Mari kita perhatikan sejarah tahun baru hijriyah. Di zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, kaum muslimin belum mengenal pergantian tahun hijriyah. Sehingga ketika itu, tidak ada istilah tahun baru hijriyah. Mereka menggunakan kalender qomariyah sebagai acuan kegiatan dan pencatatan sejarah. Mengikuti kalender yang sudah digunakan oleh masyarakat Arab sejak sebelum Islam. Hanya saja, di zaman mereka belum ada angka tahun dan acuan tahun.
Hingga akhirnya di zaman ‘Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhu, tepatnya di tahun ketiga beliau menjabat sebagai kholifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari rodhiyallohu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashroh. Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:
إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Kemudian ‘Umar mengumpulkan para sahabat di Madinah, dan beliau meminta,
ضعوا للناس شيئاً يعرفونه
“Tetapkan tahun untuk masyarakat yang bisa mereka jadikan acuan.”
Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain. (Mahdhu ash-Showab, 1/316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Siroti Ibnul Khoththob, Dr. ‘Ali Muhammad ash-Shalabi, 1/150)
Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrok, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:
‘Umar bin Khoththob mengumpulkan kaum muhajirin dan anshor rodhiyallohu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun?” Kemudian ‘Ali bin Abi Tholib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud ‘Ali adalah ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian ‘Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama Hijriyah. (al-Mustadrok 4287 dan dishohihkan oleh adz-Dzahabi).
Dengan memahami latar belakang di atas, ada kesimpulan yang bisa kita berikan garis tebal,
Bahwa di zaman Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr tidak dikenal tahun baru hijriyah.
Alasan ‘Umar menetapkan acuan tahun hijriyah adalah untuk menandai setiap peristiwa dan menertibkan kegiatan korespondensi dengan wilayah lain. Atau dengan bahasa sederhana, latar belakang penetapan tahun hijriyah di zaman ‘Umar lebih terkait pada kepentingan administrasi dan tidak ada hubungannya dengan ibadah.
Segala bentuk ritual ibadah, baik sholat di malam pergantian tahun atau doa tahun baru, atau puasa akhir tahun, dst, sama sekali tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat.
Ketika ‘Umar menetapkan tanggal 1 Muharrom sebagai hari pergantian tahun, beliau tidak memerintahkan masyarakat untuk memeriahkan hari itu sebagai hari istimewa.
Karena itulah, para ulama sejak masa silam, mereka tidak pernah menganjurkan adanya ibadah khusus, apapun bentuknya, di tahun baru hijriyah. Bahkan para ulama mengingkarinya.
Dr. Bakr Abu Zaid – Pengajar di Masjid Nabawi pada 1390 – 1400 H, dan anggota Majma’ al-Fiqhi al-Islami di bawah Robithoh ‘Alam Islamiyah – (w. 1429 H) mengatakan,
لا يثبت في الشرع شيء من دعاء أو ذكر لآخر العام، وقد أحدث الناس فيه من الدعاء، ورتبوا ما لم يأذن به الشرع، فهو بدعة لا أصل لها.
Tidak terdapat dalil dalam syariat yang menyebutkan tentang doa atau dzikir akhir tahun. Masyarakat membuat-buat kegiatan doa, mereka susun kalimat-kalimat doa, yang sama sekali tidak diizinkan dalam syariat. Doa semacam ini murni bukan ajaran Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada dasarnya. (Tashih ad-Dua, hlm. 108).
Keterangan yang sama juga disampaikan Syaikh Kholid ‘Abdul Mun’im Rifa’i,
ينبغي للمسلم اجتناب تخصيص نهاية العام أو بداية العام الجديد بشيء من العبادات؛ فكل خير في اتباع من سلف
Selayaknya bagi setiap muslim untuk tidak mengkhususkan akhir tahun atau awal tahun baru dengan ibadah apapun. Karena kebaikan itu ada pada mengikuti ulama terdahulu.
Memahami keterangan di atas, satu prinsip yang layak kita pahami bersama, tidak ada doa tahun baru hijriyah. Sementara doa yang tersebar di masyarakat, yang bunyinya,
اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ….الخ.
Ya Alloh, tampakkan bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam…dst.
Doa ini shohih, diriwayatkan Ahmad, Turmudzi dan yang lainnya, dan dishohihkan Syuaib al-Arnauth. Hanya saja, doa ini bukan doa awal tahun, namun doa awal bulan. Dianjurkan untuk dibaca setiap awal bulan qomariyah. Mengkhususkan doa ini hanya ketika tahun baru hijriyah, termasuk menyalahi fungsi dari doa tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar