepuluh tahun setelah pengadilan Emlyn, gejolak yang
disembunyikan yang telah dirasakan Gereja Inggris sebagai suatu akibat dari
memperma-salahkan anggapan tentang ketuhanan Yesus, meledak dengan publikasi
buku karya Samuel Clarke yang
berjudul “Scripture Doktrine of the
Trinity” pada tahun 1712. Dalam buku ini, dia mengutip 1.251 halaman
kitab-kitab suci (Injil) untuk membuk-tikan bahwa Tuhan Bpak adalah yang Maha
Tinggi, dan Kristus serta Roh Kudus adalah di bawahnya. Pada masa berikutnya,
Clarke menerbitkan sebuah versi editorial dari Kitab tentang Doa Umum (Book of Common Prayer) dengan membuang
ajaran Athanasius dan bentuk-bentuk ajaran Trinitas lainnya.
Thomas Emlyn
meninggal pada bulan Juli 1741.
THEOPHILUS LINDSEY (1723-1808)
Theophilus
Lindsey dilahirkan pada tahun 1723. Dia adalah organisator jemaat Unitarian
pertama di Inggris. Dengan meng-ikuti ordo kebaktian yang telah diperbarui yang
didasarkan atas buku yang telah direvisi Samuel Clarke (Book of Common Pray-er)
enampuluh tahun lalu ―dan memakai jubah yang bukan jubah putih tradisional―
Lindsey melakukan kebaktian pertama di dalam suatu ruangan pelelangan di jalan
Essex di London. Hari itu adalah tanggal 17 April 1774. Kebaktian tersebut diha-diri
oleh sejumlah besar jemaat termasuk Benjamin
Franklin dan Joseph Priestly.
Inilah catatan Lindsey tentang peristiwa tersebut yang termuat dalam suatu
surat yang ia tulis kepada seorang teman pada hari berikutnya:
Kamu akan senang mendengar bahwa kemarin segala sesuatu berjalan dengan lancar, dihadiri sejumlah besar pendengar yang melebihi harapanku yang bersikap sangat sopan dan secara umum mereka tampak sangat puas dengan seluruh jalannya kebaktian. Beberapa keributan bisa dipahami, dan mereka meramalkan saya menjadi tokoh besar. Tetapi gerakan ini bukan itu maksudnya. Akibat satu-satunya adalah gerakan ini masih terlalu kecil. Dari daya tarik yang terlihat dan kesungguhan serta kepuasan secara umum, saya yakin bahwa usaha saya ini melalui restu Tuhan akan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Perbedaan menyolok antara kebaktian kita dengan kebakti-an Gereja Resmi mengejutkan setiap orang. Maafkan saya karena mengatakan bahwa saya seharusnya membuat merah muka orang karena tampil dengan sebuah baju putih. Tak satu pun yang menghendakinya. Saya bahagia tidak terjadi apa-apa pada diri saya. Tetapi semua merasa puas dengan seluruh jalannya kebaktian. Suatu kepuasan yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Saya harus menga-takannya lagi ―dan mudah-mudahan Tuhan memberkahi-nya, bahwa kita mampu menjadi baik. Dan kita hanya mengharapkan untuk terus berjalan dengan limpahan rahmat-Nya sebagaimana yang telah kita mulai.
Bentuk jemaat
jalan Essex tersebut segera mengilhami kelompok Unitarian lainnya untuk
membangun tempat-tempat kebaktian (Chapels)
di Birmingham, Manchester, dan kota-kota besar Inggris lainnya. Independensi
Ecclesiastical (gerejawi) mendesak kebebasan doktrin, sehingga pada tahun 1790 ―ditujukan
kepada para mahasiswa Oxford dan Cambridge― Lindsey menegaskan “fakta-fakta”
yang jelas dan mudah bagi siapa saja yang mau memahami. Di mana semua orang ―yang
meyakini kitab-kitab suci― cepat atau lambat harus menyerah dan mengakui:
Bahwa hanya terdapat
satu Tuhan, satu pribadi tunggal, yaitu Tuhan, Pencipta yang Esa dan Tuhan yang
berkuasa atas segala;
Bahwa Yesus yang
“suci” adalah seorang manusia yang berasal dari bangsa Yahudi, hamba Tuhan yang
dimuliakan oleh-Nya;
Bahwa Roh Kudus
bukanlah suatu pribadi atau zat yang berakal. Tetapi hanyalah kekuatan yang
luar biasa atau pemberian Tuhan yang ditanamkan ke dalam diri Yesus Kristus
dalam masa hidupnya. Dan setelah itu, diberikan kepada murid-muridnya dan
banyak dari orang-orang Kristen Awal untuk memperkuat mereka untuk mengajar-kan
dan menyebarkan Injil dengan berhasil (Kisah Rasul 1: 2); dan
Bahwa ini adalah doktrin yang berkaitan dengan Tuhan, Kristus, dan Roh Kudus yang diajarkan oleh para murid Yesus, dan diajarkan kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Kafir.
Dengan keyakinan
yang hampir seluruhnya “modern” ini, Unitarianisme Inggris menapaki masa
kebesarannya.
Dalam
tulisan-tulisannya, Lindsey membuat pandangan-pandangan berikut untuk
menegaskan kenyataan bahwa Yesus bukanlah Tuhan:
Yesus tidak
pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan; juga tidak pernah menyatakan sedikit pun
bahwa dia adalah pribadi yang dengannya segala sesuatu tercipta.
Kitab-kitab suci
dalam Perjanjian Lama semuanya berbicara tentang suatu pribadi, satu Jehovah,
sebagai Tuhan oleh Dirinya sendiri, Esa dan Pencipta segalanya.
Dengan merujuk
kepada Yohanes 5: 7, tidak bisa dipercaya bahwa Yohanes (Yahya) adalah seorang
Yahudi yang salah yang dengan begitu saja memperkenalkan pencipta lainnya ―suatu
Tuhan baru― tanpa suatu penjelasan. Tidak diketahui dari mana ia mendapatkan
doktrin aneh ini, atau dengan wewenang apa ia menerimanya. Terutama jika kita
mengingat bahwa dengan hukum Musa ―yang wewenang kesuciannya (wahyu) ia akui―
maka adalah suatu kejahat-an “syirik” atau yang memuakkan untuk memiliki atau
menyembah Tuhan lain selain Jehovah. Tuan dan gurunya, Yesus, tidak pernah
menyebut Tuhan selain Jehovah, dan tidak pernah menyatakan sesuatu atas nama
dirinya sendiri. Tetapi karena Bapak ―di mana ia merupakan utusan-Nya―
memberikan kepadanya perintah apa yang harus ia katakan dan apa yang harus ia
ucapkan (Yohanes 12: 49).
Para penulis
sejarah Injil berbicara tentang satu pribadi Tuhan, Bapak, sebagai satu-satunya
Tuhan yang sebenar-nya (Yohanes 17: 3).
Markus, Matius,
dan Lukas menulis tanpa berkonsultasi satu sama lain. Mereka tidak pernah
memberikan tanda-tanda tentang Yesus sebagai Tuhan. Tidak bisa dipercaya dan
dibayangkan bahwa orang-orang ini ―jika mereka mengetahuinya Yesus sebagai Tuhan
dan Pencipta dunia― akan diam seribu bahasa pada masalah yang penting ini.
Yohanes ―yang
memulai Injilnya dengan mengatakan bahwa firman adalah Tuhan dan Yesus adalah
firman yang berbentuk daging― tidak pernah menganggap nama ini berasal darinya
di seluruh Injilnya.
Suatu pengkajian
terhadap Injil Lukas memperlihatkan bahwa Yesus tidak memiliki “keberadaan”
sebelum dilahirkan oleh ibunya, Maria, karena:
Pada pasal 3: 23
dan 38, suatu garis keturunan Yesus diberikan.
Pada pasal 4: 24
dan 8: 33, Yesus diakui menjadi seorang Nabi Tuhan.
Dalam pasal 7:
16 dan 24: 19, Yesus dipanggil Nabi.
Dalam pasal 3:
13 dan 26 dan 4: 27, 30, Petrus dan murid-murid lainnya menyebut Yesus hamba
Tuhan.
Dalam pasal 17:
24 dan 30, Lukas menggambarkannya sebagai “anak manusia” yang diangkat untuk
menduduki jabatan penting di bawah perintah Tuhan yang telah menciptakan dunia.
Lindsey bertanya
kepada mereka yang menyembah Yesus, apa reaksi mereka jika Yesus menampakkan
diri kepada mereka dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut:
Mengapa engkau
menunjukkan kebaktianmu kepadaku? Apakah aku memerintahkan kamu melakukannya,
atau bermaksud menjadikan diriku sebagai obyek penyembahan keagamaan?
Bukankah aku
telah memberi kamu sebuah contoh dari diri saya sendiri untuk menyembah Bapak, kepada
Bapakku dan Bapakmu, kepada Tuhanku dan Tuhanmu? (Yohanes 20: 17)
Ketika para
muridku memintaku untuk mengajarkan mere-ka untuk berdoa (Lukas 11: 1-2),
apakah aku mengajarkan mereka untuk berdoa kepada diriku sendiri atau kepada
orang lain selain Bapak?
Sulaiman ―setelah membangun kuil― berkata, “Apakah Tuhan sungguh-sungguh akan bersemayam di bumi? Ketahuilah, langit dan langit dari segala langit tidak mampu memuat-Nya; alangkah kecilnya rumah yang aku bangun (Raja-raja I 8: 27).
Keyakinan
Lindsey terhadap keesaan Tuhan terlihat jelas dari kata-katanya ini:
Pencipta yang tak terbatas seharusnya disembah di semua tempat karena Dia ada di mana-mana. Tidak ada satu tempat lebih suci dari lainnya. Tetapi setiap tempat adalah suci bagi si pendoa. Orang yang beribadah menjadikan tempat tersebut (menjadi suci). Kapan saja terdapat suatu jiwa sederhana yang saleh yang mencari Tuhan, Tuhan ada di sana. Suatu jiwa yang bebas dari dosa adalah kuil Tuhan yang sebenarnya.
JOSEPH PRIESTLY (1733-1804)
Joseph Priestly
dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Fielhend,
enam mil barat daya kota Leeds pada
tahun 1733. Dia adalah anak tertua dari seorang pembuat pakaian lokal. Ibunya
meninggal pada saat Joseph berusia enam tahun. Di rumah ia dididik dengan
cara-cara Calvinis yang keras. Tetapi di sekolah, guru-gurunya adalah
pendeta-pendeta pembelot, yaitu pendeta yang tidak setuju kepada semua doktrin
Gereja Inggris. Dengan cita-cita ingin menjadi seorang pendeta, maka dia
memiliki dasar-dasar bahasa Latin, Yunani, dan Ibrani yang baik. Para sesepuh
Dewan Gereja (The Elders of Quakers)
menolak untuk menerimanya. Karena ia tidak menunjukkan penyesalan yang cukup
bagi dosa-dosa Adam. Universitas-universitas menolak untuk menerima siapa saja
yang tidak mengakui semua doktrin Gereja Ortodoks. Sebagai gantinya, ia di
masukkan ke dalam sebuah akademi yang terkenal di mana para mahasiswa dan
gurunya dibagi antara pengikut Gereja Resmi dan para “pembid’ah” yang meyakini
Tuhan yang Esa. Di sini ia mulai meragukan kebenaran dasar dogma-dogma Gereja
Kristen secara sungguh-sungguh, terutama yang berkaitan dengan Trinitas.
Semakin ia mempelajari Bibel, ia semakin yakin terhadap pandangan-pandangannya
sendiri. tulisan-tulisan Arius, Servetus, dan Sozini meninggalkan kesan yang
mendalam pada dirinya. Seperti mereka, ia juga berkesimpulan bahwa kitab-kitab
suci memberikan dukungan yang sangat lemah terhadap doktrin Trinitas dan
penebusan dosa. Akibatnya pada saat ia menamatkan studinya, ia meninggalkan
akademi tersebut sebagai orang yang membenarkan ajaran Arius.
Dia diangkat sebagai asisten pendeta dengan gaji 30 pound-sterling per tahun. Ketika diketahui bahwa ia adalah seorang Arian, ia dipecat. Pada tahun 1758 ia berhasil “menyelamatkan” pengangkatan lainnya sebagai pendeta di Nautwich di Cheshire. Dia mengabdi di sana selama tiga tahun. Penghasilannya kecil, tetapi ia menambahnya dengan memberikan privat. Dengan cepat, ia mencapai reputasi sebagai guru yang baik. Orang-orang Arian telah mendirikan sebuah akademi di Warrington pada tahun 1757. Dan setelah meninggalkan Nautwich, Priestly menjadi guru di akademi tersebut. Dia biasa mengunjungi London selama masa libur. Dan di salah satu liburan kunjungannya itulah untuk pertama kali ia bertemu dengan Benjamin Franklin. Pada tahun 1767 ia tinggal lebih dekat dengan rumah kunonya, karena menjadi pendeta di Mill Hill di Leeds. Dia tinggal di sini selama enam tahun. Di kota Leeds, Priestly mencetak sejumlah brosur dan segera dikenal sebagai juru bicara yang kuat dan berwibawa dari Unitarian-isme. Pada masa luangnya, ia mulai belajar Kimia dan cukup berhasil. Dia mendapat pengakuan dari Royal Society (Masyarakat Ilmiah Inggris), dan pada tahun 1774 ia membuat penemu-annya yang luar biasa tentang Oxygen yang membuatnya menjadi sangat terkenal. Pada penelitian selanjutnya, ia mene-mukan lebih banyak jenis gas-gas baru daripada semua pendahulunya yang lebih tertarik kepada agama daripada kepada ilmu-ilmu Fisika dan menganggap penemuan-penemuan ini sebagai sebuah hiburan dari seorang teolog. Dalam memorinya, ia mencatat penemuan-penemuan ini dalam satu lembar. Dia pernah menulis, “Saya telah membuat penemuan-penemuan di berbagai cabang Kimia. Saya pernah memberikan perhatian besar terhadap rutinitas umum tentang Kimia, dan hanya sedikit mengetahui tentang hal itu.”
Kemudian ia
bergabung dengan Earl of Shellburne
sebagai pustakawannya dan sahabat kesusasteraannya. Dia digaji sangat besar dan
tunjangan hari tua dengan kebebasan berbuat apa saja yang ia inginkan. Dia
menjalankan tugas ini selama tujuh tahun, dengan menghabiskan musim panas di
rumah besar Earl of Shellburne dan musim dingin di London. Dia juga menyertai
Earl pada perjalanan-perjalanannya ke Paris,
Holland, Belgia dan Jerman. Earl menganggap persahabatan Priestly dengan
Benjamin Franklin sebagai suatu yang memalukan. Karena Franklin sangat
mendukung revolusi yang sedang terjadi di Perancis pada masa itu. Priestly
secara resmi meng-hentikan persahabatannya dengan Franklin dan segera setelah
itu ia pergi untuk tinggal di Birmingham. Dia tinggal di kota ini selama
sebelas tahun. Dan sekalipun berakhir dengan suatu tragedi yang menyakitkan,
mungkin periode ini adalah masa yang paling bahagia dalam kehidupannya.
Tugas-tugasnya sebagai seorang pendeta hanya terbatas pada hari Minggu,
sehingga selama enam hari lainnya ia bebas untuk bekerja di laboratoriumnya dan
menulis apa pun yang ia inginkan.
Di Birmingham
inilah Priestly menghasilkan karyanya yang paling penting dan berpengaruh, History of the Corruptions of Christianity,
yang sangat membuat murka Gereja Resmi. Dia tidak sengaja menolak kebenaran
doktrin Trinitas, tetapi juga membenarkan sifat kemanusiaan Yesus. Dia
mengatakan bahwa cerita (catatan) tentang kelahiran Yesus bertentangan antara
satu Injil dengan lainnya. Dia yakin bahwa Yesus adalah manusia biasa, ditinjau
dari semua segi seperti manusia-manusia lainnya, subyek bagi perubahan,
kebodohan, cemburu dan kelemahan-kelemahan lainnya. Dia dipilih untuk
memper-kenalkan suatu ketentuan moral ke dunia. Dia diperintah dalam sifat
misinya, dan diberi kekuatan-kekuatan mukjizat. Yesus dikirim untuk menampakkan
pengetahuan besar tentang kehidupan akhirat. Di mana manusia akan dibalas
sesuai dengan amal-amal mereka di dunia dan bukan sekedar karena mereka telah
dibaptis. Pandangan-pandangan ini tidak disukai oleh pemerintah maupun gereja.
Priestly tidak
saja menegaskan sifat kemanusiaan Yesus, tetapi juga menolak konsepsi “Immaculate” (tidak mungkin berbuat
salah). Dengan demikian, ia telah meletakkan dasar dari pemikiran baru yang
mengakibatkan Unitarianisme menjadi seperti suatu pelayaran dalam suatu perahu
tanpa seorang pengemudi di tengah laut yang bergolak. Suatu pandangan langsung
secara menyeluruh melebur dalam gerakan yang dikenal sebagai Universalisme Unitarian. Penolakan
terhadap konsep kesucian (immaculate) ini menyebabkan suatu perten-tangan yang
sama sekali tidak perlu dan menyakitkan, yang lebih merugikan daripada
menguntungkan bagi mereka yang membenarkan kesatuan Tuhan. Suatu gerakan serupa
telah berperan terhadap revolusi Perancis dan kekuasaan yang penuh teror.
Peristiwa-peristiwa yang berada pada sisi lain dari peristiwa besar tersebut
telah membingungkan kebanyakan orang di Inggris. Gereja Ortodoks menjadikan
sedemikian rupa sehingga ajaran-ajaran Priestly tampak akan menyebabkan tragedi
yang sama di Inggris. Tak terhitung banyaknya surat-surat penghinaan dan
ancaman yang dikirimkan ke rumahnya, dan fotonya dibakar di berbagai tempat di
Inggris.
Pada tanggal 14
Juli 1791, sekelompok orang merayakan ulang tahun runtuhnya benteng Bastille di hotel Birmingham.
Sekelompok orang yang dipimpin oleh hakim-hakim kota berkumpul di luar hotel.
Dan karena mengira Priestly ikut ambil bagian dalam perayaan tersebut, mereka
melempari jendela-jendela hotel. Dr. Priestly tidak ada di sana. Kelompok orang
tersebut kemudian pergi ke rumahnya, yang ditulis dalam memorinya, telah
“dihancurkan dan dibakar tanpa ampun.” Perpustakaan, laboratorium, dan semua
kertas serta tulisannya dibakar hangus. Priestly yang sebelumnya telah
diperingatkan oleh seorang sahabatnya segera meloloskan diri. Pada hari
berikutnya, semua rumah tokoh-tokoh Unitarian dibakar. Dalam dua hari
berikutnya, kelompok orang-orang yang marah terse-but mulai membakar
rumah-rumah orang-orang yang memberi-kan perlindungan kepada orang-orang Unitarian
yang “tuna wisma”, sekalipun mereka
bukan penganut Unitarianisme. Selama masa itu, penduduk Birmingham sangat
panik. Semua toko ditutup, dan penduduk meneriakkan dan menulis di pintu-pintu
rumah mereka dengan tulisan “Gereja dan
Raja” untuk menghindari dari kemarahan massa. Baru setelah pasukan kerajaan
dipanggil, para perusuh tersebut bubar.
Saat itu terlalu
berbahaya bagi Priestly untuk tetap tinggal di Birmingham, dan dia pergi ke
London dengan penyamaran. Mengenang tentang pengalamannya di Birmingham, dia
berkata, “Bukannya lari dari
kerusuhan-kerusuhan yang liar, tapi saya justru lari dari keadilan massa. Saya
tidak bisa lagi dikejar dengan dendam.” Di London, ia tidak bisa secara terbuka
berjalan di jalan-jalan karena takut dikenali dan rumah kosnya bisa diserang
dan dihancurkan. Setelah berselang beberapa lama, ia menyewa sebuah rumah.
Tuan rumah khawatir bahwa bukan saja rumah tersebut, tetapi juga rumahnya
sendiri bisa dirusak.
Pada tahun 1794,
Priestly berlayar ke Amerika dengan Benjamin Franklin. Di Amerika, mereka
berdua membuka bebe-rapa gereja Unitarian pertama di Philadelphia dan sekitarnya. Pada tahun-tahun berikutnya, situasi
di Inggris menjadi lebih tenang. Pada tahun 1802, jemaat lama Priestly membuka
se-buah “Chapel” (tempat kebaktian), dan Bilsham,
seorang tokoh Unitarian, diundang untuk berceramah pada upacara pembuka-an.
Priestly lebih suka tinggal di Amerika dan meninggal di sana pada tahun 1804.
Sumbangan utama
Joseph Priestly kepada orang-orang Unitarian Inggris adalah suatu argumen yang
menyeluruh, baik kesejarahan maupun filosofis dalam mendukung kebenaran ajaran
keesaan Tuhan. Argumen tersebut diambil dari kitab-kitab suci dan
tulisan-tulisan Bapak-bapak Kristen kuno, kemudian ditafsirkan dengan nalar dan
secara tegas diterapkan terhadap masalah-masalah keagaman dan politik pada masa
itu. Dia menulis, “Kerancuan yang
didukung kekuasaan, tidak akan pernah mampu bertahan melawan usaha-usaha nalar.” Dari semua karya-karya keagamaannya, yang paling berpengaruh adalah “History of the Corruptions of Christianity,”
yang ditulis dalam dua jilid. Di dalam buku itu, dia berusaha memperlihatkan
bahwa Kristen yang sebenarnya. Yang terwujud pada keyakinan-keyakinan awal,
adalah Unitarian; dan semua pengabaian terhadap keimanan tersebut adalah
penyelewengan. Buku tersebut menyulut kemarahan Gereja Ortodoks dan
menyenangkan bagi orang-orang Liberal, baik di Amerika mau-pun Inggris. Buku
ini secara publik dibakar di Belanda. Berikut adalah ringkasan buku tersebut
yang ditulis Priestly:
Memikirkan
sistem Kristiani, seseorang akan berpikir bahwa sistem tersebut sangat rentan
terhadap penyelewengan atau pelecehan. Garis besarnya adalah bahwa Bapak
Uni-versal manusia mengutus Yesus Kristus untuk menyeru manusia mengerjakan
kebajikan dengan jaminan kasih-Nya bagi yang bertaubat, dan tujuannya adalah
untuk membangkitkan dari kematian dan memberikan kebahagiaan bagi semua yang
berbuat kebajikan dan kebaikan. Dari sini tidak ada sesuatu yang bisa membawa
seseorang membayangkan tentang spekulasi yang rumit, paling tidak yang bisa
membawa kepada kebencian. Doktrin Kristiani sendiri begitu sederhana, sehingga
seseorang akan menyimpulkan bahwa mereka yang terpelajar dan yang tidak,
sama-sama bisa memahaminya. Dan seseorang yang tidak mengetahui keadaan yang
sebenarnya ―pada saat penyebarannya― akan merasa sia-sia untuk menemukan setiap
sumber yang memungkinkan terjadinya penyelewengan besar-besaran dan
pelecehan-pelecehan yang dimasukkan ke dalam sistem tersebut pada masa
berikutnya. Tetapi Yesus dan para muridnya telah meramalkan bahwa akan terjadi
suatu penyelewengan terhadap kebenaran dan suatu ajaran akan timbul di gereja
secara keseluruhan yang tidak serupa dengan doktrin yang telah mereka ajarkan
dan bahkan bertentangan dengannya.
Ternyata, penyelewengan-penyelewengan
tersebut benar-benar terjadi. Semua pelecehan menggejala dan mencapai
puncaknya. Yang lebih mengherankan, juga dengan peng-gunaan sebab-sebab
alamiah. Kita melihat pelecehan-pelecehan secara perlahan-lahan dibenarkan
kembali, dan Kristiani mendapatkan kembali keindahan dan kejayaan awalnya.
Sebab-sebab
penyelewengan tersebut hampir seluruhnya bersumber pada pandangan yang telah
mengakar pada dunia keberhalaan ―terutama bagian filosofis dari pandangan
tersebut. Ketika orang-orang (penyembah berhala) itu memeluk Kristen, mereka
mencampur ajaran-ajaran dan kepercayaan lama mereka dengan ajaran Kristen.
Begitu juga, orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir tersebut merasa “malu” menjadi murid dari seorang manusia
yang telah “di salib” sebagi seorang
pesakitan biasa. Sehingga orang-orang Kristen sangat cenderung untuk mengambil
setip pandangan yang diharapkan bisa menghapus cela tersebut.
Pandangan yang
menyatakan bahwa kemampuan mental manusia berasal dari suatu substansi yang
berbeda dari badan atau akalnya, dan bagian spiritual yang tidak terlihat
tersebut ―atau jiwa― mampu hidup sebelum dan setelah penyatuannya dengan tubuh
(jasad). Yang telah berakar dalam semua madzhab filsafat tersebut, secara
mengherankan dianggap bisa menjawab masalah ini. Sebab dengan cara pandang
ini, orang-orang Kristen dimungkinkan untuk memberikan kepada jiwa Kristen
tingkatan apa saja yang mereka inginkan di kehidupan surgawi sebelum ia lahir
di dunia. Atas dasar pandngan ini, muncullah orang Gnostic yang mendapatkan doktrin mereka dari filsafat Timur.
Setelah itu, orang-orang Kristen yang menggunakan filsafat tersebut beralih
kepada prinsip lainnya, yaitu mempersoni-fikasi kebijaksanaan (wisdom), atau “logos” Tuhan sebagai Bapak (Father),
yang setara dengan Tuhan sebagai Bapak itu sendiri.
Pelecehan-pelecehan
lembaga-lembaga positif Kristen ―bagaimana pun besarnya― biasanya muncul dari
pan-dangan untuk mensucikan dan mentabukan nilai-nilai peribadatan dan upacara
keagaman yang merupakan landasan dasar dari semua peribadatan penyembah
berhala. Dan mereka juga serupa dengan pelecehan-pelecehan dalam kitab Yahudi.
Demikian juga kita melihat sifat-sifat biarawan dalam pandangan dan praktik
mirip seperti penyembah berhala yang mengira bisa mensucikan dan mengangkat
jiwa dengan cara menahan-nahan keinginan-keinginan inderawi.
Sebgaimana
pelecehan-pelecehan pemerintah terhadap gereja, maka mudah sekali melakukan
pelecehan-pelecehan terhadap pemerintah sipil. Manusia yang kerakusan dunia
selalu siap memanfaatkan semua kesempatan untuk menambah kekuasaan mereka. Dan
pada zaman kegelapan Eropa, terlalu banyak lingkungan dan keadaan yang
memungkinkan pendeta Kristen mendapatkan keuntungan-keuntungan khusus terhadap
orang karena jabatannya.
Di atas
segalanya, saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa bagi seorang pembaca yang
sungguh-sungguh terhadap karya ini, akan tampak bahwa penyelewengan Kristiani
dalam setiap tulisan tentang keimanan atau praktiknya merupakan akibat wajar
dari keadaan-keadaan di mana ajaran tersebut disiarkan. Juga penyembuhannya
dari penyelewengan-penyelewengan tersebut adalah akibat wajar dari
keadaan-keadaan yang berbeda.
Berikut adalah
ringkasan dari keseluruhan posisi Kristiani yang tidak benar:
1.
Konsili
Umum (gereja) memutuskan bahwa Anak memiliki sifat yang sama dengan Bapak.
2.
Memasukkan
Roh Kudus ke dalam Trinitas.
3.
Kristus
diberi suatu jiwa manusia sebagai perantara kepada Logos.
4.
Memberikan
penggabungn kodrat Ilahi dan manusiawi pada diri Yesus.
5.
Menegaskan,
karena dua kodrat sudah tergabung, maka kedua kodrat itulah yang membentuk
sifat Yesus.
Dibutuhkan suatu ingatan yang sangat baik untuk tetap mempertahankan perbedaan-perbedaan ini. Karena ini semua semata-mata suatu masalah kata-kata, sedang ide-ide yang ada tidak terkait dengannya.
Priestly juga
menulis buku lainnya yang berjudul “The
History of Jesus Christ,” sebagian isi buku tersebut dikutip sebagai
berikut:
Ketika kita
meneliti ke dalam doktrin dari setiap buku, atau serangkaian buku, yang
berkaitan dengan subyek apa pun, dan bagian-bagian khusus dari buku tersebut
diduga keras menguntungkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda tersebut. Kita
seharusnya mempertimbangkan tujuan umum dari keseluruhan buku tersebut dengan
melihat tujuan dasar, atau kesan pertama yang ada dari seorang pembaca yang
tulus…
Jika kita
merujuk kepada catatan Musa tentang penciptaan, kita segera menemukan bahwa ia
tidak menyebut lebih dari satu Tuhan, yang Menciptakan langit dan bumi, yang
Meleng-kapi bumi dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang, dan juga yang “membentuk”
manusia. Bentuk jamak, sungguh diguna-kan pada saat Tuhan dinyatakan berkata “Marilah kita mem-buat manusia” (Kejadian
5: 26). Tetapi pengertian (jamak) tersebut semata-mata masalah frase yang
terbukti jelas dari lanjutan langsung ayat
tersebut yang dinyatakan dalam bentuk Tunggal (Kejadian 5: 27) “Tuhan menciptakan seorang manusia menurut
gambarnya sendiri.” Maka pencipta tersebut tetap satu zat. Juga pada cerita
tentang pembangunan TOWER OF BABEL (menara untuk mencapai surga), kita
mendapatkan bahwa “Tuhan berfirman,
‘Marilah kita turun dan mengacaukan bahasa mereka’.” (Kejadian 11: 7);
tetapi kita menemukan pada ayat berikutnya bahwa hanya satu zat yang
benar-benar melakukannya.
Pada semua
hubungan Tuhan dengan Adam, Nuh, dan Nabi-nabi lainnya, tidak ada sebutan yang
dibuat lebih dari satu zat yang mengutus mereka. Nama yang dengannya Dia dibedakan
kadang-kadang “Jehovah”, dan pada
saat yang lain, “Tuhan(nya) Ibrahim,”
dan lain-lain. Tetapi tidak ada keraguan bahwa nama-nama tersebut adalah zat
yang sama yang pertama kali disebut di bawah nama umum Tuhan, dan kepada-Nya
penciptaan bumi dan langit disandarkan.
Seringkali
disinggung di kitab-kitab suci tentang “malaikat-malaikat”
yang kadang-kadang berbicara atas nama Tuhan, tetapi mereka selalu dinyatakan
sebagai makhluk dan hamba Tuhan. Akan tetapi dalam pengertian apa pun,
malaikat-malaikat ini tidak bisa dianggap sebagai “Tuhan-tuhan”, saingan-saingan Zat yang Maha Tinggi, atau yang sama
tingkatannya dengan Tuhan.
Pernyataan-pernyataan
yang paling jelas yang berkaitan dengan kesatuan Tuhan, dan pentingnya keimanan
terhadap-Nya, seringkali ditemukan pada Perjanjian Lama. Perintah pertama
adalah Keluaran 20: 3, “Engkau tidak
memiliki Tuhan-tuhan selain Aku.” Hal ini diulangi dalam cara yang paling
tegas pada Kitab Ulangan 5: 4, “Dengarlah,
wahai Israel. Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa.” Saya tidak sempat untuk
mengulangi apa yang terjadi pada masalah ini pada Nabi-nabi berikutnya. Sungguh
hal ini merupakan tujuan dasar dari agama bangsa Yahudi, dan menjadi ciri khas
mereka dari bangsa-bangsa lain dengan menjadi (bangsa) pilihan Tuhan agar
mereka menjaga di kalangan mereka pengetahuan tentang keesaan Tuhan. Semen-tara
bangsa-bangsa lain telah terjatuh ke dalam kesyirikan. Melalui bangsa ini dan
disiplin yang dialami, doktrin dasar tersebut tetap terjaga di antara manusia
dan berlangsung sampai saat ini.
Jika terdapat
perbedaan “pribadi” dalam sifat Tuhan, sebagaimana yang diyakini dalam doktrin
Trinitas, paling tidak hal itu merupakan pelanggaran terhadap doktrin dasar
agama Yahudi. Sehingga hal itu pastilah menuntut penjelasan dan kesimpulan
tegas dan hal tersebut harus dibantah. Jika Bapak yang abadi memiliki seorang
putra dan juga Roh ―masing-masing setara dalam kekuasaan dan kemuliaan dengan
diri-Nya sendiri, maka seharusnya muncul suatu pandangan bahwa masing-masing
mereka adalah Tuhan yang sebenarnya. Tetapi secara tepat dikatakan, hanya
terdapat satu Tuhan. Maka paling tidak kesimpulan yang lebih tegas seharusnya,
“Karena jika masing-masing dari tiga pribadi tersebut adalah Tuhan yang
sebenarnya, mereka semuanya membentuk tiga Tuhan.” Oleh karena tidak ada satu
pun masalah ini yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama ―sebagaimana bantahan
tidak pernah dibuat atau pun dijawab, maka jelas terbukti bahwa pandangan
Trinitas tersebut tidak pernah terjadi. Tidak ada pernyataan atau pun
tanda-tanda pada saat itu yang menduga adanya kesulitan. Jika kita membimbing
diri kita sendiri dengan keyakinan bahwa orang-orang Yahudi memahami
kitab-kitab suci mereka, kita tidak bisa lain kecuali menyimpulkan bahwa
kitab-kitab tersebut tidak memuat doktrin Trinitas semacam itu. Karena tidak
mungkin seorang Yahudi ―pada masa kuno maupun modern― pernah menyimpulkan
doktrin seperti itu dari kitab-kirab tersebut. Orang-orang Yahudi selalu
menafsir-kan bahwa Tuhan adalah Esa, tanpa pembedaan (adanya) pribadi-pribadi,
dan merupakan zat yang telah menciptakan dunia, yang juga telah berfirman kepada
para Nabi dan Rosul tanpa adanya campur tangan dari zat-zat lain selain
malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan-Nya.
Orang-orang
Kristen telah membayangkan bahwa Messiah adalah pribadi kedua dalam ketuhanan
Trinitas. Tetapi orang-orang Yahudi sendiri ―betapa pun besarnya pengharapan
mereka terhadap turunnya Messiah (Juru Selamat)― tidak pernah membayangkan hal
semacam itu. Dan jika kita meneliti ramalan-ramalan yang berkaitan dengan
kepribadian yang besar tersebut (Messiah), maka kita akan merasa puas bahwa
mereka tidak mungkin terbawa untuk mengharapkan kedatang-an selain daripada
seorang manusia dengan segala sifatnya. Messiah diyakini telah dinyatakan
kedatangannya kepada orang-orang tua pertama kita (nenek moyang) dengan sebutan
“benih dari seorang wanita,” Kejadian
3: 15.
Tuhan yang
menjanjikan kepada Ibrahim, Kejadian 12: 3, bahwa “dalam benihnya segala keluarga di bumi akan diberkati.” Ayat ini ―jika
memang berkaitan dengan Messiah― tidak memberikan suatu ide kecuali bahwa satu
dari benihnya atau keturunannya akan menjadi sarana bagi pemberian berkah besar
bagi manusia. Pengertian lain yang bisa diperkirakan dari pemaparan yang
menyatakan bahwa Musa akan diberi seorang Messiah. Tuhan berfirman dalam Kitab
Ulangan 18: 18, “Aku akan mengangkat
seorang Nabi kepada mereka, yang berasal dari saudara mereka, dan Aku akan
meletakkan firman-firman-Ku di mulutnya, dan ia akan mengucapkan kepada mereka apa
yang Aku perintahkan kepadanya.” Di sini tidak ada yang mirip suatu pribadi
yang setara dengan Bapak, tetapi sekedar seorang Nabi yang menerima perintah
atas nama Tuhan apapun yang harus ia laksanakan.
Di dalam
Perjanjian Baru, kita menemukan doktrin yang sama yang berkaitan dengn keesaan
Tuhan, sebagaimana yang kita temukan pada Perjanjian Lama. Kepada para muridnya
yang bertanya tentang perintah pertama dan yang terbesar, Juru Selamat kita
bersabda, “Perintah pertama dari semua
perintah adalah ‘Dengarkanlah, wahai Israel. Tuhan kita adalah Tuhan yang Esa’.”
Markus 12: 29. Dan murid Yesus mengata-kan kepadanya, “Baiklah, guru. Engkau telah berkata benar. Karena Tuhan adalah Esa dan
tidak ada Tuhan selain Dia,” dan seterusnya.
Kristus sendiri
selalu berdoa kepada Tuhan yang Esa ini, sebagai Tuhan dan “Bapak”nya. Dia
selalu berbicara bahwa dirinya menerima ajaran dan kekuatannya dari Dia, dan
dia selalu menolak mengakui memiliki setiap kekuatan yang berasal dari dirinya
sendiri, “Kemudian Yesus menjawab dan berkata
kepada mereka, ‘Sungguh, aku berkata kepadamu bahwa anak tidak bisa berbuat
apa-apa atas namanya sendiri’.” Yohanes 5: 19. Pada Yohanes 14: 10, Yesus
mengatakan, “Kata-kata yang aku ucapkan
kepadamu, tidak bersumber dari diriku. Tetapi berasal dari Bapak yang
bersemayam dalam diriku. Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.”
Pada Yohanes 20: 17, Yesus berkata, “Pergilah
kepada saudaraku, dan katakan kepada mereka, ‘Aku mendaki menuju Bapakku dan Bapakmu
(juga) dan kepada Tuhanku dan Tuhanmu (juga)’,” Sungguh, ini bukanlah Tuhan
yang menggunakan bahasa seperti ini.
Para murid Yesus
sampai periode terakhir dalam tulisan-tulisan mereka, berbicara dengan bahasa
yang sama; yang menyatakan Bapak sebagai satu-satunya Tuhan yang sebenarnya,
dan Kristus sebagai seorang manusia, hamba Tuhan; Dia-lah yang telah
membangkitkannya dari kematian, dan memberi-kan kepadanya semua kekuatan yang
dimiliki-Nya, sebagai balasan dari ketaatannya. Dalam Kisah Rasul 2: 22, Petrus
berkata, “Wahai bangsa Israel, dengarlah kata-kata
ini: Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia yang telah dipilih Tuhan dari
antara kamu dengan mukjizat-mukjizat dan keanehan-keanehan dan tanda-tanda yang
telah diberikan Tuhan kepadanya, dia yang telah dibangkitkan Tuhan.”
Paulus juga berkata dalam I Timotius 2: 5, “Hanya
ada satu Tuhan, dan satu perantara antara Tuhan dengan manusia. Manusia itu
adalah Yesus Kristus.”
Akan tampak
dalam perjalanan sejarah ini bahwa orang-orang awam tidak melihat apa pun pada
kitab Perjanjian Baru tentang doktrin-doktrin yang menyatakan pra-eksistensi
atau ketuhanan Yesus. Yang mana banyak orang pada saat ini begitu yakin bahwa
mereka melihat ajaran itu pada kitab-kitab tersebut. Mengapa doktrin Trinitas
tidak diajarkan secara jelas dalam Perjanjian Baru, sebagaimana jelasnya
Perjanjian Lama dan Baru mengajarkan tentang keesaan Tuhan, jika doktrin
tersebut memang suatu kebenaran? Dan mengapa doktrin tentang keesaan Tuhan
selalu disampaikan dengan cara apa adanya, dan tanpa pengecualian yang
mendukung Trinitas, yang jelas ditujukan untuk menjaga kemungkinan kesalahan
dalam memahaminya, sebagaimana yang saat ini selalu terjadi kesalahan pada
ajaran pihak Ortodoks. Para theolog Kristen membangun suatu doktrin aneh dan
tak dapat dijelaskan mengenai Trinitas yang berdasarkan penafsiran-penfsiran
atas suatu pernyataan yang samar. Tetapi sebaliknya, mengesam-pingkan bahwa
bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataan yang begitu jelas.
Banyak sekali
ayat-ayat kitab yang menanamkan doktrin keesaan Tuhan dengan suatu cara yang
paling jelas dan kuat. Mengapa seseorang tidak mampu menunjukkan satu bagian
saja yang mendukung Trinitas. Dan mengapa kita mempercayai hal-hal yang penuh
misteri tanpa bukti yang jelas dan bisa dinyatakan secara bahasa maupun nalar.
Terdapat pertimbangan
lain yang harus dipikirkan oleh mereka yang mempertahankan bahwa Yesus adalah
Tuhan, atau membuat dunia di bawah Tuhan. Pertimbangan tersebut adalah cara
yang digunakan Kristus dalam membicarakan tentang dirinya dan tentang kekuatan
yang dengannya ia melakukan keajaiban-keajaiban, sering tidak sesuai dengan
struktur bahasa yang umum.
Jika Kristus
adalah pembuat dunia, dia tidak bisa. Bahkan mengatakan dirinya sendiri tidak
bisa berbuat apa-apa. Bahwa perkataan-perkataan yang ia ucapkan bukan berasal dari
dirinya. Akan tetapi dari Bapak yang ada dalam dirinyalah yang melakukannya.
Karena jika manusia biasa yang mengucapkan, akan menggunakan bahasanya
sehari-hari. Dengan mengatakan bahwa bukan dia yang berkata atau berbuat,
tetapi Tuhan yang berbicara dan berbuat melalui dirinya, dan bahwa dia tidak
mampu berbicara atau berbuat sama sekali, maka kita tidak segan-segan untuk
mengatakan bahwa bahasanya tersebut adalah salah dan sekaligus memuakkan.
Juga akan
menjadi suatu pelecehan bahasa, jika Kristus diyakini telah mengatakan bahwa
Bapaknya lebih besar dari dia. Akan tetapi hal ini hanya berkaitan dengan sifat
kemanusiaannya semata. Sementara sifat ketuhanannya pada saat yang sama, sama
persis dengan sifat Bapak. Tidak satu ayat pun yang bisa disebut sebagai suatu
pengertian tentang ketuhanan, atau bahkan sifat kemalaikatan yang hebat dalam
diri Kristus pada Injil-injil Matius, Markus, atau Lukas. Dan katakanlah bahwa
sifat tersebut mungkin terdapat pada pembukaan Injil Yohanes. Tapi sangat jelas
bahwa terdapat banyk ayat-ayat Injil Yohanes yang sangat pasti mendukung sifat
kemanusiaan Kristus.
Maka para evangelis (penyebar Injil) ini tidak
bisa membayangkan bahwa orang-orang Yahudi maupun orang-orang Gentile tidak
membutuhkan informasi tentang Trinitas yang begitu sangat jauh dari perhatian
mereka, dan pada saat yang sama begitu pengaruh menutupi penghinaan terhadap
Salib yang terus-menerus menghina orang-orang Kristen pada masa itu. Jika
doktrin ketuhanan atau pra-eksistensi Kristus benar, pastilah hal itu merupakan
sesuatu yang sangat penting dan menarik. Oleh sebab itu, karena para penyebar
Injil ini tidak memberikan catatan tertentu atau yang berbeda tentang
ajaran-ajaran tersebut dan tidak mengatakan apapun tentang pentingnya, maka
mungkin yang paling aman adalah menyimpulkan bahwa mereka (para evangelis)
tidak mengetahui ajaran-ajaran tersebut.
Juga harus
dipertanyakan bagaimana para murid Yesus tetap menyebut Kristus sebagai seorang
manusia sebagaimna yang selalu mereka lakukan, baik dalam kitab Kisah Rasul dan
juga pada surat-surat mereka, setelah mereka mengetahui bahwa Yesus adalah
Tuhan atau zat malaikat yang hebat pembuat dunia di bawah perintah Tuhan.
Dengan demikian, pastilah tidak masuk akal dan tidak layak memandangnya dalam
penampilannya dalam sifat manusia. Mari kita letakkan diri kita sendiri pada
tempat para murid Yesus dan para murid pertama Kristus. Mereka pasti telah
melihat dan berbicara dengannya pada awalnya dengan anggapan bahwa dia adalah
manusia seperti diri mereka sendiri. tentang hal ini, tidak ada keraguan sama
sekali. Oleh sebab itu, keterkejutan mereka karena diberitahu bahwa dia
bukanlah manusia biasa, tetapi sungguh-sungguh Tuhan atau bahkan pembuat dunia
di bawah Tuhan. Akan sama halnya keterkejutan kita pada saat mengetahui bahwa
seorang yang kita kenal dengan baik adalah Tuhan atau pembuat dunia. Lantas marilah kita bayangkn, bagaimana
perasaan kita, bagaimana kita harus bersikap terhadap manusia semacam itu, dan
bagaimana seharusnya kita berbicara tentang dia setelah kita mengetahui bahwa
dia adalah Tuhan. Saya yakin, tak seorang pun yang akan menyebut pribadi
tersebut dengan sebutan manusia, setelah ia yakin bahwa dia adalah Tuhan atau
pun seorang malaikat. Dia pasti selalu berbicara tentang Dia dalam suatu cara
yang sesuai dengan tingkatannya yang layak.
Ktakanlah bahwa
dua orang teman kita ternyata adalah malaikat Mikail dan Jibril, apakah kita
tetap menyebutnya manusia setelah itu? Pastilah tidak. Secara wajar kita akan
mengatakan kepada sahabat-sahabat kita, “dua
orang yang kita kira manusia tersebut ternyata bukan manusia, tetapi malaikat
yang sedang menyamar.” Bahasa ini sangatlah wajar. Untuk itu, apakah
Kristus lebih dari sekedar manusia sebelum ia datang ke dunia dan secara khusus
telah menjadi Tuhan atau pun pembuat dunia, maka ia tidak pernah bisa dianggap
sebagai seorang manusia, selama dia berada dalam ketuhanannya. Karena dia tidak
dapat membebaskan dirinya sendiri dari sifat ketuhanannya. Sekalipun dalam
keadaan menyamar. Dalam kenyataannya dia pastilah selalu menjadi apa yang
sebelumnya dan akan disebut dengan sifat sebenarnya oleh semua orang yang
mengetahui hakikatnya.
Paling tidak
Kristus semestinya dipandang sebagai seorang manusia dalam pemikiran dan
argumentasi. Sekalipun penampilan lahiriahnya akan sulit ditolak oleh mereka.
Karena telah menyebabkan mereka memberikan sebutan tersebut kepadanya.
Pastilah
mengejutkan setiap orang yang memberikan sedikit perhatian terhadap cara
penyusunan kata-kata dalam Perjan-jian Baru, bahwa istilah “Kristus” dan “Tuhan” secara terus-menerus digunakan secara bertentangan satu sama
lainnya. Sebagaimana perbedaan antara “Tuhan”
dan “manusia”. Jika kita
memperhatikan penggunaan yang wajar dari kata-kata tersebut, kita merasa puas
bahwa masalahnya pasti tidak demikian. Jika saja pertama (“Kristus”) menjadi predikat (keterangan)
dari yang terakhir (“Tuhan”),
sehingga bahwa Kristus adalah Tuhan.
Kita mengatakan
“Pangeran” dan “Raja”, karena pangeran tersebut bukan seorang raja. Jika memang
demikian, maka kita masih punya cara lain untuk membuktikan perbedaan lainnya,
seperti pada istilah “lebih besar”
dan “lebih kecil”, “senior” dan “junior”, “Bapak” dan “Anak”, dan seterusnya. Untuk itulah
ketika Paulus berkata bahwa gereja di Corintus adalah milik Kristus dan Kristus
adalah milik Tuhan, dengan cara pembe-daan di antara mereka seringkali diulang
di Perjanjian Baru. Dan terbukti jelas bahwa dia tidak bisa memiliki pendangan
tentang Kristus menjadi Tuhan, dalam pengertian apa pun dari kata tersebut.
Dalam cara yang
serupa, Clemens Romanus menyebut
Kristus “lambang kebesaran kemuliaan
Tuhan.” Hal ini cukup membuktikan bahwa dalam pandangannya, “lambang kebesaran” tersebut adalah satu
hal. Dan Tuhan yang memiliki lambang tersebut adalah sesuatu yang lain. Saya
nyatakan, inilah pemahaman dari ungkapan tersebut pada saat digunakan pertama
kali.
Setelah
memperlihatkan bahwa kecenderungan umum dari kitab-kitab suci dan berbagai
pertimbangan yang secara tegas bisa disimpulkan dari kitab-kitab tersebut,
terbukti tidak mendukung kebenaran doktrin Trinitas atau doktrin yang
menyatakan tentang ketuhanan dan pra-eksistensi Kristus. Akibatnya, muncul
pemikiran lain yang sedikit diperhatikan. Tetapi tampaknya sangat kuat
menentang terhadap doktrin-doktrin yang telah diketahui pada masa hidup para
murid Yesus. Dan untuk itu, bertentangan dengan doktrin-doktrin dari
kitab-kitab suci Injil. Kenyataan bahwa Yesus adalah Messiah, rahasianya
terbongkar dan pasti menjadi perhatian terbesar, baik bagi para murid maupun
orang-orang Yahudi. Untuk masa yang lama Yesus tidak berkata secara
terang-terangan tentang masalah ini. Tetapi membiarkan murid-muridnya dan juga
sebagian besar orang-orang Yahudi untuk menilainya dari apa yang mereka lihat.
Hanya dalam cara inilah ia menjawab kepada para muridnya bahwa Yohanes (Yahya)
si Pembaptis mengutusnya.
Jika pendeta
tinggi tersebut telah memperlihatkan rasa takutnya dengan merobek-robek
pakaiannya ―karena Yesus bersumpah bahwa dirinya adalah Messiah― maka apa yang
akan dia lakukan jika telah mendengar atau mencurigai bahwa Yesus telah mengaku
memiliki kedudukan yang lebih tinggi? Dan jika dia telah mengakuinya, pastilah
mereka akan mengalami ketakutan yang lebih hebat. Pada saat orang-orang secara
umum melihat karya-karya mukjizat, mereka hanya merasa heran bahwa Tuhan telah
memberikan kekuatan semacam itu kepada seorang manusia. Dalam Matius 9: 8
dijelaskan “Ketika orang-orang
melihatnya, mereka merasa kagum dan memuliakan Tuhan, yang telah mernberikan
kekuatan semacam itu kepada manusia.” Pada saat Herodes mendengar tentang
dia (Messiah), sebagian orang mendengar bahwa Messiah tersebut adalah Elias.
Sedangkan yang lain berpen-dapat bahwa dia adalah seorang Nabi, dan sebagian orang
mengatakan bahwa dia adalah Yohanes (Yahya) yang dibangkitkan dari kematian.
Tetapi tak satu pun dari mereka yang membayangkan bahwa dia adalah Tuhan Yang Maha
Tinggi itu sendiri, atau pembuat dunia di bawah perintah Tuhan. Sebelumnya
tidak ada yang menduga bahwa Yesus melakukan karya-karyanya yang hebat tersebut
dengan bersumber kekuatan dari dirinya sendiri. Jika doktrin ketuhanan Kristus
memang benar-benar telah diajarkan oleh para murid, dan para pemeluk baru dari
orang-orang Yahudi, tidak bisa lain kecuali hal itu telah diketahui dengan baik
oleh orang-orang Yahudi yang tidak mempercayainya. Dan apakah mereka yang
sangat fanatik dalam memegang teguh doktrin keesaan Tuhan tidak memberikan
peringatan dan penolakan terhadap Kristiani, karena mengajarkan keyakinan tentang
Tuhan-tuhan yang lebih dari satu pada masa apostolik (masa awal Kristiani)? Bahkan
tidak ada jejak apapun dari ajaran tersebut yang bisa ditemukan dalam kitab
Kisah Rasul, atau di mana saja dalam Perjanjian Baru. Untuk menjawab tuduhan
mempercayai dua atau tiga Tuhan, terdapat tulisan-tulisan yang sangat banyak dari
para Bapak Kristen kuno. Tetapi mengapa kita tidak menemukan apa-apa tentang hal
ini pada masa para murid Yesus masih hidup? Jawaban satu-satunya adalah bahwa
doktrin tentang ketuhanan Kristus belum diletakkan pada masa itu (masa para
murid).
Tuduhan apakah
yang bisa dikenakan kepada Stefanus (Kisah Rasul 6: 13) kalau bukan ucapannya mengandung
hal-hal yang memalukan yang menentang kuil Yahudi dan Hukum Musa? Jika kita
mendampingi Paulus dalam semua perjalanannya, dan menghadiri dialog-dialognya
dengan Yahudi di sinagog-sinagog mereka, kita tidak akan menemukan jejak
kecurigaan mereka yang kuat bahwa dia (Paulus) telah menyebarkan suatu ketuhanan
baru, karena ketuhanan Kristus pastilah telah nampak dan pasti selalu tampak
pada mereka.
Adalah mungkin memberikan
perhatian terhadap pemikiran-pemikiran ini dan tidaklah disadari bahwa para
murid Yesus tersebut tidak pernah diajari tentang ketuhanan atau pra-eksistensi
Kristus? Jika mereka (para murid) mengajarkan doktrin tersebut, karena doktrin benar-benar
baru, maka pasti-lah doktrin itu tampak luar biasa, dan seharusnya kita mampu
melacak masa doktrin tersebut disampaikan kepada mereka. Semestinya mereka menyatakan
keterkejutannya jika memang benar-benar tidak meragukan kebenaran tentang informasi
tersebut. Jika mereka menerima doktrin tersebut dengan keimanan yang kokoh, seharusnya
mereka mengajarkannya pada orang lain yang tidak akan menerimanya dengan begitu
mudah. Mereka pastilah menghadapi keraguan-keraguan dari orang-orang yang
diberitahu tentang doktrin tersebut, dan bahkan penolakan-penolakan mereka yang
harus mereka jawab. Tetapi dari seluruh sejarah para murid Yesus dan salinan-salinan
tulisan mereka, kita tidak menemukan jejak keterkejutan atau keraguan-keraguan
mereka sendiri maupun orang lain.
Haruskah diakui bahwa
tujuan sebenarnya dalam doa adalah Tuhan Bapak, yang disebut pribadi pertama dalam
Trinitas. Sungguh, kita tidak bisa menemukan dalam kitab-kitab suci mengenai
ajaran yang memberikan wewenang kepada kita untuk mengarahkan peribadatan kita
kepada pribadi lainnya, atau tidak ada contoh tentang hal ini. Jenis “ajaran” yang
bisa diduga sumbernya dari peribadatan penyembah berhala, sebagaimana
peribadatan Stefanus yang ditujukan kepada Kristus setelah ia melihatnya dalam
bentuk bayangan, tidak layak diperhitungkan kebenarannya. Yesus sendiri selalu
berdoa kepada Bapaknya dengan cara yang begitu merendah dan penuh penyerahan
sebagai seorang hamba yang sangat tergantung, dan selalu menyebut-Nya sebagai Bapaknya
atau Pencipta dirinya. Dan Yesus memerintahkan para muridnya untuk menyembah
kepada zat yang sama, yang Esa yang seharusnya kita tundukkan diri kepada-Nya.
Demikian juga praktik penyembahan terhadap Bapak semata adalah praktik yang telah lama berlaku pada gereja Kristen. Bentuk peribadatan (doa) yang ditujukan kepada Kristus ―sebagaimana yang terjadi pada Litany― “Tuhan memiliki kasih atas kita, dan Kristus memiliki kasih atas kita,” secara komperatif muncul belakangan. Dalam tata cara peribadatan Clementine, yang merupakan bentuk peribadatan tertua yang termuat pada Undang-undang Apostolik (Apostolical Constitutions) yang disusun kira-kira pada abad IV M, tidak terdapat jejak-jejak dan peribadatan semacam itu. Origen dalam suatu tulisan besar tentang masalah peribadatan menyatakan secara tegas bahwa peribadatan yang benar adalah kepada Bapak semata, dan bukan kepada Kristus. Maka secara wajar kita menyimpulkan bahwa pada masa Origen, peribadatan yang ditujukan kepada Kristus tidak dikenal pada dewan-dewan umum Gereja.
Sekarang marilah
kita memperhatikan bagian-bagian khusus dari sejarah para murid-murid Yesus. Pada
saat Herodes (penguasa Romawi di Yerussalem) menghukum mati James, saudara
Yohanes (Yahya), dan memenjarakan Petrus, para pengikut Kristen berdoa sebagaimana
yang tertulis dalam Kisah Rasul 12: 5 bahwa, “Doa di persembahkan oleh Gereja tanpa terputus kehadirat Tuhan,”
bukan kepada Kristus. Pada saat Paulus dan Silas di penjara di Philippi, kita menemukan
di Kisah Rasul 16: 25 bahwa mereka berdua memuji Tuhan Bapak, bukan Kristus.
Dan ketika Paulus diperingatkan bahaya yang akan menimpanya jika ia pergi ke Yerusalem
(Kisah Rasul 21: 14) dia menyatakan, “kehendak
Tuhan pasti terjadi.” Ucapan ini harus disimpulkan, Tuhan itu berarti Tuhan
Bapak. Karena Kristus sendiri menggunakan bahasa yang sama dalam pengertian ini,
ketika ia berdoa kepada Bapak. Dia mengatakan, “Bukan kehendakku, tetapi kehendak-Nya pasti terjadi.”
Telah
diperlihatkan bahwa tidak terdapat doktrin sebagaimana doktrin Trinitas dalam
kitab-kitab suci. Doktrin itu sendiri terbukti mustahil bagi manusia yang bisa
menggunakan akalnya untuk menerima atau membenarkan dalam hatinya. Karena doktrin
tersebut mengandung pertentangan-pertentangan yang menunjukkan kesia-siaannya.
Doktrin Athanasius
tentang Trinitas, menegaskan bahwa tidak satu pun dari oknum Bapak, Anak, atau
Roh Kudus, bisa berdiri sendiri tanpa oknum lainnya dan layak menjadi Tuhan. Masing-masing
setara dalam keabadian, dan sempurna sebagai Tuhan. Akan tetapi ketiga pribadi
ini bukan tiga Tuhan. Tetapi hanya satu Tuhan. Mereka (ketiganya) adalah satu dan
banyak dalam waktu yang sama ―masing-masing adalah Tuhan yang sempurna. Pandangan
ini pastilah sama kacaunya dengan mengatakan bahwa Petrus, James, dan Yohanes,
karena masing-masing memiliki segala yang dibutuhkan untuk membentuk oknum yang
sempurna, tetapi semuanya secara bersamaan bukanlah tiga Tuhan, tetapi hanya
satu Tuhan. Karena ide-ide yang dicakup dalam kata-kata “Tuhan” atau “manusia”,
tidak bisa membuat perbedaan apa pun dalam sifat dari kedua pernyataan tersebut.
Setelah Konsili Nicea, terdapat contoh dari doktrin Trinitas yang dijelaskan dengan
cara tersebut di atas. Bapak-bapak Gereja (pendeta) pada masa itu, karena secara
khusus memusatkan upaya untuk mempertahankan kesamaan penuh dari ketiga pribadi
tersebut (Bapak, Anak, dan Roh Kudus), maka secara menyeluruh kehilangan pandangan
kesa-tuan mereka yang sebenarnya. Oleh sebab itu, tidak menjadi masalah bagaimana
cara doktrin tersebut dijelaskan, maka salah satu dari ketiganya selalu dikorbankan
untuk lainnya. Karena orang-orang cenderung bingung dengan penggunaan kata-kata
“person” (pribadi) dan “being” (zat), maka hal ini harus
didefinisikan.
Istilah “being” bisa
dijadikan predikat kepada apa saja, dan untuk itu masing-masing dari ketiga
pribadi dalam Trinitas bisa dijadikan predikat. Sebab untuk mengatakan bahwa
Kristus, sebagai contoh, adalah Tuhan, tetapi tidak terdapat “being” (zat),
tidak ada subtansi, yang mana atribut-atribut (sifat-sifat) Tuhan bisa dirujukkan
kepada, akan mengakibatkan kerancu-an. Oleh sebab itu, ketika dikatakan bahwa masing-masing
dari ketiga pribadi tersebut adalah Tuhan itu sendiri, maka makna dari
kata-kata tersebut adalah: Bapak, yang dipandang secara terpisah, memiliki suatu
zat. Anak, yang dipandang secara terpisah memiliki suatu zat, dan begitu juga
Roh Kudus, yang dipandang secara terpisah, memiliki suatu zat. Karena ketiganya
memang benar-benar tiga zat, dan juga tiga pribadi, dan ketiga zat tersebut
tidak lain kecuali tiga Tuhan, tanpa mengandaikan bahwa terdapat “tiga bapak,
tiga anak, dan tiga roh kudus?”
Jika kekuatan
menurunkan keturunan yang misterius tersebut adalah sesuatu yang khusus bagi Bapak,
mengapa hal itu tidak lagi berlangsung? Bukankah Dia suatu zat yang tidak bisa
berubah, yang sama keadaan-Nya dari ada-Nya, kesempurnaan-Nya tetap sama, dan
kekuatan-Nya tetap sama? Lalu mengapa tidak ada lagi putra yang diturunkan?
Apakah Dia menjadi tidak mampu lagi untuk menurunkan keturunan, sebagaimana yang
ditanyakan oleh bapak-bapak (pendeta) Ortodoks, atau apakah hal itu tergantung
terhadap kehendak-Nya dan ridho-Nya, apakah Dia akan menggunakan kekuatan
menurunkan keturunan atau tidak? Jika demikian, bukankah anak sama dengan makhluk,
yang tergantung kepada kehendak penciptanya, sebagaimana makhluk-makhluk lain yang
Dia ciptakan, sekali pun dengan cara lain; dan apakah Dia memiliki substansi
yang sama dengan-Nya ataukah tidak?
Juga harus
ditanyakan, dengan cara apa pribadi ketiga dari Trinitas tersebut dihasilkan. Apakah
Roh Kudus tersebut tercipta dengan penggunaan gabungan dari kedua pribadi yang pertama
dalam perenungan kesempurnaan mereka yang terus-menerus? Jika demikian, mengapa
penggunaan yang sama dari keduanya tidak menghasilkan suatu (pribadi) ke empat
dan seterusnya.
Katakanlah jika
kita mengetahui pengertian yang aneh dari penurunan Trinitas tersebut bahwa eksistensi
oknum Anak tersebut mau tidak mau mengalir dari akal Bapak yang bergerak dengan
sendirinya, berarti ada superioritas Bapak dibanding Anak dan tidak ada zat yang
layak menjadi Tuhan, jika ada zat lain yang lebih super. Singkatnya skema
pemikiran ini, berakibat menjungkirbalikkan doktrin kesetaraan yang sebenarnya,
begitu juga kesatuan dari tiga pribadi dalam Trinitas tersebut.
Penolakan mendasar terhadap doktrin Trinitas adalah karena doktrin ini merusak doktrin kesatuan zat Tuhan, sebagai satu-satunya objek penyembahan, yang merupakan tujuan dasar wahyu Tuhan yang harus dilaksanakan. Setiap perubahan terhadap doktrin tersebut atau apa pun bentuk sistem yang lain, harus dipandang dengan penuh kecurigaan, karena bisa menyebabkan keragaman tujuan peribadatan, dan karenanya melahirkan kesyirikan.
Gerakan
Unitarian di Inggris sangat berpengaruh di Amerika. Gerakan ini bermula
sebagai suatu cabang Calvinisme, tetapi pada abad XVII, perbedaan-perbedaan
dasar tersebut secara perlahan-lahan barulah menjadi ajaran-ajaran (ikatan)
keagamaan dan gerakan ini tidak terlalu menekankan pada dogma. Oleh sebab itu,
terbuka jalan bagi perubahan theologis secara perlahan-lahan. Charles Chauncy (1705-1757), dari Boston,
memberikan suatu arah pasti bagi penetapan keyakinan terhadap keesaan Tuhan. Di
bawah kepemimpinan James Freeman (1759-1835),
jemaat gereja Raja membersihkan tata cara peribadatan Anglican (gereja Inggris) dari semua acuan doktrin Trinitas. Hal
ini terjadi pada tahun 1785. Demikian juga Gereja Unitarian pertama berdiri di
Amerika Serikat. Ajaran-ajaran Priestly secara terang-terangan dicetak dan
diedarkan. Ajaran-ajaran ini diterima sebagian besar masyarakat. Akibatnya, Unitarianisme
diakui semua pendeta di Boston tanpa kecuali.
WILLIAM ELLERY CHANNING (1780-1842)
William Channing
dilahirkan pada tahun 1780. Pada usia 23 tahun, ia datang ke Boston dan memulai
kerja kependetaannya yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Unitarian. Channing
tidak pernah menerima doktrin Trinitas, tetapi kemudian dipandang tidak aman
untuk menolaknya secara terang-terangan. Bersama-sama dengan pendeta-pendeta
Unitarian lainnya, ia dituduh secara diam-diam telah menyebarkan
pandangan-pandangannya yang menentang doktrin Trinitas. Channing menjawab bahwa
pandangan-pandangan mereka terhadap Trinitas tidak bersifat sembunyi-sembunyi,
tetapi ia menyebarkan pandangan bahwa doktrin Trinitas tersebut seolah-olah tidak
pernah dikenal. Channing menyatakan bahwa mereka harus mengambil pendekatan ini
agar tidak memecah belah orang-orang Kristen untuk saling bermusuhan. Oleh
sebab itu, pada tahapan ini, gerakan Unitarian belum terang-terangan.
Pada tahun 1819,
Channing memberikan ceramah pada saat penobatan pendeta agung Jared Sparks. Dengan caranya yang luar
biasa, ia membeberkan secara umum bentuk-bentuk yang kokoh dari keyakinan
Unitarian. Dia menyatakan bahwa Perjanjian Baru didasarkan atas Perjanjian Lama.
Ajaran yang diberikan kepada orang-orang Kristen merupakan kelanjutan dari
ajaran yang diberikan kepada orang-orang Yahudi. Hal ini merupakan wawasan luas
untuk memahaminya.
Dengan pandangan
ini, dia membenarkan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah menpertentangkan suatu
ajaran dari kitab suci-Nya yang satu dengan kitab suci-Nya yang lain, dan tidak
pernah mempertentangkan apa yang ada dalam wahyu, dengan apa yang Dia ajarkan
dalam karya dan pemberian-Nya. Untuk itu, kita menolak setiap penafsiran
setelah penelitian yang sungguh-sungguh, yang tampak menjijikkan bagi kebenaran
yang telah jelas. Channing menekankan agar manusia seharus-nya menggunakan
nalarnya: “Tuhan telah memberikan suatu sifat rasional kepada kita dan menyuruh
kita untuk mengguna-kannya. Kita mungkin membiarkannya tertidur, tetapi hal itu
kita lakukan atas kesalahan sendiri. Wahyu ditujukan kepada kita sebagai makhluk
rasional. Kita mungkin berangan-angan dalam malas agar Tuhan memberikan kepada
kita suatu sistem yang tidak menuntut penggunaan daya perbandingan, pembatasan
dan penyimpulan. Tetapi sistem seperti itu akan menjadi beragam dengan keseluruhan
sifat dari keberadaan kita pada saat ini, dan merupakan bagian dari
kebijaksanaan untuk memahami wahyu sebagaimana yang diberikan kepada kita dan
menafsirkannya dengan bantuan kemampuan-kemampuan yang ada pada diri kita di
mana saja hal itu merupakan keharusan dan di atas hal itulah pemahaman kita
disandarkan.” Dia meneruskan dan mengatakan bahwa “Jika Tuhan tak terbatas
kebijaksanaan-Nya, Dia tidak bisa main-main dengan pemahaman makhluk-makhluk-Nya.
Seorang guru yang bijak-sana mendapati kebijaksanaannya dengan menyesuaikan
diri-nya sendiri kepada kemampuan murid-muridnya. Bukan dengan cara mengabaikan
terhadap pertentangan-pertentangan yang tampak jelas. Bukanlah tanda kebijaksanaan
untuk meng-gunakan suatu susunan kata yang tidak bisa dinalar untuk memberitahukan
apa yang di luar kemampuan kita, untuk membingungkan dan meresahkan nalar
dengan munculnya pertentangan-pertentangan (logika). Wahyu adalah suatu pem-berian
yang menerangi kegelapan. Wahyu tidak seharusnya mempertebal kegelapan dan melipatgandakan
kebingungan kita.”
Dengan mengikuti
prinsip-prinsip ini, Channing menyatakan:
… yang pertama,
kita meyakini doktrin keesaan Tuhan, atau hanya terdapat Tuhan yang Esa. Tethadap
kekuasaan ini, kita sangat memeganginya dan kita merasa terikat untuk mempertahankannya
sekalipun orang lain merusak-nya dengan cara berpikir filsafat yang sia-sia. Proposisi
yang menyatakan bahwa terdapat Tuhan yang Esa sangat mudah bagi kita. Kita memahaminya
bahwa hanya terdapat satu zat, satu akal, satu pribadi, satu agen intelektual
dan satu-satunya yang kesempunaan-Nya tidak bersumber dari lainnya dan tak
terbatas. Kita memahami bahwa kata-kata itu tidak memiliki arti lain, sekalipun
bagi pihak awam yang sederhana dan kurang cerdas, yang berkewajiban menam-pung
kebenaran terbesar itu, dan pasti mereka kurang mampu memahami perbedaan
sehalus rambut antara pengertian kata “ada”
dengan “oknum” yang merupakan permainan
filsafat pada masa belakangan. Kita tidak dapat memahami bahwa keesaan Tuhan
itu akan jauh berbeda dari pengertian keesaan pada makhluk-makhluk lain.
Kita menolak doktrin
Trinitas. Sebab jika mengakuinya ―walaupun hanya dalam kata-kata― akibatnya
akan merusak makna keesaan Tuhan. Menurut doktrin ini, terdapat tiga priba-di yang
tak terbatas dan setara, yang memiliki kesempurnaan ketuhanan yang disebut
Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Masing-masing dari pribadi ini ―sebagaimana yang digambarkan
para theolog― memiliki kesadaran, kehendak dan kesempurnaannya secara khusus. Mereka
saling, mencintai, saling berbincang-bincang, dan saling menyayangi dalam
keberadaannya. Mereka melaksanakan bagian-bagian yang berbeda dalam penebusan manusia.
Masing-masing memiliki jabatannya yang sesuai, dan tidak melakukan tugas dari
yang lain. Anak adalah perantara dan bukan Bapak. Bapak mengutus anak, dan bukan
dirinya sendiri yang diutus. Dia berbeda dengan sang anak memakai bentuk jasmani
manusia. Maka dari itu, kita memiliki tiga agen yang memiliki kemampuan sendiri-sendiri,
yang memiliki kesadaran yang berbeda, kehendak-kehendak yang berbeda, dan
pandangan yang berbeda, melaksanakan tindakan-tindakan yang berbeda dan mempertahankan
hubungan-hubungan yang berbeda. Dan jika hal-hal ini tidak berarti dan tidak membentuk
tiga akal atau zat, maka kita tidak habis pikir bagaimana tiga akal atau zat tersebut
terbentuk. Masing-masing adalah suatu kualitas yang berbeda, tindakan-tindakan
yang berbeda dan kesadaran yang berbeda yang menggiring kita untuk meyakini
adanya zat-zat yang memiliki kemampuan berbeda. Seandainya kita tidak menyimpulkan
demikian, berarti pengetahuan kita runtuh. Karena dengan begitu, kita sudah
tidak memiliki bukti bahwa oknum dari kodrat di alam semesta ini bukan satu dan
idenya tidak sama. Ketika kita berupaya untuk membayangkan adanya tiga Tuhan,
kita tidak bisa berbuat lain kecuali membayangkan adanya tiga agen, yang
dibedakan satu sama lainnya dengan tanda-tanda yang serupa dan keistimewaan yang
memisahkan pribadi-pribadi dalam Trinitas. Pada saat orang-orang Kristen secara
umum mendengar bahwa pribadi-pribadi ini saling berbicara, saling mencinta dan melakukan
tindakan-tindakan yang berbeda, bagaimana mereka tidak memandangnya sebagai
zat-zat yang berbeda, akal-akal yang berbeda?
Kita sungguh
dengan segala ketulusan, sekalipun tanpa maksud menghina saudara-saudara kita,
memprotes terhadap doktrin Trinitas yang tidak masuk akal dan tidak berdasar kitab
suci tersebut. “Bagi kita,” sebagaimana
para murid Yesus dan orang-orang Kristen Awal, “hanya terdapat satu Tuhan.” Bersa-ma Yesus kita menyembah Bapak
sebagai satu-satunya Tuhan yang Maha Hidup dan yang sebenarnya. Kita merasa
heran melihat setiap orang bisa membaca Perjanjian Baru, tetapi menghindari
keyakinan bahwa hanya oknum Bapak yang betul-betul Tuhan.
Kita telah
mendengar firman Allah yang selalu membedakan diri-Nya dengan Yesus dengan
sebutan “Bapak mengutus Anaknya”
atau “Tuhan mengangkat Yesus.” Alangkah
ganjil dan sulit dimengerti, jika kalimat-kalimat yang telah memenuhi isi Perjanjian
Baru itu dipakai untuk menjelaskan bahwa Yesus itu adalah Tuhan, dan derajatnya
sama dengan Tuhan Bapak.
Seandainya
demikian, maka timbullah persoalan: Dapatkah bukti-bukti kuat diajukan bahwa Trinitas
dalam konsep Ketuhanan bukanlah doktrin yang fundamental dalam agama Kristen.
Jika doktrin ini benar ada, haruslah menjadi perhatian besar dan dinyatakan dengan ungkapan kata yang tepat dan jelas. Karena mengingat keanehan dan kesulitan dalam memahaminya. Tetapi dimanakah pernyataan ini ada? Dari berbagai ayat-ayat Perjanjian Baru yang berkaitan dengan Tuhan, kita hanya meminta satu ayat yang menyatakan bahwa Dia merupakan tiga perwujudan, atau Dia adalah tiga pribadi, atau Dia adalah Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Sebalik-nya, di Perjanjian Baru, di mana kita paling tidak bisa mengharapkan banyak terdapat penegasan-penegasan jelas tentang sifat ini, justru Tuhan dinyatakan tunggal, tanpa adanya upaya untuk mengartikan kata tunggal tersebut dengan makna lain. Dia selalu diucapkan dan dirujuk dalam bentuk tunggal, sehingga bahasa tersebut yang secara dasar dipahami terhadap pribadi tunggal, dan tidak ada pengertian lain yang bisa ditambahkan. Secara menyeluruh, kitab suci tersebut tidak pernah menyebut tentang Trinitas. Sehingga pada saat lawan-lawan kita memasukkan dengan paksa doktrin Trinitas tersebut ke dalam ajaran dan kidung-kidung pujian, mereka terpaksa meninggalkan Bibel, dan mencari rumusan kata-kata baru yang secara menyeluruh tidak didukung oleh kitab suci. Doktrin aneh dan membingungkan ―tetapi sangat fundamental bagi Kristen serta membutuhkan penjelasan yang sangat hati-hati ini― ternyata diabaikan oleh kitab sucinya. Sehingga hanya ditarik penafsiran-penafsiran atas kalimat-kalimat yang samar bermakna ganda di dalam kitab suci. Hal itu merupakan sikap yang amat licik.
Kita memiliki kesulitan
lain. Kristiani, harus tetap diingat, ditanamkan, dan dikembangkan ditengah-tengah
musuh-musuh yang tajam pandangannya (para filosof Yunani), yang tidak bisa
menemukan celah-celah kelemahan dari sistem keesaan Tuhan. Oleh karena mereka
pasti mengkaitkan dengan kesungguhan yang luar biasa terhadap suatu doktrin
yang bisa melahirkan pertentangan-pertentangan yang begitu menyolok sebagaimana
yang ada dalam Trinitas. Kita tidak bisa membayangkan suatu tanggapan terhadap
Trinitas, terutama orang-orang Yahudi yang membanggakan diri mereka karena
menganut ajaran keesaan Tuhan. Sekarang, bagaimana yang terlihat pada tulisan-tulisan
Apostolik, yang menggambarkan begitu banyak penolakan terhadap Kristiani, dan kontroversi-kontroversi
yang muncul dari agama ini tak satu pun kalimat-kalimat dalam Injil yang mengisyaratkan
doktrin Trinitas, dan tidak ada kata-kata yang mengungkap pembelaan terhadap Trinitas
maupun yang menjelaskannya, dan tak satu pun kata yang menyelewengkannya dari
penghinaan dan kekeliruan. Andaikan saja kita menerima bahwa tiga oknum
tersebut telah didengungkan oleh para pengabar pertama Kristiani, bahwa
ketiganya sama dan semuanya tak terbatas, dan salah satu dari ketiganya adalah Yesus
yang pada akhirnya mati di tiang salib. Keanehan Kristiani ini hampir membingungkan
setiap orang, dan usaha mati-matian dari para murid pasti dilakukan untuk
menolak tuduhan-tuduhan yang beruntun. Tetapi kenyataan yang ada adalah kita
tidak pernah mendengar penolakan-penolakan terhadap Kristiani dalam hubungannya
dengan doktrin tersebut pada masa Apostolik. Pada surat-surat murid Yesus kita
tidak melihat tanda-tanda pertentangan yang disebabkan oleh Trinitas.
Kita masih memiliki keberatan lain terhadap doktrin ini yang digali dari pengaruh praktisnya. Kita menganggap sebagai sesuatu yang tidak layak bagi kesungguhan usaha kita dengan cara memilah-milah akal dalam hubungannya dengan Tuhan. Kemuliaan yang besar dari doktrin keesaan Tuhan adalah: ia memberikan kepada kita satu tujuan cinta dan kehormatan. Satu Bapak yang tak terbatas kekuasaan-Nya, satu zat, satu asal dan sumber, dan kepada-Nya kita kembalikan segala kebaikan, dan kepada-Nya semua kekuatan dan cinta kita terpusat, dan kasih sayang-Nya meliputi segala pemikiran kita. Kesalahan yang benar, jika ditujukan kepada suatu ketuhanan yang tak terpilah-pilah, memiliki suatu kesucian, kesatuan, yang paling layak bagi kerinduan dan cinta keagamaan. Sekarang Trinitas menggelar di depan kita tiga tujuan penghormatan yang berbeda-beda, tiga pribadi yang sama-sama tak terbatas, yang memiliki pengakuan sama terhadap hati kita, tiga agen ketuhanan yang melaksanakan tugas-tugas yang berbeda, dan harus diakui dan disembah dalam hubungan-hubungan yang berbeda. Kita bertanya, apakah mungkin akal manusia yang lemah dan terbatas bisa menganut doktrin-doktrin ini dengan kepuasan yang sama dengan penyembahan terhadap satu Bapak yang tak terbatas, satu-satunya penyebab Pertama, di mana pada-Nya semua berkah alam dan penyesalan bertemu sebagai pusat dan sumber kehidupan mereka? Apakah kepatuhan tersebut tidak terganggu dengan adanya klaim-klaim yang sama dan bersaingan dari tiga pribadi yang setara tersebut?
Kita juga harus berpikir bahwa doktrin Trinitas melalui kepatuhan, bukan saja karena menambahkan kepada Bapak objek-objek penyembahan lainnya, tetapi juga karena mengalihkan kecintaan yang sempurna dari Bapak kepada Anak. Ini adalah pandangan yang paling penting. Bahwa Yesus Kristus ―jika diangkat menjadi Tuhan yang tak terbatas― maka ia akan menjadi lebih menarik dari Bapak. Manusia menginginkan suatu objek sesembahan yang seperti diri mereka sendiri, dan rahasia besar kemusyrikan terletak pada kecenderungan ini. Suatu Tuhan ―yang berbentuk seperti kita, dan merasakan langsung keinginan-keinginan dan kesedihan-kesedihan kita bisa berbicara lebih jelas kepada kita, yang lebih lemah dari-pada Bapak di surga yang suci yang tidak bisa dilihat dan didekati, kecuali melalui akal yang jernih dan tajam. Kita juga berpikir bahwa jabatan-jabatan khusus yang diberikan kepada Yesus oleh theologi populer, menjadikannya pribadi yang paling menarik dalam ketuhanan. Bapak adalah sumber keadilan, penjaga kebenaran, pembalas hukum-hukum ketuhanan. Di sisi lain, Anak adalah kecemerlangan kasih Tuhan yang berdiri di antara kemurkaan Tuhan dan dosa manusia, yang memperlihatkan kelembutan hatinya menghadapi cobaan dan ketulusan jiwanya menghadapi pedang keadilan Tuhan, yang memikul seluruh beban dosa kita dan menebusnya dengan darahnya yang meneteskan berkah yang bersumber dari surga. Apakah perlu kita menyatakan pengaruh ajaran-ajaran seperti ini, terutama bagi orang-orang awam yang menjadi sasaran utama dakwah Kristen, dan pengaruhnya terhadap mereka yang berusaha mencari Bapak sebagai zat yang paling dicintai?
Setelah
menjelaskan pandangan-pandangan kita tentang keesaan Tuhan, maka kita beranjak
pada permasalahan kedua, saya ingin meneliti dan meyakinkan bahwa kita percaya pada
keesaan sifat Yesus Kristus. Kita percaya bahwa Yesus adalah satu akal, satu
jiwa, satu zat sebagaimana kita pada umumnya dan benar-benar berbeda dari Tuhan
yang Esa. Kita menyesalkan terhadap doktrin Trinitas, yang tidak puas dengan
menjadikan Tuhan memiliki tiga zat, tetapi juga menjadikan Yesus Kristus
memiliki dua zat. Dan oleh sebab itu, menyebabkan kebingungan yang tidak ada
akhirnya ke dalam pandangan-pandangan kita tentang karakternya. Penyelewengan Kristiani
ini ―yang merupakan pelecehan terhadap akal sehat dan bunyi teks kitab suci―
adalah suatu bukti yang jelas dari kekuatan dari suatu filsafat palsu dalam membelokkan
kebenaran yang gamblang tentang Yesus.
Menurut doktrin
ini, Yesus Kristus bukan hanya memiliki satu akal, satu dasar kemampuan
kesadaran yang bisa kita pahami, tetapi ia memiliki dua jiwa, dua akal. Satu
pihak memiliki penuh kesempurnaan, di pihak lain bersifat kekurangan. Sekarang
kita mengetahui bahwa doktrin ini menjadikan Kristus memiliki dua zat. Untuk
menyatakan bahwa dia adalah satu pribadi, satu zat, tetapi menganggapnya
terdiri dari dua akal, yang sama sekali berbeda antara satu dengan lainnya. Itu
sama artinya dengan melecehkan dan merancukan bahasa, dan menggelar kegelapan terhadap
semua pemahaman kita. Menurut doktrin umum gereja, masing-masing dari dua akal
dalam diri Kristus tersebut memiliki kesadarannya sendiri-sendiri, kehendaknya
sendiri-sendiri, konsepsi-konsepsinya sendiri-sendiri. Akibatnya, keduanya
tidak memiliki kemampuan yang sama. Akal ketuhanan tidak merasakan satu apa pun
keinginan dan kesedihan manusia, dan manusia tanpa batas terjauhkan dari
kesempurnaan dan kebahagiaan ketuhanan. Bisakah Anda meyakini dua zat di jagad
raya yang lebih berbeda dari hal ini? Kita selalu berpikir bahwa satu pribadi
itu terbentuk dan dibedakan dari yang lain oleh satu kesadaran. Doktrin yang
menyatakan bahwa satu pribadi yang sama tersebut memiliki dua kesadaran,
kehendak, jiwa, yang sama sekali berbeda antara keduanya, kita anggap suatu beban
yang terlalu berat untuk dipercaya.
Jika suatu doktrin
begitu aneh, sulit, dan begitu jauh dari semua konsepsi manusia, menjadi bagian
mutlak yang berdasarkan wahyu, maka pastilah doktrin tersebut harus diajarkan dengan
pembedaan-pembedaan yang besar, dan kita tanyakan kepada saudara-saudara kita
untuk menunjukkan ayatnya yang jelas dan langsung, di mana dalam kitab suci Kristus
dikatakan terdiri dari dua akal yang sama sekali berbeda, tetapi tetap
membentuk satu pribadi. Ternyata kita tidak pernah menemukannya. Sungguh orang-orang
Kristen lainnya mengatakan kepada kita bahwa doktrin tersebut perlu untuk menyelaraskan
diri dengan ayat-ayat kitab suci. Benarkah ayat Injil mengakui Yesus Kristus
sebagai manusia, sekaligus memiliki sifat ketuhanan? Untuk mendamaikan
perbedaan-perbedaan ini, kita harus menganggap adanya dua akal, sehingga dua
sifat yang saling bertentangan tersebut bisa dirujukkan. Dengan kata lain,
untuk tujuan mendamaikan bagian ayat-ayat tertentu yang sulit, kita harus
membuat hipotesa baru yang jauh lebih sulit, dan menyebabkan kerancuan yang
luar biasa. Kita harus menemukan jalan keluar dari kebingungan tersebut dengan
suatu cara yang menggiring kita ke dalam teka-teki yang tidak ada jalan
keluarnya.
Sungguh, jika
Yesus Kristus merasa bahwa ia terdiri dari dua akal, dan yang ini merupakan bentuk
ajaran yang pokok dalam agamanya, maka susunan kata-katanya dalam memandang
dirinya sendiri pastilah diwarnai dengan kekhususan ini. Bahasa universal
manusia dibatasi oleh ide, sehingga satu pribadi adalah satu pribadi, satu akal
dan satu jiwa. Pada saat orang-orang mendengar bahasa ini dari mulut Yesus, maka
pastilah mereka memahaminya dalam pengertian yang umum (wajar), dan pastilah
merujuk kepada suatu makna tunggal dari semua yang ia ucapkan, kecuali secara
jelas diperintahkan untuk menafsirkannya secara berbeda. Tetapi di manakah kita
bisa menemukan perintah ini? Di manakah Anda temukan di Perjanjian Baru
mengenai susunan kata yang bercabang maknanya pada buku-buku Trinitarian, dan
dari susunan kata tersebut mau tidak mau menimbulkan doktrin adanya dua sifat
dalam diri Yesus? Di manakah kita bisa menemukan guru suci (Yesus) tersebut
mengatakan, “Ini saya berbicara sebagai
Tuhan, dan ini sebagai manusia. Ucapan ini berar-benar bersumber dari akal
manusia saya, dan yang ini bersumber dari akal ketuhanan saya”? Di manakah
kita menemukan dalam surat-surat (murid-murid Yesus) suatu jejak dari susunan
kata yang aneh tersebut? Tidak ada. Susunan semacam itu tidak dibutuhkan pada
masa itu. Susunan kata tersebut dibutuhkan karena adanya kesalahan-kesalahan
yang terjadi pada masa belakangan.
Maka kita
meyakini Kristus hanya memiliki satu akal, satu zat, yakni satu zat yang
berbeda dari Tuhan yang Esa. Kita menginginkan, bahwa orang-orang yang berbeda
dengan kita bisa menyebutkan satu bukti yang kuat. Yesus dalam ucapannya
terus-menerus berbicara tentang Tuhan. Kata-kata “Tuhan” tersebut selalu keluar
dari bibirnya. Kita bertanya apakah dia memaksudkan dirinya sendiri dengan kata-kata
tersebut? Kita katakan, tidak pernah. Sebaliknya, dia secara jelas membedakan
antara Tuhan dengan dirinya sendiri, dan demikian juga para muridnya. Bagaimana
hal ini bisa didamaikan dengan ide, bahwa perwujudan Kristus sebagai Tuhan
adalah suatu tujuan dasar Kristiani.
Jika kita
mengkaji ayat-ayat Injil yang di dalamnya Yesus dibedakan dari Tuhan, kita akan
melihat bahwa ayat-ayat tersebut bukan saja menyatukan dirinya sebagai zat yang
lain, tetapi juga terlihat pernyataan kerendahannya di hadapan Tuhan. Dia
selalu berbicara sebagai putra Tuhan, utusan Tuhan, yang menerima semua kekuatannya
dari Tuhan, melakukan mukjizat-mukjizat karena Tuhan bersamanya, memutuskan
perkara dengan adil karena Tuhan mengajarkannya, memiliki ajaran atas keimanan
kita karena dia telah dibaptis dan disumpah oleh Tuhan dan tidak bisa berbuat
apa-apa atas kehendak dirinya sendiri. Perjanjian Baru penuh dengan bahasa ini.
Sekarang kita bertanya apakah kesan yang dimaksudkan dari bahasa ini? Bisakah
seseorang yang mendengarnya akan membayangkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang
justru kepada-Nya dia selalu menyatakan kelemahannya, zat yang telah mengutusnya,
dan dari Dia pesan dan kekuatannya berasal.
Orang-orang yang mendukung Trinitas mengaku mendapat-kan beberapa keuntungan dari cara mereka memandang Kristus. Doktrin tersebut memberikan kepada mereka suatu penebusan dosa yang tak terbatas. Karena doktrin tersebut memperlihatkan kepada mereka suatu zat yang tak terbatas yang menderita karena dosa-dosa mereka. Keyakinan terhadap kebohongan ini benar-benar mengherankan kita. Pada saat dikejar dengan pertanyaan, apakah mereka benar-benar percaya bahwa Tuhan yang tak terbatas dan tak berubah telah menderita dan mati pada tiang salib? Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak benar, tetapi hanya akal manusia Kristus semata yang merasakan kesakitan dalam kematian. Lalu bagaimana kita bisa memiliki seorang yang merasakan penderitaan yang tak terbatas? Bahasa ini tampak bagi kita sebagai suatu beban terhadap akal sehat, dan sangat menghina terhadap keadilan Tuhan. Karena sifat ini hanya bisa dipenuhi dengan sophisme (cara berfikir yang salah dan palsu) dan fiksi.
Demikianlah,
sekalipun Channing percaya bahwa Yesus telah di salib dan dibangkitkan, ia
tetap mampu menunjukkan kerancuan doktrin penebusan dosa, sekalipun ia tidak
mengeta-hui kenyataan bahwa peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar doktrin ini
tidak pernah terjadi. Channing menolak doktrin penebusan dosa dengan dasar-dasar
berikut ini:
Tidak ada bagian
dalam Bibel yang menyatakan bahwa anak manusia adalah tak terbatas dosanya dan
membutuh-kan suatu penebusan dosa yang tak terbatas. Doktrin ini mengajarkan
kepada kita bahwa manusia ―sekalipun di-ciptakan oleh Tuhan sebagai seorang makhluk
yang lemah, bersalah, dan tidak sempurna― dipandang oleh Sang Pencipta sebagai
seorang pembangkang yang tak terbatas. Orang-orang Unitarian meyakini bahwa Tuhan
bisa meng-ampuni tanpa pertentangan yang kaku ini. Doktrin yang menyatakan Tuhan
menjadi “seorang korban” dan “mengorbankan” dirinya bagi makhluknya
sendiri yang membangkang adalah suatu doktrin yang tidak masuk akal dan juga
tidak berdasar kitab suci. Penebusan seharusnya dilakukan untuk Tuhan, bukan
oleh Tuhan. Jika penebusan dosa yang tak terbatas memang suatu keharusan ―yang
hanya Tuhan yang bisa melakukannya― maka Tuhan harus menjadi “sesuatu” yang menderita dan harus
mengorbankan diri-Nya karena penderitaan kita maka akal kita tidak bisa
menerimanya. Untuk terlepas dari kesulitan ini, kita diberi tahu bahwa Kristus
menderita sebagai manusia dan bukan sebagai Tuhan. Tetapi jika manusia hanya menderita
sesaat dalam periode yang terbatas, lantas apa yang meng-haruskan adanya
penebusan dosa yang terbatas tersebut? Jika kita memiliki Tuhan di surga dengan
kebajikan dan kekuasaan yang tak terbatas, maka kita tidak butuh pribadi lain
yang tak terbatas untuk menyelamatkan kita. Doktin ini merendahkan Tuhan pada
saat ia menyatakan bahwa tanpa bantuan dari suatu Tuhan kedua dan ketiga, maka
Dia tidak bisa menyelamatkan manusia. Jika suatu kepuasan tak terbatas
terhadap keadilan adalah suatu yang sangat diperlukan bagi keselamatan manusia,
maka seharusnya hal ini dinyatakan tegas dan pasti. Paling tidak dalam salah satu
bagian dari Bibel. Doktrin ini seperti seorang hakim yang menghukum dirinya
sendiri karena kejahatan yang dilakukan oleh seorang pembangkang yang hadir
dalam sidangnya.
Bibel
menyatakan, “Setiap orang harus hadir di
depan pengadilan Kristus untuk menerima sesuai dengan tindakan-tindakannya, baik
atau buruk.” (II Korintus 5: 10). Dan lagi, “Setiap orang dari kita harus memberikan catatannya sendiri kepada Tuhan.”
(Roma 14: 10). Jika dengan penyaliban Yesus, maka keadilan Tuhan telah
mengampuni dosa-dosa di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, maka Tuhan
telah kehilangan semua kekuasaan-Nya untuk memerintahkan kebajikan, dan semua
hak prerogatif-Nya untuk menghukum mereka yang tidak mau patuh. Jika Tuhan
menghukum seorang pendosa pada Hari Pembalasan, maka apakah Tuhan yang
melanggar sumpah-Nya ataukah doktrin penebusan dosa tersebut yang palsu?
Sampai pada tahun 1819, jemaat-jemaat Unitarian diselenggarakan di rumah-rumah pribadi atau di gedung pertemuan Akademi Kedokteran di Barclay Street, di Boston. Pada tahun 1820, pembangunan gedung bagi peribadatan Unitarianisme dimulai. Pembangunan tersebut selesai pada tahun 1821. Di samping adanya bukti bahwa mereka menjadi semakin kuat, tetapi orang-orang Unitarian tetap disebut sebagai “orang-orang pembid’ah, kafir, dan atheis.” Tetapi pada tahun ini juga kita menyaksikan suatu kekalahan dari kebijaksanaan yang menye-babkan dakwah Unitarian berjalan secara sembunyi-sembunyi. Channing, yang telah begitu jauh menerima serangan-serangan picik dan menyakitkan dari mimbar-mimbar Ortodoks tanpa pembalasan, merasa waktunya telah tiba untuk membalas dengan segala kekuatan ajarannya dan berbicara secara jantan dalam mendukung keimanannya, serta menentang kecemburuan-kecemburuan Ortodoksi. Dalam buku, “A History of Unitarianism,” E.M. Wilber menulis tentang Channing bahwa, “Jika kitab-kitab suci ditafsirkan secara rasional, pasti mengajarkan doktrin yang diyakini oleh orang-orang Unitarian.” Hal ini menjadi doktrin utama yang menyebabkan orang-orang Unitarian berbeda jauh dari orang-orang Ortodoks dan menegakkan doktrin-doktrin tersebut satu persatu dengan mencari kebenaran. Yang menyebabkan daya tarik yang mengesankan dan agung dalam menentang pemikiran-pemikiran yang sangat tidak rasional, bertentangan dengan kemanusiaan dan penuh kegelapan sebagaimana Calvinisme. Dan mengajukan Ortodoksi pada masa itu untuk bertanggung jawab di depan pengadilan nalar dan keyakinan yang populer.”
Masalah Unitarianisme
itu semakin memuncak, sewaktu gereja Ortodoks melakukan konvensi di Massachusett pada tahun 1823 untuk
merumuskan “Doctrinal test” (ujian
doktrin) bagi para pendeta yang akan mengajar pada jemaat Unitarian. Tetapi konvensi
itu berakhir dengan kegagalan. Bahkan kegagalan ini menyebabkan gerakan
Unitarian menjadi terbuka, dan berperan dalam mempersatukan anggota-anggotanya
yang berbeda-beda untuk mempertahankan suatu tujuan yang sama.
Pada tahun 1825 ―sewaktu
125 buah gereja menggabungkan diri ke dalam American Unitarian Association― pihak
Kristen Ortodoks mengajukan permohonan kepada Mahkamah agar mencegah kaum
Unitarian menguasai harta dan hak milik gereja yang sebelumnya dikuasai oleh
pihak Ortodoks. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung Massachusett memutuskan bahwa
hak milik gereja tergantung pada suara anggota jemaat gereja sendiri, bukan
pada pihak yang mengajukan perkara. Akibatnya, hak milik gereja yang dikuasai
oleh lebih enampuluh paroki pindah kepada pihak Unitarian.
Pada tahun 1827, gereja Unitarian kedua dibuka dengan suatu khotbah oleh Channing. “Kepada tokoh inilah,” tulis E.M. Wilber, “seharusnya jasa tersebut diberikan. Karena ia secara mendasar bertanggung jawab terhadap hasil nyata, sekalipun tidak diakui secara eksplisit. Doktrin Trinitas, sekalipun tetap diakui secara resmi, tetapi doktrin tersebut tidak lagi menjadi pusat keimanan Ortodoks. Sedangkan doktrin-doktrin Calvinisme yang belum tuntas telah mendapatkan penafsiran-penafsiran baru yang akan ditolak oleh bapak-bapak (pendeta) dengan penuh kengerian.” Perkembangan Unitarian ini bukan berarti tidak memperoleh perlawanan. Pada tahun 1883, orang-orang Unitarian diserang sebagai “orang-orang kafir yang berdarah dingin.” Akibatnya, terjadilah pembantaian yang melampaui batas, yang tak bisa dibandingkan. Sekalipun dengan masa-masa kekakuan dan kefanatikan theologis.
Tercatat bahwa
pada akhir 1924, tigapuluh atau empatpuluh orang-orang Unitarian bertemu di
Boston dan membentuk suatu perhimpunan tanpa nama. Hal ini menunjukkan bahwa
sekalipun tidak ada keserupaan nasib yang telah menimpa orang-orang Unitarian Awal,
tetapi tetap ada suatu unsur bahaya bagi seorang Kristen yang membenarkan kesatuan
Tuhan.
Channing tetap
menjadi seorang Unitarian yang kokoh sampai akhir hayatnya. Baginya, Yesus
bukan saja seorang manu-sia, tetapi juga seorang Nabi Tuhan. Bertolak belakang dengan
doktrin-doktrin Calvin tentang kebejatan moral manusia, murka Tuhan, dan
pengorbanan Kristus untuk penebusan dosa, Channing mengemukakan “satu ide yang menyelesaikan” yang ia
tegaskan sebagai “kebesaran jiwa, penyatuannya dengan Tuhan dengan cara-cara
spiritual, kemampuannya untuk menerima ruh-Nya, kemampuan dirinya untuk
membentuk kekuatan dan tujuannya kepada kehidupan akhirat yang abadi.” Ajaran ini merupakan perubahan segar dari logika kaku dan penekanan yang
berlebihan terhadap dunia nyata oleh Priestly. Ajaran Channing ini memberikan napas
kehidupan bagi gerakan Unitarian, tidak saja di Amerika, tetapi juga di Inggris.
Priestly adalah seorang ilmuwan Fisika, cara nalarnya tegas, tetapi
pandangannya bersifat materialis. Sedangkan Channing mengangkat pemikiran
tersebut mencapai keluhuran spiritual yang tinggi. Kata-katanya menyebabkan
kesan yang mendalam pada kedua sisi Atlantik ketika ia menyatakan, “sifat rasional manu-sia berasal dari Tuhan.” Dia menolak setiap bentuk kepicikan sektarian. Sikap-sikap agresif sangatlah
asing baginya, dan semangat ini ditanamkan pada pemimpin-pemimpin gerakan
tersebut yang berpuncak pada pendirian Fakultas Theologi di Universitas Harvard
pada tahun 1861.
Salah satu bagian
dari tujuan dasarnya adalah, “Telah dipahami bahwa setiap dorongan harus diberikan
kepada penyelidikan yang sungguh-sungguh, tidak memihak, dan jujur terhadap kebenaran
Kristiani, dan tidak dibenarkan bagi sekte apa pun untuk mewajibkan para
mahasiswa, profesor, atau instrukturnya agar menerima keyakinan yang dianut.” Pada tahun 1825, perhimpunan Amerika dibentuk, dan pada tahun yang sama juga dilakukan
di Inggris.
Unitarianisme
dalam Kristiani tetap berlangsung sampai saat ini. Banyak dari sekte-sekte Kristen,
sekalipun mereka hanya sedikit mengetahui tentang realitas keberadaan Yesus ―tentang
bagaimana ia bersikap terhadap orang-orang lain dan melakukan transaksi-transaksinya
dengan mereka, bagaimana ia melakukan segalanya dan bagaimana ia menjalani kehidup-annya―
tetap meyakini terhadap Tuhan yang Esa dan berusaha untuk hidup sesuai dengan
ajaran-ajaran Bibel, sekalipun mereka sadar terdapat pertentangan di dalamnya. Akan
tetapi, kebingungan yang disebabkan oleh doktrin penebusan dan penyelamatan
serta Trinitas, ditambah dengan tidak adanya petunjuk yang sebenarnya tentang
bagaimana hidup sesuai dengan cara yang dilakukan Yesus, telah menyebabkan
penolakan yang hampir menyeluruh terhadap Kristiani pada saat ini. Pada saat ini,
gereja terbaring kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar