Jumat, 05 Juli 2013

Di Jalan-Nya Kita Bermesra

kita semua sama, terpenjara dalam kesendirian
hanya saja,
ada yang terkurung di ruang gelap tanpa cahaya
sementara yang lain menghuni kamar berjendela
-Kahlil Gibran-


BERABAD-ABAD lamanya filsafat, sastra, pengetahuan, dan para peneliti memberitahu bahwa satu-satunya alasan kita menjalin hubungan dengan orang lain justru adalah demi kepentingan pribadi. Atau, setinggi-tingginya ia hanyalah penyeimbang yang kita perlukan untuk menjaga egoisme. Ya, menyendiri adalah penderitaan. Tetapi, kebersamaan tak kalah buruknya.

Ilmu pengetahuan yang datang belakangan dengan mendasarkan diri pada falsafah evolusi Darwin semakin mempertajam pemahaman tak ramah tentang hubungan antar-manusia ini. Hubungan sejati adalah persaingan habis-habisan, hingga terjadi ‘survival of the fittest’. Konsep bertahannya yang terbugar inilah asas Darwinisme sosial.

Maka, bahkan seseorang yang penuh kebajikan, altruist, oleh Psikologi madzhab Freudian akan ditafsir sebagai upaya kompensasi atas hal-hal negatif dalam diri, “pemujaan dan kebanggaan terhadap diri pribadi.” Mungkin juga Psikologi Behaviorisme melihatnya sebagai “tanggapan hiperbola terhadap rangsang situasi.”

Ini semua sungguh ‘kebenaran’ yang tak menyenangkan dan menyesakkan hati.

“Terima kasih Tuhan,” ungkap Tony Buzan dalam The Power of Social Intelligence, “Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan belakangan ini, muncullah gambaran yang lebih rumit, canggih, baik, dan positif mengenai hal tersebut.”

Adalah Joseph Henrich, antropolog dari University of Michigan dan koleganya Robert Boyd dari University of California in Los Angeles (UCLA), berada di barisan para pendobrak anggapan yang menggelisahkan itu. Mereka telah mempelajari dengan seksama penyaluran perilaku sosial dan budaya antara sesama manusia. Mereka memperoleh kesimpulan yang menarik: upaya kerjasama bukanlah hasil dari rasa kedirian. Pertama-tama dia dimungkinkan adalah buah dari upaya turun-temurun menjamin kelangsungan dan lestarinya jenis makhluk bernama manusia. Bukan secara pribadi, melainkan berjama’ah.

Dalam upaya itu, demikian Henrich dan Boyd, masyarakat manusia terbekali oleh dua kecenderungan meniru. Yang pertama adalah kecenderungan untuk meniru dan menjadi sama dengan kelompok mayoritas. Yang kedua adalah kecenderungan untuk meniru dan menjadi sama dengan pribadi-pribadi berprestasi.

Peniruan ganda ini membawa ke tahap demi tahap keberhasil-an yang positif dan berpangkat-pangkat. Upaya kerjasama mengarah pada terciptanya kemungkinan adanya lebih banyak pangan, peningkatan kualitas kesehatan, keberlimpahan daya cipta, serta adanya lebih banyak energi. Semua hal ini berkelindan membentuk peningkatan mutu kehidupan yang kokoh dan bisa dinikmati oleh masyarakat manusia secara keseluruhan.

Joseph Henrich dan Robert Boyd memberi catatan pada penelitiannya, bahwa kemampuan pribadi-pribadi untuk memberi pemaknaan pada hidupnya, akan pula menguatkan pemaknaan mereka terhadap hubungan yang pada akhirnya membuat kerjasama menjadi suatu kekuatan yang cantik, manis, dan agung.

Nah, selama ini seperti apa pemaknaan kita terhadap persaudaraan dan kebersamaan?

                                                                                       ***
Tak mudah menghadapi Fir’aun. Kekuasaannya mutlak, perbendaharaannya kaya, dan kerajaannya luas. Ia punya punggawa nan setia, juga pasukan yang kuat dan taat buta. Apalagi setelah kejayaannya bertubi, kemakmuran rakyatnya berlimpah, dan perbudakan Bani Isroil makin kokoh, penyakit sombong Fir’aun memuncak. Dia mengaku tuhan. Dia menyangka sungai Nil mengalir di bawah kakinya, atas kuasanya. Dia merasa memiliki hidup dan mati seluruh rakyatnya.

Tak mudah menyampaikan kebenaran kepada Fir’aun. Sungguh tak mudah. Terlebih bagi Musa yang ―tak bisa tidak― punya beban berhutang budi pada keluarga Fir’aun. Keluarga tempatnya tumbuh, keluarga yang merawat dan mendidiknya. Apalagi dibanding Fir’aun yang fasih, anggun, dan gagah, penampilan Musa tampak kacau dan gagap. Satu lagi, dia pernah membunuh penduduk di negeri Sang Fir’aun. Dosa itu terus menghantuinya hingga kini.

Tak mudah menghadapi Fir’aun, terlebih bagi seseorang seperti Musa.

Ketika beban kerosulan diamanahkan padanya, ia mengadu merasa tak mampu. “Lisanku gagap lagi kelu,” desahnya, “Aku takut mereka akan mendustakanku.” Ya, bagaimana dia akan menyampaikan kebenaran, sementara bicara bukanlah sesuatu yang mudah baginya? Bagaimana ia akan dipercaya, padahal menyusun kata adalah kemusykilan yang memberatkannya? “Dan aku memiliki dosa atas mereka,” katanya bertambah keluh kesah, “Aku takut mereka akan membunuhku.”

Tapi Alloh ‘Azza wa Jalla telah memilihnya. Dan Alloh tak asal pilih. Dan Alloh tak salah tunjuk. Musa memang telah menjalani perannya dalam takdir yang tak mudah ini sejak sang ibu melahirkan dan melarungnya di sungai Nil. Tentu salah satunya kelak bermakna untuk menguatkan hati Rosul terakhir Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan menjadi pelajaran berharga bagi kita. Dan kini, di saat Musa mengeluhkan ketakberdayaannya, Alloh pun menguatkan hatinya dan mengokohkan tekadnya.

Alloh mengaruniakan pada Musa mu’jizat danbukti kebenaran. Tongkat yang dilemparnya berubah menjadi makhluk menakutkan namun agung. Tangannya di angkat, dan cahaya putih menyilaukan bersinar menerangi semesta di sekitarnya. Sungguh mu’jizat yang tak terkalahkan, datang dari Zat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Tapi dengan itu pun, Musa masih merasa goyah. Dia masih merasa tak utuh. Dia meminta satu hal lagi. “Dan Harun saudaraku,” pintanya, “Jadikanlah ia pendamping yang menguatkanku.”

Alloh mengabulkannya. Musa dan Harun bermesra di jalan-Nya. Memimpin kaum yang sulit ditata dan mengalahkan Fir’aun yang perkasa. Mereka bersama dalam duka dan suka. Mereka seia sekata sejak menghadapi Fir’aun dalam perdebatan dan pertarungan, membebaskan Bani Isroil dari perbudakan, hingga memimpin mereka berhijroh dan menyaksikan tenggelamnya sang tiran. Juga bersama menghadapi saat-saat sulit ketika Bani Isroil semakin rewel, menyembah patung lembu, dan membangkangi Alloh. Mereka bermesra di jalan-Nya. Saling menguatkan untuk menegakkan kebenaran.

                                                                                       ***
Tanyakan pada Musa tentang makna persahabatan. Tentu dia memiliki seindah-indahnya jawaban. Setidaknya dari permohonan-nya pada Alloh, kita tahu bahwa Musa meminta kepada Alloh agar Harun dijadikan penguat di sisinya, atas segala kelemahan yang dimilikinya. Ya, mengemban risalah dengan kesulitan-kesulitan diri seperti seorang Musa membuat sahabat menjadi hajat yang mendesak.

Tapi apa makna sahabat bagi seorang dengan rekam jejak sempurna ketika diangkat menjadi Rosul seperti Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam? Berbeda dengan Musa ‘Alaihis Salam, tak ada yang bisa menyebut satu pun cacat, aib diri, bahkan hutang budi seorang Muhammad. Alloh menjaganya selalu. Dia ma’shum sejak sebelum diangkat menjadi Nabi. Dia al-Amin. Dan risalah terakhir ini diberikan padanya, manusia paling sempurna.

Maka, apa makna sahabat bagi seorang seperti Muhammad?

“Alloh melihat di dalam hati para hamba-Nya,” demikian ‘Abdulloh ibn Mas’ud berkata, “Dan didapati-Nya hati Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah yang paling putih. Maka Alloh memilihnya menjadi Nabi dan utusan yang membawa risalah penutup-Nya. Lalu Alloh melihat lagi ke dalam hati para hamba-Nya, maka didapati-Nya hati sahabat-sahabat Muhammad adalah yang paling jernih. Maka Dia pun menjadikan mereka sahabat yang mendukung dan menolongnya dalam menegakkan risalah.”

                                                                                       ***
Kebenaran.

Kebenaran dan terbimbingnya manusia tentu adalah makna yang masih sangat kuat bagi kehidupan para Rosul. Seperti diungkap penelitian Henrich dan Boyd, pemaknaan yang kuat ini akan melipatgandakan kekuatan kerjasama sebagai asas berlanjutnya kehidupan jama’ah manusia. Ia menjadi asas terciptanya kemung-kinan ketersediaan lebih banyak pangan, peningkatan kualitas kesehatan, keberlimpahan daya cipta, serta adanya lebih banyak energi. Sebuah mutu kehidupan, sebuah peradaban, terbangun dengan indah di atas berpadunya kebenaran dengan hubungan saling menguatkan antar sesama.

“Alangkah indahnya gagasan,” kenang Hasan al-Banna dalam Mudzakkirotud Da’wah wa Da’iyah, “Dan alangkah bermaknanya jika ada sekelompok manusia yang berjanji setia untuk mewujudkan-nya.” Sungguh keliru jika dianggap para penebar kebajikan mendapat pendukung, semata-mata karena balas jasa atas apa yang dia taburkan. Dalam sebuah kebenaran, keterbimbingan manusia, ada kekuatan yang jauh lebih besar, jauh lebih tinggi, dan lebih mulia yang menyatukan hati-hati itu.

“Dan Alloh yang mempersatukan hati para hamba beriman. Jikapun kau membelanjakan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allohlah yang telah menyatupadukan mereka…” (Qs. al-Anfal [8]: 63)

“Aqidah ini memang ajaib!” seru Sayyid Quthb ketika Fii Zhilaalil Qur’an yang dia susun sampai di ayat ini. “Ketika telah meresap dalam hati, ia akan menjadikan hati itu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang di antara sesamanya. Yang keras beralih lunak, yang kasar menjelma lembut, yang kering berubah jadi basah, yang liar menjadi jinak. Ia-ia berjalin kelindan di antara sesamanya dengan jalinan yang kokoh, dalam, dan empuk.

Tiba-tiba pandangan mata, sentuhan tangan, pembicaraan, gerak anggota badan, dan getar hati menjadi sebuah simfoni. Nyanyiannya merdu, diiringi saling pengertian, saling menyayangi, saling setia, tolong membantu, luasnya jiwa, dan sikap lapang dada. Tak ada yang mengetahui kegaiban himpunan hati ini, kecuali Dia yang telah mempersatukannya. Tak ada yang merasakan indahnya kecuali hati-hati itu sendiri. Mereka berikrar untuk bermesra dijalan-Nya.

Itulah yang terjadi pada Muhammad dan orang-orang yang bersamanya. Lalu manusia menyaksikan sebuah keajaiban. Energi kebajikan tumpah ruah ke segenap penjuru bumi, dalam dekapan ukhuwah…




Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar