Untuk menentukan sifat Kristiani masa kini, penting untuk di ingat perbedaan antara pengetahuan yang dicapai melalui pengamatan dan deduksi, dan pengetahuan yang diwahyukan kepada manusia melalui kekuatan di luar dirinya (revelation). Pengetahuan deduktif selalu berubah dengan adanya pengamat-an-pengamatan dan eksperimen-eksperimen yang lebih baru. Untuk itu pengetahuan deduktif bersifat tidak pasti (relatif). Pengetahuan wahyu berasal dari Tuhan. Dalam setiap pesan wahyu, selalu terdapat aspek metafisik dan aspek fisik. Aspek metafisik mengajarkan tentang sifat keesaan Tuhan. Aspek fisik memberikan suatu aturan (code) tingkah laku. Pengetahuan wahyu selalu dibawa oleh seorang utusan (Rasul/Nabi) yang mewujudkan pesan tersebut. Cara-cara kehidupannya merupa-kan ajaran dari pesan wahyu tersebut. Untuk bersikap sebagaimana yang dilakukan Rasul, berarti harus memiliki pengetahuan tentang pesan tersebut. Dan pengetahuan ini bersifat pasti. Kristiani pada masa kini dikatakan didasarkan atas pengetahuan wahyu, tetapi tidak satu pun Bibel yang berisi pesan Yesus secara utuh dan tepat sebagaimana yang diwahyu-kan kepadanya. Hampir tak ada satu catatan tentang aturan tingkah lakunya. Kitab-kitab dalam Perjanjian Baru bahkan tidak berisi catatan-catatan dari saksi mata langsung tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kitab-kitab tersebut ditulis oleh orang-orang yang mendapatkan pengetahuan mereka melalui tangan kedua. Catatan-catatan ini tidak menyeluruh. Segala sesuatu yang dikatakan Yesus dan tidak dicatat telah hilang untuk selamanya.
Orang-orang yang
berusaha membuktikan kebenaran apa yang ada di Perjanjian Baru, mengaku bahwa
sekalipun tidak menyeluruh, paling tidak akurat. Akan tetapi, penting untuk
dicatat bahwa semua manuskrip yang paling tua yang tetap ada dalam Perjanjian
Baru, di mana dari manuskrip-manuskrip tersebut semua terjemahan Bibel
bersumber darinya, ditulis setelah Konsili Nicea. Codex Sinaiticus dan Codex
Vaticanus ditulis pada akhir abad ke-4 M. Sebagai akibat dari keputusan
Konsili Nicea, hampir 300 catatan lainnya tentang kehidupan Yesus ―yang
sebagian besar merupakan catatan-catatan dari sumber pertama― secara sistematis
telah dihancurkan. Peristi-wa-peristiwa yang terjadi pada Konsili Nicea
menunjukkan bahwa Gereja Paulus memiliki segala dalih untuk merubah keempat
Injil yang tetap ada. Jelasnya, manuskrip-manuskrip dalam Perjanjian Baru yang
ditulis setelah Konsili Nicea berbeda dari manuskrip-manuskrip yang telah ada
sebelum konsili tersebut. Adalah penting untuk diingat bahwa publikasi beberapa
Gulungan-gulungan Kulit Laut Mati telah disembunyi-kan, karena
gulungan-gulungan tersebut tidak membenarkan manuskrip-manuskrip yang ditulis
sesudah Konsili Nicea.
Ketidakbenaran
dari Injil-injil tersebut tampaknya diakui oleh gereja sendiri. Metafisika
Kristiani pada masa kini bahkan tidak didasarkan pada apa yang ada dalam Injil
tersebut. Gereja Resmi didasarkan atas doktrin dosa asal, penebusan dosa dan
penyelamatan, ketuhanan Yesus, ketuhanan Roh Kudus, dan Trinitas. Tak satu pun
dari doktrin ini yang ditemukan pada Injil tersebut. Ajaran-ajaran tersebut
merupakan hasil inovasi Paulus, pengaruh kebudayaan dan filsafat Yunani. Paulus
tidak pernah menemani atau pun menerima pengetahuan secara langsung dari Yesus.
Sebelum “konversinya”, secara kejam
ia menyiksa para pengikut Yesus. Dan setelah konversi, ia bertanggung jawab terhadap pengabaian ajaran Yesus
ketika ia membawa agama “Kristen” kepada orang-orang bukan Yahudi di Yunani dan
di luar Yunani. Figur “Kristus” yang dia klaim telah mengajarkan doktrin yang
baru kepadanya adalah sebuah khayalan semata. Ajarannya didasarkan atas
peristiwa yang tidak pernah ada, yaitu anggapan “kematian” dan “kebangkitan”
Yesus.
Sekalipun
asal-usulnya yang meragukan, doktrin-doktrin ini membentuk suatu bagian
integral dari ajaran gereja yang membuat setiap orang menerima “suatu pendidikan Kristen”. Sekalipun
banyak orang telah menolak sebagian atau semua doktrin-doktrin tersebut, tetapi
“magic” yang mereka perguna-kan
sedemikian rupa. Sehingga orang-orang yang percaya kepadanya dibimbing oleh
logika untuk meyakini dasar-dasar yang aneh tersebut: “Bahwa di luar gereja, tidak ada keselamatan.” Bangunan metafisika
gereja adalah: Doktrin penebusan dosa dan penyelamatan menyatakan bahwa Kristus
adalah Tuhan yang berwujud manusia dan menjadi Yesus yang kemu-dian meninggal
untuk manusia demi menebus semua dosanya. Gereja menjamin pengampunan dosa-dosa
dan keselamatan pada hari pembalasan bagi siapa saja yang meyakini “Kristus”
dan mengikuti petunjuk gereja. Lebih jauh lagi, diyakini bahwa bangunan ajaran
ini bisa dikenakan kepada semua orang sampai kiamat. Akibat-akibat wajar dari
keyakinan-keyakinan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, ajaran tersebut mengisyaratkan bahwa
seseorang tidak bertanggung jawab lagi bagi tindakan-tindakannya dan bahwa ia
tidak akan bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya setelah meninggal.
Karena apa pun yang ia kerjakan akan diselamatkan oleh “pengorbanan Kristus”. Tetapi hal ini bukan berarti suatu kehidupan
yang menyenangkan di bumi. Keyakinan terhadap doktrin dosa asal yang menyatakan
bahwa karena kesalahan Adam, semua manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa.
Berarti selama ia hidup, dosa asal tersebut mengikutinya sehingga kondisinya
tidak berharga dan tidak sempurna. Pandangan tragis terhadap kehidupan ini
digambarkan oleh J.G. Vos, seorang Kristen, yang membandingkan Islam dengan
Kristen.
Tidak ada satu pun dalam Islam yang menyebabkan sese-orang untuk berkata, “Oh, alangkah celakanya aku. Siapa yang akan menyelamatkanku dari kematian ini?” atau “Aku tahu bahwa dalam diriku, dalam dagingku, tidak bersemayam hal-hal yang baik.” Agama Islam beserta ajarannya bisa dicapai secara rasional, tidak membebani “pendosa” dengan penderitaan maupun frustasi karena mencoba tanpa hasil untuk meraih kehidupan praktis sesuai dengan tuntutan moral. Secara singkat, Islam membuat seseorang merasa baik. Sementara Kristen menyebabkan seseorang merasa jelek di dunia maupun di akhirat. Agama yang patah hati adalah Kristen, bukan Islam.
Kedua, keyakinan kepada doktrin penebus dan penyelamat menyebabkan keraguan ketika seorang Kristen berupaya men-damaikan pertentangan ajaran-ajaran lainnya yang telah diwahyukan Tuhan kepada manusia dengan keyakinan pribadi-nya. Ajaran ini mengisyaratkan bahwa “pengorbanan Kristus” dan “pesannya” adalah unik dan final. Dan untuk itu, tidak bisa menerima ajaran-ajaran dari Nabi-nabi lainnya. Pada saat yang sama, ia tidak bisa menolak kebenaran yang ia temukan pada ajaran-ajaran lain tersebut. Oleh sebab itu, seorang Kristen menolak Judaisme tetapi menerima Perjanjian Lama yang diturunkan dari ajaran-ajaran yang telah dibawa Musa kepada orang-orang Yahudi. Dia meletakkan dirinya pada posisi yang tidak mungkin untuk menerima dua keyakinan yang saling bertentangan secara bersamaan.
Upaya-upaya untuk
menghindari dilema penerimaan dan penolakan secara bersamaan terhadap keimanan
non-Kristen telah dilakukan dengan menyatakan bahwa sebagian orang Kristen “melihat” pada keimanan tersebut sebagai
pengaruh dari “Kristus Raya” (Cosmic
Christ) sebagai Logos kekal atau
yang menampakkan Bapak ketuhanan yang merupakan cahaya yang menerangi setiap
orang. Pandangan ini diringkaskan oleh William
Temple ketika menulis: “Dengan firman Tuhan ―kata-kanlah demikian, bahwa
Yesus Kristus― Yesaya dan Plato, Zoroaster, Buddha, dan Confucius mengucapkan
dan menulis kebenaran-kebenaran tersebut sebagaimana yang mereka nyatakan.
Hanya terdapat satu cahaya ketuhanan. Dan setiap manusia dalam ukurannya sendiri
diterangi oleh cahaya tersebut.” Cara berpikir pada kutipan tersebut
berdasar pada anggapan bahwa “satu cahaya ketuhanan” dan Kristus adalah sama.
Karena “Kristus” adalah suatu hasil imajinasi, maka doktrin tersebut gagal. Dan
merupakan dilema tetap tak terpecahkan. Dilema tersebut hanya bisa dihindari
dengan menggunakan istilah “pikiran ganda”. Dia mendefinisikannya sebagai
berikut:
Berpikir ganda berarti memegang dua keyakinan yang saling bertentangan secara bersama-sama, dan menerima keduanya. Kelompok Intelektual tahu bahwa dia sedang bermain tipuan dengan kenyataan. Tetapi dengan meng-gunakan cara berpikir ganda, ia juga bisa memuaskan dirinya sendiri sehingga realitas tidak terganggu.
“Berpikir ganda”
berakar pada suatu anggapan dasar Kristen bahwa Kristus adalah Tuhan. Di
sekitar anggapan inilah sehingga pertentangan dari dua sifat Yesus menjadi
semakin rumit. Satu saat ia adalah manusia biasa, saat berikutnya ia adalah
Tuhan. Pertama ia adalah Yesus, kemudian ia menjadi Kristus. Hanya dengan
menggunakan berpikir ganda saja sehingga seorang bisa memegang dua keyakinan
yang kontradiktif secara bersamaan. Hanya dengan berpikir ganda sehingga
keyakinan terhadap doktrin Trinitas bisa dipertahankan.
Artikel ke-7
dari 39 artikel Gereja Inggris dimulai: “Perjanjian
Lama tidak bertentangan dengan Perjanjian Baru…” Sebagai-mana yang
diperlihatkan Milton secara jelas,
Perjanjian Lama penuh dengan bagian-bagian yang membenarkan keesaan Tuhan.
Tidak terdapat satu ayat pun dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan realitas
ketuhanan dalam istilah doktrin Trinitas. Artikel itu menegaskan bahwa
Perjanjian Lama tidak bertentangan dengan Perjanjian Baru. Sedangkan surat
Paulus yang terdapat di dalam Perjanjian Baru berisi ajaran Trinitas. Itulah
bukti nyata bahwa terdapat “pikiran
dualisme” dalam Kristiani. Dengan demikian, logika dari metafisika Gereja
Resmi ―yang didasarkan atas doktrin-doktrin yang tidak diajarkan Yesus― bukan
saja mengaburkan sifat Yesus, tetapi juga mengaburkan keesaan Tuhan. Metafisika
Kristiani pada masa kini secara menyeluruh bertentangan dengan apa yang
dibawa Yesus. Aspek fisik dari apa yang
dibawa Yesus dan ajaran akhlaknya pada saat ini telah lenyap untuk selamanya.
Untuk hidup sebagaimana Yesus hidup berarti harus memahami pesannya. Tetapi
pada dasarnya tidak ada catatan yang masih tersisa tentang bagaimana Yesus
hidup. Tindakan Yesus yang paling mendasar adalah peribadatan kepada Sang
Pencipta, yang merupakan tujuan pokok diciptakannya manusia. Tetapi jelas
terlihat bahwa tidak ada seorang Kristen pada masa kini yang melakukan
peribadatan sebagaimana telah dilakukan Yesus. Yesus selalu sembahyang di
Sinagog, tempat ibadah orang Yahudi. Dia beribadah pada waktu-waktu yang telah
ditentukan tiap hari. Bentuk pasti dari peribadatannya tidak ada lagi. Tetapi
diketahui bahwa sembahyang tersebut didasar-kan atas peribadatan yang
dicontohkan Musa. Yesus berkata bahwa ia datang untuk menegakkan hukum Taurat
dan bukan menghancurkannya sekecil apa pun. Yesus dididik di dalam Sinagog di
Jerusalem sejak usia dua belas tahun. Dia meng-ajarkan ajarannya di Sinagog.
Dia biasa menjaga Sinagog tetap bersih. Tak satu pun orang Kristen pada masa
kini yang melakukan tindakan-tindakan tersebut. Berapa banyak orang Kristen
yang di khitan dengan cara yang dicontohkan Yesus? Pelayanan-pelayanan ibadah
yang dilakukan di gereja saat ini dikembangkan jauh setelah Yesus “menghilang”.
Banyak dari peribadatan tersebut yang secara langsung berasal dari
ritual-ritual mitologi Yunani-Roma. Doa-doa yang mereka gunakan bukan doa-doa
yang dilakukan Yesus. Hymne-hymne yang mereka nyanyikan bukan pujian-pujian
yang dilagukan Yesus. Karena inovasi-inovasi Paulus dan para pengikutnya, tidak
ada ajaran wahyu yang tersisa seperti apa yang boleh dan tidak boleh untuk
dimakan. Setiap orang yang telah mendapat “Pendidikan
Kristen” pada masa kini memakan apa saja yang ia suka. Tetapi Yesus dan
para pengikut sejatinya hanya makan daging yang dihalalkan dan dilarang memakan
daging babi. Jamuan terakhir Yesus yang dilakukan sebelum “menghilang-nya”
adalah Jamuan Paskah (peringatan kebebasan orang-orang Yahudi dari Mesir). Pada
masa kini tidak ada orang-orang Kristen yang merayakan tradisi Yahudi kuno ini
yang biasa dilakukan Yesus. Tidak lagi diketahui bagaimana cara Yesus makan dan
minum, dengan siapa dia makan dan dengan siapa dia tidak mau makan, kapan ia
makan dan kapan ia tidak makan (puasa). Yesus berpuasa, tetapi lagi-lagi tidak
diketahui bagaimana, di mana, dan kapan ia berpuasa. Cara-cara ber-puasanya
telah hilang. Tidak ada catatan tentang makanan yang secara khusus ia sukai,
dan makanan apa yang secara khusus tidak ia sukai. Yesus tidak pernah kawin
selama ia di bumi, tetapi ia tidak melarangnya. Tidak ada satu pun ayat Bibel
yang menyatakan bahwa seorang pengikut Yesus harus bersumpah untuk tidak kawin
(madat). Juga tidak ada wewenang apa pun untuk mendirikan komunitas satu jenis
kelamin seperti komunitas biarawan dan biarawati. Sekalipun komunitas-komunitas
ini bisa jadi berasal dari komunitas sebagaimana komunitas Esenes. Para
pengikut awal Yesus yang kawin pasti mengikuti aturan tingkah laku dalam
perkawinan yang dibawa Musa. Contoh perkawinan tersebut tidak lagi ditiru pada
saat ini.
Hancurnya
struktur keluarga di Barat menunjukkan kurangnya suatu bimbingan yang efektif
untuk bertingkah laku di dalam suatu perkawinan Kristen, tentang bagaimana
seorang laki-laki seharusnya bersikap terhadap wanita, dan sebaliknya.
Berabad-abad lamanya masalah ajaran moral diserahkan kepa-da adat istiadat
setempat. Tindakan ini merupakan hasil dari pengetahuan deduktif, bukan
berdasarkan wahyu.
Tidak ada
catatan tentang bagaimana Yesus berjalan, duduk, berdiri, cara memberanikan
diri, memberi salam kepada orang lain, bagaimana cara berhadapan dengan orang
tua, dengan orang muda, dengan wanita tua, dengan wanita muda, dengan
orang-orang asing, dengan tamu, dengan musuh, bagaimana ia mengatur transaksinya
di pasar, bagaimana ia bepergian, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak
diperkenankan.
Catatan-catatan
tentang pesan Yesus yang diwahyukan kepadanya oleh Tuhan tidaklah menyeluruh
dan tidak akurat. Doktrin-doktrin Kristiani pada saat ini tidak ditemukan dalam
catatan-catatan tersebut. Catatan tentang bagaimana Yesus bertindak, hampir
tidak ada lagi. Dan apa yang sedikit diketa-hui, secara menyeluruh diabaikan.
Tetapi lembaga gereja dalam bentuk apapun selalu mengaku menjadi penafsir dan
pelindung pesan Yesus. Gereja tidak dibentuk oleh Yesus. Dia tidak menetapkan
suatu hierarki pendeta untuk bertindak sebagai perantara Tuhan dan manusia.
Tetapi Gereja Paulus sejak awal selalu mengajarkan kepada orang-orang Kristen
untuk percaya bahwa keselamatan mereka dijamin, jika mereka bertindak dan
mempercayai apa yang dikatakan gereja kepada mereka. Dari manakah gereja
menerima wewenangnya?
Pengakuan
wewenang ini ―dalam bentuknya yang paling ekstrim― ditemukan pada doktrin
Gereja Katholik Roma tentang tidak mungkin salahnya kepausan. Cardinal Heenan meringkaskan doktrin
tersebut dengan kata-kata berikut:
Rahasia dari kesatuan yang mengagumkan dari gereja kita adalah adanya janji Kristus bahwa gereja tidak akan pernah gagal untuk mengajarkan kebenaran. Begitu kita mengeta-hui apa yang diajarkan gereja, maka kita menerimanya. Karena kita mengetahui hal itu pastilah benar. Semua pendeta Katholik mengajarkan doktrin yang sama. Karena mereka semua mematuhi “wakil” (Vicar) Kristus. Kata-kata “Vicar” berarti “seseorang yang menempati tempat orang lain”. Paus adalah “wakil” Kristus karena ia menggantikan tempat Kristus sebagai kepala gereja di bumi. Gereja tetap satu karena semua anggotanya meyakini keimanan yang sama. Mereka meyakininya karena gereja tidak bisa mengajarkan apa yang palsu. Inilah yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa gereja tidak mungkin salah (Infallible). Kristus telah menjanjikan untuk membimbing gerejanya. Salah satu cara Kristus memilih untuk membimbing gereja adalah dengan meninggalkan wakilnya di bumi. Untuk berbicara atas namanya. Itulah mengapa kita mengatakan Paus tidak mungkin salah. Dia adalah ketua dari gereja yang tidak bisa salah. Tuhan tidak akan membiarkan dia terjatuh ke dalam kesalahan.”
Adalah menarik
bahwa Cardinal Heenan hanya berbicara tentang “Kristus”, dan bukan Yesus. Dia
tidak merujuk kepada Injil-injil untuk mendukung pengakuan-pengakuannya.
Dogma ini
seringkali terbukti aneh. Sebab jika semua Paus tidak mungkin salah, lalu
mengapa Paus Honorius dikutuk gereja? Apakah surat kepauasan akhir-akhir ini
yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi tidak bertanggung jawab terhadap
“anggapan” penyaliban Yesus berarti bahwa semua Paus yang mendahului tidak
mungkin salah sama sekali?
Banyak
orang-orang Katholik Roma pada saat ini menolak kebenaran janji “Kristus” bahwa
gereja tidak akan pernah gagal untuk mengajarkan kebenaran. Perbedaan besar
antara ajaran dan praktik gereja membingungkan Uskup Besar Cincinnati, Joseph
L. Bernadin. Bernadin menyataan dalam wawancara-nya dengan wartawan majalah
US Catholic: “Begitu banyak orang yang mengaku sebagai penganut Katholik yang
baik, sekalipun keyakinan dan perbuatan mereka bertentangan dengan ajaran resmi
gereja. Hal ini hampir semuanya merupa-kan suatu konsep baru dari penyataan
gereja Katholik masa kini. Begitu disahkan (pada tahun 1966) untuk memakan
daging pada hari Jum’at, maka seseorang bisa meragukan wewenang Paus,
menyangsikan pelaksanaan Keluarga Beren-cana (Birth Control), meninggalkan
kependetaan dan kawin atau mengajarkan apa saja yang ia mau.”
Greely menulis, “Praktik untuk tidak makan
daging pada hari Jum’at dimaksudkan untuk meniru puasa Yesus dan memperingati
hari penyalibannya. Pada akhirnya menjadi suatu perintah gereja dan selama
berabad-abad telah berperan sebagai suatu bentuk tanda dari Katholik Roma.”
“Konsili Vatican II pada tahun 1962 telah mengejutkan saya,” tulis Doris Grumbach dalam bukunya The Critic, “Karena konsili tersebut bisa menimbulkan jawaban-jawaban yang lebih dari satu. Tentang masalah yang dianggap daerah tabu. Tentang suatu dunia pribadi dalam keimanan dan tingkah laku. Tetapi bagaimana pengalaman manusia di berbagai tempat, begitu jendela tersebut di buka, maka segalanya menjadi dipertanyakan. Tidak satu pun kepastian yang tetap tinggal, tidak ada lagi kemutlakan, dan gereja bagi saya menjadi suatu masalah yang bisa diperdebatkan. Saya tetap cenderung kepada Bibel, Kristus, dan para pengikutnya sebagai pusat bagi kehidupan saya. Tetapi lembaga yang disebut gereja itu tidak lagi terasa penting bagi saya. Saya tidak lagi hidup di dalamnya.”
Wewenang gereja
yang terjaga dari kesalahan tetap ada. Bahkan wewenang tersebut berakar pada
gereja yang bisa menolak wewenang Paus terhadapnya. Akan tetapi, kebenaran
wewenang ini pada saat ini diragukan dan ditolak dalam satu tingkat yang tidak
pernah dikenal sebelumnya. George
Harrison mengatakan tentang hal tersebut:
Ketika Anda muda, Anda dibawa orangtua Saudara ke gereja dan diajari agama di sekolah. Mereka berusaha meletakkan sesuatu dalam jiwa Anda. Sudah pasti hal itu disebabkan tidak seorang pun yang percaya kepada Tuhan. Mengapa? Karena mereka tidak menafsirkan Bibel sebagaimana yang dimaksudkan. Saya tidak sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan sebagaimana yang telah diajarkan kepada saya. Hal ini seperti sesuatu yang berasal dari novel ilmiah fiktif. Anda diajarkan hanya untuk memiliki keimanan. Anda tidak perlu memikirkannya. Hanya diperintahkan mempercayai apa yang dikatakan kepada Anda.”
Di antara dua
kutub penerimaan menyeluruh dan penolakan menyeluruh terhadap kebenaran Gereja
Resmi sebagai penjaga pesan Yesus, terdapat setiap bayangan dari
pendapat-pendapat tentang apa arti sebenarnya seseorang menjadi Kristen.
Wilfred Cantwell Smith menulis:
Terdapat begitu banyak perbedaan dan pertentangan, begitu banyak kekacauan, di dalam gereja Kristen pada masa kini. Sehingga ide kuno tentang suatu kebenaran Kristen yang bersatu atau yang sistematis telah lenyap. Oleh karena itulah, gerakan dewan gereja Kristen (ecumenical) terlalu terlambat. Apa yang telah terjadi adalah bahwa dunia Kristen telah bergerak ke dalam situasi keberagaman yang terbuka. Alternatif-alternatif yang bisa dipilih. Kini bukan saatnya lagi memaksa orang untuk menerima ajaran atau mengkhayalkan tentang apa yang harus diterima atau yang harus ditolaknya, tentang apa yang dianggap sah atau yang bid’ah. Setiap orang harus menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendaknya.
Kesimpulan ini
mengisyaratkan bahwa saat ini terdapat banyak versi Kristiani sebanyak orang
Kristen itu sendiri. dan peran gereja sebagai lembaga yang menjadi pelindung
pesan Yesus, sebagian besar telah berakhir. Seorang lulusan UCLA (University of
California Los Angeles) menanyakan: “Apa artinya gereja jika segalanya terserah
kepada keyakinan saya sen-diri?” Akan tetapi, gereja tetap sebagai bagian
tak terpisahkan dari kebudayaan Barat pada masa kini, dan sifat hubungan antara
keduanya adalah suatu yang menarik.
Sejumlah besar literatur telah ditulis di Barat selama beberapa dekade terakhir sebagai upaya untuk memahami sifat eksistensi gereja. Mereka memberikan sebuah katalog tentang kemungkinan pemikiran seorang akan mempercayainya ketika ia tidak memiliki kepastian tentang wahyu sebagai pedoman hidup dan memahami kehidupannya dengan pengetahuan. Sebagian penulis seperti Pascal telah menyadari bahwa pikiran adalah “alat” yang terbatas, dan hati adalah pusat keberadaan mereka, dan yang bisa memuat pengetahuan sejati. Hati memiliki argumen sendiri yang tidak diketahui akal. Adalah hati yang menyadari adanya Tuhan dan bukan akal. Inilah arti keimanan. Tuhan dirasakan secara intuitif oleh hati, bukan oleh akal.
Dalam usaha
mendapatkan jalan masuk ke hati banyak orang yang menolak Kristiani dan
mencobanya dengan cara-cara lain:
Pengalaman mistik dikatakan bisa menggiring kepada pengetahuan sebenarnya dari “kebenaran” tentang keseluruhan. Kebenaran ini tidak bisa dinyatakan dengan kata-kata, tetapi bisa dirasakan. Perantaranya bisa musik, obat, dan meditasi.
Pendekatan-pendekatan
alternatif untuk memahami “realitas” ini telah disesuaikan oleh orang-orang di
Barat dalam suatu skala yang luas, seringkali hanya sebagai cara-cara untuk
kepuasan diri sendiri.
Gereja sebagian
besar telah menyesuaikan dirinya terhadap kecenderungan-kecenderungan baru
dalam kebudayaan Barat tersebut. Dalam upaya mereka menjaga agar gereja tetap
penuh, sebagian pendeta telah memperkenalkan kelompok-kelompok musik pop dan
diskotik ke dalam (upacara) rutin mereka untuk menarik orang-orang muda.
Pagelaran-pagelaran musik, pameran dan bazaar amal bagi selera-selera yang
lebih konservatif. Perhatian-perhatian amal telah membantu memantapkan suatu
pandangan yang berarti bagi mereka yang menuruti kata hati kepada mereka.
Upaya-upaya untuk “modernisasikan”
gereja dan mempertahankannya agar tetap tidak ketinggalan zaman adalah sejalan
dengan tradisi kuno Gereja Paulus yang mau menyesuaikan diri dengan segala
cara. Jika gereja tidak bis amengikuti ajaran Yesus, maka paling tidak ia
menjadi suatu “fungsi sosial yang
bermanfaat”.
Proses
penyesuaian ini ―terutama selama dekade terakhir― telah mengakibatkan
penyerapan gereja secara terus-menerus ke dalam kebudayaan, dan penyerapan
kembali kebudayaan ke dalam struktur gereja yang tengah berubah ini. Hal ini
merupakan suatu proses dua arah yang tidak mengenal batas sejak Paulus dan para
pengikutnya memasukkannya ke dalam gereja. Banyak orang telah “kembali ke Kristen” sebagai akibat dari
pengalaman mereka dengan musik, obat, dan meditasi. Mereka cenderung menolak
secara menyeluruh penga-laman-pengalaman ini, dan mengambil suatu bentuk
Kristen puritan, atau menggabungkan cara baru kehidupan mereka ke dalam versi
Kristen yang telah mereka sesuaikan sendiri. kedua kecenderungan ini menutupi
kenabian Yesus. Dia telah dijunjung sebagai Tuhan atau dianggap sebagai Figur
sesembahan kharismatik, mereka bermaksud baik tetapi salah paham.
Identifikasi
gereja dengan kebudayaan Barat tampak jelas dengan mengamati bagaimana
orang-orang Barat hidup pada masa kini. Dengan pengecualian dari mereka yang
telah mengasingkan diri ke dalam biarawan dan biarawati untuk mengingat
Tuhan, gaya hidup mereka yang menyebut diri sebagai orang-orang Kristen sangat
dekat menyerupai gaya hidup orang-orang yang mengaku orang-orang agnostik (yang
tidak percaya terhadap alam ghaib), humanis atau atheis. Keyakinan mereka bisa
jadi berbeda, tetapi tingkah laku mereka secara umum sama.
Hukum-hukum yang
ada di negeri-negeri Kristen di Barat, hukum-hukum yang mengatur kematian dan
kelahiran, rumus-an tentang perceraian, hak-hak terhadap kepemilikan di dalam
dan di luar perkawinan atau pada saat perceraian atau kematian, adopsi dan
pemeliharaan anak, perdagangan dan industri, tidak didasarkan pada Bibel. Hukum
tersebut bukan hukum-hukum yang diwahyukan kepada manusia oleh Tuhan. Semua-nya
adalah hasil dari pengetahuan deduktif. Hukum-hukum tersebut mewarisi dari
sistem hukum Roma, atau didasarkan pada praktik umum dari orang-orang yang
telah berlangsung sangat lama, atau undang-undang yang diangkat dan dirubah
sesuai dengan cara-cara demokratis, yang merupakan warisan Yunani kuno. Tak
seorang pun dalam pengadilan hukum saat ini yang bisa merujuk kepada Injil
sebagai suatu otoritas yang mengikat dalam hubungannya dengan orang lain, dan
harus menerimanya.
Kristiani pada
masa kini tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Barat. Gereja Kristen dan
Negara adalah satu. Dan pribadi-pribadi yang bekerja di dalam lembaga-lembaga
ini tidak hidup sebagaimana Yesus hidup. Penyakit keseluruhan dari orang-orang
Kristen saat ini adalah akibat dari kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa
orang-orang Kristen saat ini kurang memiliki pengetahuan tentang tingkah laku
Yesus, dan kekurangan tersebut telah meninggalkan mereka semakin “miskin” dalam kehidupan dunia dan tidak
dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan setelah mati. Sebagaimana Wilfred
Cantwell Smith menulis:
Untuk mengatakan
bahwa Kristiani adalah benar berarti mengatakan sesuatu yang sia-sia.
Pertanyaan satu-satunya bergantung kepada Tuhan atau saya, atau tetangga saya
tentang apakah agama Kristen saya benar, ataukah agama Kristen milik Anda. Dan
terhadap permasalahan tersebut, sesuatu yang benar-benar kosmis, dalam kasus
saya, jawaban yang paling benar adalah suatu yang menyedihkan.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan dengan semua masalah ini gereja-gereja di dunia kosong dan masjid-masjid Islam penuh sesak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar