Sistem
meriwayatkan hadits adalah dengan lafaz yang masih asli dari Rosululloh saw.
atau dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya. Hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul
kepada lafaz aslinya, di samping mereka hanya mementingkan dari segi isinya
yang benar-benar dibutuhkan pada saat itu.
Sistem
meriwayatkan hadits dengan maknanya saja tidak dilarang oleh Rosululloh saw.
berlainan dengan meriwayatkan al-Qur’an, susunan bahasa dan maknanya sedikit
pun tidak boleh diubah, baik dengan mengganti lafaz yang sinonim yang tidak
mempengaruhi isinya, teristimewa kalau sampai membawa perbedaan makna. Hal itu
disebabkan karena lafaz dan susunan kalimat al-Qur’an itu merupakan mukjizat
Alloh Ta’ala. Tetapi, di dalam meriwayatkan hadits, yang dipentingkan ialah
isinya. Adapun lafaz dan susunan bahasanya dibolehkan menggunakan lafaz dan
susunan kalimat lain, asalkan kandungan dan maknanya tidak berubah.
Sebagaimana
tersebut di atas, bahwa oleh karena adanya kesibukan para sahabat untuk menuliskan
dan menyiarkan al-Qur’an, sudah barang tentu perkembangan hadits terlambat.
Demikian juga pada masa kedua kholifah: Abu Bakar dan ‘Umar, perkembangan hadits
tidak begitu pesat. Hal itu disebabkan anjuran beliau kepada para sahabat agar
mengutamakan penyiaran al-Qur’an ini, ‘Umar bin Khoththob r.a. mengadakan
larangan memperbanyak riwayat (hadits).
Kebijaksanaan
kedua kholifah tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa masyarakat pada waktu
itu belum seluruhnya mengenal al-Qur’an sebagai dasar syari’at yang pertama.
Terutama bagi masyarakat yang baru saja menerima dakwah Islam, al-Qur’an masih
asing baginya. Kebijaksanaan itu bukan berarti menghambat hadits untuk
berkembang, melainkan hanya belum menaruh perhatian secara sempurna.
Saat ‘Utsman bin
Affan r.a. memangku jabatan kholifah adalah merupakan saat yang penting bagi
perkembangan hadits. Para sahabat kecil dan tabi’in mulai menaruh perhatian
serius dalam mencari dan mengumpulkan hadits dari para sahabat besar, yang
jumlahnya kian hari kian berkurang, dan tempat tinggalnya sudah mulai
bertebaran di pelbagai pelosok. Tidak sedikit para sahabat kecil dan tabi’in
menghabiskan waktu, tenaga, dan harta, melawat ke Timur dan Barat mengunjungi
tempat-tempat kediaman para sahabat besar, karena mereka adalah yang
orang-orang yang mendapatkan hadits dari sumber aslinya. Satu contoh sahabat
Ayub al-Anshori pergi ke Mesir menemui sahabat Uqbah bin Amir untuk menanyakan
sebuah hadits yang berbunyi (artinya), “Barang siapa yang menutupi kesulitan
seorang Muslim di dunia, Alloh akan menutupi kesulitannya pada hari kiamat.”
(Baca uraian yang luas tentang sejarah penulisan dan pendewanan hadits dalam
kitab as-Sunnah Qoblat Tadwin, karya Muhammad Ajjaj al-Khothib, dan uraian yang
ringkas dalam kitab Qishshotul Muhammadi, karya Muhammad Abu Royyah, hlm.
94-97).
Pada saat
kompetisi mencari dan mengumpulkan hadits inilah, hadits mulai menjadi tumpuan
(objek) perhatian para sahabat dan tabi'in, dan sekaligus mulai berkembang dari
dalam menuju ke luar.
Sejak berakhirnya
pemerintahan Kholifah ‘Utsman r.a. (40 H) dan pada awal berdirinya Kholifah ‘Ali
bin Abi Tholib r.a. mulai timbul hadits-hadits palsu, yakni ucapan atau buah
pikiran seseorang yang didakwakannya kepada Nabi saw. Tetapi, berkat ketekunan
dan penyelidikan para ahli hadits yang saksama terhadap tingkah laku para rowi
dan keadaan marwinya, serta berkat usaha mereka mengadakan syarat-syarat dalam
menerima atau menolak suatu hadits, dapatlah diketahui ciri-ciri kepalsuan
suatu hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar