Senin, 21 April 2025

Rahasia Bibel (Alkitab) yang Terakhir

Ada penemuan arkeologi yang mengejutkan di abad ini, yakni harta karun naskah-naskah kitab suci yang memiliki rahasia kuno yang tersembunyi di padang Judea selama lebih kurang 2.000 tahun. Sejak penemuannya pada tahun 1947 oleh seorang gembala domba badui di gua Qumran, sekitar 10 mil sebelah timur Jerusalem, The Dead Sea Scrolls (Naskah Gulungan Laut Merah) menjadi bahan penelitian secara intensif, spekulatif dan kontroversi. Ia menjadi perhatian serius para sarjana Alkitab dan sejarawan, yang memberikan pandangan alami tentang Alkitab, dan menimbulkan pandangan baru tentang masa-masa pergolakan yang melahirkan agama Kristen dan Judaisme modern.

 

Tetapi selama empat dekade sejak penemuannya, banyak rahasia gulungan itu disembunyikan oleh kelompok kecil sarjana yang memegang hak eksklusif atas dokumen tersebut. Hampir separuh gulungan fragmen yang dianggap sebagai naskah Alkitab tertua itu, masih belum diterbitkan. Menurut para penelitinya, proses pemaduan, terjemahan dan analisa fragmen kuno ―sebagian naskah itu tidak lebih dari tulisan picisan― membutuhkan waktu lama. Tetapi bagi para sarjana Alkitab yang dilarang untuk menelitinya, mengeluh bahwa menunggu proses tersebut sungguh amat lama. Sudah bertahun-tahun mereka menuntut untuk mendapatkan hak penelitian atas gulungan itu. Namun usaha itu sia-sia dan “Ini adalah skandal akademis yang sangat istimewa,” kata Prof. Geza Vermes dari Oxford University.

 

Pada akhirnya mereka bisa merasa lega. Pekan yang lalu (September 1991), sebuah kejutan telah terjadi, karena lembaga penelitian perpustakaan swasta California yang menyimpan empat set fotografi koleksi the Dead Sea Scrolls, membuka kamar besinya dan mulai mengizinkan para sarjana yang berke-pentingan untuk menelitinya. “Sekarang waktunya menghenti-kan penyusutan kebebasan,” kata William A. Moffett, direktur Hunting on Library di San Marino. Setelah itu, yang sebelum-nya ada ancaman blokir penyebarluasan gulungan itu, Israeli Antiquities Authority membuat kejutan lain dengan mengu-mumkan pemberian hak bagi para sarjana untuk mendapatkan foto, serta mengadakan rapat para editor gulungan pada bulan Desember untuk merencanakan penyebaran foto itu. Terjadilah perkembangan baru, hanya dua pekan setelah Biblical Archaeology Society menyebarkan rekonstruksi komputer naskah gulungan yang belum pernah dipublikasikan, dilengkapi dengan konkordansi indeks kata dan letak teks atau ayatnya.

 

Sementara itu, ternyata salinan foto-foto asli yang tidak dipublikasikan, secara misterius dikirim melalui pos ke seluruh wilayah negeri itu. Sebagai contoh, salinan yang diperoleh Biblical Archaeology Review berisi ramalan akan datangnya sang Mesiah, ditemukan pada naskah Qumran itu.

 

Tindakan yang menimbulkan kemarahan para editor naskah yang telah membuka akses dokumen tersebut, akan membahayakan usaha penyimpanan yang cukup melelahkan itu. Prof. John Strugnell, mantan kepala editor gulungan Qumran mengatakan, bahwa penyebaran dari pihak yang tidak berwenang tersebut adalah pencurian dan akan berdampak bagi ilmu pengetahuan. Menurut Strugnell, sekarang para sarjana yang memperoleh foto itu akan mempublikasikan “beberapa lembar pemandangan yang amat mengesankan” dari fragmen gulungan Qumran yang menarik, tetapi “sebagian fragmen akan lolos dari publikasi.” Frank M. Cross, editor naskah gulungan dan pakar bahasa Ibrani dan bahasa Barat di Harvard Univer-sity, memperingatkan bahwa akses tanpa batas pada naskah gulungan itu akan “membongkar misteri yang aneh di sekitar Alkitab,” dan sebenarnya menjadi proses publikasi secara perlahan. Mungkin terdapat banyak kesimpangsiuran mengenai dokumen itu sampai sekarang.

 

Tetapi bagi mereka yang sudah lama dilarang melihat gulungan itu, dibukanya akses untuk meneliti fragmen tersebut merupakan berita yang sangat menggembirakan. “Saya sangat senang sekali,” kata James L. Crenshaw, pakar Perjanjian Lama di Divinity School of Duke University, yang mengharapkan dapat memakai naskah Gulungan Qumran dalam studinya tentang ramalan Perjanjian Lama dan tulisan-tulisan lainnya.

 

Apalagi jika penyebaran gulungan itu bisa sempurna, ia sendiri bisa mengakhiri kekacauan dan kontroversi yang menyelimuti dokumen tersebut sejak penemuannya. Di dalam gua Qumran, tempat menyembunyikan gulungan itu, terdapat sekitar 800 macam fragmen dokumen yang ditulis sekitar tahun 200 SM dan 50 SM. Naskah itu mungkin ditulis oleh sekte zuhud Yahudi yang dikenal dengan sebutan Esenes. Sekitar 127 dokumen adalah ayat-ayat Bibel (Alkitab), termasuk versi tertua kitab-kitab Perjanjian Lama, kecuali kitab Ester. Hampir seluruh naskah gulungan itu berbahasa Ibrani, sebagian lagi berbahasa Yunani atau Aram ―bahasa sehari-hari pada masa itu dan salah satunya dipakai oleh Yesus. Beberapa kitab memiliki 19 salinan yang berbeda, yang ditulis pada waktu yang berbeda dan oleh tangan yang berlainan pula. Gulungan lainnya adalah kitab suci apokripa (kitab yang dilarang dibaca oleh pemeluk Protestan) seperti kitab Tobit, Sirakh, dan Yobel (kitab terakhir ini apokrip bagi pemeluk Katholik dan Protestan), penafsiran Alkitab, tatacara peribadatan dan berdoa, ramalan, hymne, dan peraturan mengenai masalah kekuasaan.

 

Di saat gulungan ditemukan pada 11 tempat yang berbeda di Qumran antara tahun 1947 sampai 1956, peninggalan yang sangat berharga dan terbuka bagi umum itu, pada tahun 1952 dinyatakan tertutup dengan diberi tanda Qumran 4. Tempat itu mengandung ribuan fragmen, diantaranya semua naskah yang tidak dipublikasikan itu berasal dari Qumran 4.

 

Karena gulungan itu ditemukan di wilayah kekuasaan Yordania, pemerintah Yordan melakukan pengawasan ketat terhadap daerah itu, kecuali terhadap naskah yang pertama kali ditemukan, yang kemudian diterbitkan oleh salah seorang sarjana Israel dan dipajang untuk umum di perpustakaan Shrine Jerusalem sejak tahun 1965. Pemerintah Yordania menunjuk Roland de Vaux dari French Ecole Biblique untuk membentuk tim internasional yang memiliki hak eksklusif menerbitkan dokumen tersebut. De Vaux mengajak tujuh orang kolega terdekatnya untuk bekerja pada gulungan tersebut, serta mengadakan perjanjian kerjasama dengan Oxford University Press untuk menerbitkan hasil pekerjaan mereka. Pekerjaan pertama mereka pada tahun 1950-an berjalan dengan cepat. Tetapi pada tahun 1960-an pekerjaan itu tersendat-sendat. Walaupun sudah menerbitkan 20 jilid, mereka merasa hanya menyelesaikan separuh dari seluruh pekerjaannya.

 

Sejak perang enam hari (Six-Day war) tahun 1967, tempat gulungan Qumran itu berada di bawah pengawasan Israeli Antiquities Authority, saat itulah upaya penelitian berangsur-angsur diperlebar. Termasuk yang di bawah pengawasan Israel, pekerjaan itu rampung sekitar 80 persen. Di tahun belakangan ini, tim yang diperbanyak menjadi 40 sarjana itu “melangkah lebih cepat,” kata Eugene Ulrich dari Notre Dame University dan editor naskah Alkitab gulungan itu. Dia dan editor lainnya kadang-kadang mengizinkan pihak luar untuk ikut menelitinya. “Untuk apa menunda atau problem itu terus menghantui masa lalu? Dan sekarang pasti akan berlalu,” kata Ulrich. Tetapi pernyataan itu tidak memuaskan para sarjana lainnya. Beberapa kritikan dilontarkan bahwa editor sengaja menyembunyikan naskah gulungan yang bisa mengakibatkan kerusakan pandangan terhadap agama tradisional (Yahudi dan Kristen). Salah satu teori yang dikemukakan oleh Michael Baigent dan Richard Leigh dalam buku terbarunya yang ber-judul “The Dead Sea Scrolls Deception,” melancarkan tuduhan bahwa penundaan itu sebagai konspirasi Vatikan untuk menyembunyikan fakta bahwa warga masyarakat Qumran adalah pemeluk Kristen Pertama yang dipimpin oleh murid Yesus yang bernama James. Bahkan penulis buku itu, yang banyak merujuk tulisan Prof. Robert Eisenmen dari California State University, menyatakan, “Guru Kebenaran” masyarakat Qumran yang juga disebut dalam naskah Qumran lainnya adalah James, atau mungkin juga “Yesus”. Jika Qumran ―yang menekankan ajaran nabi Musa― itu benar-benar sebagai pemeluk Kristen Pertama, berarti tradisi Kristen yang sekarang kita temui sangat jauh menyimpang dari ajaran dan praktik Kristen yang asli. Dengan demikian, ia akan meruntuhkan otoritas gereja modern.

 

Pernyataan ini pada dasarnya menolak kesepakatan para sarjana. Editor gulungan, Ulrich, menolak bahwa rahasia yang sensitif ini disembunyikan sebagai naskah yang tidak dipublikasikan. Bahkan kritikan paling tajam dari tim gulung-an ―seperti Harshel Shank, editor Biblical Archaeology Review― menolak teori itu dan menyebutnya “omong kosong”. Hampir seluruh sarjana yang menerima penyebaran naksah gulungan yang tidak dipublikasikan itu membantah tuduhan konspirasi itu.

 

Bagaimana pun juga, pengungkapan naskah gulungan yang tersimpan dan siap dipublikasikan itu telah memberikan pengaruh dramatis dalam studi Bibel modern, dan akan mem-bawa pemahaman baru pada era misterius antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. “Kita sekarang benar-benar memiliki peninggalan pustaka yang berasal dari zaman Yohanes pembaptis dan Yesus. Ia menerangi periode krusial bagi Yahudi dan memancarkan cahaya baru pada Kristen Pertama,” kata Magen Broshi, kurator gulungan di Shrine of the Book Jerusalem. Dengan bantuan teks ini, yang umurnya 1.000 tahun lebih tua dari teks abad pertengahan yang dipakai sekarang, para sarjana telah menemukan perubahan yang membelalakkan mata dalam Bibel. “Secara keseluruhan, gulung-an itu cenderung mengkonfirmasi keabsahan kitab Perjanjian Lama yang melebihi harapan kebanyakan orang,” kata Don A. Carson dari Trinity Evangelical Divinity School di Deefield, III. Satu gulungan secara dramatis menunjukkan minimal satu kitab Perjanjian Lama telah berubah melalui abad-abad penyalinan. Naskah gulungan kitab Yesaya pasal 66 ―diantara-nya tersimpan lengkap di perpustakaan Qumran― ditemukan 13 perbedaan minor dari teks modern.

 

Beberapa koreksi kecil yang berdasarkan perbandingan dengan teks Qumran, tidak bisa dipertemukan dengan Alkitab edisi terakhir, seperti Alkitab Revised Standard Version yang diterbitkan setahun kemarin (1990). Di antara perbedaan substansial antara teks modern dengan teks yang ditemukan di Qumran, adalah kitab Yeremia dan Samuel, yang berisi beberapa paragraf yang sebelumnya tidak pernah ada. Seperti I Samuel pasal 11 mengisahkan raja Saul memimpin rakyatnya berperang melawan bangsa Amon. Tetapi teks Qumran menceritakan penindasan bangsa Israel oleh raja Amon, Nahas, yang tidak ditemukan dalam teks tradisional, Teks Qumran itu berbunyi:

Ia akan mencungkil setiap mata kanan mereka dan tidak akan membiarkan pembebas Israel. Tidak ada orang Israel yang menyeberang Jordan, melainkan mata kanannya dicungkil oleh Nahas, raja Amon. Tetapi 7.000 orang yang telah melarikan diri…

 

Di lain kasus, Teks Qumran yang tidak memiliki halaman-halaman yang bisa ditemukan dalam Alkitab sekarang, telah menimbulkan pertanyaan, apakah penulis Alkitab pertama menghilangkan bagian tertentu atau penulis terakhir yang menambahkannya. Sebagai contoh, kitab Yeremia pasal 9, naskah Qumran tidak memiliki kisah yang menceritakan bahwa Tuhan berbicara melalui nabi-Nya, mengutuk orang Israel yang tidak patuh kepada-Nya, dan menyatakan, “Sekarang Aku akan menyaring dan menguji mereka, sebab apa lagi yang bisa Aku lakukan terhadap ummatku yang penuh dosa.”

 

Kitab Perjanjian Lama yang paling modern berdasarkan salinan yang dikerjakan oleh para Masoret, yaitu kelompok penulis kitab suci Yahudi yang dikenal dengan ketelitian dan keakuratannya. Naskah tertua yang dimiliki oleh gereja adalah yang ditulis sekitar tahun 1005 M. Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, beberapa naskah gulungan Qumran yang ber-bahasa Ibrani berbeda jauh dengan naskah Masoret. Sehingga melahirkan dilema lain bagi sarjana Bibel modern: Apakah para Masoret bukan penyalin yang teliti, ataukah teks Qumran menunjukkan sebagai versi Bibel Ibrani kedua yang terpisah dengan Bibel yang dipakai sekarang?

 

Rahasia yang paling menggoda untuk menyelamatkan warisan Qumran, mungkin juga menarik perhatian masyarakat Qumran itu sendiri ―misteri kontemporer apakah Yesus yang menulis gulungan-gulungan itu dan menyimpannya dalam gua, di saat pasukan Romawi mendekati tempat itu. Apakah ia di-tulis oleh orang yang suka damai, yaitu sekte Esenes yang zuhud dan hidup di sepanjang Laut Mati sejak abad pertama Masehi? Ataukah gulungan itu disembunyikan oleh anggota masyarakat Yahudi lainnya? Jika benar, perbedaan pandangan tentang gulungan akan mengungkapkan bahwa Judaisme diliputi oleh kekacauan intelektual.

 

Berdasarkan gulungan Qumran yang segera diterbitkan setelah ditemukan ―Gulungan Kuil, Buku Pelajaran dan Gulungan Mazmur yang mengajarkan kehidupan dan ketuhan-an― para sarjana membuat gambaran komunitas Hasidis Esenes yang berpegang teguh pada agama dan menunggu ke-datangan sang Mesiah. Tetapi tahun-tahun terakhir ini, sarjana lainnya menyatakan bahwa masyarakat Qumran tidak hanya sebagai sekte Yahudi yang mengisolir diri, tetapi juga sebagai masyarakat Kristen yang pertama. Skenario yang paling masuk akal dikemukakan oleh Prof. Vermes dari Oxford University dalam bukunya “The Dead Sea Scrolls: Qumran in Perspective,” dengan mengatakan bahwa Kristen dan Esenisme tumbuh dalam waktu yang sama, yakni pada periode Judaisme.

 

Dugaan bahwa Esenes itu sebenarnya masyarakat gereja Kristen Pertama, seperti yang disebutkan oleh Baigent dan Leigh dalam buku barunya, sangat tidak masuk akal,” kata Vermes. “Karena, faktor waktu tidak sesuai, dua ideologi itu memiliki per-bedaan fundamental dan tak satu pun fragmen kitab Perjanjian Baru ditemukan di Qumran. Berarti, anggapan bahwa Kristen berkembang di kalangan masyarakat Esenes itu hanya berdasar-kan pada sebagian kecil persamaan dengan ritual Kristen Awal seperti pembaptisan dan pola pikiran. Tetapi karena Esenes adalah sekte yang sangat berpegang teguh pada ajaran Taurat Musa, menimbulkan problem bagi teori itu sendiri,” kata Vermes.

 

Pakar lain memberikan pandangan bahwa Gulungan Laut Mati tidak ada hubungan dengan Esenes. Dokumen itu diselun-dupkan dari Jerusalem sebelum tentara Romawi menyerang kota itu pada tahun 67 M. Norman Golb dari University of Chicago’s Oriental Institute dan pendukung pandangan itu menyatakan, bahwa ide dan model tulisan teks Qumran “sangat bervariasi dan kadangkala bertentangan, yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh satu sekte kecil.

 

Sebagai contoh, Kitab Kejadian Apocripon ―versi lain kitab Kejadian― sama sekali tidak menunjukkan ide Esenes. Teks lainnya yang dinamai Gulungan MMT mencantumkan 20 alasan mengapa sebuah kelompok menjauhi Kuil di Jerusalem dan praktik peribadatannya. Dari 20 poin, hanya dua yang bisa dihubungkan dengan kepercayaan Esenes. Tetapi gulungan yang seluruh isinya mencela Esenes itu adalah Gulungan Copper, peta harta karun yang menjelaskan kekayaan yang terpendam di padang Judea. “Tipe harta karun dan penjelasan dokumen pada gulungan itu kemungkinan besar berasal dari kota, bukan dari sekte yang mengisolir diri dan menolak kekayaan harta,” kata Golb.

 

Jika keterangan Golb ini benar, perbedaan literatur Qumran yang menggambarkan kultur Yahudi abad pertama me-nunjukkan bahwa semangat imajinatif dan perjuangan spiritual sebagai kekuatan agama mulai tersingkir dari pengkhotbah melalui intelektual sistem Rabi (imam Yahudi). Golb menambah-kan, “Gulungan itu mengatakan kepada kita bahwa perjuangan spiritual di negara itu, yang terkombinasi dengan penghancuran Jerusalem, menghembuskan kebangkitan dua gerakan agama yang berbeda; Kristen dan sistem Rabi Judaisme.” Golb dan para pengikutnya yang tidak memiliki akses langsung atas gulungan itu, mengatakan bahwa penyebaran publikasi yang terbaru akan mendukung teorinya.

 

Dokumen keempat juga menunjukkan persamaan antara Kristen Awal dengan Judaisme abad pertama. Sementara itu, tidak ada kitab Perjanjian Baru yang ditemukan di Qumran. Thema dan image dalam beberapa gulungan paralel dengan milik Perjanjian Baru. Di antara gulungan yang masih belum dipublikasikan memiliki ciri khas yang menjelaskan tentang dualistik dunia; dikotomi antara cahaya dan kegelapan, kebaikan dan keburukan; sama dengan yang terdapat dalam Injil karangan Yohanes yang ditulis di akhir abad pertama Masehi.

 

Sebelum penemuan gulungan itu, sarjana Bibel (Alkitab) berasumsi bahwa dualisme Injil Yohanes merefleksikan pengaruh Yunani pada Kristen Awal, dan terbukti bahwa keempat Injil itu ditulis pada abad kedua Masehi. “Tetapi dengan studi Dead Sea Scrolls, kita menemukan image dalam Injil Yohanes yang akrab dengan alam pikiran Yahudi. Alam pikiran itu berkembang di lingkungan sekte Yahudi konservatif.”

 

Teks lain yang dibocorkan pada Biblical Archaeology Review memiliki kemiripan dengan Injil karangan Lukas, yang mengisahkan malaikat berbicara kepada Maryam, bahwa ia akan mengandung seorang anak yang akan disebut “Anak Tuhan” dan “Anak yang Maha Kuasa”. Fragmen Qumran yang ditulis dalam bahasa Aram beberapa dekade sebelum Injil Lukas berbunyi sebagai berikut:

“…dan dengan namanya ia akan disebut Anak Tuhan, dan mereka akan memanggilnya Anak yang Maha Kuasa.”

 

Ayat ini tidak menjelaskan siapa yang berbicara dan siapa yang diajak bicara pada teks ayat tersebut. Dapatkah ia paralel atau bahkan sama dalam prototipe-nya dengan Injil Lukas? Ataukah ia ada terlebih dulu dan sebelumnya tidak ditemukan ramalan Mesiani? Dalam kasus itu juga, halaman itu mengilus-trasikan bahwa sebutan “Anak Tuhan” yang sudah menjadi istilah dalam agama Kristen dan Yunani, sudah menjadi bagian istilah dalam kamus Yahudi lama. Teks ini dan teks Qumran lainnya menunjukkan bahwa ternyata “Kristen Awal dan Judais-me saling berpelukan lebih erat, yang sebelumnya tak pernah kita duga,” kata Prof. Cross dari Harvard University.

 

Peninggalan itu mungkin warisan terakhir dari Gulungan Laut Mati ―di saat semua rahasia Qumran terkuak, ia akan mengingatkan kita, betapa besarnya keterkaitan yang menjadi akar dua agama itu.

 

Oleh: Jeffery L. Sheller & Joannie M. Schrof

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar