Minggu, 21 Juli 2013

Segalanya adalah Cermin

semua orang yang ada dalam hidup kita
masing-masingnya, bahkan yang paling menyakiti kita
diminta untuk ada di sana
agar cahaya kita dapat menerangi jalan mereka




TAMPARAN di wajah Mu’awiyah itu diberikan oleh ‘Uqoil ibn Abi Tholib.

Inilah yang dikisahkan Imam as-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa’. Adalah ‘Uqoil yang suatu hari didesak kebutuhan, mendatangi saudara kandungnya, ‘Ali ibn Abi Tholib. “Aku ini,” kata ‘Uqoil, “Adalah seorang yang memerlukan bantuan dan engkau telah mengetahui kefakiranku.”

‘Ali mengangguk. Ingin sekali dia membantu. Sayang, tak ada apapun di tangannya, tidak juga di rumahnya. “Bersabarlah,” ujarnya, “Hingga gajiku dibayarkan dari Baitul Maal bersama dengan kaum Muslimin lainnya. Saat itulah akan aku berikan padamu apa yang kau minta.”

‘Uqoil tak sabar. Dia terus mendesak.

“Baik,” kata ‘Ali sambil memanggil salah seorang pembantu dekatnya. “Bawalah ‘Uqoil ini,” kata ‘Ali padanya, “Ke jajaran kios yang ada di pasar. Suruh dia mengambil apapun yang ada di sana!”

“Subhanalloh!” kata ‘Uqoil, “Apakah engkau menginginkan aku menjadi pencuri?”

“Apa bedanya itu dengan engkau yang mendesakku untuk mengambil harta kaum Muslimin lalu memberikannya kepadamu?”

“Kalau begitu, aku akan menemui Mu’awiyah!”

“Terserah engkau!”

Saat itu, ketegangan antara Mu’awiyah di Syam dan ‘Ali di Iraq terkait kepemimpinan kaum Muslimin sedang tinggi-tingginya. Setiap hal bisa menjadi ladang perebutan pengaruh di antara kedua belah pihak. Tak mendapat apa yang dia mau dari ‘Ali, ‘Uqoil pun menemui Mu’awiyah dan mengajukan permintaan harta kepadanya. Tanpa pikir panjang, Mu’awiyah memberikan padanya seratus ribu dirham.

“Naiklah ke mimbar,” kata Mu’awiyah pada ‘Uqoil setelah itu, “Dan sampaikanlah kepada khalayak seperti apa tanggapan ‘Ali atas pintamu dan seperti apa perlakuanku padamu!”

Maka ‘Uqoil pun naik ke mimbar. Dia memuji Alloh, dan bersholawat atas Rosululloh. “Amma ba’du,” katanya, “Wahai hadirin yang mulia. Akan aku kabarkan kepada kalian bahwa aku menginginkan ‘Ali mengkhianati agama dengan memenuhi hajatku. Tetapi dia lebih memilih agamanya dibandingkan aku, saudara kandungnya. Adapun Mu’awiyah, kuminta dia melakukan hal yang sama, dan dia telah memilih mengutamakanku, yakni saudara dari saingannya, daripada agamanya!”

Mu’awiyah terbelalak. Kata-kata ‘Uqoil itu sungguh bukan yang diharapkannya. Tapi seperti biasa, dengan cepat dia menguasai diri. Dan tersenyum.

Hari ini sebuah tempelak nyaris memelantingkan harga dirinya. Rasanya seperti ditusuk sembilu tepat di ulu hati. Tapi dia tahu, ‘Ali memang orang yang mulia. Dan hari ini ‘Uqoil telah membawakan ‘Ali, sosok terpuji itu, untuk menjadi cermin yang bening baginya. Dia terlalu dibakar hasrat untuk mengalahkan ‘Ali. Sedang ‘Ali telah mengalahkan dirinya dengan kejernihan dan kekuatan menjaga amanah. Mu’awiyah merasa retak dan buram.

Tak sedikit pun ada kebencian pribadi darinya pada menantu Rosululloh itu. Mereka sama-sama penulis wahyu. Mereka sama-sama menjadi saksi peristiwa agung bersama Sang Rosul di perempat terakhir tugas kenabian beliau. Jika kini mereka berhadapan, mungkin keadaannya justru mencerminkan apa yang pernah dikatakan ‘Ali saat menggambarkan kejayaannya dalam berbagai perang bersama Sang Nabi. Mu’awiyah ingat kata-kata itu, “Aku adalah laki-laki,” kata ‘Ali, “Yang ditakdirkan Alloh berdiri di satu titik untuk mengayunkan pedang. Dan tertakdir pula, di hadapanku berdiri seorang laki-laki yang hendak menjulurkan leher.”

Pertentangan sekaligus persaudaraan, pertikaian sekaligus hubungan antara kakak ipar dan menantu Rosululloh ini memang pelik.

                                                               ***

Para sejarawan yang ‘alim dan jernih hati hampir mufakat bahwa kebenaran lebih dekat berada di pihak ‘Ali, Rodhiyallohu ‘Anhu. Mu’awiyah dan kelompoknya adalah kelompok pembangkang yang telah diisyaratkan oleh Sang Nabi. Hanya saja, itu tidak mengeluarkan mereka dari keislaman dan jama’ah kaum Muslimin.

Dan kita tetap belajar banyak dari seorang Mu’awiyah.

Seperti hari yang dikisahkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya itu. Majelis Mu’awiyah sedang ramai dihadiri orang-orang yang telah berdamai berkat kelapangan hati al-Hasan ibn ‘Ali. ‘Ali ibn Abi Tholib sendiri telah wafat, ditikam oleh seorang Khowarij yang dendam dan zholim, ‘Abdurrohman ibn Muljam. Di majelis Mu’awiyah hari itu, hadir sosok istimewa. Orang itu, Dhiror ibn Dhomroh al-Kinani, adalah lelaki yang selalu berada di dekat ‘Ali ibn Abi Tholib ketika ‘Ali dan Mu’awiyah berseteru di Shiffin.

Dan hari ini Mu’awiyah sekali lagi hendak bercermin.

“Wahai Dhiror,” ucap Mu’awiyah, “Sifatkanlah padaku tentang ‘Ali.”

“Apakah engkau akan memaafkanku nanti, hai Amirul Mukminin, jika ada hal yang tak berkenan di hatimu?”

“Baiklah, aku tidak akan marah kepadamu.”

Maka Dhiror bangkit dari duduknya dan berkata, “Kalau sudah semestinya aku sifatkan, maka ‘Ali itu―demi Alloh―adalah jauh pandangannya dan teguh cita-citanya. Kata-katanya pemutus, hukumannya adil, ilmu terpancar dari sekitarnya, dan hikmat terus berbicara dari liku-likunya.”

“Dia,” lanjut Dhiror sambil setengah menerawang, “Senantiasa membelakangi dunia dan kemewahannya, selalu menyambut kedatangan malam dan kegelapan. Dia, demi Alloh, adalah kaya dalam ibaratnya, jauh pemikirannya, mengangkat kedua tangan seraya berkata-kata memberi nasehat kepada dirinya. Pakaian yang kasar itulah yang selalu dipakainya, dan makanan yang rendah itulah yang senantiasa diasupnya.”

Dhiror menghela nafas.

“’Ali tidaklah berbeda dengan salah seorang di antara kami. Dia akan mengajak duduk bersamanya bila kami datang, dan selalu mengulurkan bantuan bila kami menadah tangan. Meskipun dia terlalu akrab dengan kami, dan selalu duduk bersama-sama kami, namun tidak pernah berkata-kata dengan kami melainkan dengan penuh kehebatan. Jika dia tersenyum, maka senyumannya seumpama mutiara yang berkilauan. Dia selalu menghormati ahli agama, suka mendampingkan diri kepada orang miskin. Orang yang kuat tidak berharap akan terlepas dari kesalahannya, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilannya.”

“Aku bersaksi,” lanjut Dhiror dengan telunjuk mengacung dan mata berkilat, “Bahwa aku telah melihatnya dalam keadaan yang sungguh mengharukan. Ketika itu, malam telah menabiri alam dengan kegelapannya, dan bintang-bintang menyiramkan sekitaran dengan cahayanya. Adapun dia masih tetap duduk di mihrob tempat sholatnya, tangannya terus menggenggam janggutnya, dia kelihatan sangat gelisah seperti gelisahnya orang yang menanggung perkara yang besar. Dan dia menangis, seperti ratapan seorang yang patah hati. Telingaku masih mengiang-ngiang akan suaranya hingga kini. Dia mengatakan, “Robbi. Robbi. Ya Robbi!”

“’Ali,” kata Dhiror, “Terus bermunajat kepada Alloh dengan mengadukan hal yang berbagai macam. Setelah itu, dia berkata pula kepada dunia, “Hai dunia, menjauhlah dariku! Mengapa engkau datang padaku? Tak adakah orang lain untuk engkau dayakan? Adakah engkau sangat menginginkanku? Engkau tak mungkin mendapat kesempatan untuk mengesankanku! Tipulah orang lain! Aku tak memiliki urusan denganmu! Aku telah menceraikanmu tiga kali, yang sesudahnya tak ada rujuk lagi. Kehidupanmu singkat, kegunaanmu kecil, kedudukanmu hina, dan bahayamu mudah berlaku! Ah… Sayang. Sangat sedikit bekal di tangan, jalan begitu panjang, perjalanan masih jauh, dan tujuan sukar dicapai!”

Dhiror ibn Dhomroh pun duduk. Dia meratap.

Mendengar ratapan itu, tangis Mu’awiyah makin tak tertahan. Dia terisak-isak, dan air matanya menetes, mengalir ke atas janggut-nya. Dia selalu mengelapnya dengan ujung pakaiannya. Orang-orang yang ada di majelisnya turut terharu dan menangis.

“Demi Alloh,” kata Mu’awiyah di sela isaknya, “Memang benarlah apa yang engkau katakan tentang ayah si Hasan itu, moga-moga Alloh merohmatinya. Tetapi, bagaimana engkau dapati dirimu dengan kehilangannya, hai Dhiror?”

“Kesedihanku atas kehilangannya umpama kesedihan seorang ibu yang anaknya disembelih di hadapan matanya sendiri. Air matanya tidak akan mengering, dan pilu hatinya tidak akan terlenyap.”

Dhiror ibn Dhomroh al-Kinani, masih dengan air mata dan keharuannya bangkit dari majelis itu dan pergi meninggalkan Mu’awiyah bersama para sahabatnya. Mereka juga masih terus menangis.

                                                               ***

“Bukankah tidak tulus,” tanya seorang mahasiswa, “Jika kita memaksakan diri memuji orang yang kita benci, atau orang yang kita musuhi?”

Orang yang ditanya itu tersenyum. Namanya George W. Crane, seorang dokter, konsultan, dan psikolog. Saat mengajar di Northwestern University di Chicago pada tahun 1920-an, dia mendirikan apa yang disebutnya ‘Klub Pujian’.

“Bukan,” kata Crane masih tetap tersenyum. “Anda bukannya tidak tulus ketika Anda memuji musuh Anda. Mengapa? Karena pujian itu adalah pernyataan yang jujur atas sifat atau keunggulan objektif yang memang pantas dipuji. Anda akan menemukan bahwa setiap orang memiliki sifat baik atau keunggulan.”

“Mungkin saja,” lanjut Crane dengan serius, “Pujian Anda mengangkat semangat dalam jiwa orang-orang kesepian yang hampir putus asa untuk berbuat baik. Anda tidak pernah tahu bahwa bisa saja pujian Anda yang sambil lalu itu, barangkali mengenai seorang anak laki-laki, anak perempuan, wanita, atau pria, pada titik penting ketika mereka―seandainya tidak mendapat sapaan itu― sudah akan menyerah.”

Segalanya adalah cermin. Kemampuan kita untuk mengaca, melihat hal-hal baik dari keunggulan pada siapapun yang ada di sekeliling, baik dia adalah sahabat ataupun musuh, akan memberi nilai kebajikan pada tiap hubungan yang kita jalin dengan mereka. Kita bercermin, melihat bahwa ada selisih nilai antara kita dan sang bayang-bayang. Lalu kita menghargai kelebihannya. Memujinya, sehingga kebaikan itu makin bercahaya.

Jika Mu’awiyah, Rodhiyallohu ‘Anhu, mampu mengajarkan pada kita untuk bercermin pada musuhnya, lalu berani untuk memujinya, menghargainya, dan belajar darinya; maka apatah lagi kepada orang-orang yang kita anggap sahabat dan saudara. Kita mencintai mereka, dan itu artiny akita bercermin pada mereka lalu memandang bayangannya dengan tatapan cinta. Tatapan cinta itu mengajarkan untuk tak hanya takjub, melainkan juga mengejar ketertinggalan, dan menebus selisih nilai di mana kita masih berada di bawah tingkat kejelitaan akhlak mereka. Kita bercermin untuk mendaki, menggapai derajat yang makin tinggi. Lalu cinta antara kita dan mereka pun makin menjulang.

Pada hal-hal yang sebaliknya, kebencian misalnya, segalanya juga adalah cermin.

“Jika Anda membenci seseorang,” demikian ditulis oleh penyair besar Jerman Herman Hesse, “Anda sebenarnya membenci sesuatu dalam dirinya yang merupakan bagian dari diri Anda. Apa yang bukan merupakan bagian dari diri Anda sendiri sama sekali takkan mengganggu Anda.”

Maka saat kita berkaca, menemukan aib pada kawan perjalanan itu sungguh sama artinya dengan menemukan aib kita. Dalam dekapan ukhuwah, setiap saudara adalah tempat kita bercermin untuk melihat bayang-bayang kita. Seperti sabda Sang Nabi, “Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain.” Dalam hening kita mematut diri di depannya, lalu kita sempatkan untuk bertanya, “Adakah retak-retak di sana?”

Seringkali memang ada retak menghiasi bayangan kita dalam kaca. Dalam dekapan ukhuwah, kita diajarkan bahwa retak itu bukan terletak pada sang kaca. Retak itu justru mungkin terdapat pada sekujur diri kita yang sedang berdiri di depannya. Lalu kita pun merapikan diri lagi, menata jiwa, merekatkan retakan-retakan itu hingga sang bayangan turut menjadi utuh.

Makna bercermin tak berhenti di situ. Dalam dekapan ukhuwah, kita juga tahu, menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu saat kita menemukan hal-hal yang terkenan di hati dalam gambaran itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.

Satu lagi. Bahkan jikapun sang cermin buram, barangkali noda itu disebabkan hambusan nafas kita yang terlalu banyak mengan-dung asam arang dosa.

Dalam dekapan ukhuwah, kita menginsyafi bahwa diri kita adalah orang yang paling memungkinkan untuk diubah agar segala hubungan menjadi indah. Kita sadar bahwa diri kitalah yang ada dalam genggaman untuk diperbaiki dan dibenahi. Kita mafhum, bahwa jiwa kitalah yang harus dijelitakan agar segala bayang-bayang yang menghuni para cermin menjadi mempesona. Dalam dekapan ukhuwah, biarkan sesama peyakin sejati sekedar memantulkan kembali keelokan akhlak yang kita hadirkan.

Dalam dekapan ukhuwah, segalanya adalah cermin.



Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar