Ada penemuan
arkeologi yang mengejutkan di abad ini, yakni harta karun naskah-naskah kitab
suci yang memiliki rahasia kuno yang tersembunyi di padang Judea selama lebih
kurang 2.000 tahun. Sejak penemuannya pada tahun 1947 oleh seorang gembala
domba badui di gua Qumran, sekitar 10 mil sebelah timur Jerusalem, The Dead Sea
Scrolls (Naskah Gulungan Laut Merah) menjadi bahan penelitian secara intensif,
spekulatif dan kontroversi. Ia menjadi perhatian serius para sarjana Alkitab
dan sejarawan, yang memberikan pandangan alami tentang Alkitab, dan menimbulkan
pandangan baru tentang masa-masa pergolakan yang melahirkan agama Kristen dan Judaisme
modern.
Tetapi selama
empat dekade sejak penemuannya, banyak rahasia gulungan itu disembunyikan oleh
kelompok kecil sarjana yang memegang hak eksklusif atas dokumen tersebut.
Hampir separuh gulungan fragmen yang dianggap sebagai naskah Alkitab tertua
itu, masih belum diterbitkan. Menurut para penelitinya, proses pemaduan,
terjemahan dan analisa fragmen kuno ―sebagian naskah itu tidak lebih dari
tulisan picisan― membutuhkan waktu lama. Tetapi bagi para sarjana Alkitab yang
dilarang untuk menelitinya, mengeluh bahwa menunggu proses tersebut sungguh
amat lama. Sudah bertahun-tahun mereka menuntut untuk mendapatkan hak
penelitian atas gulungan itu. Namun usaha itu sia-sia dan “Ini adalah skandal akademis yang sangat istimewa,” kata Prof. Geza
Vermes dari Oxford University.
Pada akhirnya
mereka bisa merasa lega. Pekan yang lalu (September 1991), sebuah kejutan telah
terjadi, karena lembaga penelitian perpustakaan swasta California yang
menyimpan empat set fotografi koleksi the Dead Sea Scrolls, membuka kamar
besinya dan mulai mengizinkan para sarjana yang berke-pentingan untuk
menelitinya. “Sekarang waktunya menghenti-kan
penyusutan kebebasan,” kata William
A. Moffett, direktur Hunting on
Library di San Marino. Setelah
itu, yang sebelum-nya ada ancaman blokir penyebarluasan gulungan itu, Israeli Antiquities Authority membuat
kejutan lain dengan mengu-mumkan pemberian hak bagi para sarjana untuk
mendapatkan foto, serta mengadakan rapat para editor gulungan pada bulan
Desember untuk merencanakan penyebaran foto itu. Terjadilah perkembangan baru,
hanya dua pekan setelah Biblical
Archaeology Society menyebarkan rekonstruksi komputer naskah gulungan yang
belum pernah dipublikasikan, dilengkapi dengan konkordansi indeks kata dan
letak teks atau ayatnya.
Sementara itu,
ternyata salinan foto-foto asli yang tidak dipublikasikan, secara misterius
dikirim melalui pos ke seluruh wilayah negeri itu. Sebagai contoh, salinan yang
diperoleh Biblical Archaeology Review
berisi ramalan akan datangnya sang Mesiah, ditemukan pada naskah Qumran itu.
Tindakan yang
menimbulkan kemarahan para editor naskah yang telah membuka akses dokumen
tersebut, akan membahayakan usaha penyimpanan yang cukup melelahkan itu. Prof. John Strugnell, mantan kepala
editor gulungan Qumran mengatakan, bahwa penyebaran dari pihak yang tidak
berwenang tersebut adalah pencurian
dan akan berdampak bagi ilmu pengetahuan. Menurut Strugnell, sekarang para
sarjana yang memperoleh foto itu akan mempublikasikan “beberapa lembar pemandangan yang amat mengesankan” dari fragmen
gulungan Qumran yang menarik, tetapi “sebagian
fragmen akan lolos dari publikasi.” Frank
M. Cross, editor naskah gulungan dan pakar bahasa Ibrani dan bahasa Barat
di Harvard Univer-sity, memperingatkan bahwa akses tanpa batas pada naskah
gulungan itu akan “membongkar misteri
yang aneh di sekitar Alkitab,” dan sebenarnya menjadi proses publikasi
secara perlahan. Mungkin terdapat banyak kesimpangsiuran mengenai dokumen itu
sampai sekarang.
Tetapi bagi
mereka yang sudah lama dilarang melihat gulungan itu, dibukanya akses untuk
meneliti fragmen tersebut merupakan berita yang sangat menggembirakan. “Saya sangat senang sekali,” kata James L. Crenshaw, pakar Perjanjian Lama di Divinity School of
Duke University, yang mengharapkan dapat memakai naskah Gulungan Qumran dalam
studinya tentang ramalan Perjanjian Lama dan tulisan-tulisan lainnya.
Apalagi jika
penyebaran gulungan itu bisa sempurna, ia sendiri bisa mengakhiri kekacauan dan
kontroversi yang menyelimuti dokumen tersebut sejak penemuannya. Di dalam gua Qumran,
tempat menyembunyikan gulungan itu, terdapat sekitar 800 macam fragmen dokumen
yang ditulis sekitar tahun 200 SM dan 50 SM. Naskah itu mungkin ditulis oleh
sekte zuhud Yahudi yang dikenal dengan sebutan Esenes. Sekitar 127 dokumen adalah ayat-ayat Bibel (Alkitab),
termasuk versi tertua kitab-kitab Perjanjian Lama, kecuali kitab Ester. Hampir
seluruh naskah gulungan itu berbahasa Ibrani, sebagian lagi berbahasa Yunani
atau Aram ―bahasa sehari-hari pada masa itu dan salah satunya dipakai oleh
Yesus. Beberapa kitab memiliki 19 salinan yang berbeda, yang ditulis pada waktu
yang berbeda dan oleh tangan yang berlainan pula. Gulungan lainnya adalah kitab
suci apokripa (kitab yang dilarang dibaca oleh pemeluk Protestan) seperti kitab
Tobit, Sirakh, dan Yobel (kitab terakhir ini apokrip bagi pemeluk Katholik dan
Protestan), penafsiran Alkitab, tatacara peribadatan dan berdoa, ramalan,
hymne, dan peraturan mengenai masalah kekuasaan.
Di saat gulungan
ditemukan pada 11 tempat yang berbeda di Qumran antara tahun 1947 sampai 1956,
peninggalan yang sangat berharga dan terbuka bagi umum itu, pada tahun 1952
dinyatakan tertutup dengan diberi tanda Qumran 4. Tempat itu mengandung ribuan
fragmen, diantaranya semua naskah yang tidak dipublikasikan itu berasal dari Qumran
4.
Karena gulungan
itu ditemukan di wilayah kekuasaan Yordania, pemerintah Yordan melakukan
pengawasan ketat terhadap daerah itu, kecuali terhadap naskah yang pertama kali
ditemukan, yang kemudian diterbitkan oleh salah seorang sarjana Israel dan
dipajang untuk umum di perpustakaan Shrine Jerusalem sejak tahun 1965.
Pemerintah Yordania menunjuk Roland de
Vaux dari French Ecole Biblique
untuk membentuk tim internasional yang memiliki hak eksklusif menerbitkan
dokumen tersebut. De Vaux mengajak tujuh orang kolega terdekatnya untuk bekerja
pada gulungan tersebut, serta mengadakan perjanjian kerjasama dengan Oxford
University Press untuk menerbitkan hasil pekerjaan mereka. Pekerjaan pertama
mereka pada tahun 1950-an berjalan dengan cepat. Tetapi pada tahun 1960-an
pekerjaan itu tersendat-sendat. Walaupun sudah menerbitkan 20 jilid, mereka
merasa hanya menyelesaikan separuh dari seluruh pekerjaannya.
Sejak perang
enam hari (Six-Day war) tahun 1967, tempat gulungan Qumran itu berada di bawah
pengawasan Israeli Antiquities Authority, saat itulah upaya penelitian
berangsur-angsur diperlebar. Termasuk yang di bawah pengawasan Israel,
pekerjaan itu rampung sekitar 80 persen. Di tahun belakangan ini, tim yang
diperbanyak menjadi 40 sarjana itu “melangkah
lebih cepat,” kata Eugene Ulrich dari Notre Dame University dan editor
naskah Alkitab gulungan itu. Dia dan editor lainnya kadang-kadang mengizinkan
pihak luar untuk ikut menelitinya. “Untuk
apa menunda atau problem itu terus menghantui masa lalu? Dan sekarang pasti
akan berlalu,” kata Ulrich. Tetapi pernyataan itu tidak memuaskan para
sarjana lainnya. Beberapa kritikan dilontarkan bahwa editor sengaja
menyembunyikan naskah gulungan yang bisa mengakibatkan kerusakan pandangan
terhadap agama tradisional (Yahudi dan Kristen). Salah satu teori yang
dikemukakan oleh Michael Baigent dan Richard Leigh dalam buku terbarunya yang
ber-judul “The Dead Sea Scrolls Deception,”
melancarkan tuduhan bahwa penundaan itu sebagai konspirasi Vatikan untuk
menyembunyikan fakta bahwa warga masyarakat Qumran adalah pemeluk Kristen Pertama
yang dipimpin oleh murid Yesus yang bernama James. Bahkan penulis buku itu,
yang banyak merujuk tulisan Prof. Robert Eisenmen dari California State
University, menyatakan, “Guru Kebenaran”
masyarakat Qumran yang juga disebut dalam naskah Qumran lainnya adalah James, atau mungkin juga “Yesus”. Jika Qumran ―yang menekankan
ajaran nabi Musa― itu benar-benar sebagai pemeluk Kristen Pertama, berarti
tradisi Kristen yang sekarang kita temui sangat jauh menyimpang dari ajaran dan
praktik Kristen yang asli. Dengan demikian, ia akan meruntuhkan otoritas gereja
modern.
Pernyataan ini
pada dasarnya menolak kesepakatan para sarjana. Editor gulungan, Ulrich,
menolak bahwa rahasia yang sensitif ini disembunyikan sebagai naskah yang tidak
dipublikasikan. Bahkan kritikan paling tajam dari tim gulung-an ―seperti
Harshel Shank, editor Biblical Archaeology Review― menolak teori itu dan
menyebutnya “omong kosong”. Hampir
seluruh sarjana yang menerima penyebaran naksah gulungan yang tidak
dipublikasikan itu membantah tuduhan konspirasi itu.
Bagaimana pun
juga, pengungkapan naskah gulungan yang tersimpan dan siap dipublikasikan itu
telah memberikan pengaruh dramatis dalam studi Bibel modern, dan akan mem-bawa
pemahaman baru pada era misterius antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. “Kita sekarang benar-benar memiliki peninggalan
pustaka yang berasal dari zaman Yohanes pembaptis dan Yesus. Ia menerangi
periode krusial bagi Yahudi dan memancarkan cahaya baru pada Kristen Pertama,”
kata Magen Broshi, kurator gulungan di Shrine of the Book Jerusalem. Dengan
bantuan teks ini, yang umurnya 1.000 tahun lebih tua dari teks abad pertengahan
yang dipakai sekarang, para sarjana telah menemukan perubahan yang
membelalakkan mata dalam Bibel. “Secara
keseluruhan, gulung-an itu cenderung mengkonfirmasi keabsahan kitab Perjanjian
Lama yang melebihi harapan kebanyakan orang,” kata Don A. Carson dari
Trinity Evangelical Divinity School di Deefield, III. Satu gulungan secara
dramatis menunjukkan minimal satu kitab Perjanjian Lama telah berubah melalui
abad-abad penyalinan. Naskah gulungan kitab Yesaya pasal 66 ―diantara-nya
tersimpan lengkap di perpustakaan Qumran― ditemukan 13 perbedaan minor dari
teks modern.
Beberapa koreksi
kecil yang berdasarkan perbandingan dengan teks Qumran, tidak bisa dipertemukan
dengan Alkitab edisi terakhir, seperti Alkitab Revised Standard Version yang
diterbitkan setahun kemarin (1990). Di antara perbedaan substansial antara teks
modern dengan teks yang ditemukan di Qumran, adalah kitab Yeremia dan Samuel,
yang berisi beberapa paragraf yang sebelumnya tidak pernah ada. Seperti I
Samuel pasal 11 mengisahkan raja Saul memimpin rakyatnya berperang melawan
bangsa Amon. Tetapi teks Qumran menceritakan penindasan bangsa Israel oleh raja
Amon, Nahas, yang tidak ditemukan dalam teks tradisional, Teks Qumran itu
berbunyi:
“Ia akan mencungkil setiap mata kanan mereka
dan tidak akan membiarkan pembebas Israel. Tidak ada orang Israel yang
menyeberang Jordan, melainkan mata kanannya dicungkil oleh Nahas, raja Amon.
Tetapi 7.000 orang yang telah melarikan diri…”
Di lain kasus,
Teks Qumran yang tidak memiliki halaman-halaman yang bisa ditemukan dalam
Alkitab sekarang, telah menimbulkan pertanyaan, apakah penulis Alkitab pertama
menghilangkan bagian tertentu atau penulis terakhir yang menambahkannya.
Sebagai contoh, kitab Yeremia pasal 9, naskah Qumran tidak memiliki kisah yang
menceritakan bahwa Tuhan berbicara melalui nabi-Nya, mengutuk orang Israel yang
tidak patuh kepada-Nya, dan menyatakan, “Sekarang
Aku akan menyaring dan menguji mereka, sebab apa lagi yang bisa Aku lakukan
terhadap ummatku yang penuh dosa.”
Kitab Perjanjian
Lama yang paling modern berdasarkan salinan yang dikerjakan oleh para Masoret, yaitu kelompok penulis kitab
suci Yahudi yang dikenal dengan ketelitian dan keakuratannya. Naskah tertua
yang dimiliki oleh gereja adalah yang ditulis sekitar tahun 1005 M. Suatu
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, beberapa naskah gulungan Qumran yang
ber-bahasa Ibrani berbeda jauh dengan naskah Masoret. Sehingga melahirkan
dilema lain bagi sarjana Bibel modern: Apakah
para Masoret bukan penyalin yang teliti, ataukah teks Qumran menunjukkan
sebagai versi Bibel Ibrani kedua yang terpisah dengan Bibel yang dipakai
sekarang?
Rahasia yang
paling menggoda untuk menyelamatkan warisan Qumran, mungkin juga menarik
perhatian masyarakat Qumran itu sendiri ―misteri kontemporer apakah Yesus yang
menulis gulungan-gulungan itu dan menyimpannya dalam gua, di saat pasukan
Romawi mendekati tempat itu. Apakah ia di-tulis oleh orang yang suka damai,
yaitu sekte Esenes yang zuhud dan hidup di sepanjang Laut Mati sejak abad
pertama Masehi? Ataukah gulungan itu disembunyikan oleh anggota masyarakat
Yahudi lainnya? Jika benar, perbedaan pandangan tentang gulungan akan
mengungkapkan bahwa Judaisme diliputi oleh kekacauan intelektual.
Berdasarkan
gulungan Qumran yang segera diterbitkan setelah ditemukan ―Gulungan Kuil, Buku
Pelajaran dan Gulungan Mazmur yang mengajarkan kehidupan dan ketuhan-an― para
sarjana membuat gambaran komunitas Hasidis Esenes yang berpegang teguh pada
agama dan menunggu ke-datangan sang Mesiah. Tetapi tahun-tahun terakhir ini,
sarjana lainnya menyatakan bahwa masyarakat Qumran tidak hanya sebagai sekte
Yahudi yang mengisolir diri, tetapi juga sebagai masyarakat Kristen yang
pertama. Skenario yang paling masuk akal dikemukakan oleh Prof. Vermes dari
Oxford University dalam bukunya “The Dead
Sea Scrolls: Qumran in Perspective,” dengan mengatakan bahwa Kristen dan
Esenisme tumbuh dalam waktu yang sama, yakni pada periode Judaisme.
“Dugaan bahwa Esenes itu sebenarnya
masyarakat gereja Kristen Pertama, seperti yang disebutkan oleh Baigent dan
Leigh dalam buku barunya, sangat tidak masuk akal,” kata Vermes. “Karena, faktor waktu tidak sesuai, dua
ideologi itu memiliki per-bedaan fundamental dan tak satu pun fragmen kitab
Perjanjian Baru ditemukan di Qumran. Berarti, anggapan bahwa Kristen berkembang
di kalangan masyarakat Esenes itu hanya berdasar-kan pada sebagian kecil
persamaan dengan ritual Kristen Awal seperti pembaptisan dan pola pikiran.
Tetapi karena Esenes adalah sekte yang sangat berpegang teguh pada ajaran Taurat
Musa, menimbulkan problem bagi teori itu sendiri,” kata Vermes.
Pakar lain
memberikan pandangan bahwa Gulungan Laut Mati tidak ada hubungan dengan Esenes.
Dokumen itu diselun-dupkan dari Jerusalem sebelum tentara Romawi menyerang kota
itu pada tahun 67 M. Norman Golb dari University of Chicago’s Oriental
Institute dan pendukung pandangan itu menyatakan, bahwa ide dan model tulisan
teks Qumran “sangat bervariasi dan
kadangkala bertentangan, yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh satu sekte
kecil.”
Sebagai contoh,
Kitab Kejadian Apocripon ―versi lain kitab Kejadian― sama sekali tidak
menunjukkan ide Esenes. Teks lainnya yang dinamai Gulungan MMT mencantumkan 20
alasan mengapa sebuah kelompok menjauhi Kuil di Jerusalem dan praktik
peribadatannya. Dari 20 poin, hanya dua yang bisa dihubungkan dengan
kepercayaan Esenes. Tetapi gulungan yang seluruh isinya mencela Esenes itu
adalah Gulungan Copper, peta harta karun yang menjelaskan kekayaan yang
terpendam di padang Judea. “Tipe harta
karun dan penjelasan dokumen pada gulungan itu kemungkinan besar berasal dari
kota, bukan dari sekte yang mengisolir diri dan menolak kekayaan harta,”
kata Golb.
Jika keterangan
Golb ini benar, perbedaan literatur Qumran yang menggambarkan kultur Yahudi
abad pertama me-nunjukkan bahwa semangat imajinatif dan perjuangan spiritual
sebagai kekuatan agama mulai tersingkir dari pengkhotbah melalui intelektual
sistem Rabi (imam Yahudi). Golb menambah-kan, “Gulungan itu mengatakan kepada kita bahwa perjuangan spiritual di
negara itu, yang terkombinasi dengan penghancuran Jerusalem, menghembuskan
kebangkitan dua gerakan agama yang berbeda; Kristen dan sistem Rabi Judaisme.”
Golb dan para pengikutnya yang tidak memiliki akses langsung atas gulungan itu,
mengatakan bahwa penyebaran publikasi yang terbaru akan mendukung teorinya.
Dokumen keempat
juga menunjukkan persamaan antara Kristen Awal dengan Judaisme abad pertama.
Sementara itu, tidak ada kitab Perjanjian Baru yang ditemukan di Qumran. Thema
dan image dalam beberapa gulungan paralel dengan milik Perjanjian Baru. Di antara
gulungan yang masih belum dipublikasikan memiliki ciri khas yang menjelaskan
tentang dualistik dunia; dikotomi antara cahaya dan kegelapan, kebaikan dan
keburukan; sama dengan yang terdapat dalam Injil karangan Yohanes yang ditulis
di akhir abad pertama Masehi.
Sebelum penemuan
gulungan itu, sarjana Bibel (Alkitab) berasumsi bahwa dualisme Injil Yohanes
merefleksikan pengaruh Yunani pada Kristen Awal, dan terbukti bahwa keempat
Injil itu ditulis pada abad kedua Masehi. “Tetapi
dengan studi Dead Sea Scrolls, kita menemukan image dalam Injil Yohanes yang
akrab dengan alam pikiran Yahudi. Alam pikiran itu berkembang di lingkungan
sekte Yahudi konservatif.”
Teks lain yang
dibocorkan pada Biblical Archaeology
Review memiliki kemiripan dengan Injil karangan Lukas, yang mengisahkan
malaikat berbicara kepada Maryam, bahwa ia akan mengandung seorang anak yang
akan disebut “Anak Tuhan” dan “Anak yang Maha Kuasa”. Fragmen Qumran
yang ditulis dalam bahasa Aram beberapa dekade sebelum Injil Lukas berbunyi sebagai
berikut:
“…dan dengan namanya ia akan disebut Anak
Tuhan, dan mereka akan memanggilnya Anak yang Maha Kuasa.”
Ayat ini tidak
menjelaskan siapa yang berbicara dan siapa yang diajak bicara pada teks ayat
tersebut. Dapatkah ia paralel atau bahkan sama dalam prototipe-nya dengan Injil
Lukas? Ataukah ia ada terlebih dulu dan sebelumnya tidak ditemukan ramalan
Mesiani? Dalam kasus itu juga, halaman itu mengilus-trasikan bahwa sebutan “Anak Tuhan” yang sudah menjadi istilah
dalam agama Kristen dan Yunani, sudah menjadi bagian istilah dalam kamus Yahudi
lama. Teks ini dan teks Qumran lainnya menunjukkan bahwa ternyata “Kristen Awal dan Judais-me saling berpelukan
lebih erat, yang sebelumnya tak pernah kita duga,” kata Prof. Cross dari
Harvard University.
Peninggalan itu
mungkin warisan terakhir dari Gulungan Laut Mati ―di saat semua rahasia Qumran
terkuak, ia akan mengingatkan kita, betapa besarnya keterkaitan yang menjadi
akar dua agama itu.
Oleh: Jeffery L.
Sheller & Joannie M. Schrof
Tidak ada komentar:
Posting Komentar