“…Dan dari mayang kurma, mengurai
tangkai-tangkai yang menjulai…”
-Qs. al-An’am [6]: 99-
NAMANYA
HUSHOIN.
Artinya si kuda kecil. Hushoin ibn Salam. Dan dia seorang rabi muda di Yatsrib.
Nasab yang mulia, kecerdasan, dan ketekunan belajar membuatnya disegani di
tengah Bani Isroil melebihi usianya. Dia dihargai melampaui umumnya, kadang
mengungguli penghormatan pada rabi-rabi tua yang jenggotnya panjang dan lebat
menyentuh dada.
Lembar-lembar
Taurot yang digumulinya tiap hari membuka matanya tentang rahasia kecil mengapa
kaumnya berduyun-duyun menghuni Yatsrib sejak beberapa generasi lalu. Mesiah.
Sang Juru Selamat. Taurot jernih sekali mengungkap: Nabi terakhir itu akan
muncul di sebuah negeri yang terletak di antara dua bukit yang ditumbuhi
pohon-pohon kurma.
Yatsrib!
Mereka,
orang-orang Yahudi yang ratusan tahun lalu datang ke kota ini adalah mereka
yang terusir, penuh lara, dan derita. Sejak pembantaian dan pemusnahan kuil
agung di Yerusalem oleh Raja Herodes, kaum ini sekali lagi terdiaspora,
menyebar ke berbagai penjuru bumi. Dan merek ayang memahami Taurot itu pergi
kemari. Ke sebuah kota di antara bukit yang dijajari pepohonan kurma. Bukan
hanya untuk menanti Sang Mesiah, tapi juga penuh harap tinggi-tinggi agar Sang
Nabi dilahirkan oleh satu di antara wanita-wanita mereka. Nabi itu, kata
mereka, sudah seharusnya berasal dari kalangan mereka, Bani Isroil yang dipilih
Alloh sebagai anak-anak kesayangan-Nya.
Dan
Hushoin ibn Salam terus mengkaji Taurotnya. Hingga dia faham. Sang Nabi akan
muncul di Yatsrib. Muncul, bukan lahir. Sekali lagi muncul, bukan lahir.
Tanda-tanda Sang Nabi, ciri-ciri zhohir maupun batinnya tergambar jelas, dan
bahkan namanya tersurat terang. Ahmad. Yang terpuji. Dia tahu kini, Nabi itu
memang akan muncul di Yatsrib. Tapi bukan dari keturunan Isroil. Dia berasal
dari sepupu mereka. Bangsa keturunan Ismail, Quroisy. Orang Makkah. Dan
kabarnya beliau, yang kata orang-orang Aus dan Khozroj bernama Muhammad, yang
terpuji, memang sedang dalam perjalanan menuju kemari.
Yatsrib!
Maka
sejak sepekan itu, tiap hari dia memanjat batang kurma di ujung kota. Mata
awasnya menyapu sejauh cakrawala. Di manakah dia, Sang Juru Selamat yang
dirindukan seluruh manusia? Di mana? Bibinya yang cerewet selalu menegurnya dan
menggasruk punggungnya dengan galah panjang tiap kali dia di atas sana. “Turun
kau, Hushoin! Apa yang kau lakukan?”
“Nabi itu
akan datang, Bibi! Aku tahu. Nabi itu akan datang!”
“Turunlah,
atau aku pukuli kau dengan galah ini hingga jatuh!”
“Tidak,
Bibi. Sang Mesiah akan datang! Dia penyelamat dan pembimbing kaum kita, juga
seluruh ummat manusia. Namanya Muhammad. Dia datang dari arah Makkah! Dia akan
kemari, Bibi. Dia akan ke Yatsrib! Ugh, sakit!”
“Bicara
omong kosong apa kau ini? Turunlah atau aku akan terus memukulimu!”
Begitulah,
tiap hari Hushoin menanti Sang Nabi dengan punggung dipukul bertubi-tubi dan
kaki yang menjejak-jejak berusaha bertahan di ketinggian batang kurma. Tiap
hari, bibinya makin bosan membujuknya turun. Dan tiap hari kian banyak penduduk
Arab Yatsrib menyertainya menanti di antara jajaran rimbun tanaman kurma.
Orang-orang Aus yang anggun, orang-orang Khozroj yang gagah, semua berdiri
dengan harap-harap cemas. Berkali-kali mereka melongok kejauhan, lalu berteduh
lagi dari terik di antara reremang bayangan daun kurma. Selamatkah Sang Nabi
dari Quroisy yang begitu ingin membunuhnya? Selamatkah dia dari kejaran Abu
Jahl yang telah bertekad menghabisinya?
Hingga
satu hari, dari arah Tsaniyatul Wada’
kepul-kepul debu dilihatnya menjelang kemunculan unta putih yang begitu gagah.
Itukah unta yang masyhur bernama al-Qoshwa? Itukah Sang Nabi yang
menunggangnya? Ya. Itu beliau, Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam!
Maka
Hushoin berteriak senyaring yang dia bisa, “Wahai orang-orang Arab, itulah dia
Nabi yang dijanjikan Alloh dalam Taurot dan Injil! Itulah Nabi yang datang dari
kalangan kalian sendiri, yang kemuliaannya kalian ada padanya! Bahagialah
orang-orang yang membela dan menolong risalahnya, binasalah mereka yang
menentangnya! Wahai Bani Isroil, wahai Bani Auf, wahai Bani Nadzir, wahai
Qoinuqo’, wahai Quroizhoh, wahai sekalian kaumku orang Yahudi, inilah juru
selamat yang dijanjikan untuk kalian!”
Sementara
Hushoin terus berteriak-teriak, para wanita Yatsrib mulai bersenandung:
kepada kita telah terbit purnama
dari arah Tsaniyatul Wada’
niscayalah rasa syukur atas kami
selama ini belum ada penyeru di tanah ini
duhai kau yang diutus pada kami
kau datang dengan urusan yang ditaati
kehadiranmu memuliakan kota ini
selamat datang duhai sebaik-baik penunjuk
jalan
Di antara
yang paling menarik perhatian Sang Nabi adalah seorang pemuda yang bergegas
turun dari batang kurma untuk menyongsongnya. Hushoin ibn Salam, masih dalam
pakaian rabinya yang berwarna hitam berumbai-umbai dihiasi pernak-pernik perak
dan sebuah kopiah kecil menempurungi kepalanya, segera menyambut Sang Nabi.
Hushoin mencium tangan beliau dan katanya, “Asyhadu
an laa ilaaha illalloh, wa annaka Rosululloh, aku bersaksi tiada sesembahan
selain Alloh, dan engkaulah utusan Alloh!”
“Siapa namamu,
hai pemuda mulia?” tanya Sang Nabi sambil tersenyum dan menepuk-nepuk bahunya.
“Hushoin,
ya Rosululloh. Hushoin ibn Salam.”
“Bukan.
Tetapi namamu adalah ‘Abdulloh. ‘Abdulloh ibn Salam wahai anak keturunan Harun!
Engkau ini saudaraku dalam iman!”
Maka
Hushoin mendapatkan nama baru sekaligus persaudara-an dengan Sang Nabi.
‘Abdulloh ibn Salam, dipersaudarakan dalam iman dengan Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Sebuah
kejutan yang indah dalam dekapan ukhuwah.
Dan
‘Abdulloh makin takjub saat Sang Nabi berdiri di tengah warga Yatsrib,
mendo’akan kebaikan bagi mereka, lalu bersabda dengan senyum penuh wibawa, “Ayyuhannaas… Afsyussalaam, wa siilil arhaam,
wa ath’imuth tho’aam, wa shollu billaili wan naasu niyaam, tadkhulul jannata bi
salaam. Hai sekalian manusia, tebarkanlah kedamaian, sambunglah tali kasih
sayang, berikanlah makanan pada yang kelaparan, sholatlah kala malam di saat
manusia terlelap, dan kalian akan masuk surga dengan dilimpahi keselamatan!”
Tak
salahkah dia? ‘Abdulloh mendengar nama ayah tercintanya yang telah wafat,
Salam, muncul dua kali dalam kalimat indah khuthbah pertama Sang Nabi. Alangkah
menakjubkan Nabi ini! Alangkah cerdas dia mengambil hati! Alangkah indah berada
dalam dekapan ukhuwah! Alangkah indah persaudaraan dalam iman! Beberapa waktu
lalu dia masih seorang rabi muda Yahudi. Kini dia seorang muslim, terikat
persaudaraan oleh aqidah, bukan darah. Dia segera berkenalan dengan Bilal,
bekas budak negro dari Habasyah, Salman si pengembara dari Persia, juga Shuhaib
dari Romawi, dan semua saudaranya dalam iman.
Sekali
lagi, imanlah yang menyatukan mereka dalam dekapan ukhuwah.
Jadi
apakah iman itu?
***
Imam
at-Tirmidzi mungkin tak menduga bahwa kalimat ringkas yang beliau gunakan
sebagai judul sebuah bab dalam kitab Sunan-nya
itu, kini menjadi sebuah mahfuzhot
terkenal untuk menggambarkan sifat iman. Kalimatnya berbunyi, “al-iimaanu yaziidu wa yanqush. Iman itu
bertambah dan berkurang, naik dan turun. Yaziidu
bith thoo’ah, wa yanqushu bil ma’shiyah. Bertambah oleh sebab ketaatan dan
berkurang karena kedurhakaan.”
Itulah
para ulama yang ahli hikmah, merumuskan hal yang rumit menjadi kalimat yang
pendek dan sederhana, namun begitu kaya dan penuh makna. Itulah jawami’ul kalim. Sementara kita yang
bodoh ini kadang-kadang tergoda untuk merumitkan sesuatu yang sederhana agar
disangka ‘alim, agar terlihat pandai, agar terkesan cerdas. Padahal tak satupun
dari untaian kalimat kita yang berbusa-busa difahami orang, tak sedikit pun
memberikan kefahaman, dan seluruhnya jauh dari makna yang membangkitkan amal
sholih. Astaghfirullohal ‘azhim.
Demikianlah,
dengan perkataan ringkas Imam at-Tirmidzi itu, yang sebetulnya adalah
kesimpulan beliau atas beberapa hadits dan riwayat, kita memahami bahwa iman
adalah sesosok rasa yang hidup dalam hati. Ia bisa disuburkan, dikokohkan,
dirindangkan. Namun jika lalai jadilah ia kering, layu, bahkan mati. Iman itu
bertambah dan berkurang, naik dan turun. Bertambah dengan ketaatan, berkurang
dengan kemaksiatan.
‘Alim dan
ahli hikmah yang lain, memberi kita pemahaman tentang ruang cakup iman. “Iman,”
kata Imam ath-Thohawi dalam al-‘Aqidah
ath-Thohawiyah, “Adalah pembenaran dalam hati, ikrar dengan lisan, dan
amalan dengan seluruh anggota badan.” Batasan ini menjadi sebuah penanda
kesempurnaan bagi iman. Kurang satu dari tiga unsurnya, kata beliau, menjadikan
sang iman gugur. Seperti munafik; mereka mungkin beriman dalam lisan dan
perbuatan. Apa yang terucap dan apa yang diperbuat tak beda dengan mukmin
sejati. Akan tetapi sayang, hatinya mengingkari.
Ada pula
orang-orang yang sungguh pemahamannya mencukupi dan hatinya meyakini. Sayang
rasa hasad dan dengki menghalangi lisannya untuk mengakui, membelenggu anggota
tubuhnya untuk mengamini. Di antara mereka adalah para tokoh Yahudi di kota
Yatsrib. Sejak kedatangan Sang Nabi, kota ini beralih nama menjadi Madinah.
***
Belum
banyak pemuka Yahudi yang mengetahui keislaman ‘Abdulloh ibn Salam. Rosululloh
sungguh berharap, para Ahli Kitab inilah yang akan segera menyambut da’wah
beliau. Bahkan begitu berharapnya beliau akan hal itu, pada hari-hari awalnya
di Madinah beliau menyesuaikan penampilannya dengan mereka. Adapun ‘Abdulloh,
dia meyakinkan Sang Nabi bahwa para rabi dan orang ‘alim Yahudi itu pasti
mengenal beliau dari tanda-tandanya seperti mereka mengenal anak-anak mereka
sendiri. Sayang, sifat hasad mereka telah mengalahkan kejernihan batinnya.
“Ujilah
mereka, ya Rosululloh!”
Beliau
mengangguk.
Maka Sang
Nabi mengundang para pemuka Ahli Kitab itu sementara ‘Abdulloh ibn Salam
bersembunyi. Ketika mereka datang, beliau Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bagaimana kedudukan Hushoin ibn Salam di
tengah-tengah kalian?”
“Dia
adalah saudara kami yang mulia,” jawab mereka nyaris serempak, “Putra dari
saudara kami yang mulia, termasuk di antara keturunan yang termulia di kalangan
Bani Isroil!”
Rosululloh
tersenyum, “Wahai ‘Abdulloh,” kata beliau, “Keluarlah!”
Maka
‘Abdulloh ibn Salam keluar menemui mereka. “Asyhadu
an laa ilaaha illalloh,” serunya, “Wa
asyhadu anna Muhammadan Rosululloh.”
Mereka
terperangah dan murka. Setelah riuh gaduh dan hiruk pikuk reda, salah seorang
yang dituakan bicara mewakili mereka. “Adapun orang ini, putra Salam, maka dia
adalah orang yang paling hina di antara kami, anak dari orang yang hina, dan
dari keturunan yang paling hina!” Semua mengangguk mengamini, lalu mereka
bergegas pergi dengan gaya jalan angkuh dan menampakkan benci.
***
Madinah
adalah kota yang indah. Oase-oase menyeputarinya di sisi kanan dan kiri,
sehingga tetanaman berkesempatan menghijaukannya, menjadikannya bagai zamrud di
ketandusan jaziroh. Para penduduknya bertanam anggur, zaitun, dan terutama
kurma. Kebun-kebun kurmanya menghasilkan buah terbaik sepanjang tahun,
terus-menerus tak kenal musim, dengan mayang berjunjung-junjung indah dan kulit
buah yang berkilat-kilat.
Suatu
hari di masjid Nabawi yang dibangun dari pokok-pokok batang kurma dan
beratapkan daunnya, Sang Nabi membahaskan suatu ayat pada para shohabat. Beliau
bacakan ayat itu pada mereka dengan suaranya yang empuk, lembut dan merdu.
“Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit, pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Robbnya. Alloh membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
(Qs. Ibrohim [14]: 24-25)
“Pohon
itu seperti seorang mukmin,” kata Sang Nabi sambil tersenyum. “Tak gugur
daunnya, kokoh pokok dan batangnya, dan menjulang ke langit cabangnya. Tahukah
kalian pohon apa itu?”
Para
shohabat mencoba menebak. Pikiran mereka menerawang ke arah wadi-wadi di
seputar Madinah. Mereka membayangkan satu demi satu pohon yang mungkin tumbuh
di sana. ‘Abdulloh ibn ‘Umar, saat itu masih seorang anak kecil, mencoba
menerka. Sebuah jawaban yang begitu dekat menghinggap di otaknya. “Kurma,”
gumam hatinya. Tapi bahkan Abu Bakar dan ‘Umar terdiam tak bicara. Maka dia pun
menahan diri. Dia menundukkan kepala.
“Pohon
itu adalah,” kata Sang nabi akhirnya setelah menanti jawab beberapa jenak,
“Pohon kurma.”
‘Abdulloh
ibn ‘Umar si bocah kecil, berbisik pada ayahnya begitu mereka bubar dari
majelis. “Ayah,” katanya, “Sesungguhnya tadi aku tahu bahwa itu adalah pohon
kurma. Namun aku tak mengatakannya sebab engkau, Abu Bakar dan para tetua lainnya
diam saja.”
‘Umar
berjongkok. Ditatapnya mata putra kesayangannya itu. “Nak,” ujarnya sambil
membelai ubun-ubun, “Sesungguhnya aku lebih suka engkau bicara jika padamu
memang ada ilmu, daripada engkau diam dan menyembunyikan pengetahuan.”
***
Sungguh
gambaran yang begitu dekat dan akrab. Alloh membuatnya menjadi umpama bagi
keagungan iman. Dia kokoh berakar dalam jiwa sebagai bentuk keyakinan yang
teguh. Dia menjulang bercabang-cabang, menggapai langit tinggi dengan amal-amal
sholih yang banyak tak berbilang. Dan dia berbuah. Rasanya manis, sejuk,
nikmat, dan lezat bagi siapapun yang ada di dekatnya.
“Sesungguhnya
kalimat yang baik itu,” kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Qur’an, “Benar-benar seperti pohon yang baik. Itulah
kalimat kebenaran. Ia kokoh, menjulang tinggi, dan berbuah lebat. Ia kokoh
tanpa bisa digoyahkan badai, tak dapat dirobohkan angin kebatilan, dan tak
mempan dicangkul kesewenang-wenangan, meskipun sementara orang membayangkan
bahwa pohon tersebut menghadang bahaya yang besar pada sebagian kesempatan. Ia
menjulang tinggi, berjaya di atas segala kenistaan, kezholiman, dan
kesewenang-wenangan, meskipun sementara orang berkhayal bahwa kejahatan dapat
menerpanya di udara. Ia juga berbuah dan buahnya itu tidak pernah berhenti,
karena akar-akarnya tumbuh di dalam jiwa-jiwa, terus berkembang dari masa ke
masa.”
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti
pohon yang buruk, yang telah tercerabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap tegak sedikitpun. Alloh meneguhkan iman orang-orang
yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat; dan Alloh menyesatkan orang-orang yang zholim dan memperbuat apa yang
Dia kehendaki.” (Qs. Ibrohim [14]: 26-27)
Dan
sesungguhnya kalimat yang buruk itu benar-benar seperti pohon yang buruk.
Itulah kalimat kebatilan. Terkadang ia membesar, meninggi, dan berjalinan. Dan
sementara orang yang membayangkan bahwa ia lebih besar dan lebih kuat daripada
pohon yang baik. Tetapi, ia tercerai berai, remuk, akar-akarnya berada di dalam
tanah yang dangkal hingga seolah-olah berada di permukaan tanah. Keberadaannya
hanya sementara, kemudian ia dicabut dari permukaan tanah, sehingga ia tidak
dapat tegak sedikit pun.
Ini
bukan sekedar perumpamaan, dan bukan cuma hiburan dan dorongan bagi orang-orang
yang baik. Dia sungguh merupakan sebuah kenyataan dalam kehidupan, meskipun
realisasinya mungkin terlambat pada sebagian kesempatan.
Kebaikan
yang mengakar itu tidak mati dan tidak layu, meskipun keburukan menerpanya atau
ia tergilas di jalanan. Demikian pula, keburukan itu tidak bisa hidup kecuali
untuk sekedar menghabiskan sebagian kebaikan yang melekat padanya― karena
memang sedikit ditemukan keburukan yang murni. Ketika ia telah menghabiskan
kebaikan yang melekat padanya sehingga tidak lagi tersisa, maka ia pun runtuh
dan hancur lebur, meski pokoknya besar dan batangnya tinggi.
Dalam
dekapan ukhuwah kita mengupayakan agar pohon iman kita kokoh berakar, menjulang
tegar, dan mekar berbinar. Pada akar teguhnya kita mempertautkan diri agar tak
hanyut disambar arus deras kebatilan. Pada batang kokohnya kita bersandar,
menegakkan kerja-kerja besar untuk memperbaiki diri pribadi dan juga ummat ini.
Pada daunnya yang rimbun kita bernaung, meneduhkan diri, menyejukkan hati. Pada
buahnya yang manis dan harum kita berbagi, bersama merasai, mengeja kenikmatan
persaudaraan suci. Inilah pohon iman kita, dalam dekapan ukhuwah…
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Sali A. Fillah; Pro-U
Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar