Barnabas, atau Barnabe, yang berarti “anak pelipur duka” atau “anak (pemberi) peringatan”, adalah seorang Yahudi yang lahir di Cyprus. Dia dikenal dengan sebutan Joses atau Yusuf, tetapi kemudian ia dijuluki Barnabas oleh para murid Yesus. Sekalipun keempat Injil sedikit sekali menyinggung tentang Barnabas, tetapi jelas terbukti dari beberapa kitab lain di Perjanjian Baru bahwa dia menjadi salah satu pemimpin setelah Yesus menghilang. Dialah yang berusaha mati-matian meme-gang teguh kemurnian ajaran Yesus dan menentang setiap bid’ah (innovator), terutama Paulus dari Tarsus. Lukas, yang menulis kitab “Kisah Para Rasul” adalah dokter pribadi Paulus dan oleh sebab itu, ikut memberi warna dalam pandangan Paulus. Hal ini menjelaskan mengapa Barnabas hanya disinggung oleh Lukas ketika menggambarkan cerita tentang Paulus. Celakanya, kitab-kitab seperti “Perjalanan dan Ajaran-ajaran Para Rasul” telah dihancurkan oleh Gereja Paulus setelah doktrin Trinitas diresmikan ―dalam usaha memusnah-kan setiap catatan yang bertentangan dengan dogma tersebut. Untuk itulah sebagian besar informasi tentang Barnabas dan ummat Kristen Awal telah lenyap. Kebijakan dari para pendu-kung Trinitas inilah yang mungkin bisa menunjukkan mengapa setiap merujuk kepada Barnabas, secara ganjil lenyap dari keempat Injil resmi. Dan mengapa Barnabas yang mencapai tingkatan pertama dalam pengetahuan tentang ajaran Yesus, lenyap dari lembaran-lembaran sejarah setelah dia dan Paulus berbeda pendapat dan saling berpisah jalan.
Barnabas telah
menemani Yesus sejak awal misinya. Injil-nya dengan jelas menunjukkan
kesetiaannya yang besar kepada Yesus dan betapa cinta Yesus kepadanya. Barnabas
bukan saja sahabat karibnya, tetapi juga menyerap dan mempertahankan ajarannya.
Sehingga ia begitu cepat mencapai ketenaran dalam pengetahuannya tentang ajaran
Yesus ―yang terbukti kebenar-annya secara jelas dalam kitab Kisah Para Rasul
sebagai orang yang memiliki kemampuan menyampaikan apa yang telah ia pelajari
dari gurunya. Nama yang diberikan murid Yesus kepadanya, menunjukkan
kehebatannya sebagai pembicara yang menjadi sumber pelipur lara dan keberanian.
Dia adalah seorang yang tulus dan juga dermawan. Setelah bertemu Yesus, dia
menjual semua hartanya dan memberikannya untuk kepentingan para pengikut Yesus.
Rasa cinta Yesus dan para muridnya kepadanya ditunjukkan dengan sejumlah
panggilan yang bermacam-macam kepadanya. Pada saat “Para Rasul” (murid-murid Yesus) memutuskan memilih Yesus “sejak awal pembaptisannya oleh Yahya”,
mereka memilih dua orang calon Yusuf, yang dipanggil dengan sebutan Barnabas,
yang nama keluarganya bernama Justus dan Mathias (Kisah 2: 22-23). Tidak ada
nama Yusuf lainnya yang menemani Yesus selama hidupnya yang dirujuk dalam
Perjanjian Baru, kecuali seorang yang terkenal dengan panggilan Barnabas. Oleh
sebab itu, dengan segala kemungkinan, Barnabas ―menurut E.J. Goodspeed― yang
pernah minum racun mematikan tetapi tidak mengalami apa-apa tidak lain adalah
Barnabas. Jika ini benar, maka hal itu juga menunjukkan bahwa Barnabas ―jika
bukan merupakan duabelas murid yang pertama― maka ia pastilah salah satu dari
70 murid pertama. Ada bukti bahwa dia di-pandang cukup terhormat untuk
diusulkan sebagai orang yang pantas untuk menggenapi jumlah dari duabelas
murid. Bukti tersebut didukung oleh sebuah riwayat yang menceritakan bahwa pada
saat Maryam ―ibunda Yesus― terbaring menjelang ajal, ia memanggil para murid
Yesus, dan Barnabas adalah salah satu dari yang hadir. Clement dari Alexandria
selalu merujuknya sebagai “Rasul”
dalam tulisan-tulisannya.
Tampaknya Yesus
diasuh oleh masyarakat Esenes, dan terdapat satu riwayat yang menyatakan bahwa
Barnabas adalah seorang murid Gamaliel
―guru terbesar agama Yahudi Orto-doks pada masa itu. Maka pertemuan Yesus dan
Barnabas berarti perpaduan dari semua hal yang terbaik dari ajaran kezuhudan
masyarakat Esenes dan agama Yahudi Ortodoks dari kuil (Sulaiman). Karena
Barnabas berasal dari suku Lewi,
maka ia bisa menjadi pemimpin suatu kelompok dari orang-orang yang setia (Zealot).
Sekalipun sangat
sedikit yang diketahui tentang Barnabas, tetapi penelitian sejarah yang paling
akhir secara perlahan-lahan menyingkap bukti tentang pentingnya peranan
Barnabas selama Yesus tidak ada di bumi. Saat ini, secara umum diterima bahwa “Jamuan Terakhir” (The Last Supper) diselenggarakan di rumah saudara perempuan
Barnabas. Albert Schweitzer dalam
bukunya “The Kingdom of God and
Primitive Christians Belief” (Kerajaan Tuhan dan Keimanan Kristen Awal)
menulis:
Bisa disimpulkan dari kitab Kisah Para Rasul bahwa
para murid Yesus dan jemaat dari Galilea bertemu di rumah ibunda Markus, yang
kemudian menemani Barnabas dan Paulus pada perjalanan misi pertama (Kisah 12:
25)… Tempat pertemuan para jemaat berada di “kamar atas”, yang berarti terletak tepat di bawah atap rumah (Kisah
1: 12-14). Rumah tersebut pastilah cukup besar untuk memuat seluruh jemaat. Di
tempat inilah para jemaat berkumpul bersama di satu tempat pada hari Pantekosta
(Kisah 2: 1). Bagaimanakah rumah ini dikatakan sebagai tempat Yesus merayakan
“Jamuan Terakhir” dengan murid-muridnya?
Ketika Yesus mengirim dua muridnya dari Bethani ke kota dengan perintah untuk
menyiapkan “Jamuan Paskah” (Perayaan terbebasnya bangsa Yahudi dari Mesir)
untuknya, dia berkata kepada keduanya untuk mengikuti seorang yang akan
menemani mereka dengan membawa sebuah kendi. Dia akan membawa mereka ke sebuah
rumah dengan sebuah kamar di atas (loteng) yang besar dengan alas permadani,
dimana mereka akan mempersiapkan jamuan tersebut. Kita sangat berterima kasih
terhadap informasi yang sangat penting ini kepada Injil Markus (Markus 14:
13-15), yang menghubungkan suatu riwayat kepada John Mark (Markus). Matius
hanya menyatakan bahwa Yesus mengirim dua muridnya dengan membawa
pengarahan-pengarahan yang harus disampaikan kepada seseorang di kota, Guru
tersebut (Yesus) berkata, “Waktu hampir sampai. Aku akan melakukan upacara
Paskah di rumahnya dengan murid-muridku.” (Matius 26: 8). Theodore Zahn adalah
orang perta-ma yang mengajukan pandangan bahwa rumah tempat Jamuan Yesus yang
terakhir dengan murid-muridnya tersebut adalah rumah ibunda Markus, dimana di
dalamnya murid-murid tersebut berkumpul bersama-sama jemaat dari Galilea.
Sekalipun
Schweitzer menyatakan rumah tersebut adalah rumah ibu Markus, tetapi dia tidak
mengingatkan kepada kita bahwa ibu Markus adalah saudara perempuan Barnabas.
Karena pada saat itu Barnabas telah menjual semua miliknya, tampaknya ia
tinggal di rumah saudaranya ketika berada di Jerusalem, terutama disebabkan
saudaranya tersebut memiliki rumah dengan sebuah ruangan yang cukup besar bagi
semua murid untuk bertemu di dalamnya. Mungkin alasan mengapa tidak satu pun
informasi tentang hal ini secara jelas dinyatakan dalam Perjanjian Baru adalah karena
para murid Yesus ingin menyembunyikan tempat pertemuan mereka pada waktu
dikejar-kejar oleh tentara Romawi.
Mungkin bisa
dipertanyakan mengapa tidak ada catatan yang jelas tentang Barnabas dalam
peristiwa “Jamuan Terakhir” pada
keempat Injil. Padahal Barnabas menjadi tuan rumah bagi setiap orang di rumah
saudara perempuannya tersebut. Bisa jadi catatan tentang Barnabas telah dibuat,
tetapi dibuang, atau dia memang tidak hadir dalam jamuan tersebut. Adalah
mungkin bahwa dia tidak bisa menghadirinya karena sedang berada di penjara.
Tercatat bahwa seorang yang bernama Barnabas ―dengan sekelompok orang―
menyerang satu kelom-pok orang-orang Yahudi yang pro-Romawi dalam pertemuan
yang terjadi tidak lama sebelum perayaan Paskah. Sekalipun pemimpin orang-orang
Yahudi pro-Romawi tersebut terbunuh, tetapi Barabas tertangkap dan dipenjara. Heinrich Holtzman ―yang meneliti
pertempuran tersebut secara rinci― mengata-kan bahwa di antara orang-orang yang
tertangkap tersebut adalah “Barabas yang
terkenal sebagai seorang patriot dan seorang nabi politik”.
Karena Barnabas adalah seorang Lewi dan salah seorang murid Yesus terkemuka,
maka dia bisa menjadi pemimpin salah satu dari divisi-divisi “orang yang setia” (Zealot). Empat divisi
yang setia ini ―sebagaimana yang kita ketahui dari gulungan-gulungan kulit di
Laut Mati― adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Esenes dan
bertugas untuk membebaskan negeri dari para penjajah asing dan kaki tangannya.
Hanya sekelompok orang-orang yang setia kepada Yesus dan komunitas Esenes yang
teratur rapi sajalah yang mampu mengadakan serangan terencana kepada
orang-orang Yahudi pro-Romawi pada saat itu. Oleh sebab itu, adalah sangat
mungkin bahwa Barabas dan Barnabas adalah satu orang yang sama. Adalah sangat
mungkin, bersamaan dengan keputusan-keputusan lainnya, Gereja Paulus telah
menghapus-nya atau paling tidak telah merubahnya. Nama Barnabas yang berkaitan
dengan peristiwa itu tidak menjadi bagian dari cerita Paulus. Ternyata Barnabas
telah disebutkan dalam kitab-kitab Perjanjian Baru. Sebab ―sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Kisah Rasul― tanpa dukungan yang diberikan Barnabas kepada
Paulus pada masa awal gereja, Paulus mungkin tidak memiliki tempat sama sekali
dalam sejarah Kristen. Hanya terdapat sedikit catatan tentang para pengikut
setia Yesus setelah Yesus tidak ada. Tampaknya, setelah peristiwa penangkapan,
keba-nyakan dari mereka berpencar-pencar. Tetapi kadang-kadang mereka berkumpul
kembali di Jerusalem. Tidak diketahui berapa jumlah dari duabelas murid dan 70
orang Zealot yang kembali ke Jerusalem. Tetapi yang kembali tersebut pastilah
orang-orang yang taat, tulus, dan berani serta memiliki cinta yang mendalam
terhadap Yesus. Ketenaran Barnabas sebagai orang yang dekat dengan Yesus
membuatnya menjadi anggota terkemuka dari kelompok kecil murid-murid tersebut.
Mereka tetap hidup sebagai orang-orang Yahudi dan melaksanakan apa yang telah
diajarkan Yesus kepada mereka dengan memper-tahankan hukum para nabi
sebelumnya, karena Yesus diutus “bukan
untuk menghancurkannya tetapi untuk menyempurna-kannya” (Matius 5: 17),
sehingga ajaran Yesus bukan merupa-kan “agama
baru” bagi mereka mereka adalah orang-orang Yahudi yang melaksanakan agama
Musa dengan tulus, dan mereka berbeda dari Yahudi lainnya hanya karena keimanan
mereka terhadap ajaran Yesus. Pada masa awal ini mereka tidak mengorganisir
diri sebagai sekte yang terpisah dan tidak membangun sinagog khusus bagi mereka. Sebagaimana yang mereka pahami, tidak
ada dalam ajaran Yesus yang menyalahi ajaran Musa. Konflik antara orang-orang
Yahudi dan para pengikut Yesus disebabkan oleh orang-orang Yahudi yang telah
menyesuaikan ajaran Musa dengan tujuan mereka pribadi, dan karena mereka takut
kehilangan kedudukan dan kekayaan jika mendukung pengikut Yesus. Perjanjian
yang telah dibuat oleh kelompok kelas atas Yahudi dengan Romawi yang bertujuan
melindungi kepentingan pribadi dan hak-hak istimewa mereka yang telah
berlangsung beberapa abad, telah mendorong mereka semakin jauh dari ajaran yang
telah mereka terima dari Musa. Kelompok Yahudi ini secara aktif mendukung
Romawi dalam pengejaran terhadap mereka yang bertindak dan ucapannya bisa
membuka kedok mereka. Oleh karena itu, mereka menolak ajaran Yesus. Di satu
sisi, mereka diburu oleh Romawi karena dianggap mengancam kekuasaan politik
mereka, dan di sisi lain mereka dimusuhi oleh orang-orang Yahudi (pro-Romawi)
yang takut kehilangan “kekuasaan
keagamaan” mereka.
Pada tahun-tahun
berikutnya, jurang pemisah antara orang-orang Yahudi yang menolak kenabian
Yesus dan mereka yang mengikutinya semakin melebar. Selama pengepungan kota
Jerusalem pada tahun 70 M, para pengikut Yesus meninggalkan Jerusalem dan juga
pada masa pemberontakan Bar Khikba
pada tahun 130 M.
Masalah tentang
asal-usul Yesus, sifat, dan hubungannya dengan Tuhan yang kemudian menjadi
sumber berbagai pertentangan, tidak muncul di kalangan pengikut Yesus yang
pertama. Yesus adalah seorang manusia biasa dan diangkat menjadi Nabi serta
orang yang telah banyak dianugerahi (mukjizat) oleh Tuhan, telah diterima tanpa
masalah. Tidak ada satu pun dalam kata-kata Yesus maupun peristiwa-peristiwa
dalam kehidupannya di bumi ini yang telah menyebabkan mereka untuk merubah
kepastian ini. Menurut Aristides ―salah
seorang dari para pembela awal― peribadatan dari orang-orang Kristen Awal
bahkan lebih monoteistik dari orang-orang Yahudi lainnya.
Ke dalam
lingkaran para pengikut yang tulus inilah Paulus dari Tarsus bergabung. Dia
tidak pernah bertemu Yesus, juga tidak pernah bergabung dengan para murid Yesus
terdekat. Dia memiliki “reputasi”
sebagai salah satu musuh terbesar Yesus. Dia telah menegakkan ajaran Stefanus yang kemudian menjadi pusat
keimanan dan makhluk suci (Kisah Rasul 6: 5). Paulus adalah salah satu orang
yang tergabung dengan murid Yesus yang sedang gencar menyebarkan ajaran
gurunya. Ketika guru pribadi Paulus ―Gamaliel yang terkenal berusaha memper-tahankan
Stefanus― juga dirajam sampai mati. Paulus (Saul) adalah orang yang bertanggung
jawab atas “pembunuhan besar-besaran
terhadap orang-orang yang menentang gereja” pada saat itu, dan ia telah
mencemari gereja dan memasuki setiap rumah, memaksa laki-laki dan perempuan,
dan memasukkan mereka ke dalam penjara (Kisah 8: 1-3). Paulus sendiri mengakui
bahwa:
“Kami telah mendengar bagaimana saya telah
membabi-buta merusak gereja Tuhan dan menyia-nyiakannya dan meng-ambil
keuntungan dari agama Yahudi lebih dari lainnya pada bangsa sendiri karena
(saya) terlalu fanatik terhadap tradisi-tradisi dari ayah-ayahku.” (Galatia
I: 13-15)
Dan sebagaimana
tercatat dalam Kisah Rasul 9: 41:
Bahkan Saul (Paulus) berteriak mengancam dan
membunuh murid Yesus, ia pergi ke pendeta tertinggi (Yahudi) dan meminta surat
ke Damaskus ke sinagog-sinagog, sehingga jika ia mendapati setiap penganut
ajaran Yesus ini ―baik mereka laki-laki atau perempuan― ia bisa mengikat dan
membawanya ke Jerusalem.
Dalam perjalanan
ke Damaskus inilah diceritakan bahwa Paulus telah bertemu Yesus dalam bentuk
bayangan dan akibatnya ia menjadi salah satu pengikutnya.
Tidak lama
sebelum semua peristiwa ini terjadi, Paulus ingin mengawini seorang wanita
bernama Popea yang berparas cantik
tetapi ambisius. Ia adalah anak seorang pendeta Yahudi. Dia menyukai Paulus
tetapi menolak pinangannya dan pergi ke Roma sebagai seorang aktris. Dengan
memulai sebagai seorang penari panggung, setapak demi setapak sampai ia
mencapai tempat tidur Nero. Pada akhirnya raja itu mengawininya dan ia menjadi
kaisar wanita imperium Roma. Untuk itulah Paulus memiliki alasan kuat untuk
membalas dendam baik terhadap Romawi maupun Yahudi. Konversi (perpindahan keyakinan) Paulus terjadi bersamaan dengan
penolakan Popea. Dia pastilah dalam kondisi emosi dan mental yang tegang pada
saat itu. Mungkin krisis kehidupannya ini berkaitan erat terhadap perubahan
yang tiba-tiba dari seorang pendukung terbesar hukum Yahudi menjadi seorang
musuh terbesarnya.
Akhirnya Paulus
hidup bersama-sama para pengikut Yesus yang tinggal di Damaskus, dan saat itu
juga dia mengajarkan Kristen di sinagog-sinagog bahwa Yesus adalah anak Tuhan
(Kisah 9: 20). Akhirnya, dia mengalami penyiksaan yang dulu-nya pernah dia
lakukan sendiri. Jika ia benar-benar meng-gunakan istilah “anak Tuhan” untuk menggambarkan Yesus, maka hal inilah yang
menyebabkan kemarahan orang-orang Yahudi. Pandangan bahwa Tuhan memiliki anak
sangat menghina mereka. Sebab mereka sangat kuat meyakini keesaan Tuhan.
Paulus kemudian
meninggalkan Damaskus dan pergi ke gurun pasir Arab untuk bersembunyi selama
tiga tahun. Mungkin di tempat inilah ia mulai menyusun ajaran Yesus versinya
sendiri. Ajarannya ini termasuk penolakan terhadap hukum Taurat Musa yang
dianut oleh masyarakat Yahudi. Berarti dia telah bertolak belakang dengan Yesus
yang tetap melaksanakan agama Yahudi, dan selalu mempertahankan ajaran-ajaran
yang telah dibawa Musa.
Setelah
pengasingan dalam tempo yang lama di gurun inilah Paulus kembali ke murid-murid
Yesus di Jerusalem. Kedatangan Paulus yang tiba-tiba itu, lebih menyebabkan
kecurigaan daripada keterkejutan. Cerita-cerita tentang penyik-saannya terhadap
para pengikut Yesus pasti masih segar dalam ingatan mereka. Bisakah seekor
macan tutul mengganti kulitnya? Tampaknya para murid tersebut tidak memiliki
alasan untuk menerima Paulus di lingkungan mereka. Bukan saja karena dia telah
menjadi penyiksa mereka di masa lalu, tetapi juga karena sekarang ia mengaku
mengetahui apa yang telah diajarkan Yesus, sekalipun ia tidak pernah
melihatnya. Lebih aneh lagi, ia tidak mau belajar dari mereka yang pernah
sangat akrab dengan Yesus, tetapi justru Paulus ingin untuk mengajar mereka.
Pada masa berikutnya Paulus membenarkan pendekat-an ini dalam surat-suratnya
kepada Galatia sebagai berikut:
“Saya menjelaskan kepadamu saudaraku bahwa
Injil yang diajarkan kepadaku bukanlah dari manusia. Sebab aku tidak
menerimanya dari manusia atau aku diajarkannya, tetapi dengan wahyu dari Yesus
Kristus.” (Galatia 1: 10-12).
Demikianlah,
Paulus mengaku memiliki suatu akses kepada Yesus yang telah disangkal oleh para
pengikut terdekat Yesus selama dia berada di bumi. Ajaran yang di klaim Paulus
telah diberikan kepadanya tidak selaras dengan apa yang di dengar oleh para
murid dari bibir Yesus sendiri. Untuk itu bisa dipahami kecurigaan mereka
terhadap konversi Paulus dan memandang “wahyu”
yang diterimanya adalah palsu. Bahkan banyak yang mencurigai bahwa ia adalah
seorang mata-mata yang berkedok sebagai seorang pengikut Yesus.
Perdebatan di antara para murid tentang apakah Paulus bisa diterima atau tidak,
merupakan kenyataan pahit baginya dan akibatnya pastilah sudah bisa ditebak.
Tetapi Barnabas, yang menurut riwayat adalah teman Paulus di bawah bimbingan
Gamaliel, ikut campur dalam perdebatan tersebut dan membela Paulus. Barnabas
berhasil meyakinkan mereka untuk menerimanya. Hal ini menunjukkan kekuatan
pengaruh yang dimiliki Barnabas terhadap keduabelas murid, dan menunjukkan
tingkat keakrabannya dengan Yesus ketika ia berada di bumi. Paulus pastilah
menyadari bahwa ia diterima karena kebaikan budi Barnabas dan bukan karena
usahanya sendiri, sehingga ia merasa kecewa. Hal ini mungkin sekali menjadi
salah satu alasan utamanya untuk kembali ke Tarsus, rumahnya sendiri, sekalipun
juga diceritakan bahwa ia meninggalkan Damaskus karena isterinya berada dalam
bahaya.
Penyiksaan
terhadap para pengikut Yesus yang bukan saja dilakukan oleh orang-orang Romawi
tetapi juga oleh orang-orang Yahudi telah memaksa mereka untuk berpencar di
seluruh negeri. Sebagian dari murid-murid tersebut pergi ke Antiokia untuk
meloloskan diri dari penyiksaan dari Paulus dan para pengikutnya. Antiokia
berkembang semakin besar sehingga akhirnya menjadi kota ketiga terbesar di
kekaisaran Romawi setelah kota Roma dan Alexandria. Kota ini pernah menjadi
ibukota kerajaan Yunani dan menjadi pusat perdagangan. Dengan besarnya kekayaan
yang ada, penduduk mulai hidup terkenal dengan kota yang sangat bebas. Di kota
inilah sebuah kelompok kecil orang-orang asing dengan pakaian kain kasar, mulai
membimbing ke arah kehidupan yang penuh ketakwaan kepada Tuhan dengan
kesederhanaan dan ketulusan. Mereka adalah orang-orang yang bosan dengan
kehidupan yang tidak bermoral. Tetapi sebagian besar penduduk memandang mereka
dengan sikap menghina dan melecehkan serta mengejek mereka dengan sebutan “orang-orang Kristen”. Untuk segelintir
orang, panggilan ini bisa jadi suatu panggilan kehormatan. Tetapi untuk
sebagian besar, panggilan tersebut digunakan sebagai panggilan kebencian dan
semena-mena. Sampai pada saat itu, para pengikut Yesus selalu dikenal sebagai
orang-orang Nazareth. Akar kata
tersebut dalam bahasa Ibrani berarti “menjaga”
atau “melindungi”. Sehingga sifat
tersebut menunjuk-kan peranan mereka sebagai para penjaga dan pelindung ajaran
Yesus. Libanius mencatat bahwa
orang-orang Yahudi di Antiokia biasa sembahyang tiga kali dalam sehari. Prophery ―sejarawan lainnya yang selalu
memusuhi orang-orang Nazareth― menggambarkan kehidupan mereka sebagai “sebuah agama barbar, baru, dan aneh”. Celsus mencatat bahwa menurut Jerome, orang-orang Kristen disebut
sebagai “pendeta-pendeta dan
penyeleweng-penyeleweng agama Yunani” karena mereka memakai jubah Yunani
yang juga dipakai oleh para pendeta kuil Yunani.
Di samping
adanya permusuhan yang mereka hadapi, orang-orang tetap mengunjungi
pendatang-pendatang baru yang “aneh”
ini dan jumlah mereka semakin bertambah besar. Di dorong oleh daya tarik ini,
para murid yang berada di Antiokia mengirim surat ke Jerusalem meminta para
murid Yesus yang berada di sana untuk mengirimkan seseorang untuk membantu
menyebarkan kebenaran dan ajaran Yesus di kalangan orang-orang kafir di sekitar
mereka. Para murid memilih Barnabas sebagai orang yang paling tepat untuk tugas
ini. Dan karenanya Barnabas menjadi missionaris pertama dalam sejarah Kristen.
Barnabas datang ke Antiokia dan meraih keberhasilan yang luar biasa. Karena
usaha-usahanya, banyak orang yang bertambah ke jalan Tuhan (Kisah Rasul 2: 24)
karena “dia adalah orang yang baik, dan
penuh dengan petunjuk ketuhanan dan keiman-an”. Setelah satu tahun, ia
memutuskan untuk memperluas aktifitasnya di luar Antiokia. Dia yakin bahwa
Paulus akan menjadi pembantu yang baik. Sehingga ia pergi ke Tarsus dan kembali
membawa Paulus bersamanya. Dengan demikian, sekali lagi Paulus
berhadapan secara langsung dengan orang-orang yang pernah disiksanya, dan
sekali lagi ia menghadapi kebencian dan kecurigaan. Dan sekali lagi, kedudukan
dan kehormatan Barnabas menyebabkan Paulus bisa diterima dalam komunitas
tersebut. Mungkin Barnabas memandang sisi terbaik dalam diri “teman sekelasnya” dulu. Dia mengira,
jika semangat dan “kefanatikan”
Paulus yang telah menjadikannya sebagai penyiksa terhadap para pengikut Yesus
dulu bisa dirubah, maka ia akan menjadi seorang pengikut Yesus yang kuat dan
sangat bernilai.
Tidak semua murid setuju dengan pandangan ini. Dan Petrus secara terang-terangan menentang Paulus. Di samping kebencian yang disebabkan tindakan-tindakan Paulus di masa lalu, juga terdapat suatu perbedaan pendapat terhadap dua permasalahan lain. Mereka tidak sepakat kepada siapa ajaran Yesus tersebut harus dilaksanakan dan diajarkan. Petrus berpegang teguh bahwa Yesus diutus untuk menghidupkan kembali ajaran yang telah diberikan kepada orang-orang Yahudi yang dibawa Musa. Di sisi lain, Paulus tidak hanya menyebar-kan ajarannya kepada setiap orang, baik Yahudi atau bukan, tetapi juga menyatakan bahwa ia telah diberi perintah tambahan dari Yesus seharusnya disesuaikan dengan tuntutan zaman dan situasi. Barnabas menempuh jalan setengah dari dua sikap yang saling bertentangan. Dia berpendapat, sebaik-nya mereka hanya mengajarkan apa yang diajarkan Yesus. Tetapi merasa berkewajiban untuk menyebarkan ajaran ini kepada setiap orang yang mau menerimanya, baik Yahudi maupun bukan. Baik Barnabas maupun Petrus sama-sama memandang ajaran yang mereka terima dari Yesus sebagai penyempurnaan agama Yahudi yang dibawa Musa. Mereka tidak bisa menerima ajaran Paulus yang berbeda dari apa yang mereka dengar sendiri dari Yesus. Mereka yakin bahwa doktrin baru Paulus tersebut semata-mata rekaannya sendiri. Albert Schweitzer, dalam bukunya Paul and His Intrepreters, menga-takan bahwa “Paulus tidak pernah merasa tertarik terhadap ucapan dan perintah-perintah gurunya (Yesus).”
Tampaknya
Barnabas berharap agar kedua pendapat yang ekstrim tersebut bisa lunak, dan Paulus
bisa tetap bersama para pengikut Yesus jika mau melupakan pandangan-pandang-an
pribadinya. Jelas terlihat bagaimana pentingnya dukungan Barnabas kepada Paulus
pada tahapan ini. Sebab ia melindungi dari penolakan para murid Yesus tersebut.
Barangkali karena alasan inilah dengan adanya kehidupan Barnabas, tercatat
dengan rinci pada kitab Kisah Rasul. Sifat hubungan antara Barnabas dan Paulus
di tunjukkan dalam Kisah Rasul 13: 1-2 sebagai berikut:
Pada waktu itu dalam jemaat di
Antiokia ada beberapa nabi dan pengajar, yaitu: Barnabas dan Simon yang disebut Niger, dan Lucius orang Cyrene, dan Menahem yang diasuh bersama dengan raja wilayah Herodes, dan Paulus. Pada suatu hari
ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus:
“Pisahkanlah Barnabas dan Saul dariku untuk tugas yang telah aku tentukan bagi
mereka.”
Dalam
daftar para pengikut Yesus ini, Lukas menyebut Barnabas dalam urutan pertama
dan Saul (Paulus) terakhir. Karena telah terpilih untuk bekerja bersama, mereka
berangkat disertai oleh Markus, keponakan Barnabas, untuk menyebarkan ajaran
Yesus di Yunani. James, putra Maria dari suami Yusuf, ditinggal sebagai ketua
para pengikut Yesus. Peter juga tetap tinggal.
Dalam
kitab Kisah Rasul diceritakan, di samping mereka kadang-kadang dilempari batu
di beberapa tempat, dua orang missionaris tersebut sangat berhasil. Reputasi
mereka sebagai manusia-manusia pelayan Tuhan tersebar luas. Ketika mereka
sampai ke Lucaonia dan menyembuhkan
seorang yang pincang, terdapat desas-desus bahwa:
Ketika orang banyak melihat apa yang
telah diperbuat Paulus, mereka itu berseru dalam bahasa Lucaonia: “Dewa-dewa
telah turun ke tengah-tengah kita dalam rupa manusia.” Barnabas mereka sebut
Jupiter dan Paulus mereka sebut Mercurius, karena ia yang berbicara. Maka
datanglah para pendeta (penyembah) Jupiter, yang kuilnya terletak di luar kota,
membawa lembu-lembu jantan dan karangan-karangan bunga ke pintu gerbang kota
untuk mempersembahkan korban bersama-sama dengan orang banyak kepada
rasul-rasul itu. Mendengar itu, Barnabas dan Paulus mengoyakkan pakaian mereka,
lalu terjun ke tengah-tengah orang banyak itu sambil berseru: “Hai kamu
sekalian, mengapa kamu berbuat demikian? Kami ini adalah manusia biasa sama
seperti kamu. Kami ada di sini untuk memberita-kan Injil kepada kamu, supaya
kamu meninggalkan perbuat-an sia-sia ini dan berbalik kepada Tuhan yang Maha
Hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya.”
(Kisah Rasul 14: 11-15)
Jika reaksi-reaksi dari penduduk Yunani semacam ini (yang melihat “dewa-dewa” dalam bentuk manusia), maka hal ini menandakan beberapa kesulitan praktis yang harus dihadapi Barnabas dan Paulus. Seorang Yahudi akan mudah mengenali ajaran Yesus tersebut sebagai suatu pembenaran kembali terhadap ajaran Musa. Tetapi bagi kebanyakan orang kafir penyembah berhala, ajaran ini dipandang baru dan aneh atau mungkin bingung. Semua penyembah berhala tersebut tetap percaya kepada suatu Tuhan yang beragam. Menurut mereka, dewa itu bisa bergaul dan berkawan secara bebas dengan manusia, serta berperan langsung dalam setiap peristiwa dari kehidupan manusia. Bagi orang-orang awam Yunani, setiap penggambaran tentang Yesus tampaknya sesuai dengan penggambaran dari salah satu dewa mereka, dan mungkin sekali mereka siap untuk menerima Yesus dalam penggambaran semacam ini. Sebab, dalam kepercayaan mereka selalu terdapat ruang bagi adanya Tuhan yang lebih dari satu. Tetapi ajaran Yesus yang sebenarnya menghapus semua Tuhan mereka, karena ajarannya menegakkan keesaan Tuhan. Ajaran ini pasti tidak bisa diterima dengan tulus oleh kebanyakan penyembah berhala tersebut. Lebih jauh lagi, dasar-dasar tingkah laku yang merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Yesus, pasti akan merubah cara hidup setiap orang yang mengikutinya. Dan tentu saja hal ini tidak akan terjadi kecuali kalau orang tersebut sebelumnya telah melaksanakan ajaran Yahudi. Dan tentu saja para penyembah berhala ini belum pernah mengalaminya. Karena orang-orang Yahudi suka melakukan praktik rentenir, mengakibatkan bangsa lain membencinya. Toland, dalam buku-nya The Nazarenes menyatakan bahwa, “… di kalangan orang-orang Gentile, yang paling dibenci dari perilaku orang-orang Yahudi adalah selalu mencari keuntungan dari segala hal. Sekali pun hal itu beralasan dan perlu, adalah motif yang cukup bagi seorang Gentile yang baru masuk untuk menolaknya.”
Bagi
siapa saja yang tidak setulus dan seteguh Barnabas, tugas menciptakan cara
hidup yang diajarkan Yesus di Yunani tanpa menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, pastilah sangat berat. Bagi Paulus ―yang telah memperlihatkan
kecen-derungannya untuk merubah ajaran yang ia ketahui― melihat kesempatan yang
sangat tepat untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan agar ajaran Yesus bisa
dipahami oleh orang awam. Saat itu Yunani telah menjadi bagian dari kekaisaran
Romawi. Dewa-dewa Romawi memiliki kemiripan dengan dewa-dewa Yunani, dan
kepercayaan terhadapnya hanya berarti mendukung pandangan-pandangan yang
sama-sama keliru, yang merupakan unsur kepercayaan kepada dewa-dewa Yunani.
Pada masa sebelumnya Paulus pernah menghabiskan beberapa waktunya di Roma dan
telah menjadi warga negara Romawi. Adalah mungkin bahwa penalarannya sendiri
dipengaruhi oleh hubungannya dengan cara hidup Romawi. Dia menyadari sepenuhnya
keteguhan kepercayaan dalam agama-agama Graceo-Roman
(campuran Yunani dan Romawi) dari rakyat awam di dalam kekaisaran Romawi
tersebut. Jelas terlihat bahwa ia merasa tidak mungkin merubah cara ibadah
mereka tanpa merubah ajaran Yesus. Barnabas, di sisi lain, sebagai-mana yang
tercatat dalam Matius 5: 18, (Yesus) mengetahui bahwa penciptaannya tidak
menginginkan hukumnya dikurangi dan dirubah “sekecil apa pun”. Untuk itu dia tetap berpegang teguh kepada ajaran
yang pernah diterimanya.
Pada
tahapan penyebaran (agama) Kristen ini, sumber utama pertentangan tidak
bersifat metafisis. Argumen-argumen yang rumit dan perbedaan-perbedaan
intelektual adalah suatu perkembangan yang datang kemudian. Masalah-masalah
yang menyebabkan Barnabas dan Paulus berbeda pendapat adalah persoalan yang
menyangkut kehidupan manusia sehari-hari dan cara hidup mereka. Paulus menghindari
perubahan drastik orang-orang Yunani sebelum kedatangannya bersama Barnabas di
Yunani. Oleh sebab itu, dia ingin menghapus perintah-perintah yang disampaikan
melalui Musa tentang makanan apa yang diperbolehkan dan bagaimana cara binatang
dikorbankan. Dia juga ingin membuang perintah yang dibawa Ibrahim yang
menyangkut pentingnya khitan. Berhadapan dengan kesulitan praktis dalam
mendirikan dan mewujudkan aspek-aspek ajaran Yesus ini, perbedaan antara Paulus
dan Barnabas semakin membesar.
Tetapi,
pada tahapan ini perbedaan-perbedaan itu mungkin tidak dianggap penting. Baik
Paulus maupun Barnabas dihadapkan kepada tantangan praktis dalam memantapkan
cara hidup Yesus. Ajaran dasar tersebut menyangkut penegasan tentang keesaan
Tuhan, tetapi pada permulaannya adalah perlu memantapkan suatu bentuk tingkah
laku yang mungkin ber-beda dalam banyak hal dengan dasar-dasar tingkah laku
yang dilakukan oleh para penyembah berhala tersebut. Jelas cara hidup yang baru
ini hanya bisa dipelajari dan diasimilasikan ke dalam jaringan kehidupan
sehari-hari secara perlahan-lahan. Tidak ada satu pun komunitas kafir yang bisa
mengambil seluruh cara hidup yang diajarkan Yesus dalam waktu singkat. Dari
catatan-catatan sejarah yang ada, tampaknya Barnabas dan Paulus tidak pernah
tinggal dalam waktu yang lama di satu tempat. Mereka tidak bisa mengajarkan
seluruh ajaran Yesus dalam waktu singkat. Untuk itulah mereka mengajarkan yang
dipandang paling penting terlebih dulu dengan niatan akan kembali lagi pada
waktu berikutnya dan melengkapi ajaran yang telah mereka berikan kepada
orang-orang tersebut dengan petunjuk-petunjuk lebih lanjut. Sementara Barnabas
bermak-sud mengajarkan semua ajaran Yesus. Paulus justru memper-siapkan untuk
melonggarkan sebagian besar aspek-aspek ajaran Yesus. Sebab ajaran-ajaran
tersebut tidak lagi diperlu-kan, karena ia mengembangkan ajarannya sendiri.
oleh sebab itu, pada perjalanan mereka kembali ke Jerusalem, mereka saling
membela tindakannya masing-masing dengan alasan yang berbeda. Di samping adanya
penggambaran mereka tentang keajaiban-keajaiban yang telah mereka lakukan
bersama, perbedaan yang pokok ini tetap ada dan akhirnya mereka berpisah jalan.
Mereka
berpisah jalan karena Paulus menolak untuk mengajak Markus pada misi mereka di
masa datang. Sementara Barnabas memaksa agar Markus tetap selalu bersama
mereka. Tercatat pada Kisah Rasul 15: 39-40 bahwa “pertentangan sangatlah tajam di antara keduanya, sehingga mereka segera
berpisah jalan, kemudian Barnabas membawa Markus berlayar ke Cyprus” tempat
kelahiran Barnabas. Markus menemani Barnabas menunjukkan bukti bahwa
keyakinan-keyakinannya selaras dengan pamannya. Barangkali inilah salah satu
alasan mengapa Paulus tidak ingin mengajaknya. Catatan tentang Barnabas setelah
perpisahan ini sangat sulit ditemukan.
Sangat
menarik untuk dikaji bila Barnabas tercatat pada kitab Kisah Rasul, bahwa ia
telah dipilih oleh Roh Kudus untuk menyebarkan ajaran Yesus, tetapi hal ini
ditolak oleh Paulus. Mungkin Paulus merasa tidak lagi memerlukan Barnabas. Pada
masa permulaan sebagai seorang Kristen, tidak akan ada seorang pun yang percaya
kepada Paulus. Karena mereka mengetahui bahwa dia tidak pernah bertemu Yesus.
Sekarang dia telah kuat diterima di kalangan masyarakat, maka kekhawatiran di
atas tidak perlu lagi. Karena reputasinya sudah kuat, membuatnya tidak merasa
takut mengajarkan doktrinnya tanpa campur tangan Barnabas yang mempersempit
ruang geraknya dan bebas menyimpang dari ajaran Yesus. Lebih jauh lagi, Paulus
adalah warga negara Romawi dan bisa berbahasa Romawi, juga bisa berbahasa
Yunani sebagai bahasa resmi daerah kelahirannya, Tarsus. Surat-surat yang ia
tulis pada masa berikutnya kepada komunitas-komunitas Kristen di Yunani
pastilah ditulis dalam bahasa ibunya. Hal ini berarti ia bisa pergi ke Yunani
dan italia tanpa adanya kesulitan dalam bahasa tersebut. Barnabas, di sisi
lain, tidak bisa berbicara dalam kedua bahasa tersebut. Markus yang bisa
berbahasa Yunani harus menyertainya pada perjalanan misi pertamanya ke Yunani
sebagai penerjemahnya. Jika Barnabas pergi sendirian, maka ia tidak akan bisa
dipahami. Oleh sebab itulah penolakan Paulus untuk bepergian bersama Markus
karena khawatir akan terbongkar penyimpangan Paulus pada saat berda’wah,
sehingga Barnabas akan mencegahnya. Di dalam History of Christianity in the Apostolic Age, MacGiffert berkata:
“Barnabas yang haknya untuk bekerja
(menyebarkan agama) di kalangan orang-orang zuhud telah diakui di Jerusalem.
(Kemudian) ia harus kembali dan memisahkan dirinya dari mereka (orang-orang
zuhud) sangatlah aneh. Barnabas tidak menyetujui doktrin Paulus tentang kebebas-an
orang-orang Kristen dari segala bentuk hukum (sebelum-nya: agama Musa).
Perpisahan Paulus dan Barnabas dinyatakan oleh penulis kitab Kisah Rasul
sebagai akibat dari pertikaian mereka yang menyangkut Markus. Tetapi alasan
sebenarnya jauh lebih dalam daripada alasan tersebut. Orang yang paling dekat
dengan Paulus dan sangat intim bergaul dengannya pada masa-masa awal karirnya
sebagai orang Kristen adalah Barnabas yang merupakan seorang anggota dari
gereja di Jerusalem pada masa permulaan. Persahabatannya sangat berarti bagi
Paulus dan pasti memiliki andil dan pengaruh yang tidak kecil terhadap
orang-orang Kristen. Barnabas bertindak sebagai pendukung Paulus di masa awal.
Padahal sebelumnya Paulus adalah penyiksa orang-orang Kristen yang tak pernah
terlupakan.”
Perubahan
sikap Barnabas terhadap Paulus hanya bisa terjadi akibat
pengalaman-pengalamannya selama bepergian dengan Paulus. Segala harapannya agar
Paulus merubah pandangannya dan menjadi pengikut Yesus yang sebenarnya pasti
telah sirna. Mungkin juga Barnabas menyadari kesalahan untuk mencoba
menyebarkan suatu agama yang sebenarnya hanya ditujukan bagi orang-orang Yahudi
di kalangan orang-orang zuhud. Karena melihat kesalahan dalam tindakan inilah
maka Barnabas meninggalkannya. Sebelum ia mencoba menyebarkan ajaran Yesus di
kalangan orang-orang zuhud, tampaknya ia melihat sebagai suatu tujuan yang
tepat. Tetapi setelah mencobanya, pengalaman membuktikan bahwa hal itu tidak
mungkin. Tampaknya pengalamannya di Antiokia jauh lebih berhasil karena
terdapat orang-orang zuhud yang datang kepada para pengikut Yesus dan meminta
untuk diterima sebagai orang-orang Kristen. Tetapi ketika Barnabas dan Paulus
datang ke Yunani, justru mereka berdua yang meminta orang-orang untuk menjadi
Kristen.
Tidak
terdapat catatan tentang apa yang terjadi setelah Barnabas kembali ke Cyprus.
Tetapi diketahui ia mati sebagai seorang syahid yang memegang teguh ajaran
Yesus. Sekalipun terdapat bukti bahwa Barnabas ditutup-tutupi oleh sebagian
besar halaman-halaman Bibel, tapi jelas terlihat bahwa dia telah menjadi bagian
tak terpisahkan dalam sejarah Kristen, dan jelas tidak bisa diabaikan begitu
saja. Secara terang-terangan ia ingin menegaskan dan mengajarkan apa yang telah
didengarnya dari Yesus pada masa-masa awal sejarah gereja, pada saat sebagian
orang yang paling dekat dengan Yesus. Kesetiaan Barnabas terhadap Yesus diakui
oleh teman-temannya maupun lawan-lawannya. Di rumah saudara perempuannya, Yesus
melaksana-kan “Jamuan Paskah”, dan tentunya
rumah tersebut tetap menjadi tempat pertemuan bagi para pengikut Yesus setelah
ia menghilang. Pengaruh Barnabas terhadap para murid Yesus dan pengikut lainnya
telah dipastikan oleh Bibel sendiri. Barnabas dipanggil sebagai seorang Nabi,
guru, dan juga seorang murid Yesus oleh Lukas yang kesetiaannya kepada Paulus
tidak diragukan lagi. Di atas semuanya itu, ia diingat sebagai seorang yang
tidak mau menyesuaikan atau merubah ajaran Yesus.
Setelah
Barnabas kembali ke Cyprus, Paulus meneruskan misinya. Sekalipun ia telah cukup
lama bergaul dengan orang-orang Kristen Awal yang membuat ia bisa diterima di
kalangan mereka, tetapi ia masih menyadari kelemahan posisinya. Bisa jadi
sekarang ia dipanggil sebagai seorang murid Yesus. Tetapi hal ini tidak bisa
merubah kenyataan bahwa dia tidak pernah bertemu Yesus. Sekalipun ia mengaku
memiliki akses kepada Yesus melalui “wahyu”,
ia tetap membutuhkan seseorang yang pernah hidup bersama Yesus untuk
menyertainya dalam per-jalanan-perjalanannya di kalangan orang-orang Gentile.
Seorang teman yang merupakan saksi langsung kehidupan Yesus, akan memberikan
kepadanya dukungan yang sangat bernilai dan bisa mendukung argumen-argumennya
dengan kewibawaan tambahan. Untuk itulah ia membujuk Petrus untuk bergabung dengannya.
Kedua orang yang
dahulunya saling bermusuhan dengan tajam, dan sekarang bisa bersatu adalah
suatu hal yang mengejutkan. Tetapi situasi telah berubah. Sekarang Paulus telah
diterima oleh orang banyak sebagai seorang Kristen ―dan tidak lagi dipandang
sebagai seorang mata-mata atau penyiksa. Celsus,
seorang filosof dan seorang kritikus Kristen, mengata-kan bahwa akar
perselisihan antara keduanya sewaktu di Antio-kia adalah kecemburuan Paulus
terhadap ketenaran Petrus. Tampaknya kecemburuan Paulus saat ini telah surut
karena popularitasnya sendiri semakin meningkat, terutama di kalang-an
orang-orang Kristen juga makin berperan dalam memper-satukan mereka. Petrus
telah memperlihatkan kelemahannya pada saat di bawah tekanan atau berhadapan
dengan bahaya, dia menyangkal bahwa dia adalah sahabat Yesus pada saat
pengadilan dan penyaliban. Mungkin sekarang ia lebih cende-rung pada jalur yang
ditempuh Paulus terhadap ajaran Yesus. Karena mungkin perubahan-perubahan di
sana-sini akan mengurangi penyiksaan.
Demikianlah
keadaan pada awal Kristen amat berbahaya. Sehingga dipandang perlu pada
tingkatan tertentu untuk merubah dan menyesuaikan ajaran Yesus. Bukan saja agar
orang-orang bukan Yahudi mau menerimanya, tetapi juga agar tidak menentang atau
secara terang-terangan mengancam mereka yang sedang berkuasa di negeri
tersebut. Kebijaksanaan untuk mematuhi pada penguasa tanpa pandang bulu, apakah
hukum itu sesuai dengan ajaran Tuhan atau tidak, terlihat jelas pada Surat Pertama
Petrus 3: 13-18:
“Tundukkan dirimu kepada setiap undang-undang
manusia untuk kebaikan “Penguasa”: Apakah ia seorang raja, karena berkuasa;
atau kepada para gubernur, karena mereka menghukum orang-orang yang berbuat
kejahatan dan mem-berikan pahala bagi mereka yang berbuat baik. Begitu juga kehendak
Tuhan, bahwa dengan berbuat kebajikan maka kamu akan mampu membungkam kelalaian
orang-orang bodoh: Sebagai orang yang merdeka, maka janganlah kamu menggunakan
kebebasan untuk kejahatan, tetapi (berbuat-lah) sebagai hamba-hamba Tuhan.
Hormatilah sesama manusia. Cintailah persaudaraan. Takutlah kepada Tuhan.
Hormatilah Raja. Sebagai pembantu, tunduklah kepada tuanmu dengan penuh
ketakutan; bukan saja untuk kebaikan dan kehalusan budi; tetapi juga untuk
(mendapat) perlindungan.”
Paulus dan Peter
(Petrus) pergi ke barat. Tanpa ketulusan dan batasan-batasan dari Barnabas, dia
pasti hanya sedikit menghadapi penentangan terhadap doktrin-doktrin barunya dan
menyesuaikan cara-cara kehidupan sendiri. pada suratnya kepada orang-orang Roma
16: 20-21, Paulus mengatakan:
“Ya. Haruskah aku mengajarkan Injil, bukan
atas nama Kristus, kalau tidak aku seharusnya membangun (Injil) atas landasan
orang lain. Tetapi sebagaimana yang tertulis:
Bagi mereka yang tidak diberitahu, mereka akan
melihat. Dan bagi mereka yang belum mendengar, akan mengerti.”
Jika Paulus
telah menyebarkan ajaran asli Yesus, maka “landasan
manusia lainnya” pasti Injil sendiri. Mereka berdua pastilah telah terlibat
dalam pembentukan struktur yang sama. Orang-orang yang mendengar tentang Yesus,
atau lebih tepatnya tentang Kristus, untuk pertama kalinya dari mulut Paulus.
Mereka tidak memiliki wahana untuk membandingkan pandangan Paulus dengan apa
yang dikatakan para murid yang masih tetap mempertahankan ajaran Yesus. Versi
Paulus tentang Yesus Kristus adalah satu-satunya sumber yang mereka punyai.
Dalam penyebaran
ajarannya, Paulus dibantu oleh seorang Yahudi terpelajar yang berasal dari
Alexandria yang bernama Apolos. Dia
sangat berhasil dalam menyebarkan ide-ide Paulus di kalangan rakyat.
Diibaratkan, Paulus menanamnya dan Apolos mengairinya. Tetapi pada akhirnya,
Apolos tidak bisa menerima semua “inovasi-inovasi”
Paulus. Dan seperti Barnabas, ia berpisah jalan dengannya.
Paulus semakin
jauh menyimpang dari ajaran Yesus yang telah ditetapkan, dan semakin meletakkan
penekanan terhadap figur Kristus yang ia klaim telah menampakkan dirinya dalam
bentuk bayangan. Untuk membantah tuduhan orang-orang atas penyimpangannya dari
ajaran Yesus, Paulus mengatakan bahwa ia telah menerima wahyu langsung dari
Yesus Kristus. Dengan cara ini, telah memberikan kepada Paulus suatu kekuasaan
ketuhanan. Dengan “kekuasaan ketuhanan”
inilah ia mengklaim bahwa berkah Injil tidak terbatas kepada orang-orang Yahudi
saja tetapi kepada setiap orang yang mengimaninya.
Lebih jauh lagi,
dia menyatakan bahwa hukum Musa bukan saja tidak perlu. Tetapi juga
bertentangan dengan apa yang secara langsung “diwahyukan” kepadanya oleh Tuhan. Paulus berkata, hukum-hukum Musa
adalah sebuah kutukan. Dengan demikian, Paulus bukan saja telah membangkitkan
kemarahan para pengikut Yesus, tetapi juga kemarahan orang-orang Yahudi. Karena
ia telah mempertentangkan kedua Nabi mereka. Dengan demikian, jelas mengapa ia
memilih menyebarkan ajarannya di kalangan orang-orang yang membenci Yahudi dan
orang-orang yang tidak pernah mendengar kebenaran tentang Yesus.
Paulus
membenarkan ajaran barunya tersebut dengan menggunakan analogi berikut:
“Saudara-saudara! Kamu belum mengetahui
(karena aku berbicara kepada mereka yang telah mengetahui hukum) bagaimana hukum
itu menguasai seseorang sepanjang ia hidup? Bagi wanita yang memiliki seorang
suami, terikat dengan hukum suaminya sepanjang ia hidup; tetapi jika suami
tersebut meninggal, maka ia terbebas dari hukum suaminya tersebut. Sehingga:
Jika ia kawin dengan orang lain padahal suaminya masih hidup, maka ia akan
disebut sebagai seorang pezina; tetapi jika suaminya telah mati, ia akan
terbebas dari hukum tersebut. Sehingga ia bukanlah seorang pezina, sekalipun ia
telah mengawini orang lain. Untuk itulah saudara-saudaraku, kamu juga telah
(terbebas) dari hukum dengan kematian Kristus; sehingga kamu seharusnya
mengawini hukum lainnya, sekalipun terhadap (hukum) dari orang yang telah
dibangkitkan dari kematian. Sehingga kita akan mengambil kebajikan dalam Tuhan.”
(Roma 7: 1-4)
Analogi ini
dengan jelas menunjukkan bahwa Paulus telah membuat suatu perbedaan antara Yesus dan “Kristus”. Menurut cara berpikirnya, hukum yang telah mengikat Yesus
dan para pengikutnya tidak lagi mengawini Yesus, tetapi mengawini Kristus yang
telah membawa hukum lain. Oleh sebab itu, adalah keharusan untuk mengikuti
Kristus dan bukan Yesus. Dengan demikian, setiap orang yang memegang ajaran
Yesus telah tersesat. Dengan cara berpikir inilah ia merancang doktrinnya
tentang penyelamatan dan penebus dosa. Doktrin ini sangat berhasil karena
doktrin tersebut mengajarkan bahwa seseorang bisa berbuat apa saja yang ia
inginkan dan tidak harus menerima sanksinya karena telah berkata: “Saya percaya kepada Kristus”. Tetapi,
dasar premise dari cara berpikir Paulus ini adalah salah. Karena Yesus tidak di
salib atau pun dibangkitkan. Doktrin-doktrinnya tentang penyelamatan dan
penebusan dosa adalah rekayasa semata.
Cara berpikir
Paulus itu memiliki dua akibat besar. Bukan saja doktrin tersebut berakibat
perubahan-perubahan yang lebih jauh terhadap apa yang diajarkan Yesus, tetapi
juga membuka jalan bagi perubahan secara menyeluruh tentang pandangan-pandangan
orang tentang diri Yesus. Dia telah dirubah dari seorang manusia kepada suatu
konsep dalam pikiran-pikiran manusia. Sifat ketuhanan telah ditempelkan kepada
diri Yesus. Bahkan pada saat Yesus masih berada di bumi dan keajaiban dikagumi
orang, dan secara keliru dianggapnya lebih dari sekedar desas-desus bahwa dia
adalah “anak Tuhan”, dengan harapan
untuk membangkitkan kemarahan orang-orang Yahudi Ortodoks kepadanya karena
mengasosiasikan dirinya sendiri dengan Tuhan. Oleh sebab itu, bahkan sebelum ia
menghilang, telah terdapat kecenderungan untuk mengaburkan sifat sebenarnya dan
menambah sifat ketuhanan kepada Yesus. Figur imajiner Kristus ini yang tampak
jelas memiliki kekuasaan untuk menghapus apa yang telah diajarkan Yesus,
dianggap bukan manusia biasa. Sehingga menimbulkan kerancuan kodrat dirinya
antara bersifat manusiawi ataukah ketuhanan. Oleh sebab itu, figur imajiner ini
menjadi obyek penyembahan dan dihubungkan dengan Tuhan.
Perubahan dari
Yesus sebagai seorang manusia kepada suatu image
baru Kristus yang bersifat ketuhanan, memung-kinkan para intelektual Yunani dan
Romawi untuk mengga-bungkan ajaran Paulus tersebut ke dalam filsafat mereka.
Pandangan mereka tentang eksistensi Tuhan adalah suatu pandangan “Tripartite” (tiga keberadaan). Karena Gereja
Paulus berbicara tentang “Tuhan Bapak”
dan “Anak Tuhan”, maka hanya
dibutuhkan memasukkan “Roh Kudus”
agar Trinitas sesuai dengan pandangan Tripartite mereka. Dengan berlalunya
waktu, kedua gambar pandangan ini berpadu menjadi satu, dan doktrin Trinitas
telah lahir. Bukan hanya filsafat Yunani saja telah mewarnai ajaran tersebut,
tetapi juga bahasa Yunani telah mempengaruhi ekspresi (pernyataan) dari ajaran
itu dengan meramu atau membatasi maknanya. Bahasa Yunani mampu memuat
ekspresi-ekspresi filsafat Yunani, tetapi bahasa Yunani tidak cukup luas atau
tidak luwes untuk membawa muatan makna ajaran Yesus. Oleh sebab itu, walaupun
seorang pengikut setia Yesus mampu berbahasa Yunani dengan fasih, tidak akan
mampu mengekspresikan totalitas ajaran Yesus dengan bahasa ini. Ajaran tersebut
harus diulas panjang-lebar atau ditafsirkan. Pada saat penerjemahan Injil-injil
Ibrani ke dalam bahasa Yunani, batasan-batasan makna telah dibaku-kan, dan
akhirnya dikukuhkan secara mutlak ketika hampir semua Injil dalam bahasa Ibrani
dihancurkan.
Sekalipun
Paulus, sebenarnya tidak pernah mengajarkan sifat ketuhanan Yesus maupun
doktrin Trinitas, tetapi cara ekspresinya (“pernyataan”)
dan perubahan-perubahan yang ia lakukan telah membuka pintu bagi kekeliruan
konsepsi-konsepsi, dan sekaligus membuka jalan untuk pembaruan doktrin-doktrin
tersebut di Eropa. Doktrin inilah yang membawa Maria ditempatkan pada posisi
yang mustahil karena ia dianggap sebagai “Ibu
Tuhan”.
Tampaknya
landasan Paulus merasionalisasikan tindakan-tindakannya adalah dengan cara
berpegang bahwa tidak ter-dapat kaitan antara periode di mana Yesus telah hidup
dan periode di mana Paulus hidup. Zaman telah berubah dan kondisi-kondisi yang
berlangsung saat itu telah sedemikian rupa sehingga ajaran Yesus telah
ketinggalan zaman dan tidak lagi bisa dilaksanakan. Untuk itulah dirasakan
perlu untuk menemukan suatu dasar baru bagi etika. Paulus mengambil
kondisi-kondisi yang ada dan mengajarkan kepada mereka apa yang bisa diimani
sebagaimana pernyataannya yang berbunyi sebagai berikut:
Segala sesuatu adalah boleh bagiku, bahkan aku tidak
akan berada di bawah kekuasaan siapa pun. (Korintus 7: 12)
Paulus tidak
saja menolak Yesus dan Musa, bahkan ia menyatakan bahwa dia adalah hukum itu
sendiri. Jelas banyak orang tidak bisa menerima hal ini. Paulus menanggapinya
dengan mengatakan:
Karena jika kebenaran Tuhan (justru) lebih melimpah
melalui kebohonganku untuk keagungan-Nya; lalu mengapa aku dianggap sebagai
seorang pendosa?
(Roma 3: 7-8)
Dari pernyataan
ini akan terlihat bahwa walaupun berbohong, Paulus merasa bahwa tujuan-tujuan “menghalal-kan” semua cara itu benar.
Tetapi tidak bisa dimengerti bagai-mana kebenaran akan semakin melimpah melalui
suatu dusta. Sesuai dengan cara berpikir ini ―jika manusia Yesus disama-kan
dengan Tuhan― bantahan apakah yang dimiliki seorang pengikut Yesus?
Paulus telah
menciptakan agama yang unsur-unsurnya saling bertentangan. Dia mengambil ajaran
Unitarianisme Yahudi dan menambahkan ke dalamnya filsafat dari para penyembah
berhala. Adonan ini dicampur dengan sebagian dari ajaran Yesus dan dari ajaran
yang diklaim Paulus telah diterima dari Kristus melalui wahyu. Teologi Paulus
didasarkan atas pengalaman pribadinya yang ditafsirkan dengan sinar pemikiran
Yunani pada zamannya. Yesus dituhankan dan ucapan-ucapan Plato ditempatkan pada
mulutnya yang suci. Teori tentang penebusan dosa adalah rekaan akal Paulus.
Suatu keimanan yang sama sekali tidak dikenal oleh Yesus dan para muridnya.
Teori itu didasarkan atas kepercayaan kepada “dosa asal”, “penyaliban”,
dan “kebangkitan”, tidak satu pun
kepercayaan ini memiliki validitas (terbukti benar). Demikianlah suatu agama
sintetis tercipta: Kristen ―yang secara matematis kabur (rancu), secara
pembuktian kesejarahan palsu, tetapi secara psikologis menarik. Di dalam kuil
agama yang megah yang diperjuangkan Paulus secara mati-matian, dia telah
membangun pintu-pintu di segala sisinya. Akibatnya, orang yang masuk ke gereja
Kristen untuk pertama kali, mereka terkesan bahwa mereka menyem-bah kepada
Tuhan yang telah mereka sembah selama ini, apakah mereka orang Yahudi atau
Gentile. Karena kesalahan konsepsi dasar yang diperkenalkan oleh Paulus telah
ber-kembang dan mapan, maka tanpa disadari seseorang mengira bahwa ia telah
mengikuti Yesus. Padahal sebenarnya ia mengikuti Paulus.
Untuk itulah
terdapat sebagian pembenaran bagi Zeinz
Zahrnt yang menyebut Paulus “seorang
perusak Injil Yesus” dan Werde
menggambarkannya sebagai “pendiri Kristen
kedua”. Werde mengatakan:
…Putusnya antara Yesus “yang menyejarah” (sebagai
pribadi yang hidup dalam sejarah) dan Kristus (yang disembah) di gereja menjadi
demikian besar sehingga penyatuan di antara keduanya tidak bisa dikendalikan.
Schonfield
menulis:
Tindakan bid’ah Gereja Paulus telah menjadi
ortodoksi Kristen dan Gereja Resmi tidak mengakuinya sebagai bid’ah.
Dengan demikian, Barnabas menjadi “dasar bid’ah”.
Bagi para
pengikut Yesus, jalan Tuhan itu seperti garis lurus geometris: Panjang tetapi
tidak membingungkan. Mereka tidak setuju untuk merubah ajaran Yesus karena
sekedar dianggap perlu. Bagi mereka, apa yang telah diajarkan Yesus adalah
kebenaran dan keseluruhan kebenaran itu sendiri. Barnabas dan para pengikutnya
tetap mengajarkan dan melak-sanakan agama Kristen yang mereka pelajari dari
yesus secara langsung. Mereka selalu dan tetap dipandang sebagai kekuatan. Dari
kalangan mereka telah muncul orang-orang suci dan sarjana-sarjana yang
dihormati oleh setiap sekte Kristen.
Para pengikut
Yesus dan Barnabas tidak pernah mem-bangun sebuah organisasi pusat. Tetapi
karena mereka adalah para pemimpinnya kebenaran, maka jumlah mereka meningkat
dengan cepat. Para pemimpin kelompok ini adalah orang-orang yang bijaksana, terpelajar,
mencintai, dan mentaati Tuhan. Mereka pergi ke gurun-gurun dan gunung-gunung.
Komunitas-komunitas kecil ini terbentuk di sekitar orang suci ini.
Kelompok-kelompok kecil ini tidak saling terikat. Sebagian besar disebabkan
daerah yang sulit yang mengitari mereka. Kekurangan mereka dalam organisasi
yang teratur justru menjadi sumber kekuatan. Karena dengan begitu tidak mudah
bagi para penyiksanya untuk menangkap mereka. Kristen versi Paulus tersebar
melalui Yunani dan Eropa. Sementara orang-orang yang mengabdi Tuhan, dengan
ilmu pengetahuan mereka, tersebar ke selatan dan pada akhirnya sampai ke Afrika
Utara. Komunitas-komunitas yang mereka bentuk tetap mempertahan-kan cara
kehidupan Yesus. Orang-orang yang masih mewujud-kan ajaran Yesus pastilah telah
mewarisi sebagian besar pengetahuan mereka secara langsung dari orang ke orang.
Tingkah laku ditiru dan doktrin diajarkan secara lisan. Mereka telah
mempertahankan ajaran tentang keesaan Tuhan. Demikianlah terdapat
catatan-catatan tentang berbagai sekte yang hidup pada abad-abad awal setelah
Yesus menghilang, seperti sekte Ebionitius,
Cerinthius, Basilidius, Carpocratius,
dan Hypipisistarius, yang menolak menyembah
Tuhan sebagai seorang bapak. Mereka mengagungkan-Nya sebagai Penguasa jagad
raya yang Maha Luas, yang Maha Tinggi dan tidak satu pun yang menyamai-Nya.
Saat ini,
kajian-kajian tertulis yang berbeda-beda tentang kehidupan Yesus dan ajarannya
telah digunakan. Yesus berbicara dalam bahasa Arami, suatu dialek dalam bahasa Arab, yang tidak bisa ditulis.
Injil-injil awal ditulis dalam bahasa Ibrani. Pada masa awal ini, tidak satu
pun dari Injil-injil tersebut yang secara resmi ditolak atau diterima. Hal ini
berlangsung sampai masing-masing dari pemimpin komunitas Kristen memutuskan
kitab-kitab yang akan digunakan. Karena didasarkan kepada siapa yang
mengajarkan, maka setiap sekte memiliki sumber yang berbeda. Orang-orang yang
mengikuti Barnabas memiliki satu sumber, dan orang-orang yang mengikuti Paulus
memiliki sumber lain secara tersendiri.
Oleh sebab itu,
begitu setelah Yesus tidak ada di bumi, telah terdapat suatu perbedaan yang
semakin melebar di antara para pengikut Yesus dengan para pengikut Gereja
Paulus. Perbedaan di antara keduanya tidak saja terlihat jelas dalam cara hidup
dan keyakinan, tetapi juga secara jelas terpisah secara geografis. Pada saat Gereja
Paulus berkembang semakin kuat, ia semakin benci kepada para pengikut Yesus.
Gereja Paulus semakin bersekutu dengan para penguasa kekaisaran Romawi.
Penyiksaan yang mulanya diarahkan kepada mereka yang dikenal sebagai
orang-orang Kristen secara keseluruhan, kemudian diarahkan kepada orang-orang
yang membenarkan ajaran tentang keesaan Tuhan. Upaya-upaya mulai dilakukan
untuk merubah keyakinan mereka, dan secara paksa melenyap-kan mereka yang menolaknya,
bersama dengan kitab-kitab yang mereka pergunakan. Semua syahid awal adalah
para penganut ajaran Unitarianisme (ajaran Tauhid). Semakin doktrin Trinitas
diterima, para penganutnya semakin memusuhi orang-orang yang mempertahankan
keesaan Tuhan. Pada saat kaisar Yulianus
menduduki tahta, pertikaian intern Kristen ini telah mencapai tahapan yang
sangat mengerikan. Dia berkata, “Tidak
ada satu pun binatang buas yang begitu benci kepada manusia seperti bencinya
sekte-sekte Kristen antara yang satu terhadap lainnya.”
Secara alamiah,
orang-orang yang telah menyimpang dari ajaran Yesus juga telah siap untuk
merubah kitab-kitab suci, bahkan menciptakan tulisan-tulisan palsu untuk
mendukung pendapat mereka. Toland,
dalam bukunya The Nazarenes,
mencatat kata-kata Iranius, salah satu dari syahid Unitarian awal sebagai
berikut:
Dalam rangka mengaburkan kesederhanaan ajaran dan
menerima apa adanya, mereka mengabaikan kitab-kitab yang memuat kebenaran.
Mereka menekan kitab-kitab tersebut sebagai suatu keberagaman yang tidak bisa
diungkapkan dari kitab Apocripha dan memaksakan kitab-kitab mereka sendiri yang
palsu.
Toland
melanjutkan:
Kita telah mengetahui sejauh mana tingkat penipuan
dan kefanatikan saling terjalin pada masa-masa awal gereja Kristen. Sikap
terakhir selalu siap menerima sebagaimana yang pertama siap untuk memalsukan
kitab-kitab. Kejahatan ini berkembang pada masa berikutnya bukan saja semakin
besar ketika para pendeta menjadi satu-satunya pencatat dan penjaga semua
kitab, baik atau buruk. Dengan berlalunya zaman, hampir secara mutlak tidak
mungkin untuk membedakan sejarah dari dongeng, atau kebenaran dari kesalahan
dan hal ini telah terjadi sejak awal dan menjadi monumen-monumen gereja yang
sebenarnya.
Bagaimana mungkin para penerus langsung murid Yesus
secara mencolok mengaburkan ajaran asli gurunya dengan ajaran yang secara
keliru disandarkan kepada mereka? Atau apakah karena mereka tidak mengetahui
tentang masalah-masalah ini sejak awalnya. Lalu bagaimana orang-orang yang
mengikuti mereka bisa mendapatkan cahaya yang lebih baik? Dan dengan meneliti
kitab-kitab Apocrypha seringkali dihadapkan pada dasar yang sama dengan
kitab-kitab resmi yang ditulis atau diakui oleh para pendeta tersebut. Yang
pertama dianggap sebagai kitab-kitab suci sama seperti yang terakhir. Atau
kadang-kadang, ketika kita memandang suatu kitab sebagai kitab suci, maka
ditolak oleh mereka. Saya ingin mengajukan dua pertanyaan: Mengapa semua kitab
yang diakui sebagai kitab asli oleh Clement, Origen, Tertullian, dan kitab
lainnya dari penulis seperti mereka tidak dipandang sebagai sama-sama otentik?
Dan penekanan apakah yang seharusnya diletakkan terhadap kesaksian dari para
pendeta yang tidak saja bertentangan antara satu dengan lainnya, tetapi juga
seringkali tidak konsisten dalam dirinya sendiri mengenai hubungannya dengan
fakta-fakta?
Toland terus
bicara bahwa ketika pertanyaan-pertanyaan ini diajukan kepada “para pendeta suci tersebut”, bukannya
mendapat jawaban yang berdasar argumen-argumen, tetapi mereka menuduh
orang-orang yang menanyakan masalah-masalah tersebut sebagai “para pelaku bid’ah dan dicap atheis”.
Dia melanjutkan:
Tindakan ini akan menyebabkan mereka mencurigai
semua ajaran sebagai tipuan. Sebab secara alamiah, manusia akan menangis ketika
disentuh bagian jiwanya yang lebut. Tidak ada manusia yang menjadi marah
terhadap sesuatu pertanyaan yang bisa dijawabnya.
Toland akhirnya
bertanya:
Semua sejarawan gereja sepakat bahwa orang-orang Nazaret dan Ebionit adalah orang Kristen Pertama dari kalangan Yahudi yang percaya kepada Yesus. Di lingkungan mereka inilah Yesus hidup, dan merekalah yang menyaksi-kan kehidupan Yesus. Dan para murid Yesus juga berasal dari mereka. Oleh karena itulah saya bertanya, bagaimana mungkin mereka bisa dituduh sebagai ahli bidat (sesat) pertama dalam Kristen, yang membuat penyelewengan-penyelewengan ajaran Yesus, yang membentuk konsepsi-konsepsi yang salah tentang doktrin dan gambaran-gambaran tentang Yesus? Dan bagaimana mungkin orang-orang Gentile yang percaya kepadanya setelah kematiannya melalui ajaran dari orang-orang yang dianggap tidak memiliki catatan-catatan yang lebih kuat tentang semua ini? Atau dari manakah mereka bisa mendapatkan informasi mereka kalau bukan dari orang-orang Yahudi yang beriman?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar