Mengenai tempat asal dan kapan datangnya Islam ke Nusantara, sedikitnya ada lima teori besar. Di bawah ini dijelaskan secara singkat seputar teori-teori yang berkaitan dengan masuknya Islam di Nusantara:
Teori Arab[1]
Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadromaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Neimann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878).[2] Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang Mohameddan di India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermadzhab Syafi'i, sama dengan yang dianut kaum muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hadromaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam. Sebab Hadromaut adalah pengikut madzhab Syafi'i seperti juga kaum muslimin Nusantara. Sedangkan Veth hanya menyebut orang-orang Arab, tanpa menunjuk asal mereka di Timur Tengah maupun kaitannya dengan Hadromaut, Mesir, atau India.[3] Teori yang sama juga diajukan oleh Hamka dalam seminar 'Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia' pada tahun 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab (Makkah), bukan dari India.[4]
Menurut Arnold, bahwa untuk menetapkan masuknya Islam ke Indonesia dengan tepat tidaklah mungkin. Ada kemungkinan dibawa ke Indonesia oleh pedagang-pedagang Arab pada permulaan abad tahun hijriyah. Lama sebelum ada tulisan-tulisan sejarah tentang perkembangan Islam itu.[5] Pendapat yang demikian itu berdasarkan pengertian kita tentang ramainya perdagangan dengan dunia Timur yang sejak dahulu dilakukan oleh orang Arab. Pada abad ke-2 sebelum Masehi, perdagangan dengan Ceylon seluruhnya ada di tangan mereka. Pada permulaan abad ke-7, perdagangan dengan Tiongkok melalui Ceylon sangat ramai sehingga pada pertengahan abad ke-8 banyak kita jumpai pedagang Arab di Canton. Sedangkan antara abad 10 dan 15 sampai datangnya orang Portugis, mereka telah menguasai perdagangan di Timur. Diperkirakan bahwa mereka sejak lama telah mendirikan tempat-tempat perdagangan pada beberapa kepulauan di Indonesia, sebagaimana halnya pada tempat-tempat lainnya. Meskipun tentang kepulauan itu tidak disebut-sebut oleh ahli bumi Arab sebelum abad ke-9, menurut berita Tiongkok tahun 674 Masehi ada kabar tentang seorang pembesar Arab yang menjadi kepala daerah pendudukan bangsa Arab di pantai Barat Sumatera.[6]
Sebagian besar dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia datang dari Yaman, Hadromaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab. Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631 hijriyah tepatnya pada zaman ‘Ali bin Abi Tholib. Pengislaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang Yaman menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan tempat mereka singgah di Asia Tenggara.[7]
Sedangkan Sayed Alwi bin Tahir al-Haddad, mufti kerajaan Johor Malaysia berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dalam abad ke-7 Masehi atau dengan kata lain agama Islam masuk ke pulau Sumatera pada tahun 650 Masehi. Alasannya adalah karena Sulaiman as-Sirofi, pedagang dari pelabuhan Sirof di teluk Persia yang pernah mengunjungi Timur jauh berkata bahwa di Sala (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu yaitu kira-kira pada akhir abad ke-2 hijriyah. Hal ini dapat dipastikan dan tidak perlu dijelaskan lagi karena pedagang rempah dan wangi-wangian yang terdapat di Maluku sangat menarik pedagang-pedagang muslimin untuk berkunjung ke Maluku dan tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan itu.[8]
Teori Gujarat
Teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa, melalui perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini. Ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India, digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouk Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah Nusantara.[9] Teori Snock Hurgronye ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.[10]
Teori Benggali
Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pures yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan, Islam muncul pertama kali di semenanjung Malaya dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang. Elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran. Drewes, yang mempertahankan teori Snouck, menyatakan bahwa teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula madzhab yang dominan di Benggali adalah madzhab Hanafi, bukan madzhab Syafi’i seperti di semenanjung dan Nusantara secara keseluruhan.
Teori Persia
Teori keempat tentang kedatangan Islam di Nusantara adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masukkanya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori India dan Arab, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafi’i-nya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.[11]
Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain: Pertama, peringatan 10 Muharrom atau Asyuro sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syuro. Di Minangkabau, bulan Muharrom disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut bulat Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perariran lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi al-Hallaj. Sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harokat dalam membaca al-Qur’an tingkat awal. Dalam bahasa Persi, fathah ditulis jabar-zabar, kasroh ditulis jer-zeer, dhommah ditulis p’es-py’es. Huruf Sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan Sin bergigi berasal dari Arab.
Keempat, nisan pada makam Malik as-Saleh (1297) dan makam Malik Ibrohim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini, teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan pandangan CE Morisson.[12]
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi’i sebagai madzhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah madzhab Syafi’i, Hoesein Djayadiningrat mempunyai kesamaan dengan GE Morrison, tetapi berbeda dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka. Hoesein Djayadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia. Tetapi dalam memandang madzhab Syafi’i terhenti ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat madzhab Syafi’i di Makkah.
Teori Cina
Islam disebarkan dari Cina telah dibahas oleh SQ Fatimi.[13] Beliau mendasarkan teorinya ini kepada perpindahan orang-orang Islam dari Canton ke Asia Tenggara sekitar tahun 876. Perpindahan ini dikarenakan adanya pemberontakan yang mengorbankan hingga 150.000 Muslim. Menurut Syed Naguib Alatas, tumpuan mereka adalah ke Kedah dan Palembang.[14]
Hijrahnya mereka ke Asia Tenggara telah membantu perkembangan Islam di kawasan ini. Selain Palembang dan Kedah, sebagian mereka juga menetap di Campa, Brunei, pesisir timur tanah Melayu (Patani, Kelantan, Trengganu dan Pahang) serta Jawa Timur.
Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penyebaran Islam dimulai dari Cina adalah ditemukannya: batu nisan syaikh ‘Abdul Qodir bin Husin Syah Alam di Langgar, Kedah bertarikh 903 M, batu bertulis Phanrang di Kamboja bertahun 1025 M, batu nisan di Pecan Pahang bertahun 1028 M, batu nisan puteri Islam Brunei bertahun 1048 M, batu bersurat Trengganu bertahun 1303 M dan batu nisan Fathimah binti Maimun di Jawa Timur bertarik 1082 M.
Walaupun dari kelima teori ini tidak terdapat titik temu, namun mempunyai persamaan pandangan yakni Islam sebagai agama yang dikembangkan di Nusantara melalui jalan damai. Dan Islam tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen atau Katholik.
[1] Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 , (California: Stanford University Press, 2001) h. 3.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. (Jakarta: Prenada Media, 2005) h. 7. GWJ Drewes, New Light on the Coming of Islam in Indonesia, compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institue of Southeast Asia Studies, 1985) h. 7-19.
[3] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999) h. 31.
[4] Hamka, Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di daerah pesisir Sumatra Utara, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, (Medan, Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963) h. 91.
[5] TW Arnold, The Preaching of Islam, A History of the Propogation of the Muslim Faith, (London: Luzac & Company, 1935) h. 363.
[6] Arnold, The Preaching of Islam, h. 363-364.
[7] Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani Halimi, Sejarah Islam. (Pulau Penang: Fajar Bakti SDN.BHD, 1993) h. 559.
[8] Sayed Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Maktab al-Daimi, 1957) h. 21.
[9] Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 32.
[10] Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 32.
[11] GWJ Drewes, New Light on the Coming of Islam in Indonesia, compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institue of Southeast Asia Studies, 1985) h. 7-19.
[12] Morrisson. CE, The Coming of Islam to East Indies, JMBRAS, 24.
[13] Fatimi SQ, Islam Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Sociological Reseach Institude, Ltd, 1963).
[14] Syed Nagib Alatas, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969) h. 11.
Terima kasih banyak atas informasi nya, Sangat membantu artikel nya. Teruslah sebar kebaikan dijalan allah swt.. jangan lupa share and kunjungi juga website mp3 kami di http://cahayamp3s.wapque.com semoga sukses slalu ya gan.
BalasHapus