Selasa, 09 Juli 2013

Sebatang Pohon Kurma

“…Dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai…”

-Qs. al-An’am [6]: 99-



NAMANYA HUSHOIN. Artinya si kuda kecil. Hushoin ibn Salam. Dan dia seorang rabi muda di Yatsrib. Nasab yang mulia, kecerdasan, dan ketekunan belajar membuatnya disegani di tengah Bani Isroil melebihi usianya. Dia dihargai melampaui umumnya, kadang mengungguli penghormatan pada rabi-rabi tua yang jenggotnya panjang dan lebat menyentuh dada.

Lembar-lembar Taurot yang digumulinya tiap hari membuka matanya tentang rahasia kecil mengapa kaumnya berduyun-duyun menghuni Yatsrib sejak beberapa generasi lalu. Mesiah. Sang Juru Selamat. Taurot jernih sekali mengungkap: Nabi terakhir itu akan muncul di sebuah negeri yang terletak di antara dua bukit yang ditumbuhi pohon-pohon kurma.

Yatsrib!

Mereka, orang-orang Yahudi yang ratusan tahun lalu datang ke kota ini adalah mereka yang terusir, penuh lara, dan derita. Sejak pembantaian dan pemusnahan kuil agung di Yerusalem oleh Raja Herodes, kaum ini sekali lagi terdiaspora, menyebar ke berbagai penjuru bumi. Dan merek ayang memahami Taurot itu pergi kemari. Ke sebuah kota di antara bukit yang dijajari pepohonan kurma. Bukan hanya untuk menanti Sang Mesiah, tapi juga penuh harap tinggi-tinggi agar Sang Nabi dilahirkan oleh satu di antara wanita-wanita mereka. Nabi itu, kata mereka, sudah seharusnya berasal dari kalangan mereka, Bani Isroil yang dipilih Alloh sebagai anak-anak kesayangan-Nya.

Dan Hushoin ibn Salam terus mengkaji Taurotnya. Hingga dia faham. Sang Nabi akan muncul di Yatsrib. Muncul, bukan lahir. Sekali lagi muncul, bukan lahir. Tanda-tanda Sang Nabi, ciri-ciri zhohir maupun batinnya tergambar jelas, dan bahkan namanya tersurat terang. Ahmad. Yang terpuji. Dia tahu kini, Nabi itu memang akan muncul di Yatsrib. Tapi bukan dari keturunan Isroil. Dia berasal dari sepupu mereka. Bangsa keturunan Ismail, Quroisy. Orang Makkah. Dan kabarnya beliau, yang kata orang-orang Aus dan Khozroj bernama Muhammad, yang terpuji, memang sedang dalam perjalanan menuju kemari.

Yatsrib!

Maka sejak sepekan itu, tiap hari dia memanjat batang kurma di ujung kota. Mata awasnya menyapu sejauh cakrawala. Di manakah dia, Sang Juru Selamat yang dirindukan seluruh manusia? Di mana? Bibinya yang cerewet selalu menegurnya dan menggasruk punggungnya dengan galah panjang tiap kali dia di atas sana. “Turun kau, Hushoin! Apa yang kau lakukan?”

“Nabi itu akan datang, Bibi! Aku tahu. Nabi itu akan datang!”

“Turunlah, atau aku pukuli kau dengan galah ini hingga jatuh!”

“Tidak, Bibi. Sang Mesiah akan datang! Dia penyelamat dan pembimbing kaum kita, juga seluruh ummat manusia. Namanya Muhammad. Dia datang dari arah Makkah! Dia akan kemari, Bibi. Dia akan ke Yatsrib! Ugh, sakit!”

“Bicara omong kosong apa kau ini? Turunlah atau aku akan terus memukulimu!”

Begitulah, tiap hari Hushoin menanti Sang Nabi dengan punggung dipukul bertubi-tubi dan kaki yang menjejak-jejak berusaha bertahan di ketinggian batang kurma. Tiap hari, bibinya makin bosan membujuknya turun. Dan tiap hari kian banyak penduduk Arab Yatsrib menyertainya menanti di antara jajaran rimbun tanaman kurma. Orang-orang Aus yang anggun, orang-orang Khozroj yang gagah, semua berdiri dengan harap-harap cemas. Berkali-kali mereka melongok kejauhan, lalu berteduh lagi dari terik di antara reremang bayangan daun kurma. Selamatkah Sang Nabi dari Quroisy yang begitu ingin membunuhnya? Selamatkah dia dari kejaran Abu Jahl yang telah bertekad menghabisinya?

Hingga satu hari, dari arah Tsaniyatul Wada’ kepul-kepul debu dilihatnya menjelang kemunculan unta putih yang begitu gagah. Itukah unta yang masyhur bernama al-Qoshwa? Itukah Sang Nabi yang menunggangnya? Ya. Itu beliau, Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam!

Maka Hushoin berteriak senyaring yang dia bisa, “Wahai orang-orang Arab, itulah dia Nabi yang dijanjikan Alloh dalam Taurot dan Injil! Itulah Nabi yang datang dari kalangan kalian sendiri, yang kemuliaannya kalian ada padanya! Bahagialah orang-orang yang membela dan menolong risalahnya, binasalah mereka yang menentangnya! Wahai Bani Isroil, wahai Bani Auf, wahai Bani Nadzir, wahai Qoinuqo’, wahai Quroizhoh, wahai sekalian kaumku orang Yahudi, inilah juru selamat yang dijanjikan untuk kalian!”

Sementara Hushoin terus berteriak-teriak, para wanita Yatsrib mulai bersenandung:

kepada kita telah terbit purnama
dari arah Tsaniyatul Wada’
niscayalah rasa syukur atas kami
selama ini belum ada penyeru di tanah ini

duhai kau yang diutus pada kami
kau datang dengan urusan yang ditaati
kehadiranmu memuliakan kota ini
selamat datang duhai sebaik-baik penunjuk jalan

Di antara yang paling menarik perhatian Sang Nabi adalah seorang pemuda yang bergegas turun dari batang kurma untuk menyongsongnya. Hushoin ibn Salam, masih dalam pakaian rabinya yang berwarna hitam berumbai-umbai dihiasi pernak-pernik perak dan sebuah kopiah kecil menempurungi kepalanya, segera menyambut Sang Nabi. Hushoin mencium tangan beliau dan katanya, “Asyhadu an laa ilaaha illalloh, wa annaka Rosululloh, aku bersaksi tiada sesembahan selain Alloh, dan engkaulah utusan Alloh!”

“Siapa namamu, hai pemuda mulia?” tanya Sang Nabi sambil tersenyum dan menepuk-nepuk bahunya.

“Hushoin, ya Rosululloh. Hushoin ibn Salam.”

“Bukan. Tetapi namamu adalah ‘Abdulloh. ‘Abdulloh ibn Salam wahai anak keturunan Harun! Engkau ini saudaraku dalam iman!”

Maka Hushoin mendapatkan nama baru sekaligus persaudara-an dengan Sang Nabi. ‘Abdulloh ibn Salam, dipersaudarakan dalam iman dengan Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Sebuah kejutan yang indah dalam dekapan ukhuwah.

Dan ‘Abdulloh makin takjub saat Sang Nabi berdiri di tengah warga Yatsrib, mendo’akan kebaikan bagi mereka, lalu bersabda dengan senyum penuh wibawa, “Ayyuhannaas… Afsyussalaam, wa siilil arhaam, wa ath’imuth tho’aam, wa shollu billaili wan naasu niyaam, tadkhulul jannata bi salaam. Hai sekalian manusia, tebarkanlah kedamaian, sambunglah tali kasih sayang, berikanlah makanan pada yang kelaparan, sholatlah kala malam di saat manusia terlelap, dan kalian akan masuk surga dengan dilimpahi keselamatan!”

Tak salahkah dia? ‘Abdulloh mendengar nama ayah tercintanya yang telah wafat, Salam, muncul dua kali dalam kalimat indah khuthbah pertama Sang Nabi. Alangkah menakjubkan Nabi ini! Alangkah cerdas dia mengambil hati! Alangkah indah berada dalam dekapan ukhuwah! Alangkah indah persaudaraan dalam iman! Beberapa waktu lalu dia masih seorang rabi muda Yahudi. Kini dia seorang muslim, terikat persaudaraan oleh aqidah, bukan darah. Dia segera berkenalan dengan Bilal, bekas budak negro dari Habasyah, Salman si pengembara dari Persia, juga Shuhaib dari Romawi, dan semua saudaranya dalam iman.

Sekali lagi, imanlah yang menyatukan mereka dalam dekapan ukhuwah.

Jadi apakah iman itu?

***

Imam at-Tirmidzi mungkin tak menduga bahwa kalimat ringkas yang beliau gunakan sebagai judul sebuah bab dalam kitab Sunan-nya itu, kini menjadi sebuah mahfuzhot terkenal untuk menggambarkan sifat iman. Kalimatnya berbunyi, “al-iimaanu yaziidu wa yanqush. Iman itu bertambah dan berkurang, naik dan turun. Yaziidu bith thoo’ah, wa yanqushu bil ma’shiyah. Bertambah oleh sebab ketaatan dan berkurang karena kedurhakaan.”

Itulah para ulama yang ahli hikmah, merumuskan hal yang rumit menjadi kalimat yang pendek dan sederhana, namun begitu kaya dan penuh makna. Itulah jawami’ul kalim. Sementara kita yang bodoh ini kadang-kadang tergoda untuk merumitkan sesuatu yang sederhana agar disangka ‘alim, agar terlihat pandai, agar terkesan cerdas. Padahal tak satupun dari untaian kalimat kita yang berbusa-busa difahami orang, tak sedikit pun memberikan kefahaman, dan seluruhnya jauh dari makna yang membangkitkan amal sholih. Astaghfirullohal ‘azhim.

Demikianlah, dengan perkataan ringkas Imam at-Tirmidzi itu, yang sebetulnya adalah kesimpulan beliau atas beberapa hadits dan riwayat, kita memahami bahwa iman adalah sesosok rasa yang hidup dalam hati. Ia bisa disuburkan, dikokohkan, dirindangkan. Namun jika lalai jadilah ia kering, layu, bahkan mati. Iman itu bertambah dan berkurang, naik dan turun. Bertambah dengan ketaatan, berkurang dengan kemaksiatan.

‘Alim dan ahli hikmah yang lain, memberi kita pemahaman tentang ruang cakup iman. “Iman,” kata Imam ath-Thohawi dalam al-‘Aqidah ath-Thohawiyah, “Adalah pembenaran dalam hati, ikrar dengan lisan, dan amalan dengan seluruh anggota badan.” Batasan ini menjadi sebuah penanda kesempurnaan bagi iman. Kurang satu dari tiga unsurnya, kata beliau, menjadikan sang iman gugur. Seperti munafik; mereka mungkin beriman dalam lisan dan perbuatan. Apa yang terucap dan apa yang diperbuat tak beda dengan mukmin sejati. Akan tetapi sayang, hatinya mengingkari.

Ada pula orang-orang yang sungguh pemahamannya mencukupi dan hatinya meyakini. Sayang rasa hasad dan dengki menghalangi lisannya untuk mengakui, membelenggu anggota tubuhnya untuk mengamini. Di antara mereka adalah para tokoh Yahudi di kota Yatsrib. Sejak kedatangan Sang Nabi, kota ini beralih nama menjadi Madinah.

***

Belum banyak pemuka Yahudi yang mengetahui keislaman ‘Abdulloh ibn Salam. Rosululloh sungguh berharap, para Ahli Kitab inilah yang akan segera menyambut da’wah beliau. Bahkan begitu berharapnya beliau akan hal itu, pada hari-hari awalnya di Madinah beliau menyesuaikan penampilannya dengan mereka. Adapun ‘Abdulloh, dia meyakinkan Sang Nabi bahwa para rabi dan orang ‘alim Yahudi itu pasti mengenal beliau dari tanda-tandanya seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sayang, sifat hasad mereka telah mengalahkan kejernihan batinnya.

“Ujilah mereka, ya Rosululloh!”

Beliau mengangguk.

Maka Sang Nabi mengundang para pemuka Ahli Kitab itu sementara ‘Abdulloh ibn Salam bersembunyi. Ketika mereka datang, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bagaimana kedudukan Hushoin ibn Salam di tengah-tengah kalian?”

“Dia adalah saudara kami yang mulia,” jawab mereka nyaris serempak, “Putra dari saudara kami yang mulia, termasuk di antara keturunan yang termulia di kalangan Bani Isroil!”

Rosululloh tersenyum, “Wahai ‘Abdulloh,” kata beliau, “Keluarlah!”

Maka ‘Abdulloh ibn Salam keluar menemui mereka. “Asyhadu an laa ilaaha illalloh,” serunya, “Wa asyhadu anna Muhammadan Rosululloh.”

Mereka terperangah dan murka. Setelah riuh gaduh dan hiruk pikuk reda, salah seorang yang dituakan bicara mewakili mereka. “Adapun orang ini, putra Salam, maka dia adalah orang yang paling hina di antara kami, anak dari orang yang hina, dan dari keturunan yang paling hina!” Semua mengangguk mengamini, lalu mereka bergegas pergi dengan gaya jalan angkuh dan menampakkan benci.

***

Madinah adalah kota yang indah. Oase-oase menyeputarinya di sisi kanan dan kiri, sehingga tetanaman berkesempatan menghijaukannya, menjadikannya bagai zamrud di ketandusan jaziroh. Para penduduknya bertanam anggur, zaitun, dan terutama kurma. Kebun-kebun kurmanya menghasilkan buah terbaik sepanjang tahun, terus-menerus tak kenal musim, dengan mayang berjunjung-junjung indah dan kulit buah yang berkilat-kilat.

Suatu hari di masjid Nabawi yang dibangun dari pokok-pokok batang kurma dan beratapkan daunnya, Sang Nabi membahaskan suatu ayat pada para shohabat. Beliau bacakan ayat itu pada mereka dengan suaranya yang empuk, lembut dan merdu.

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Robbnya. Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Qs. Ibrohim [14]: 24-25)

“Pohon itu seperti seorang mukmin,” kata Sang Nabi sambil tersenyum. “Tak gugur daunnya, kokoh pokok dan batangnya, dan menjulang ke langit cabangnya. Tahukah kalian pohon apa itu?”

Para shohabat mencoba menebak. Pikiran mereka menerawang ke arah wadi-wadi di seputar Madinah. Mereka membayangkan satu demi satu pohon yang mungkin tumbuh di sana. ‘Abdulloh ibn ‘Umar, saat itu masih seorang anak kecil, mencoba menerka. Sebuah jawaban yang begitu dekat menghinggap di otaknya. “Kurma,” gumam hatinya. Tapi bahkan Abu Bakar dan ‘Umar terdiam tak bicara. Maka dia pun menahan diri. Dia menundukkan kepala.

“Pohon itu adalah,” kata Sang nabi akhirnya setelah menanti jawab beberapa jenak, “Pohon kurma.”

‘Abdulloh ibn ‘Umar si bocah kecil, berbisik pada ayahnya begitu mereka bubar dari majelis. “Ayah,” katanya, “Sesungguhnya tadi aku tahu bahwa itu adalah pohon kurma. Namun aku tak mengatakannya sebab engkau, Abu Bakar dan para tetua lainnya diam saja.”

‘Umar berjongkok. Ditatapnya mata putra kesayangannya itu. “Nak,” ujarnya sambil membelai ubun-ubun, “Sesungguhnya aku lebih suka engkau bicara jika padamu memang ada ilmu, daripada engkau diam dan menyembunyikan pengetahuan.”

***

Sungguh gambaran yang begitu dekat dan akrab. Alloh membuatnya menjadi umpama bagi keagungan iman. Dia kokoh berakar dalam jiwa sebagai bentuk keyakinan yang teguh. Dia menjulang bercabang-cabang, menggapai langit tinggi dengan amal-amal sholih yang banyak tak berbilang. Dan dia berbuah. Rasanya manis, sejuk, nikmat, dan lezat bagi siapapun yang ada di dekatnya.

“Sesungguhnya kalimat yang baik itu,” kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Qur’an, “Benar-benar seperti pohon yang baik. Itulah kalimat kebenaran. Ia kokoh, menjulang tinggi, dan berbuah lebat. Ia kokoh tanpa bisa digoyahkan badai, tak dapat dirobohkan angin kebatilan, dan tak mempan dicangkul kesewenang-wenangan, meskipun sementara orang membayangkan bahwa pohon tersebut menghadang bahaya yang besar pada sebagian kesempatan. Ia menjulang tinggi, berjaya di atas segala kenistaan, kezholiman, dan kesewenang-wenangan, meskipun sementara orang berkhayal bahwa kejahatan dapat menerpanya di udara. Ia juga berbuah dan buahnya itu tidak pernah berhenti, karena akar-akarnya tumbuh di dalam jiwa-jiwa, terus berkembang dari masa ke masa.”

“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah tercerabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap tegak sedikitpun. Alloh meneguhkan iman orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Alloh menyesatkan orang-orang yang zholim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrohim [14]: 26-27)

Dan sesungguhnya kalimat yang buruk itu benar-benar seperti pohon yang buruk. Itulah kalimat kebatilan. Terkadang ia membesar, meninggi, dan berjalinan. Dan sementara orang yang membayangkan bahwa ia lebih besar dan lebih kuat daripada pohon yang baik. Tetapi, ia tercerai berai, remuk, akar-akarnya berada di dalam tanah yang dangkal hingga seolah-olah berada di permukaan tanah. Keberadaannya hanya sementara, kemudian ia dicabut dari permukaan tanah, sehingga ia tidak dapat tegak sedikit pun.

Ini bukan sekedar perumpamaan, dan bukan cuma hiburan dan dorongan bagi orang-orang yang baik. Dia sungguh merupakan sebuah kenyataan dalam kehidupan, meskipun realisasinya mungkin terlambat pada sebagian kesempatan.

Kebaikan yang mengakar itu tidak mati dan tidak layu, meskipun keburukan menerpanya atau ia tergilas di jalanan. Demikian pula, keburukan itu tidak bisa hidup kecuali untuk sekedar menghabiskan sebagian kebaikan yang melekat padanya― karena memang sedikit ditemukan keburukan yang murni. Ketika ia telah menghabiskan kebaikan yang melekat padanya sehingga tidak lagi tersisa, maka ia pun runtuh dan hancur lebur, meski pokoknya besar dan batangnya tinggi.

Dalam dekapan ukhuwah kita mengupayakan agar pohon iman kita kokoh berakar, menjulang tegar, dan mekar berbinar. Pada akar teguhnya kita mempertautkan diri agar tak hanyut disambar arus deras kebatilan. Pada batang kokohnya kita bersandar, menegakkan kerja-kerja besar untuk memperbaiki diri pribadi dan juga ummat ini. Pada daunnya yang rimbun kita bernaung, meneduhkan diri, menyejukkan hati. Pada buahnya yang manis dan harum kita berbagi, bersama merasai, mengeja kenikmatan persaudaraan suci. Inilah pohon iman kita, dalam dekapan ukhuwah…


Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Sali A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar