semua
orang yang ada dalam hidup kita
masing-masingnya,
bahkan yang paling menyakiti kita
diminta
untuk ada di sana
agar
cahaya kita dapat menerangi jalan mereka
TAMPARAN di wajah
Mu’awiyah itu diberikan oleh ‘Uqoil ibn Abi Tholib.
Inilah
yang dikisahkan Imam as-Suyuthi dalam Tarikh
Khulafa’. Adalah ‘Uqoil yang suatu hari didesak kebutuhan, mendatangi
saudara kandungnya, ‘Ali ibn Abi Tholib. “Aku ini,” kata ‘Uqoil, “Adalah
seorang yang memerlukan bantuan dan engkau telah mengetahui kefakiranku.”
‘Ali
mengangguk. Ingin sekali dia membantu. Sayang, tak ada apapun di tangannya,
tidak juga di rumahnya. “Bersabarlah,” ujarnya, “Hingga gajiku dibayarkan dari Baitul Maal bersama dengan kaum Muslimin
lainnya. Saat itulah akan aku berikan padamu apa yang kau minta.”
‘Uqoil
tak sabar. Dia terus mendesak.
“Baik,”
kata ‘Ali sambil memanggil salah seorang pembantu dekatnya. “Bawalah ‘Uqoil
ini,” kata ‘Ali padanya, “Ke jajaran kios yang ada di pasar. Suruh dia
mengambil apapun yang ada di sana!”
“Subhanalloh!”
kata ‘Uqoil, “Apakah engkau menginginkan aku menjadi pencuri?”
“Apa
bedanya itu dengan engkau yang mendesakku untuk mengambil harta kaum Muslimin
lalu memberikannya kepadamu?”
“Kalau
begitu, aku akan menemui Mu’awiyah!”
“Terserah
engkau!”
Saat itu,
ketegangan antara Mu’awiyah di Syam dan ‘Ali di Iraq terkait kepemimpinan kaum
Muslimin sedang tinggi-tingginya. Setiap hal bisa menjadi ladang perebutan
pengaruh di antara kedua belah pihak. Tak mendapat apa yang dia mau dari ‘Ali,
‘Uqoil pun menemui Mu’awiyah dan mengajukan permintaan harta kepadanya. Tanpa
pikir panjang, Mu’awiyah memberikan padanya seratus ribu dirham.
“Naiklah
ke mimbar,” kata Mu’awiyah pada ‘Uqoil setelah itu, “Dan sampaikanlah kepada
khalayak seperti apa tanggapan ‘Ali atas pintamu dan seperti apa perlakuanku
padamu!”
Maka
‘Uqoil pun naik ke mimbar. Dia memuji Alloh, dan bersholawat atas Rosululloh.
“Amma ba’du,” katanya, “Wahai hadirin yang mulia. Akan aku kabarkan kepada
kalian bahwa aku menginginkan ‘Ali mengkhianati agama dengan memenuhi hajatku.
Tetapi dia lebih memilih agamanya dibandingkan aku, saudara kandungnya. Adapun
Mu’awiyah, kuminta dia melakukan hal yang sama, dan dia telah memilih
mengutamakanku, yakni saudara dari saingannya, daripada agamanya!”
Mu’awiyah
terbelalak. Kata-kata ‘Uqoil itu sungguh bukan yang diharapkannya. Tapi seperti
biasa, dengan cepat dia menguasai diri. Dan tersenyum.
Hari ini
sebuah tempelak nyaris memelantingkan harga dirinya. Rasanya seperti ditusuk
sembilu tepat di ulu hati. Tapi dia tahu, ‘Ali memang orang yang mulia. Dan
hari ini ‘Uqoil telah membawakan ‘Ali, sosok terpuji itu, untuk menjadi cermin
yang bening baginya. Dia terlalu dibakar hasrat untuk mengalahkan ‘Ali. Sedang ‘Ali
telah mengalahkan dirinya dengan kejernihan dan kekuatan menjaga amanah.
Mu’awiyah merasa retak dan buram.
Tak
sedikit pun ada kebencian pribadi darinya pada menantu Rosululloh itu. Mereka
sama-sama penulis wahyu. Mereka sama-sama menjadi saksi peristiwa agung bersama
Sang Rosul di perempat terakhir tugas kenabian beliau. Jika kini mereka
berhadapan, mungkin keadaannya justru mencerminkan apa yang pernah dikatakan
‘Ali saat menggambarkan kejayaannya dalam berbagai perang bersama Sang Nabi.
Mu’awiyah ingat kata-kata itu, “Aku adalah laki-laki,” kata ‘Ali, “Yang
ditakdirkan Alloh berdiri di satu titik untuk mengayunkan pedang. Dan tertakdir
pula, di hadapanku berdiri seorang laki-laki yang hendak menjulurkan leher.”
Pertentangan
sekaligus persaudaraan, pertikaian sekaligus hubungan antara kakak ipar dan
menantu Rosululloh ini memang pelik.
***
Para
sejarawan yang ‘alim dan jernih hati hampir mufakat bahwa kebenaran lebih dekat
berada di pihak ‘Ali, Rodhiyallohu ‘Anhu.
Mu’awiyah dan kelompoknya adalah kelompok pembangkang yang telah diisyaratkan
oleh Sang Nabi. Hanya saja, itu tidak mengeluarkan mereka dari keislaman dan
jama’ah kaum Muslimin.
Dan kita
tetap belajar banyak dari seorang Mu’awiyah.
Seperti
hari yang dikisahkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul
Auliya itu. Majelis Mu’awiyah sedang ramai dihadiri orang-orang yang telah
berdamai berkat kelapangan hati al-Hasan ibn ‘Ali. ‘Ali ibn Abi Tholib sendiri
telah wafat, ditikam oleh seorang Khowarij yang dendam dan zholim, ‘Abdurrohman
ibn Muljam. Di majelis Mu’awiyah hari itu, hadir sosok istimewa. Orang itu,
Dhiror ibn Dhomroh al-Kinani, adalah lelaki yang selalu berada di dekat ‘Ali
ibn Abi Tholib ketika ‘Ali dan Mu’awiyah berseteru di Shiffin.
Dan hari
ini Mu’awiyah sekali lagi hendak bercermin.
“Wahai
Dhiror,” ucap Mu’awiyah, “Sifatkanlah padaku tentang ‘Ali.”
“Apakah
engkau akan memaafkanku nanti, hai Amirul Mukminin, jika ada hal yang tak
berkenan di hatimu?”
“Baiklah,
aku tidak akan marah kepadamu.”
Maka
Dhiror bangkit dari duduknya dan berkata, “Kalau sudah semestinya aku sifatkan,
maka ‘Ali itu―demi Alloh―adalah jauh pandangannya dan teguh cita-citanya.
Kata-katanya pemutus, hukumannya adil, ilmu terpancar dari sekitarnya, dan
hikmat terus berbicara dari liku-likunya.”
“Dia,”
lanjut Dhiror sambil setengah menerawang, “Senantiasa membelakangi dunia dan
kemewahannya, selalu menyambut kedatangan malam dan kegelapan. Dia, demi Alloh,
adalah kaya dalam ibaratnya, jauh pemikirannya, mengangkat kedua tangan seraya
berkata-kata memberi nasehat kepada dirinya. Pakaian yang kasar itulah yang
selalu dipakainya, dan makanan yang rendah itulah yang senantiasa diasupnya.”
Dhiror
menghela nafas.
“’Ali
tidaklah berbeda dengan salah seorang di antara kami. Dia akan mengajak duduk
bersamanya bila kami datang, dan selalu mengulurkan bantuan bila kami menadah
tangan. Meskipun dia terlalu akrab dengan kami, dan selalu duduk bersama-sama
kami, namun tidak pernah berkata-kata dengan kami melainkan dengan penuh
kehebatan. Jika dia tersenyum, maka senyumannya seumpama mutiara yang
berkilauan. Dia selalu menghormati ahli agama, suka mendampingkan diri kepada
orang miskin. Orang yang kuat tidak berharap akan terlepas dari kesalahannya,
dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilannya.”
“Aku
bersaksi,” lanjut Dhiror dengan telunjuk mengacung dan mata berkilat, “Bahwa
aku telah melihatnya dalam keadaan yang sungguh mengharukan. Ketika itu, malam
telah menabiri alam dengan kegelapannya, dan bintang-bintang menyiramkan
sekitaran dengan cahayanya. Adapun dia masih tetap duduk di mihrob tempat
sholatnya, tangannya terus menggenggam janggutnya, dia kelihatan sangat gelisah
seperti gelisahnya orang yang menanggung perkara yang besar. Dan dia menangis,
seperti ratapan seorang yang patah hati. Telingaku masih mengiang-ngiang akan
suaranya hingga kini. Dia mengatakan, “Robbi. Robbi. Ya Robbi!”
“’Ali,”
kata Dhiror, “Terus bermunajat kepada Alloh dengan mengadukan hal yang berbagai
macam. Setelah itu, dia berkata pula kepada dunia, “Hai dunia, menjauhlah
dariku! Mengapa engkau datang padaku? Tak adakah orang lain untuk engkau
dayakan? Adakah engkau sangat menginginkanku? Engkau tak mungkin mendapat
kesempatan untuk mengesankanku! Tipulah orang lain! Aku tak memiliki urusan
denganmu! Aku telah menceraikanmu tiga kali, yang sesudahnya tak ada rujuk
lagi. Kehidupanmu singkat, kegunaanmu kecil, kedudukanmu hina, dan bahayamu
mudah berlaku! Ah… Sayang. Sangat sedikit bekal di tangan, jalan begitu
panjang, perjalanan masih jauh, dan tujuan sukar dicapai!”
Dhiror
ibn Dhomroh pun duduk. Dia meratap.
Mendengar
ratapan itu, tangis Mu’awiyah makin tak tertahan. Dia terisak-isak, dan air
matanya menetes, mengalir ke atas janggut-nya. Dia selalu mengelapnya dengan
ujung pakaiannya. Orang-orang yang ada di majelisnya turut terharu dan
menangis.
“Demi
Alloh,” kata Mu’awiyah di sela isaknya, “Memang benarlah apa yang engkau
katakan tentang ayah si Hasan itu, moga-moga Alloh merohmatinya. Tetapi,
bagaimana engkau dapati dirimu dengan kehilangannya, hai Dhiror?”
“Kesedihanku
atas kehilangannya umpama kesedihan seorang ibu yang anaknya disembelih di
hadapan matanya sendiri. Air matanya tidak akan mengering, dan pilu hatinya
tidak akan terlenyap.”
Dhiror
ibn Dhomroh al-Kinani, masih dengan air mata dan keharuannya bangkit dari
majelis itu dan pergi meninggalkan Mu’awiyah bersama para sahabatnya. Mereka
juga masih terus menangis.
***
“Bukankah
tidak tulus,” tanya seorang mahasiswa, “Jika kita memaksakan diri memuji orang
yang kita benci, atau orang yang kita musuhi?”
Orang
yang ditanya itu tersenyum. Namanya George W. Crane, seorang dokter, konsultan,
dan psikolog. Saat mengajar di Northwestern University di Chicago pada tahun
1920-an, dia mendirikan apa yang disebutnya ‘Klub Pujian’.
“Bukan,”
kata Crane masih tetap tersenyum. “Anda bukannya tidak tulus ketika Anda memuji
musuh Anda. Mengapa? Karena pujian itu adalah pernyataan yang jujur atas sifat
atau keunggulan objektif yang memang pantas dipuji. Anda akan menemukan bahwa
setiap orang memiliki sifat baik atau keunggulan.”
“Mungkin
saja,” lanjut Crane dengan serius, “Pujian Anda mengangkat semangat dalam jiwa
orang-orang kesepian yang hampir putus asa untuk berbuat baik. Anda tidak
pernah tahu bahwa bisa saja pujian Anda yang sambil lalu itu, barangkali
mengenai seorang anak laki-laki, anak perempuan, wanita, atau pria, pada titik
penting ketika mereka―seandainya tidak mendapat sapaan itu― sudah akan
menyerah.”
Segalanya
adalah cermin. Kemampuan kita untuk mengaca, melihat hal-hal baik dari
keunggulan pada siapapun yang ada di sekeliling, baik dia adalah sahabat
ataupun musuh, akan memberi nilai kebajikan pada tiap hubungan yang kita jalin
dengan mereka. Kita bercermin, melihat bahwa ada selisih nilai antara kita dan
sang bayang-bayang. Lalu kita menghargai kelebihannya. Memujinya, sehingga
kebaikan itu makin bercahaya.
Jika
Mu’awiyah, Rodhiyallohu ‘Anhu, mampu
mengajarkan pada kita untuk bercermin pada musuhnya, lalu berani untuk memujinya,
menghargainya, dan belajar darinya; maka apatah lagi kepada orang-orang yang
kita anggap sahabat dan saudara. Kita mencintai mereka, dan itu artiny akita
bercermin pada mereka lalu memandang bayangannya dengan tatapan cinta. Tatapan
cinta itu mengajarkan untuk tak hanya takjub, melainkan juga mengejar
ketertinggalan, dan menebus selisih nilai di mana kita masih berada di bawah
tingkat kejelitaan akhlak mereka. Kita bercermin untuk mendaki, menggapai
derajat yang makin tinggi. Lalu cinta antara kita dan mereka pun makin
menjulang.
Pada
hal-hal yang sebaliknya, kebencian misalnya, segalanya juga adalah cermin.
“Jika
Anda membenci seseorang,” demikian ditulis oleh penyair besar Jerman Herman
Hesse, “Anda sebenarnya membenci sesuatu dalam dirinya yang merupakan bagian
dari diri Anda. Apa yang bukan merupakan bagian dari diri Anda sendiri sama
sekali takkan mengganggu Anda.”
Maka saat
kita berkaca, menemukan aib pada kawan perjalanan itu sungguh sama artinya
dengan menemukan aib kita. Dalam dekapan ukhuwah, setiap saudara adalah tempat
kita bercermin untuk melihat bayang-bayang kita. Seperti sabda Sang Nabi,
“Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain.” Dalam hening kita
mematut diri di depannya, lalu kita sempatkan untuk bertanya, “Adakah
retak-retak di sana?”
Seringkali
memang ada retak menghiasi bayangan kita dalam kaca. Dalam dekapan ukhuwah,
kita diajarkan bahwa retak itu bukan terletak pada sang kaca. Retak itu justru
mungkin terdapat pada sekujur diri kita yang sedang berdiri di depannya. Lalu
kita pun merapikan diri lagi, menata jiwa, merekatkan retakan-retakan itu
hingga sang bayangan turut menjadi utuh.
Makna
bercermin tak berhenti di situ. Dalam dekapan ukhuwah, kita juga tahu,
menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu
saat kita menemukan hal-hal yang terkenan di hati dalam gambaran itu, kita tahu
bahwa yang harus kita benahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus
diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang
sedang bercermin padanya.
Satu
lagi. Bahkan jikapun sang cermin buram, barangkali noda itu disebabkan hambusan
nafas kita yang terlalu banyak mengan-dung asam arang dosa.
Dalam
dekapan ukhuwah, kita menginsyafi bahwa diri kita adalah orang yang paling
memungkinkan untuk diubah agar segala hubungan menjadi indah. Kita sadar bahwa
diri kitalah yang ada dalam genggaman untuk diperbaiki dan dibenahi. Kita
mafhum, bahwa jiwa kitalah yang harus dijelitakan agar segala bayang-bayang
yang menghuni para cermin menjadi mempesona. Dalam dekapan ukhuwah, biarkan
sesama peyakin sejati sekedar memantulkan kembali keelokan akhlak yang kita
hadirkan.
Dalam
dekapan ukhuwah, segalanya adalah cermin.
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar