Pernah suatu hari, telah dikabarkan kisah dua orang sahabat
yang sangat indah. Semenjak keduanya bersahabat, mereka tidak pernah bergaduh,
masing-masing amat menjaga hati masing-masing. Indahnya lukisan kehidupan
mereka, jika hendak dikabarkan seribu satu kisah cinta, langsung tak tertanding
dengan kisah persahabatan mereka. Alloh menaungi ukhuwah kedua-dua sahabat ini,
langsung tak terusik oleh syaitan dan iblis. Mereka berbagi kisah suka dan
duka, tawa dan tangis bersama, susah dan senang, sakit dan sehat bersama, dan
segala sesuatu mereka sandarkan kepada Alloh SWT. Hinggalah pada suatu hari, di
tepian pantai, sedang keduanya asyik bercerita kisah hidup masing-masing, maka
sahabat pertama bertanya kepada sahabat kedua;
“Semoga Alloh memberkatimu wahai sahabatku sehati sejiwa.
Persaudaraan kita bukan suatu kebanggaan, bukanlah suatu kesenangan. Orang
ramai mendoakan kita. Tumbuh-tumbuhan dan segala jenis makhluk tunduk sujud
kepada kita. Sehingga ke hari ini, apakah kamu masih mengaku aku sebagai
sahabat seperjuanganmu?”
Sahabat kedua menjawab, “Semoga Alloh memberkatimu jua. Tanpa
Alloh siapalah aku, aku bersyukur dengan nikmat pemberian Alloh yang tak
ternilai di hadapan mataku ini. Dia utuskan kamu untuk menyinari hidupku,
memadam kesan-kesan hitam dalam hidupku, menyiram aku dengan curahan air cinta
kepada Yang Satu. Masakan tidak aku mengaku kau sebagai sahabat seperjuanganku.
Inilah tekadku, aku amat bersyukur ke hadirat Alloh karena dikurniakan sahabat
sepertimu.”
“Sesungguhnya iblis dan syaitan amat benci pada kita. Mereka benci
karena kita berkasih sayang karena Alloh. Sampai sekarang, mereka masih gagal.
Namun mereka tak pernah berputus asa. Jarum kedengkian, hasad, fitnah,
tuduh-menuduh, riya’ dan takbur serta ‘ujub akan mereka hembuskan supaya dapat
memisahkan persaudaraan kita. Apakah kau tidak takut wahai sahabatku?” tanya
sahabat pertama.
Dengan tenang, sahabat kedua menjawab, “Insya Alloh, aku yakin
dengan peliharaan Alloh SWT kepada kita hingga ke hari akhirat nanti. Semoga
ditetapkan hati kita tidak lain hanya karena Alloh SWT, serta dijauhi dari
sifat-sifat tersebut. Na’uzubillah…”
Maka kedua-dua sahabat itu pun berdoa bersama-sama. Memanjatkan
kesyukuran ke hadirat Alloh SWT. Segala penduduk langit dan bumi mendoakan
kebahagiaan mereka berdua.
Ditakdirkan pada suatu hari, sedang kedua-dua sahabat itu
bersiar-siar di sebuah taman, sambil bertasbih memuji Alloh SWT, mengagungkan
kebesaran Alloh SWT, tiba-tiba mereka terlihat sebuah pohon kurma yang lebat
buahnya. Telah diketahui bahawa taman itu adalah taman yang tidak bertuan
milik, dan pengunjung bebas memetik buah-buahan di situ. Maka sahabat kedua
memohon izin kepada sahabat pertama untuk pergi memetik buah kurma tersebut.
Maka dipetiknya beberapa biji saja, sekadar mengisi perut yang lapar.
Maka keduanya menikmati buah kurma tersebut dengan penuh
kesyukuran. Tiba-tiba sahabat pertama bersuara, “Maafkan aku, sahabatku. Baru
saja aku teringat bahwa pohon ini bertuan milik. Kita telah makan buah kurma
milik orang lain. Adalah suatu dosa bagi kita memakan sesuatu yang bukan halal
bagi kita tanpa kita meminta izin terlebih dahulu. Salah aku karena terlambat
memberitahumu.”
“Benarkah? Jikalau begitu, kita telah dikira mencuri.
Astaghfirullohal ‘azhim, aku merasa bersalah karena memetik buah itu. Apa harus
kita buat? Patutkah kita memberitahu tuan punya milik pohon tersebut akan
kesalahan kita?” sahabat kedua bertanya.
“Tidak, aku tak mampu memikirkan jalan penyelesaian buat masa
sekarang. Hakikatnya memang salah aku. Aku merasa berdosa yang teramat sangat,”
keluh sahabat pertama.
“Jangan risau, sahabatku fillah. Alloh bersama orang-orang yang
benar. Kita harus berlaku jujur. Mari kita berjumpa dengan tuan pemilik pohon
ini. Mudah-mudahan Alloh mengampuni dosa kita. Moga tuan milik pohon ini
menghalalkan kita karena memakan buahnya. Aku rela bekerja seumur hidup jika
disuruhnya begitu, demi menghalalkan apa yang telah ku makan ini. Aku lebih
takutkan siksaan Alloh SWT.” Sahabat kedua membujuk sahabat pertama.
Namun, sahabat pertama enggan menurut sahabat kedua. Dia berasa
amat bersalah karena gagal memberitahu perkara sebenar tentang pohon tersebut.
“Bagaimana jika tuan pemilik pohon ini enggan menghalalkan buah
yang telah kita makan ini?” tanya sahabat pertama.
Sahabat kedua
termenung seketika. Dia mulai ragu-ragu.
“Aku menyarankan kita tak perlu berjumpa dengan tuan pemilik pohon
ini. Aku khawatir dia enggan memaafkan kita. Maka seluruh darah dan daging kita
tidak halal di sisi Alloh.” Sahabat pertama memberi saran.
“Kalau begitu, sama sajalah pengakhirannya. Lebih dahsyat lagi
Alloh murka atas perbuatan kita. Dia melihat perbuatan kita, Dia tahu yang kita
telah melakukan maksiat dan coba menyembunyikannya. Aku amat takut. Sebaiknya
aku menyarankan kita berjumpa tuan pemilik pohon ini. Insya Alloh dengan rahmat
Alloh, tuan pemilik pohon ini memaafkan dan menghalalkan apa yang telah kita
makan. Aku tak mau tergolong dalam kalangan orang yang dilaknat oleh Alloh SWT
di akhirat kelak nanti.” Sahabat kedua meyakinkan sahabat pertama.
“Kalau begitu, engkau pergilah sendiri. Aku tidak mau. Sebagai
sahabatku, harap kau jangan laporkan kepadanya yang aku turut sama makan buah
kurma itu ya. Insya Alloh suatu hari nanti aku akan coba bertaubat kepada Alloh
SWT atas kesalahanku ini. Mudah-mudahan Dia mengampuni aku. Aku belum cukup
kuat berjumpa dengannya,” kata sahabat pertama.
Sahabat kedua amat terkejut dengan pendirian sahabat pertama. Lalu
dia berkata, “Astaghfirulloh, bukan dengan cara begini, Alloh akan ampunkan
dosa kita wahai sahabatku. Kelak akan dipersaksikan di akhirat kelak akan
perbuatan terkutuk kita!”
“Ya aku faham. Tapi aku merasakan inilah jalan penyelesaian
terbaik. Kita bertaubat saja. Alloh akan mengampuni dosa kita. Pintu taubatnya
sentiasa terbuka bagi hambaNya yang bertaubat kepadaNya.” Sahabat pertama masih
enggan.
“Wahai sahabatku, janganlah kita dihina di hadapan Alloh kelak
atas perbuatan kita ini. Aku sebagai sahabatmu tidak sanggup melihat sahabatku
ini menjadi penghuni neraka hanya kerana hal yang kecil sebegini. Islam
mengajar kita supaya berlaku jujur!” tegas sahabat kedua.
“Ah, pedulikan! Aku tidak mau berjumpa dengan tuan pemilik pohon
ini. Lagipun sama saja kalau dia enggan menghalalkan apa yang telah kita
lakukan ini. Kau mau pergi, kau pergilah, aku tetap dengan pendirianku! Biarkan
aku! Kalau kau rasakan aku tidak layak menjadi sahabatmu karena ‘dosa’ku pada
pandanganmu, maka biarkan aku!” Pengakuan sahabat pertama ini membuatkan
sahabat kedua terkejut. Dia tidak menyangka bahawa kata-kata tersebut akan
keluar dari mulut sahabatnya itu.
Tiba-tiba sahabat kedua menangis. Maka dengan perlahan dia berkata
kepada sahabat pertama, “Sungguh aku tak sangka dengan pendirianmu ini. Kau
telah berubah, astaghfirulloh, syaitan benar-benar telah mempengaruhimu. Aku
masih ingat kau pernah bertanya kepadaku suatu ketika dahulu, apakah aku tidak
takut akan jarum-jarum syaitan yang akan memisahkan persaudaraan kita? Aku
meyakinkanmu dengan jawabanku. Aku yakin dengan peliharaan Alloh. Tapi, memang
benar apa yang dikatakanmu. Kau telah berubah. Jarum syaitan telah menusuki
tubuhmu. Aku sangat kecewa dengan perubahan dalam dirimu.”
“Kau sudah tidak memahamiku lagi. Kau benar-benar bukan sahabatku.
Maka terpulanglah, pergilah kau kepada tuan si pemilik pohon. Aku dengan
pendirianku ini. Mulai hari ini, kita bukanlah sahabat sejati,” kata sahabat
pertama.
“Baiklah, pergilah engkau dengan sikap engkau itu. Aku benar-benar
kecewa. Jika benar kau membenciku, maka tinggalkanlah aku di sini. Aku tak
sanggup melihatmu dengan pendirianmu ini. Aku tak rela sahabatku berubah jadi
begini. Kau telah mendustai kata-katamu suatu ketika dahulu. Mulai hari ini,
aku terima permintaanmu, kita bukan lagi sahabat. Pergilah engkau bertaubat,
semoga Alloh mengampuni engkau,” maka sahabat kedua menangis. Lalu sahabat
pertama beredar dari situ. Kebencian merajai segenap hatinya.
Di dalam sebuah gua, terdengar tangisan terisak-isak seorang
lelaki. Suara laksana orang sedang berdoa.
“Ya Alloh, memang benar apa yang aku alami. Sahabatku benar-benar
membenciku karena kejahatanku. Dia benar-benar sudah tidak mengakuiku sebagai
sahabatnya. Apabila aku berlagak seperti seorang pengkhianat, dan aku berlaku
seperti seolah-olah aku menafikannya sebagai sahabatku, maka memang benar dia menolakku.
Sudah ku duga bahwa dia mengakui aku sebagai sahabatnya hanya karena kebaikan
yang ada padaku. Apabila aku jahat, maka aku bukan lagi sahabatnya. Dia tidak
berusaha mendapatkanku. Ku harapkan dia mengejarku, namun dia menghukum aku
sebagai pendusta pula. Ya Alloh, namun begitu, aku menghalalkan apa yang telah
dimakannya, akulah pemilik pohon kurma itu, ampunilah dosa sahabatku ini.”
Sahabat pertama tunduk sujud dan menangis dalam gua yang gelap
gelita itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar