Pada masa
Rosululloh saw. masih hidup al-hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian
sepenuhnya seperti al-Qur’an. Para sahabat, terutama yang mempunyai tugas
istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat
al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi, tidak
demikian halnya terhadap al-hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan
petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi saw. Dalam menafsirkan dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan di dalam al-Qur'an, mereka belum membayangkan bahaya yang
dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam
tulisan.
Larangan Menulis
Al-Hadits
Para sahabat
menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dengan panca inderanya dari Nabi saw.
dengan berita lisan belaka. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni sabda
Nabi saw. (yang artinya), “Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima
dariku selain al-Qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain
al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak
mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim).
Hadits tersebut
di atas, di samping menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga
memberi ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu. Larangan
penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian
sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan
al-Qur’an, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rosululloh saw. adalah
wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil
(turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis
adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara al-Qur’an dengan
hadits.
Perintah Menulis
Al-Hadits
Di samping
melarang menulis hadits, Rosululloh saw. juga memerintahkan kepada beberapa
orang sahabat tertentu untuk menulis hadits. Misalnya, hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Huroiroh r.a. menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah
dikuasai kembali oleh Rosululloh saw., beliau berdiri berpidato di hadapan para
manusia. Pada waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal
dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rosululloh saw.,
ujarnya, “Ya Rosululloh, tulislah untukku!” Jawab Rosul, “Tulislah oleh kamu
sekalian untuknya!”
Menurut Abu ‘Abdir
Rohman bahwa tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadits yang
lebih sah, selain hadits ini. Sebab, Rosululloh saw. dengan tegas
memerintahkannya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits
yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in. Para sahabat yang
mempunyai naskah hadits antara lain sebagai berikut:
1. ‘Abdullah bin
Amr bin Ash r.a.
‘Abdulloh bin Amr
bin Ash r.a. (7 sebelum Hijriyah-65 H) adalah salah seorang sahabat yang selalu
menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Tindakan ini pernah
didengar oleh orang-orang Quroisy, ujarnya, “Kau tiliskah semua apa yang telah
kau dengar dari Nabi? Sedang beliau itu sebagai manusia, kadang-kadang
berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalam suasana duka?”
Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada
Rosululloh saw. Maka, jawab Rosululloh saw., “Tulislah! Demi Zat yang nyawaku
ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain hak.” (HR. Abu Dawud
dengan sanad yang shohih).
Rosululloh saw.
mengizinkan ‘Abdulloh bin Amr bin Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya
dari beliau karena ia adalah salah seorang penulis yang baik.
Naskah ‘Abdulloh
bin Amr dinamai dengan ash-Shohifah ash-Shodiqoh, karena ditulisnya secara
langsung dari Rosululloh saw., yang merupakan sebenar-benarnya atau yang
diriwayatkan daripadanya.
Naskah hadits
ash-Shodiqoh berisikan hadits sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta
dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr
bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits.
Bila naskah
ash-Shodiqoh tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, maka dapatlah
kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan
an-Nasa’i, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah.
2. Jabir bin ‘Abdulloh
al-Anshori r.a. (16 H-73 H).
Naskah hadits
Jabir bin ‘Abdulloh al-Anshori dinamai Shohifah Jabir.
Qotadah bin Da’amah
as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shohifah ini lebih
kuhafal daripada surat al-Baqoroh.”
Di antara tabi’in
yang mempunyai naskah hadits ialah Human bin Munabbih (40-131 H). Ia adalah
seorang tabi’in yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Huroiroh r.a. dan
mengutip hadits Rosululloh saw. daripadanya banyak sekali. Hadits-hadits
tersebut kemudian dikumpulkannya dalam satu naskah yang dinamai ash-Shohifah
ash-Shohihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di
dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan
Imam Bukhori banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab
shohihnya, terdapat dalam beberapa bab.
Ketiga buah
naskah hadits tersebut di atas adalah di antara sekian banyak tulisan hadits
yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabi'in yang muncul pada abad
pertama.
Nash-nash yang
melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain
bukanlah nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi
nash-nash itu dapat dikompromikan sebagai berikut:
Bahwa larangan
menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar
hadits itu tidak bercampur dengan al-Qur’an. Tetapi, setelah jumlah kaum
Muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal al-Qur’an, maka hukum
melarang menulisnya telah dihapus dengan perintah yang membolehkannya. Dengan
demikian, hukum menulisnya adalah boleh.
Bahwa larangan
hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus
bagi orang yang mempunyai keahlian tulis-menulis, hingga terjaga dari
kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti ‘Abdulloh
bin Amr bin Ash.
Bahwa larangan
menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya daripada
menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat
hafalannya, seperti Abu Syah.
Sumber:
Diadaptasi dari Ikhtisar Mushtholahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar