Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc
Dakwatuna.com – Syeikh Muhammad Ghozali
Rohimahulloh berkata, “Dalam suasana pengangguran terlahir ribuan keburukan dan
menetas berbagai bakteri kebinasaan, jika kerja merupakan message kehidupan,
maka para penganggur adalah orang-orang yang mati, dan jika dunia ini merupakan
efek dari tanaman kehidupan yang lebih besar, maka para penganggur adalah
sekumpulan manusia yang paling pantas dikumpulkan dalam keadaan bangkrut, tidak
ada panen bagi mereka selain kehancuran dan kerugian.”
Ada beragam penyakit tarbawi yang sangat
berbahaya, jika ia tersebar dalam barisan dakwah, dan mendapatkan tempat dalam
jiwa personelnya, maka pasti yang terjadi adalah keterpurukan, keguguran,
menarik diri dan meninggalkan kancah dakwah secara diam-diam, kemudian
kebangkrutan dalam arti yang luas dan menyeluruh.
Di antara penyakit tersebut dan utamanya
adalah al-bitholah ad-da’awiyah (pengangguran da’awi) atau al-kasal al-haroki
(kemalasan haroki) atau futur, al-farogh (tidak ada pekerjaan), al-qu’ud ‘anil
‘amal (berpangku tangan), at-taqo’us ‘an ada’ al-wajib (tidak menunaikan
kewajiban), at-tanashshul minal qiyam bil maham ad-da’awiyah (tidak menjalankan
tugas-tugas da’wah) yang sangat beragam, istimro’ halat ar-rohah (terbiasa
menikmati suasana santai), at-taharrur min tahammul at-tabi’ah wal mas-uliyyah
(berlepas diri dari upaya memikul beban dan tanggung jawab).
Semua tadi merupakan gejala satu penyakit
yang jika menimpa para aktivis di medan dakwah dan harokah, niscaya menimpa
pada posisi yang mematikan, kecuali jika segera mendapatkan kebangkitan hati,
atau mengambil ibroh dari suatu mau’izhoh, atau mengambil manfaat dari suatu
nasihat, dan tentunya, sebelum, saat dan setelah itu ia mendapatkan rohmat,
kebersamaan dan taufiq Alloh SWT.
Berdasarkan pengalaman dan mu’ayasyah (interaksi)
tampak bahwa ada sejumlah faktor yang memberi andil bagi terjadinya penyakit
ini, utamanya adalah:
- Menurunnya tingkat keikhlasan dan masuknya
niat yang tidak baik.
- Ada masalah pada unsur-unsur pemahaman.
- Tidak mengetahui jati diri dakwah dan
harokah.
- Merespon berbagai godaan dunia dan
mengejar kemilauannya yang palsu.
- Melupakan ghoyah, atau inhirof dan lalai
darinya.
- Putus asa, frustasi dan memprediksi
keburukan.
- Mengambang dan target yang tidak jelas.
- Tidak interaktif dengan proses tarbawi.
- Menghilangnya akhlaq yang menjadi tuntutan
marhalah, seperti: tsabat, sabar, tsiqoh, tajarrud, tadh-hiyah dan lainnya.
- Melemahnya rasa tanggung jawab.
- Merasa panjang perjalanan dakwah yang
mesti ditempuh.
- Menghilangnya semangat dan padamnya bara
keinginan untuk beramal.
- Rancunya jenjang prioritas, kalaupun masih
ada, dakwah ditempatkan pada posisi prioritas paling akhir.
- Berkaratnya sisi ruhani, tarbawi dan imani
serta rusaknya komitmen.
- Buntunya selera beramal serta tidak
merasakan kelezatan mengerahkan jerih payah fi sabilillah.
- Hilangnya citarasa berlelah dan
bersungguh-sungguh beramal di berbagai medan dakwah.
- Kehilangan rasa ber-intima’ kepada dakwah
dan harokah dan semakin kurusnya unsur-unsur wala’ kepadanya.
- Tertutupnya bentuk izzah kepada manhaj
dakwah dan dinginnya ghiroh terhadapnya.
- Melemahnya immunitas fikriyah, imaniyah
dan tarbawiyah.
Semua faktor, sebab ini mendorong seseorang
untuk qu’ud (berpangku tangan), menarik diri, menjauh dari lapangan amal dan
membikin-bikin alasan untuknya. Karenanya, seseorang yang seperti ini akan
menjadi beban berat dakwah dan harokah. Akibat berikutnya, dakwah semakin
merintih karena memikul bebannya dan menyeretnya. Padahal seharusnya, orang
itulah yang semestinya memikul dakwah serta membawanya kepada cakrawala masa
depan yang luas.
Jika penyakit pengangguran da’awi dan haroki
menyebar, akan muncullah ribuan perilaku-perilaku rendah, baik dalam skala
perseorangan maupun jama’i. Sebab, “barisan yang didalamnya tersebar
pengangguran, maka akan banyaknya kerusuhan” dan “rumah yang kosong, akan
banyak kebisingan.”
Maka hendaklah para pembawa panji dakwah dan
harokah tidak berhenti di tengah jalan. Jangan pula semangatnya mendingin dan efektivitasnya
padam setiap kali berhembus angin keputusasaan. Jangan pula harokahnya lumpuh,
jalannya terhenti dan arahnya berubah saat bertiup badai fitnah. Sebab mereka
mengetahui bahwa, “Sifat mulia terkait dengan hal-hal yang tidak disukai, dan
kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali melalui jembatan kesulitan. Karenanya,
tidak mengantarkan untuk mencapainya kecuali menggunakan kapal keseriusan dan
kesungguhan.”
Tidak ada kegiatan bagi pasukan infanteri
adalah ghoflah. Di antara penghancur tekad adalah mimpi yang terlalu jauh dan
senang bersantai-santai. Angan-angan hendaklah diiringi amal. Jika tidak, ia
hanyalah sekedar mimpi yang terpulang kepada pemiliknya. Suatu hari al-Hasan
al-Bashri melihat seorang pemuda yang bermain-main dengan batu kecil sambil
berdoa, “Ya Alloh, nikahkan aku dengan bidadari”, maka al-Hasan berkata, “Anda
adalah pelamar yang paling buruk, melamar bidadari dengan modal main-main batu
kecil!”
Begitu juga dengan kita. Tidak mungkin kita
melamar cinta kasih tamkin, taghyir dan ishlah sementara kita bermain-main
dengan sesuatu yang lebih rendah dari batu kecil. Sementara itu kita adalah
para penganggur, bermalas-malasan, dan cukup menjadi penonton. Sebab, seorang
pelamar mestilah membawa mahar, dan “siapa yang meminang wanita cantik, maka ia
tidak mempedulikan mahalnya mahar.” Dan sebagaimana dinyatakan oleh imam
al-Banna rohimahulloh:
“Saya dapat membayangkan seorang mujahid
adalah seseorang yang menyiapkan segala yang diperlukannya, membawa yang
diperlukannya, niat jihad telah memenuhi seluruh jiwa dan hatinya, selalu
dipikirkan, memberi perhatian besar, selalu dalam posisi siap, jika diundang
memenuhi, jika dipanggil menyambut, paginya, petangnya, pembicaraannya,
omongannya, kesungguhannya dan main-mainnya tidak melampaui medan yang ia telah
persiapkan dirinya untuknya, dan ia tidak mengambil selain fungsi yang sesuai
dengan kehidupan dan kehendaknya. Spirit berjihad fi sabilillah dapat dibaca
dari garis-garis wajahnya, tampak dalam kilatan sinar matanya, dan terdengar
dari celetukan lisannya sesuatu yang menggambarkan betapa besar gelora yang ada
dalam hatinya, gelora yang selalu ada, menjadi duka hatinya yang terpendam.
Juga terbaca dari jiwanya yang bertekad membaja, semangat tinggi dan cita-cita
yang jauh. Itulah sosok mujahid, secara personal maupun bangsa. Engkau dapat
melihatnya secara jelas pada suatu bangsa yang menyiapkan dirinya untuk
berjihad tampak pada forum-forumnya dan klub-klubnya, tampak di pasar dan di
jalan, terasa di sekolah, di rumah, terlihat pada generasi muda dan tua, lelaki
dan wanita, sehingga anda membayangkan bahwa semua tempat merupakan medan, dan
setiap gerakan adalah jihad.
Saya dapat membayangkan hal ini karena jihad
merupakan buah dari pemahaman yang melahirkan perasaan, menghilangkan ghoflah,
perasaan membangkitkan perhatian dan kebangkitan, dan perhatian berdampak
kepada jihad dan amal. Dan masing-masing mempunyai dampak dan penampilan.
Adapun mujahid yang tidur sekenyangnya,
makan sepuasnya, tertawa sekerasnya dan menghabiskan waktu untuk bermain-main,
maka bagaimana mungkin termasuk yang beruntung atau terhitung dalam barisan
mujahidin?!”
Umat yang berpandangan bahwa perannya dalam
berjihad hanyalah kosa kata yang diucapkan, atau makalah yang ditulis, lalu
jika hati mereka diperiksa ternyata kosong, saat diuji perhatiannya melompong,
tenggelam dalam ghoflah dan tidur yang molor, maka tempat, forum dan klub
mereka tidak ditemui selain hal-hal tidak berguna, ketidakseriusan, main-main,
hiburan dan menghabiskan waktu tanpa guna. Seluruh perhatian perseorangannya
hanyalah kesenangan yang fana, kelezatan semu, bersantai-santai dan
bersenang-senang, maka umat yang seperti ini lebih dekat kepada main-main
daripada serius dan bahkan tidak mengenal keseriusan sama sekali.
Jadi, pengangguran adalah jalan kebangkrutan,
sementara kepeloporan, kepemimpinan dan ketokohan tidak dapat diraih kecuali
dengan keseriusan dan kesungguhan dan tidak dapat dicapai kecuali dengan
segudang pengorbanan. Hal ini terbukti secara praktis sepanjang sejarah dan
seorang aktivis dakwah dan harakah semestinya merupakan bagian dari mata rantai
emas para nabi, rasul, sahabat, tabiin, ulama dan dai aktivis, karenanya, ia
tidak akan mendapatkan kehormatan sebagai anggota dan diberi kartu keanggotaan
kecuali jika ia telah membayar. Dan Ibnu Qoyyim lebih berterus terang daripada
saya, sebab ia memandang seseorang yang mengklaim menjadi bagian dari mata
rantai mulia ini tanpa memberi bukti sebagai bentuk kebancian tekad. Beliau
berkata:
“Wahai seseorang yang bertekad banci, di
manakah kamu berada? Sementara jalan yang akan kamu tempuh adalah jalan di mana
nabi Adam telah capek, nabi Nuh telah kehabisan suara, nabi Ibrohim telah
dilemparkan ke dalam api, nabi Ismail telah digeletakkan untuk disembelih, nabi
Yusuf telah dijual murah dan mendekam beberapa tahun dalam penjara, nabi
Zakariya telah digergaji, nabi Yahya telah disembelih, nabi Ayyub telah
menderita, nabi Daud telah melebihi kadar dalam menangis, nabi Isa telah
berjalan sendirian dan nabi kita Muhammad SAW telah bergelut dengan berbagai
kemiskinan dan berbagai rasa sakit, sedangkan engkau berbangga dengan hal-hal
tidak berguna dan main-main??!!” (Terjemahan Artikel Jamal Zawari Ahmad,
Sumber: http://www.islameiat.com/main/?c=54&a=3954)
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2009/12/5038/pengangguran-haraki/#ixzz2E8itw4Kn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar