Selasa, 22 April 2025

Kesaksian Kristiani Masa Kini

Untuk menentukan sifat Kristiani masa kini, penting untuk di ingat perbedaan antara pengetahuan yang dicapai melalui pengamatan dan deduksi, dan pengetahuan yang diwahyukan kepada manusia melalui kekuatan di luar dirinya (revelation). Pengetahuan deduktif selalu berubah dengan adanya pengamat-an-pengamatan dan eksperimen-eksperimen yang lebih baru. Untuk itu pengetahuan deduktif bersifat tidak pasti (relatif). Pengetahuan wahyu berasal dari Tuhan. Dalam setiap pesan wahyu, selalu terdapat aspek metafisik dan aspek fisik. Aspek metafisik mengajarkan tentang sifat keesaan Tuhan. Aspek fisik memberikan suatu aturan (code) tingkah laku. Pengetahuan wahyu selalu dibawa oleh seorang utusan (Rasul/Nabi) yang mewujudkan pesan tersebut. Cara-cara kehidupannya merupa-kan ajaran dari pesan wahyu tersebut. Untuk bersikap sebagaimana yang dilakukan Rasul, berarti harus memiliki pengetahuan tentang pesan tersebut. Dan pengetahuan ini bersifat pasti. Kristiani pada masa kini dikatakan didasarkan atas pengetahuan wahyu, tetapi tidak satu pun Bibel yang berisi pesan Yesus secara utuh dan tepat sebagaimana yang diwahyu-kan kepadanya. Hampir tak ada satu catatan tentang aturan tingkah lakunya. Kitab-kitab dalam Perjanjian Baru bahkan tidak berisi catatan-catatan dari saksi mata langsung tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kitab-kitab tersebut ditulis oleh orang-orang yang mendapatkan pengetahuan mereka melalui tangan kedua. Catatan-catatan ini tidak menyeluruh. Segala sesuatu yang dikatakan Yesus dan tidak dicatat telah hilang untuk selamanya.


Orang-orang yang berusaha membuktikan kebenaran apa yang ada di Perjanjian Baru, mengaku bahwa sekalipun tidak menyeluruh, paling tidak akurat. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa semua manuskrip yang paling tua yang tetap ada dalam Perjanjian Baru, di mana dari manuskrip-manuskrip tersebut semua terjemahan Bibel bersumber darinya, ditulis setelah Konsili Nicea. Codex Sinaiticus dan Codex Vaticanus ditulis pada akhir abad ke-4 M. Sebagai akibat dari keputusan Konsili Nicea, hampir 300 catatan lainnya tentang kehidupan Yesus ―yang sebagian besar merupakan catatan-catatan dari sumber pertama― secara sistematis telah dihancurkan. Peristi-wa-peristiwa yang terjadi pada Konsili Nicea menunjukkan bahwa Gereja Paulus memiliki segala dalih untuk merubah keempat Injil yang tetap ada. Jelasnya, manuskrip-manuskrip dalam Perjanjian Baru yang ditulis setelah Konsili Nicea berbeda dari manuskrip-manuskrip yang telah ada sebelum konsili tersebut. Adalah penting untuk diingat bahwa publikasi beberapa Gulungan-gulungan Kulit Laut Mati telah disembunyi-kan, karena gulungan-gulungan tersebut tidak membenarkan manuskrip-manuskrip yang ditulis sesudah Konsili Nicea.


Ketidakbenaran dari Injil-injil tersebut tampaknya diakui oleh gereja sendiri. Metafisika Kristiani pada masa kini bahkan tidak didasarkan pada apa yang ada dalam Injil tersebut. Gereja Resmi didasarkan atas doktrin dosa asal, penebusan dosa dan penyelamatan, ketuhanan Yesus, ketuhanan Roh Kudus, dan Trinitas. Tak satu pun dari doktrin ini yang ditemukan pada Injil tersebut. Ajaran-ajaran tersebut merupakan hasil inovasi Paulus, pengaruh kebudayaan dan filsafat Yunani. Paulus tidak pernah menemani atau pun menerima pengetahuan secara langsung dari Yesus. Sebelum “konversinya”, secara kejam ia menyiksa para pengikut Yesus. Dan setelah konversi, ia bertanggung jawab terhadap pengabaian ajaran Yesus ketika ia membawa agama “Kristen” kepada orang-orang bukan Yahudi di Yunani dan di luar Yunani. Figur “Kristus” yang dia klaim telah mengajarkan doktrin yang baru kepadanya adalah sebuah khayalan semata. Ajarannya didasarkan atas peristiwa yang tidak pernah ada, yaitu anggapan “kematian” dan “kebangkitan” Yesus.


Sekalipun asal-usulnya yang meragukan, doktrin-doktrin ini membentuk suatu bagian integral dari ajaran gereja yang membuat setiap orang menerima “suatu pendidikan Kristen”. Sekalipun banyak orang telah menolak sebagian atau semua doktrin-doktrin tersebut, tetapi “magic” yang mereka perguna-kan sedemikian rupa. Sehingga orang-orang yang percaya kepadanya dibimbing oleh logika untuk meyakini dasar-dasar yang aneh tersebut: “Bahwa di luar gereja, tidak ada keselamatan.” Bangunan metafisika gereja adalah: Doktrin penebusan dosa dan penyelamatan menyatakan bahwa Kristus adalah Tuhan yang berwujud manusia dan menjadi Yesus yang kemu-dian meninggal untuk manusia demi menebus semua dosanya. Gereja menjamin pengampunan dosa-dosa dan keselamatan pada hari pembalasan bagi siapa saja yang meyakini “Kristus” dan mengikuti petunjuk gereja. Lebih jauh lagi, diyakini bahwa bangunan ajaran ini bisa dikenakan kepada semua orang sampai kiamat. Akibat-akibat wajar dari keyakinan-keyakinan ini adalah sebagai berikut:

Pertama, ajaran tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang tidak bertanggung jawab lagi bagi tindakan-tindakannya dan bahwa ia tidak akan bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya setelah meninggal. Karena apa pun yang ia kerjakan akan diselamatkan oleh “pengorbanan Kristus”. Tetapi hal ini bukan berarti suatu kehidupan yang menyenangkan di bumi. Keyakinan terhadap doktrin dosa asal yang menyatakan bahwa karena kesalahan Adam, semua manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa. Berarti selama ia hidup, dosa asal tersebut mengikutinya sehingga kondisinya tidak berharga dan tidak sempurna. Pandangan tragis terhadap kehidupan ini digambarkan oleh J.G. Vos, seorang Kristen, yang membandingkan Islam dengan Kristen.


Tidak ada satu pun dalam Islam yang menyebabkan sese-orang untuk berkata, “Oh, alangkah celakanya aku. Siapa yang akan menyelamatkanku dari kematian ini?” atau “Aku tahu bahwa dalam diriku, dalam dagingku, tidak bersemayam hal-hal yang baik.” Agama Islam beserta ajarannya bisa dicapai secara rasional, tidak membebani “pendosa” dengan penderitaan maupun frustasi karena mencoba tanpa hasil untuk meraih kehidupan praktis sesuai dengan tuntutan moral. Secara singkat, Islam membuat seseorang merasa baik. Sementara Kristen menyebabkan seseorang merasa jelek di dunia maupun di akhirat. Agama yang patah hati adalah Kristen, bukan Islam.


Kedua, keyakinan kepada doktrin penebus dan penyelamat menyebabkan keraguan ketika seorang Kristen berupaya men-damaikan pertentangan ajaran-ajaran lainnya yang telah diwahyukan Tuhan kepada manusia dengan keyakinan pribadi-nya. Ajaran ini mengisyaratkan bahwa “pengorbanan Kristus” dan “pesannya” adalah unik dan final. Dan untuk itu, tidak bisa menerima ajaran-ajaran dari Nabi-nabi lainnya. Pada saat yang sama, ia tidak bisa menolak kebenaran yang ia temukan pada ajaran-ajaran lain tersebut. Oleh sebab itu, seorang Kristen menolak Judaisme tetapi menerima Perjanjian Lama yang diturunkan dari ajaran-ajaran yang telah dibawa Musa kepada orang-orang Yahudi. Dia meletakkan dirinya pada posisi yang tidak mungkin untuk menerima dua keyakinan yang saling bertentangan secara bersamaan.


Upaya-upaya untuk menghindari dilema penerimaan dan penolakan secara bersamaan terhadap keimanan non-Kristen telah dilakukan dengan menyatakan bahwa sebagian orang Kristen “melihat” pada keimanan tersebut sebagai pengaruh dari “Kristus Raya” (Cosmic Christ) sebagai Logos kekal atau yang menampakkan Bapak ketuhanan yang merupakan cahaya yang menerangi setiap orang. Pandangan ini diringkaskan oleh William Temple ketika menulis: “Dengan firman Tuhan ―kata-kanlah demikian, bahwa Yesus Kristus― Yesaya dan Plato, Zoroaster, Buddha, dan Confucius mengucapkan dan menulis kebenaran-kebenaran tersebut sebagaimana yang mereka nyatakan. Hanya terdapat satu cahaya ketuhanan. Dan setiap manusia dalam ukurannya sendiri diterangi oleh cahaya tersebut.” Cara berpikir pada kutipan tersebut berdasar pada anggapan bahwa “satu cahaya ketuhanan” dan Kristus adalah sama. Karena “Kristus” adalah suatu hasil imajinasi, maka doktrin tersebut gagal. Dan merupakan dilema tetap tak terpecahkan. Dilema tersebut hanya bisa dihindari dengan menggunakan istilah “pikiran ganda”. Dia mendefinisikannya sebagai berikut:

Berpikir ganda berarti memegang dua keyakinan yang saling bertentangan secara bersama-sama, dan menerima keduanya. Kelompok Intelektual tahu bahwa dia sedang bermain tipuan dengan kenyataan. Tetapi dengan meng-gunakan cara berpikir ganda, ia juga bisa memuaskan dirinya sendiri sehingga realitas tidak terganggu.


“Berpikir ganda” berakar pada suatu anggapan dasar Kristen bahwa Kristus adalah Tuhan. Di sekitar anggapan inilah sehingga pertentangan dari dua sifat Yesus menjadi semakin rumit. Satu saat ia adalah manusia biasa, saat berikutnya ia adalah Tuhan. Pertama ia adalah Yesus, kemudian ia menjadi Kristus. Hanya dengan menggunakan berpikir ganda saja sehingga seorang bisa memegang dua keyakinan yang kontradiktif secara bersamaan. Hanya dengan berpikir ganda sehingga keyakinan terhadap doktrin Trinitas bisa dipertahankan.


Artikel ke-7 dari 39 artikel Gereja Inggris dimulai: “Perjanjian Lama tidak bertentangan dengan Perjanjian Baru…” Sebagai-mana yang diperlihatkan Milton secara jelas, Perjanjian Lama penuh dengan bagian-bagian yang membenarkan keesaan Tuhan. Tidak terdapat satu ayat pun dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan realitas ketuhanan dalam istilah doktrin Trinitas. Artikel itu menegaskan bahwa Perjanjian Lama tidak bertentangan dengan Perjanjian Baru. Sedangkan surat Paulus yang terdapat di dalam Perjanjian Baru berisi ajaran Trinitas. Itulah bukti nyata bahwa terdapat “pikiran dualisme” dalam Kristiani. Dengan demikian, logika dari metafisika Gereja Resmi ―yang didasarkan atas doktrin-doktrin yang tidak diajarkan Yesus― bukan saja mengaburkan sifat Yesus, tetapi juga mengaburkan keesaan Tuhan. Metafisika Kristiani pada masa kini secara menyeluruh bertentangan dengan apa yang dibawa  Yesus. Aspek fisik dari apa yang dibawa Yesus dan ajaran akhlaknya pada saat ini telah lenyap untuk selamanya. Untuk hidup sebagaimana Yesus hidup berarti harus memahami pesannya. Tetapi pada dasarnya tidak ada catatan yang masih tersisa tentang bagaimana Yesus hidup. Tindakan Yesus yang paling mendasar adalah peribadatan kepada Sang Pencipta, yang merupakan tujuan pokok diciptakannya manusia. Tetapi jelas terlihat bahwa tidak ada seorang Kristen pada masa kini yang melakukan peribadatan sebagaimana telah dilakukan Yesus. Yesus selalu sembahyang di Sinagog, tempat ibadah orang Yahudi. Dia beribadah pada waktu-waktu yang telah ditentukan tiap hari. Bentuk pasti dari peribadatannya tidak ada lagi. Tetapi diketahui bahwa sembahyang tersebut didasar-kan atas peribadatan yang dicontohkan Musa. Yesus berkata bahwa ia datang untuk menegakkan hukum Taurat dan bukan menghancurkannya sekecil apa pun. Yesus dididik di dalam Sinagog di Jerusalem sejak usia dua belas tahun. Dia meng-ajarkan ajarannya di Sinagog. Dia biasa menjaga Sinagog tetap bersih. Tak satu pun orang Kristen pada masa kini yang melakukan tindakan-tindakan tersebut. Berapa banyak orang Kristen yang di khitan dengan cara yang dicontohkan Yesus? Pelayanan-pelayanan ibadah yang dilakukan di gereja saat ini dikembangkan jauh setelah Yesus “menghilang”. Banyak dari peribadatan tersebut yang secara langsung berasal dari ritual-ritual mitologi Yunani-Roma. Doa-doa yang mereka gunakan bukan doa-doa yang dilakukan Yesus. Hymne-hymne yang mereka nyanyikan bukan pujian-pujian yang dilagukan Yesus. Karena inovasi-inovasi Paulus dan para pengikutnya, tidak ada ajaran wahyu yang tersisa seperti apa yang boleh dan tidak boleh untuk dimakan. Setiap orang yang telah mendapat “Pendidikan Kristen” pada masa kini memakan apa saja yang ia suka. Tetapi Yesus dan para pengikut sejatinya hanya makan daging yang dihalalkan dan dilarang memakan daging babi. Jamuan terakhir Yesus yang dilakukan sebelum “menghilang-nya” adalah Jamuan Paskah (peringatan kebebasan orang-orang Yahudi dari Mesir). Pada masa kini tidak ada orang-orang Kristen yang merayakan tradisi Yahudi kuno ini yang biasa dilakukan Yesus. Tidak lagi diketahui bagaimana cara Yesus makan dan minum, dengan siapa dia makan dan dengan siapa dia tidak mau makan, kapan ia makan dan kapan ia tidak makan (puasa). Yesus berpuasa, tetapi lagi-lagi tidak diketahui bagaimana, di mana, dan kapan ia berpuasa. Cara-cara ber-puasanya telah hilang. Tidak ada catatan tentang makanan yang secara khusus ia sukai, dan makanan apa yang secara khusus tidak ia sukai. Yesus tidak pernah kawin selama ia di bumi, tetapi ia tidak melarangnya. Tidak ada satu pun ayat Bibel yang menyatakan bahwa seorang pengikut Yesus harus bersumpah untuk tidak kawin (madat). Juga tidak ada wewenang apa pun untuk mendirikan komunitas satu jenis kelamin seperti komunitas biarawan dan biarawati. Sekalipun komunitas-komunitas ini bisa jadi berasal dari komunitas sebagaimana komunitas Esenes. Para pengikut awal Yesus yang kawin pasti mengikuti aturan tingkah laku dalam perkawinan yang dibawa Musa. Contoh perkawinan tersebut tidak lagi ditiru pada saat ini.


Hancurnya struktur keluarga di Barat menunjukkan kurangnya suatu bimbingan yang efektif untuk bertingkah laku di dalam suatu perkawinan Kristen, tentang bagaimana seorang laki-laki seharusnya bersikap terhadap wanita, dan sebaliknya. Berabad-abad lamanya masalah ajaran moral diserahkan kepa-da adat istiadat setempat. Tindakan ini merupakan hasil dari pengetahuan deduktif, bukan berdasarkan wahyu.


Tidak ada catatan tentang bagaimana Yesus berjalan, duduk, berdiri, cara memberanikan diri, memberi salam kepada orang lain, bagaimana cara berhadapan dengan orang tua, dengan orang muda, dengan wanita tua, dengan wanita muda, dengan orang-orang asing, dengan tamu, dengan musuh, bagaimana ia mengatur transaksinya di pasar, bagaimana ia bepergian, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak diperkenankan.


Catatan-catatan tentang pesan Yesus yang diwahyukan kepadanya oleh Tuhan tidaklah menyeluruh dan tidak akurat. Doktrin-doktrin Kristiani pada saat ini tidak ditemukan dalam catatan-catatan tersebut. Catatan tentang bagaimana Yesus bertindak, hampir tidak ada lagi. Dan apa yang sedikit diketa-hui, secara menyeluruh diabaikan. Tetapi lembaga gereja dalam bentuk apapun selalu mengaku menjadi penafsir dan pelindung pesan Yesus. Gereja tidak dibentuk oleh Yesus. Dia tidak menetapkan suatu hierarki pendeta untuk bertindak sebagai perantara Tuhan dan manusia. Tetapi Gereja Paulus sejak awal selalu mengajarkan kepada orang-orang Kristen untuk percaya bahwa keselamatan mereka dijamin, jika mereka bertindak dan mempercayai apa yang dikatakan gereja kepada mereka. Dari manakah gereja menerima wewenangnya?


Pengakuan wewenang ini ―dalam bentuknya yang paling ekstrim― ditemukan pada doktrin Gereja Katholik Roma tentang tidak mungkin salahnya kepausan. Cardinal Heenan meringkaskan doktrin tersebut dengan kata-kata berikut:

Rahasia dari kesatuan yang mengagumkan dari gereja kita adalah adanya janji Kristus bahwa gereja tidak akan pernah gagal untuk mengajarkan kebenaran. Begitu kita mengeta-hui apa yang diajarkan gereja, maka kita menerimanya. Karena kita mengetahui hal itu pastilah benar. Semua pendeta Katholik mengajarkan doktrin yang sama. Karena mereka semua mematuhi “wakil” (Vicar) Kristus. Kata-kata “Vicar” berarti “seseorang yang menempati tempat orang lain”. Paus adalah “wakil” Kristus karena ia menggantikan tempat Kristus sebagai kepala gereja di bumi. Gereja tetap satu karena semua anggotanya meyakini keimanan yang sama. Mereka meyakininya karena gereja tidak bisa mengajarkan apa yang palsu. Inilah yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa gereja tidak mungkin salah (Infallible). Kristus telah menjanjikan untuk membimbing gerejanya. Salah satu cara Kristus memilih untuk membimbing gereja adalah dengan meninggalkan wakilnya di bumi. Untuk berbicara atas namanya. Itulah mengapa kita mengatakan Paus tidak mungkin salah. Dia adalah ketua dari gereja yang tidak bisa salah. Tuhan tidak akan membiarkan dia terjatuh ke dalam kesalahan.”


Adalah menarik bahwa Cardinal Heenan hanya berbicara tentang “Kristus”, dan bukan Yesus. Dia tidak merujuk kepada Injil-injil untuk mendukung pengakuan-pengakuannya.


Dogma ini seringkali terbukti aneh. Sebab jika semua Paus tidak mungkin salah, lalu mengapa Paus Honorius dikutuk gereja? Apakah surat kepauasan akhir-akhir ini yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi tidak bertanggung jawab terhadap “anggapan” penyaliban Yesus berarti bahwa semua Paus yang mendahului tidak mungkin salah sama sekali?


Banyak orang-orang Katholik Roma pada saat ini menolak kebenaran janji “Kristus” bahwa gereja tidak akan pernah gagal untuk mengajarkan kebenaran. Perbedaan besar antara ajaran dan praktik gereja membingungkan Uskup Besar Cincinnati, Joseph L. Bernadin. Bernadin menyataan dalam wawancara-nya dengan wartawan majalah US Catholic: “Begitu banyak orang yang mengaku sebagai penganut Katholik yang baik, sekalipun keyakinan dan perbuatan mereka bertentangan dengan ajaran resmi gereja. Hal ini hampir semuanya merupa-kan suatu konsep baru dari penyataan gereja Katholik masa kini. Begitu disahkan (pada tahun 1966) untuk memakan daging pada hari Jum’at, maka seseorang bisa meragukan wewenang Paus, menyangsikan pelaksanaan Keluarga Beren-cana (Birth Control), meninggalkan kependetaan dan kawin atau mengajarkan apa saja yang ia mau.”


Greely menulis, “Praktik untuk tidak makan daging pada hari Jum’at dimaksudkan untuk meniru puasa Yesus dan memperingati hari penyalibannya. Pada akhirnya menjadi suatu perintah gereja dan selama berabad-abad telah berperan sebagai suatu bentuk tanda dari Katholik Roma.”


“Konsili Vatican II pada tahun 1962 telah mengejutkan saya,” tulis Doris Grumbach dalam bukunya The Critic, “Karena konsili tersebut bisa menimbulkan jawaban-jawaban yang lebih dari satu. Tentang masalah yang dianggap daerah tabu. Tentang suatu dunia pribadi dalam keimanan dan tingkah laku. Tetapi bagaimana pengalaman manusia di berbagai tempat, begitu jendela tersebut di buka, maka segalanya menjadi dipertanyakan. Tidak satu pun kepastian yang tetap tinggal, tidak ada lagi kemutlakan, dan gereja bagi saya menjadi suatu masalah yang bisa diperdebatkan. Saya tetap cenderung kepada Bibel, Kristus, dan para pengikutnya sebagai pusat bagi kehidupan saya. Tetapi lembaga yang disebut gereja itu tidak lagi terasa penting bagi saya. Saya tidak lagi hidup di dalamnya.”


Wewenang gereja yang terjaga dari kesalahan tetap ada. Bahkan wewenang tersebut berakar pada gereja yang bisa menolak wewenang Paus terhadapnya. Akan tetapi, kebenaran wewenang ini pada saat ini diragukan dan ditolak dalam satu tingkat yang tidak pernah dikenal sebelumnya. George Harrison mengatakan tentang hal tersebut:

Ketika Anda muda, Anda dibawa orangtua Saudara ke gereja dan diajari agama di sekolah. Mereka berusaha meletakkan sesuatu dalam jiwa Anda. Sudah pasti hal itu disebabkan tidak seorang pun yang percaya kepada Tuhan. Mengapa? Karena mereka tidak menafsirkan Bibel sebagaimana yang dimaksudkan. Saya tidak sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan sebagaimana yang telah diajarkan kepada saya. Hal ini seperti sesuatu yang berasal dari novel ilmiah fiktif. Anda diajarkan hanya untuk memiliki keimanan. Anda tidak perlu memikirkannya. Hanya diperintahkan mempercayai apa yang dikatakan kepada Anda.”


Di antara dua kutub penerimaan menyeluruh dan penolakan menyeluruh terhadap kebenaran Gereja Resmi sebagai penjaga pesan Yesus, terdapat setiap bayangan dari pendapat-pendapat tentang apa arti sebenarnya seseorang menjadi Kristen.


Wilfred Cantwell Smith menulis:

Terdapat begitu banyak perbedaan dan pertentangan, begitu banyak kekacauan, di dalam gereja Kristen pada masa kini. Sehingga ide kuno tentang suatu kebenaran Kristen yang bersatu atau yang sistematis telah lenyap. Oleh karena itulah, gerakan dewan gereja Kristen (ecumenical) terlalu terlambat. Apa yang telah terjadi adalah bahwa dunia Kristen telah bergerak ke dalam situasi keberagaman yang terbuka. Alternatif-alternatif yang bisa dipilih. Kini bukan saatnya lagi memaksa orang untuk menerima ajaran atau mengkhayalkan tentang apa yang harus diterima atau yang harus ditolaknya, tentang apa yang dianggap sah atau yang bid’ah. Setiap orang harus menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendaknya.


Kesimpulan ini mengisyaratkan bahwa saat ini terdapat banyak versi Kristiani sebanyak orang Kristen itu sendiri. dan peran gereja sebagai lembaga yang menjadi pelindung pesan Yesus, sebagian besar telah berakhir. Seorang lulusan UCLA (University of California Los Angeles) menanyakan: “Apa artinya gereja jika segalanya terserah kepada keyakinan saya sen-diri?” Akan tetapi, gereja tetap sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Barat pada masa kini, dan sifat hubungan antara keduanya adalah suatu yang menarik.


Sejumlah besar literatur telah ditulis di Barat selama beberapa dekade terakhir sebagai upaya untuk memahami sifat eksistensi gereja. Mereka memberikan sebuah katalog tentang kemungkinan pemikiran seorang akan mempercayainya ketika ia tidak memiliki kepastian tentang wahyu sebagai pedoman hidup dan memahami kehidupannya dengan pengetahuan. Sebagian penulis seperti Pascal telah menyadari bahwa pikiran adalah “alat” yang terbatas, dan hati adalah pusat keberadaan mereka, dan yang bisa memuat pengetahuan sejati. Hati memiliki argumen sendiri yang tidak diketahui akal. Adalah hati yang menyadari adanya Tuhan dan bukan akal. Inilah arti keimanan. Tuhan dirasakan secara intuitif oleh hati, bukan oleh akal.


Dalam usaha mendapatkan jalan masuk ke hati banyak orang yang menolak Kristiani dan mencobanya dengan cara-cara lain:

Pengalaman mistik dikatakan bisa menggiring kepada pengetahuan sebenarnya dari “kebenaran” tentang keseluruhan. Kebenaran ini tidak bisa dinyatakan dengan kata-kata, tetapi bisa dirasakan. Perantaranya bisa musik, obat, dan meditasi.


Pendekatan-pendekatan alternatif untuk memahami “realitas” ini telah disesuaikan oleh orang-orang di Barat dalam suatu skala yang luas, seringkali hanya sebagai cara-cara untuk kepuasan diri sendiri.


Gereja sebagian besar telah menyesuaikan dirinya terhadap kecenderungan-kecenderungan baru dalam kebudayaan Barat tersebut. Dalam upaya mereka menjaga agar gereja tetap penuh, sebagian pendeta telah memperkenalkan kelompok-kelompok musik pop dan diskotik ke dalam (upacara) rutin mereka untuk menarik orang-orang muda. Pagelaran-pagelaran musik, pameran dan bazaar amal bagi selera-selera yang lebih konservatif. Perhatian-perhatian amal telah membantu memantapkan suatu pandangan yang berarti bagi mereka yang menuruti kata hati kepada mereka. Upaya-upaya untuk “modernisasikan” gereja dan mempertahankannya agar tetap tidak ketinggalan zaman adalah sejalan dengan tradisi kuno Gereja Paulus yang mau menyesuaikan diri dengan segala cara. Jika gereja tidak bis amengikuti ajaran Yesus, maka paling tidak ia menjadi suatu “fungsi sosial yang bermanfaat”.


Proses penyesuaian ini ―terutama selama dekade terakhir― telah mengakibatkan penyerapan gereja secara terus-menerus ke dalam kebudayaan, dan penyerapan kembali kebudayaan ke dalam struktur gereja yang tengah berubah ini. Hal ini merupakan suatu proses dua arah yang tidak mengenal batas sejak Paulus dan para pengikutnya memasukkannya ke dalam gereja. Banyak orang telah “kembali ke Kristen” sebagai akibat dari pengalaman mereka dengan musik, obat, dan meditasi. Mereka cenderung menolak secara menyeluruh penga-laman-pengalaman ini, dan mengambil suatu bentuk Kristen puritan, atau menggabungkan cara baru kehidupan mereka ke dalam versi Kristen yang telah mereka sesuaikan sendiri. kedua kecenderungan ini menutupi kenabian Yesus. Dia telah dijunjung sebagai Tuhan atau dianggap sebagai Figur sesembahan kharismatik, mereka bermaksud baik tetapi salah paham.


Identifikasi gereja dengan kebudayaan Barat tampak jelas dengan mengamati bagaimana orang-orang Barat hidup pada masa kini. Dengan pengecualian dari mereka yang telah mengasingkan diri ke dalam biarawan dan biarawati untuk mengingat Tuhan, gaya hidup mereka yang menyebut diri sebagai orang-orang Kristen sangat dekat menyerupai gaya hidup orang-orang yang mengaku orang-orang agnostik (yang tidak percaya terhadap alam ghaib), humanis atau atheis. Keyakinan mereka bisa jadi berbeda, tetapi tingkah laku mereka secara umum sama.


Hukum-hukum yang ada di negeri-negeri Kristen di Barat, hukum-hukum yang mengatur kematian dan kelahiran, rumus-an tentang perceraian, hak-hak terhadap kepemilikan di dalam dan di luar perkawinan atau pada saat perceraian atau kematian, adopsi dan pemeliharaan anak, perdagangan dan industri, tidak didasarkan pada Bibel. Hukum tersebut bukan hukum-hukum yang diwahyukan kepada manusia oleh Tuhan. Semua-nya adalah hasil dari pengetahuan deduktif. Hukum-hukum tersebut mewarisi dari sistem hukum Roma, atau didasarkan pada praktik umum dari orang-orang yang telah berlangsung sangat lama, atau undang-undang yang diangkat dan dirubah sesuai dengan cara-cara demokratis, yang merupakan warisan Yunani kuno. Tak seorang pun dalam pengadilan hukum saat ini yang bisa merujuk kepada Injil sebagai suatu otoritas yang mengikat dalam hubungannya dengan orang lain, dan harus menerimanya.


Kristiani pada masa kini tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Barat. Gereja Kristen dan Negara adalah satu. Dan pribadi-pribadi yang bekerja di dalam lembaga-lembaga ini tidak hidup sebagaimana Yesus hidup. Penyakit keseluruhan dari orang-orang Kristen saat ini adalah akibat dari kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa orang-orang Kristen saat ini kurang memiliki pengetahuan tentang tingkah laku Yesus, dan kekurangan tersebut telah meninggalkan mereka semakin “miskin” dalam kehidupan dunia dan tidak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan setelah mati. Sebagaimana Wilfred Cantwell Smith menulis:

Untuk mengatakan bahwa Kristiani adalah benar berarti mengatakan sesuatu yang sia-sia. Pertanyaan satu-satunya bergantung kepada Tuhan atau saya, atau tetangga saya tentang apakah agama Kristen saya benar, ataukah agama Kristen milik Anda. Dan terhadap permasalahan tersebut, sesuatu yang benar-benar kosmis, dalam kasus saya, jawaban yang paling benar adalah suatu yang menyedihkan.


Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan dengan semua masalah ini gereja-gereja di dunia kosong dan masjid-masjid Islam penuh sesak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar