kita semua sama, terpenjara dalam
kesendirian
hanya saja,
ada yang terkurung di ruang gelap tanpa
cahaya
sementara yang lain menghuni kamar
berjendela
-Kahlil Gibran-
BERABAD-ABAD lamanya
filsafat, sastra, pengetahuan, dan para peneliti memberitahu bahwa satu-satunya
alasan kita menjalin hubungan dengan orang lain justru adalah demi kepentingan
pribadi. Atau, setinggi-tingginya ia hanyalah penyeimbang yang kita perlukan
untuk menjaga egoisme. Ya, menyendiri adalah penderitaan. Tetapi, kebersamaan
tak kalah buruknya.
Ilmu
pengetahuan yang datang belakangan dengan mendasarkan diri pada falsafah
evolusi Darwin semakin mempertajam pemahaman tak ramah tentang hubungan
antar-manusia ini. Hubungan sejati adalah persaingan habis-habisan, hingga
terjadi ‘survival of the fittest’.
Konsep bertahannya yang terbugar inilah asas Darwinisme sosial.
Maka,
bahkan seseorang yang penuh kebajikan, altruist,
oleh Psikologi madzhab Freudian akan ditafsir sebagai upaya kompensasi atas
hal-hal negatif dalam diri, “pemujaan dan kebanggaan terhadap diri pribadi.”
Mungkin juga Psikologi Behaviorisme melihatnya sebagai “tanggapan hiperbola
terhadap rangsang situasi.”
Ini semua
sungguh ‘kebenaran’ yang tak menyenangkan dan menyesakkan hati.
“Terima
kasih Tuhan,” ungkap Tony Buzan dalam The
Power of Social Intelligence, “Berdasarkan penelitian-penelitian yang
dilakukan belakangan ini, muncullah gambaran yang lebih rumit, canggih, baik,
dan positif mengenai hal tersebut.”
Adalah
Joseph Henrich, antropolog dari University of Michigan dan koleganya Robert
Boyd dari University of California in Los Angeles (UCLA), berada di barisan
para pendobrak anggapan yang menggelisahkan itu. Mereka telah mempelajari
dengan seksama penyaluran perilaku sosial dan budaya antara sesama manusia.
Mereka memperoleh kesimpulan yang menarik: upaya kerjasama bukanlah hasil dari rasa
kedirian. Pertama-tama dia dimungkinkan adalah buah dari upaya turun-temurun
menjamin kelangsungan dan lestarinya jenis makhluk bernama manusia. Bukan
secara pribadi, melainkan berjama’ah.
Dalam
upaya itu, demikian Henrich dan Boyd, masyarakat manusia terbekali oleh dua
kecenderungan meniru. Yang pertama adalah kecenderungan untuk meniru dan
menjadi sama dengan kelompok mayoritas. Yang kedua adalah kecenderungan untuk
meniru dan menjadi sama dengan pribadi-pribadi berprestasi.
Peniruan
ganda ini membawa ke tahap demi tahap keberhasil-an yang positif dan
berpangkat-pangkat. Upaya kerjasama mengarah pada terciptanya kemungkinan
adanya lebih banyak pangan, peningkatan kualitas kesehatan, keberlimpahan daya
cipta, serta adanya lebih banyak energi. Semua hal ini berkelindan membentuk
peningkatan mutu kehidupan yang kokoh dan bisa dinikmati oleh masyarakat
manusia secara keseluruhan.
Joseph
Henrich dan Robert Boyd memberi catatan pada penelitiannya, bahwa kemampuan
pribadi-pribadi untuk memberi pemaknaan pada hidupnya, akan pula menguatkan pemaknaan
mereka terhadap hubungan yang pada akhirnya membuat kerjasama menjadi suatu
kekuatan yang cantik, manis, dan agung.
Nah,
selama ini seperti apa pemaknaan kita terhadap persaudaraan dan kebersamaan?
***
Tak mudah
menghadapi Fir’aun. Kekuasaannya mutlak, perbendaharaannya kaya, dan
kerajaannya luas. Ia punya punggawa nan setia, juga pasukan yang kuat dan taat
buta. Apalagi setelah kejayaannya bertubi, kemakmuran rakyatnya berlimpah, dan
perbudakan Bani Isroil makin kokoh, penyakit sombong Fir’aun memuncak. Dia
mengaku tuhan. Dia menyangka sungai Nil mengalir di bawah kakinya, atas
kuasanya. Dia merasa memiliki hidup dan mati seluruh rakyatnya.
Tak mudah
menyampaikan kebenaran kepada Fir’aun. Sungguh tak mudah. Terlebih bagi Musa
yang ―tak bisa tidak― punya beban berhutang budi
pada keluarga Fir’aun. Keluarga tempatnya tumbuh, keluarga yang merawat dan
mendidiknya. Apalagi dibanding Fir’aun yang fasih, anggun, dan gagah,
penampilan Musa tampak kacau dan gagap. Satu lagi, dia pernah membunuh penduduk
di negeri Sang Fir’aun. Dosa itu terus menghantuinya hingga kini.
Tak mudah
menghadapi Fir’aun, terlebih bagi seseorang seperti Musa.
Ketika
beban kerosulan diamanahkan padanya, ia mengadu merasa tak mampu. “Lisanku
gagap lagi kelu,” desahnya, “Aku takut mereka akan mendustakanku.” Ya,
bagaimana dia akan menyampaikan kebenaran, sementara bicara bukanlah sesuatu
yang mudah baginya? Bagaimana ia akan dipercaya, padahal menyusun kata adalah
kemusykilan yang memberatkannya? “Dan aku memiliki dosa atas mereka,” katanya
bertambah keluh kesah, “Aku takut mereka akan membunuhku.”
Tapi
Alloh ‘Azza wa Jalla telah memilihnya.
Dan Alloh tak asal pilih. Dan Alloh tak salah tunjuk. Musa memang telah
menjalani perannya dalam takdir yang tak mudah ini sejak sang ibu melahirkan
dan melarungnya di sungai Nil. Tentu salah satunya kelak bermakna untuk
menguatkan hati Rosul terakhir Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam dan menjadi pelajaran berharga bagi kita. Dan kini, di
saat Musa mengeluhkan ketakberdayaannya, Alloh pun menguatkan hatinya dan
mengokohkan tekadnya.
Alloh
mengaruniakan pada Musa mu’jizat danbukti kebenaran. Tongkat yang dilemparnya
berubah menjadi makhluk menakutkan namun agung. Tangannya di angkat, dan cahaya
putih menyilaukan bersinar menerangi semesta di sekitarnya. Sungguh mu’jizat
yang tak terkalahkan, datang dari Zat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Tapi
dengan itu pun, Musa masih merasa goyah. Dia masih merasa tak utuh. Dia meminta
satu hal lagi. “Dan Harun saudaraku,” pintanya, “Jadikanlah ia pendamping yang
menguatkanku.”
Alloh
mengabulkannya. Musa dan Harun bermesra di jalan-Nya. Memimpin kaum yang sulit
ditata dan mengalahkan Fir’aun yang perkasa. Mereka bersama dalam duka dan
suka. Mereka seia sekata sejak menghadapi Fir’aun dalam perdebatan dan
pertarungan, membebaskan Bani Isroil dari perbudakan, hingga memimpin mereka
berhijroh dan menyaksikan tenggelamnya sang tiran. Juga bersama menghadapi
saat-saat sulit ketika Bani Isroil semakin rewel, menyembah patung lembu, dan membangkangi
Alloh. Mereka bermesra di jalan-Nya. Saling menguatkan untuk menegakkan
kebenaran.
***
Tanyakan
pada Musa tentang makna persahabatan. Tentu dia memiliki seindah-indahnya
jawaban. Setidaknya dari permohonan-nya pada Alloh, kita tahu bahwa Musa meminta
kepada Alloh agar Harun dijadikan penguat di sisinya, atas segala kelemahan
yang dimilikinya. Ya, mengemban risalah dengan kesulitan-kesulitan diri seperti
seorang Musa membuat sahabat menjadi hajat yang mendesak.
Tapi apa
makna sahabat bagi seorang dengan rekam jejak sempurna ketika diangkat menjadi
Rosul seperti Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam? Berbeda dengan Musa ‘Alaihis
Salam, tak ada yang bisa menyebut satu pun cacat, aib diri, bahkan hutang
budi seorang Muhammad. Alloh menjaganya selalu. Dia ma’shum sejak sebelum diangkat menjadi Nabi. Dia al-Amin. Dan risalah terakhir ini
diberikan padanya, manusia paling sempurna.
Maka, apa
makna sahabat bagi seorang seperti Muhammad?
“Alloh
melihat di dalam hati para hamba-Nya,” demikian ‘Abdulloh ibn Mas’ud berkata,
“Dan didapati-Nya hati Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam adalah yang paling putih. Maka Alloh memilihnya menjadi
Nabi dan utusan yang membawa risalah penutup-Nya. Lalu Alloh melihat lagi ke
dalam hati para hamba-Nya, maka didapati-Nya hati sahabat-sahabat Muhammad
adalah yang paling jernih. Maka Dia pun menjadikan mereka sahabat yang
mendukung dan menolongnya dalam menegakkan risalah.”
***
Kebenaran.
Kebenaran
dan terbimbingnya manusia tentu adalah makna yang masih sangat kuat bagi
kehidupan para Rosul. Seperti diungkap penelitian Henrich dan Boyd, pemaknaan
yang kuat ini akan melipatgandakan kekuatan kerjasama sebagai asas berlanjutnya
kehidupan jama’ah manusia. Ia menjadi asas terciptanya kemung-kinan
ketersediaan lebih banyak pangan, peningkatan kualitas kesehatan, keberlimpahan
daya cipta, serta adanya lebih banyak energi. Sebuah mutu kehidupan, sebuah
peradaban, terbangun dengan indah di atas berpadunya kebenaran dengan hubungan
saling menguatkan antar sesama.
“Alangkah
indahnya gagasan,” kenang Hasan al-Banna dalam Mudzakkirotud Da’wah wa Da’iyah, “Dan alangkah bermaknanya jika ada
sekelompok manusia yang berjanji setia untuk mewujudkan-nya.” Sungguh keliru
jika dianggap para penebar kebajikan mendapat pendukung, semata-mata karena
balas jasa atas apa yang dia taburkan. Dalam sebuah kebenaran, keterbimbingan
manusia, ada kekuatan yang jauh lebih besar, jauh lebih tinggi, dan lebih mulia
yang menyatukan hati-hati itu.
“Dan Alloh yang
mempersatukan hati para hamba beriman. Jikapun kau membelanjakan perbendaharaan
bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati
mereka. Tetapi Allohlah yang telah menyatupadukan mereka…”
(Qs. al-Anfal [8]: 63)
“Aqidah
ini memang ajaib!” seru Sayyid Quthb ketika Fii
Zhilaalil Qur’an yang dia susun sampai di ayat ini. “Ketika telah meresap
dalam hati, ia akan menjadikan hati itu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang di
antara sesamanya. Yang keras beralih lunak, yang kasar menjelma lembut, yang
kering berubah jadi basah, yang liar menjadi jinak. Ia-ia berjalin kelindan di
antara sesamanya dengan jalinan yang kokoh, dalam, dan empuk.
Tiba-tiba
pandangan mata, sentuhan tangan, pembicaraan, gerak anggota badan, dan getar
hati menjadi sebuah simfoni. Nyanyiannya merdu, diiringi saling pengertian,
saling menyayangi, saling setia, tolong membantu, luasnya jiwa, dan sikap
lapang dada. Tak ada yang mengetahui kegaiban himpunan hati ini, kecuali Dia
yang telah mempersatukannya. Tak ada yang merasakan indahnya kecuali hati-hati
itu sendiri. Mereka berikrar untuk
bermesra dijalan-Nya.
Itulah
yang terjadi pada Muhammad dan orang-orang yang bersamanya. Lalu manusia
menyaksikan sebuah keajaiban. Energi kebajikan tumpah ruah ke segenap penjuru
bumi, dalam dekapan ukhuwah…
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah;
Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar