Selasa, 09 Juli 2013

Kisah Dua Orang Sahabat dan Pohon Kurma

Pernah suatu hari, telah dikabarkan kisah dua orang sahabat yang sangat indah. Semenjak keduanya bersahabat, mereka tidak pernah bergaduh, masing-masing amat menjaga hati masing-masing. Indahnya lukisan kehidupan mereka, jika hendak dikabarkan seribu satu kisah cinta, langsung tak tertanding dengan kisah persahabatan mereka. Alloh menaungi ukhuwah kedua-dua sahabat ini, langsung tak terusik oleh syaitan dan iblis. Mereka berbagi kisah suka dan duka, tawa dan tangis bersama, susah dan senang, sakit dan sehat bersama, dan segala sesuatu mereka sandarkan kepada Alloh SWT. Hinggalah pada suatu hari, di tepian pantai, sedang keduanya asyik bercerita kisah hidup masing-masing, maka sahabat pertama bertanya kepada sahabat kedua;


“Semoga Alloh memberkatimu wahai sahabatku sehati sejiwa. Persaudaraan kita bukan suatu kebanggaan, bukanlah suatu kesenangan. Orang ramai mendoakan kita. Tumbuh-tumbuhan dan segala jenis makhluk tunduk sujud kepada kita. Sehingga ke hari ini, apakah kamu masih mengaku aku sebagai sahabat seperjuanganmu?”

Sahabat kedua menjawab, “Semoga Alloh memberkatimu jua. Tanpa Alloh siapalah aku, aku bersyukur dengan nikmat pemberian Alloh yang tak ternilai di hadapan mataku ini. Dia utuskan kamu untuk menyinari hidupku, memadam kesan-kesan hitam dalam hidupku, menyiram aku dengan curahan air cinta kepada Yang Satu. Masakan tidak aku mengaku kau sebagai sahabat seperjuanganku. Inilah tekadku, aku amat bersyukur ke hadirat Alloh karena dikurniakan sahabat sepertimu.”

“Sesungguhnya iblis dan syaitan amat benci pada kita. Mereka benci karena kita berkasih sayang karena Alloh. Sampai sekarang, mereka masih gagal. Namun mereka tak pernah berputus asa. Jarum kedengkian, hasad, fitnah, tuduh-menuduh, riya’ dan takbur serta ‘ujub akan mereka hembuskan supaya dapat memisahkan persaudaraan kita. Apakah kau tidak takut wahai sahabatku?” tanya sahabat pertama.

Dengan tenang, sahabat kedua menjawab, “Insya Alloh, aku yakin dengan peliharaan Alloh SWT kepada kita hingga ke hari akhirat nanti. Semoga ditetapkan hati kita tidak lain hanya karena Alloh SWT, serta dijauhi dari sifat-sifat tersebut. Na’uzubillah…”

Maka kedua-dua sahabat itu pun berdoa bersama-sama. Memanjatkan kesyukuran ke hadirat Alloh SWT. Segala penduduk langit dan bumi mendoakan kebahagiaan mereka berdua.

Ditakdirkan pada suatu hari, sedang kedua-dua sahabat itu bersiar-siar di sebuah taman, sambil bertasbih memuji Alloh SWT, mengagungkan kebesaran Alloh SWT, tiba-tiba mereka terlihat sebuah pohon kurma yang lebat buahnya. Telah diketahui bahawa taman itu adalah taman yang tidak bertuan milik, dan pengunjung bebas memetik buah-buahan di situ. Maka sahabat kedua memohon izin kepada sahabat pertama untuk pergi memetik buah kurma tersebut. Maka dipetiknya beberapa biji saja, sekadar mengisi perut yang lapar.

Maka keduanya menikmati buah kurma tersebut dengan penuh kesyukuran. Tiba-tiba sahabat pertama bersuara, “Maafkan aku, sahabatku. Baru saja aku teringat bahwa pohon ini bertuan milik. Kita telah makan buah kurma milik orang lain. Adalah suatu dosa bagi kita memakan sesuatu yang bukan halal bagi kita tanpa kita meminta izin terlebih dahulu. Salah aku karena terlambat memberitahumu.”

“Benarkah? Jikalau begitu, kita telah dikira mencuri. Astaghfirullohal ‘azhim, aku merasa bersalah karena memetik buah itu. Apa harus kita buat? Patutkah kita memberitahu tuan punya milik pohon tersebut akan kesalahan kita?” sahabat kedua bertanya.

“Tidak, aku tak mampu memikirkan jalan penyelesaian buat masa sekarang. Hakikatnya memang salah aku. Aku merasa berdosa yang teramat sangat,” keluh sahabat pertama.

“Jangan risau, sahabatku fillah. Alloh bersama orang-orang yang benar. Kita harus berlaku jujur. Mari kita berjumpa dengan tuan pemilik pohon ini. Mudah-mudahan Alloh mengampuni dosa kita. Moga tuan milik pohon ini menghalalkan kita karena memakan buahnya. Aku rela bekerja seumur hidup jika disuruhnya begitu, demi menghalalkan apa yang telah ku makan ini. Aku lebih takutkan siksaan Alloh SWT.” Sahabat kedua membujuk sahabat pertama.

Namun, sahabat pertama enggan menurut sahabat kedua. Dia berasa amat bersalah karena gagal memberitahu perkara sebenar tentang pohon tersebut.

“Bagaimana jika tuan pemilik pohon ini enggan menghalalkan buah yang telah kita makan ini?” tanya sahabat pertama.

Sahabat kedua termenung seketika. Dia mulai ragu-ragu.

“Aku menyarankan kita tak perlu berjumpa dengan tuan pemilik pohon ini. Aku khawatir dia enggan memaafkan kita. Maka seluruh darah dan daging kita tidak halal di sisi Alloh.” Sahabat pertama memberi saran.

“Kalau begitu, sama sajalah pengakhirannya. Lebih dahsyat lagi Alloh murka atas perbuatan kita. Dia melihat perbuatan kita, Dia tahu yang kita telah melakukan maksiat dan coba menyembunyikannya. Aku amat takut. Sebaiknya aku menyarankan kita berjumpa tuan pemilik pohon ini. Insya Alloh dengan rahmat Alloh, tuan pemilik pohon ini memaafkan dan menghalalkan apa yang telah kita makan. Aku tak mau tergolong dalam kalangan orang yang dilaknat oleh Alloh SWT di akhirat kelak nanti.” Sahabat kedua meyakinkan sahabat pertama.

“Kalau begitu, engkau pergilah sendiri. Aku tidak mau. Sebagai sahabatku, harap kau jangan laporkan kepadanya yang aku turut sama makan buah kurma itu ya. Insya Alloh suatu hari nanti aku akan coba bertaubat kepada Alloh SWT atas kesalahanku ini. Mudah-mudahan Dia mengampuni aku. Aku belum cukup kuat berjumpa dengannya,” kata sahabat pertama.

Sahabat kedua amat terkejut dengan pendirian sahabat pertama. Lalu dia berkata, “Astaghfirulloh, bukan dengan cara begini, Alloh akan ampunkan dosa kita wahai sahabatku. Kelak akan dipersaksikan di akhirat kelak akan perbuatan terkutuk kita!”

“Ya aku faham. Tapi aku merasakan inilah jalan penyelesaian terbaik. Kita bertaubat saja. Alloh akan mengampuni dosa kita. Pintu taubatnya sentiasa terbuka bagi hambaNya yang bertaubat kepadaNya.” Sahabat pertama masih enggan.

“Wahai sahabatku, janganlah kita dihina di hadapan Alloh kelak atas perbuatan kita ini. Aku sebagai sahabatmu tidak sanggup melihat sahabatku ini menjadi penghuni neraka hanya kerana hal yang kecil sebegini. Islam mengajar kita supaya berlaku jujur!” tegas sahabat kedua.

“Ah, pedulikan! Aku tidak mau berjumpa dengan tuan pemilik pohon ini. Lagipun sama saja kalau dia enggan menghalalkan apa yang telah kita lakukan ini. Kau mau pergi, kau pergilah, aku tetap dengan pendirianku! Biarkan aku! Kalau kau rasakan aku tidak layak menjadi sahabatmu karena ‘dosa’ku pada pandanganmu, maka biarkan aku!” Pengakuan sahabat pertama ini membuatkan sahabat kedua terkejut. Dia tidak menyangka bahawa kata-kata tersebut akan keluar dari mulut sahabatnya itu.

Tiba-tiba sahabat kedua menangis. Maka dengan perlahan dia berkata kepada sahabat pertama, “Sungguh aku tak sangka dengan pendirianmu ini. Kau telah berubah, astaghfirulloh, syaitan benar-benar telah mempengaruhimu. Aku masih ingat kau pernah bertanya kepadaku suatu ketika dahulu, apakah aku tidak takut akan jarum-jarum syaitan yang akan memisahkan persaudaraan kita? Aku meyakinkanmu dengan jawabanku. Aku yakin dengan peliharaan Alloh. Tapi, memang benar apa yang dikatakanmu. Kau telah berubah. Jarum syaitan telah menusuki tubuhmu. Aku sangat kecewa dengan perubahan dalam dirimu.”

“Kau sudah tidak memahamiku lagi. Kau benar-benar bukan sahabatku. Maka terpulanglah, pergilah kau kepada tuan si pemilik pohon. Aku dengan pendirianku ini. Mulai hari ini, kita bukanlah sahabat sejati,” kata sahabat pertama.

“Baiklah, pergilah engkau dengan sikap engkau itu. Aku benar-benar kecewa. Jika benar kau membenciku, maka tinggalkanlah aku di sini. Aku tak sanggup melihatmu dengan pendirianmu ini. Aku tak rela sahabatku berubah jadi begini. Kau telah mendustai kata-katamu suatu ketika dahulu. Mulai hari ini, aku terima permintaanmu, kita bukan lagi sahabat. Pergilah engkau bertaubat, semoga Alloh mengampuni engkau,” maka sahabat kedua menangis. Lalu sahabat pertama beredar dari situ. Kebencian merajai segenap hatinya.

Di dalam sebuah gua, terdengar tangisan terisak-isak seorang lelaki. Suara laksana orang sedang berdoa.

“Ya Alloh, memang benar apa yang aku alami. Sahabatku benar-benar membenciku karena kejahatanku. Dia benar-benar sudah tidak mengakuiku sebagai sahabatnya. Apabila aku berlagak seperti seorang pengkhianat, dan aku berlaku seperti seolah-olah aku menafikannya sebagai sahabatku, maka memang benar dia menolakku. Sudah ku duga bahwa dia mengakui aku sebagai sahabatnya hanya karena kebaikan yang ada padaku. Apabila aku jahat, maka aku bukan lagi sahabatnya. Dia tidak berusaha mendapatkanku. Ku harapkan dia mengejarku, namun dia menghukum aku sebagai pendusta pula. Ya Alloh, namun begitu, aku menghalalkan apa yang telah dimakannya, akulah pemilik pohon kurma itu, ampunilah dosa sahabatku ini.”

Sahabat pertama tunduk sujud dan menangis dalam gua yang gelap gelita itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar