“Keikhlasan adalah dengan tidak melihat diri kita ikhlas.”
Amru bin Tsabit menuturkan, ketika ‘Ali bin Husain meninggal dan lalu dimandikan, pandangan khalayak tertuju pada bagian punggung cucu ‘Ali bin Abi Tholib yang kehitam-hitaman. Mereka pun bertanya, “Bekas apa itu?” Sebagian di antara mereka menjawab, dulu ‘Ali bin Husain sering memanggul berkarung-karung gandum pada malam hari untuk dibagikan kepada fakir miskin di kota Madinah. Karenanya, penduduk kota Madinah berkata, “Sepeninggal ‘Ali bin Husain tak pernah lagi terdengar ada shodaqoh sirr (sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).”
‘Ali bin Husain sebenarnya bisa saja memerintahkan orang lain untuk memikul gandum itu tanpa harus membiarkan punggungnya kehitam-hitaman. Kalaupun tidak demikian, pekerjaan itu bisa juga dikerjakannya pada siang hari. Namun, ia memilih memikulnya sendiri pada malam hari yang gelap gulita. Apa pertimbangannya? Tidak lain kecuali agar kebaikannya tidak diketahui banyak orang.
Untuk menjaga keikhlasan memang terkadang harus menempuh cara yang sedikit merepotkan. Terkesan tidak umum. Di mata Alloh SWT justru disukai karena lebih menjaga niat dan keikhlasan kita. Oleh karena itu, anjuran agar menyembunyikan kebaikan begitu kuat. Baik dari dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Dalam satu hadits dijelaskan bahwa di antara orang yang mendapatkan naungan di sisi Alloh SWT adalah mereka yang menginfaqkan hartanya dan menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikerjakan tangan kanannya. Abu Bakar ash-Shiddiq terkadang memilih waktu menjelang shubuh untuk bersedekah. Hal itu tidak lain agar kebaikannya tersembunyi.
Selalu Waspada
Berbuat kebaikan tentu saja tidak disenangi oleh setan. Sebab, tantangan orang yang berbuat kebaikan tidaklah ringan. Dalam perjalanannya pasti akan selalu berbenturan dengan godaan-godaan setan. Salah satu bagian penting yang ingin dirusak oleh setan adalah niat kita dalam melakukan kebaikan itu.
Ketika kebaikan dinampakkan terkadang perusak keikhlasan leluasa beraksi. Rasa ujub dan perasaan lebih dermawan daripada orang lain kerap muncul tanpa bisa dibendung. Niat ikhlas di awal bisa saja tidak menyertai kita sampai akhir. Ketika kebaikan kita diketahui orang banyak, rasa haus ingin dipuji terkadang lebih dominan daripada rasa ingin dicontoh.
Keikhlasan memang harus terus diupayakan dan diperjuangkan dari awal hingga akhir amalan. Perusak keikhlasan sekecil apapun harus ditendang jauh dari qolbu kita. Jangan pernah mencoba mendekat, apalagi bersahabat dengan perusak keikhlasan itu. ‘Abdulloh bin Mubarok pernah memperlhatkan kepada kita usahanya dalam mengusir perusak keikhlasan itu. Ketika itu, ia menghadiri suatu pertempuran. Sebelum pertempuran, diadakan duel satu lawan satu. Beberapa pasukan Muslimin maju melayani tantangan orang kafir. Namun Alloh SWT menakdirkan pasukan kaum Muslimin kalah. Dan dengan sombongnya, kaum kafir itu meminta ada lagi diantara prajurit kaum muslimin yang keluar melayani tantangannya.
Akhirnya keluarlah ‘Abdulloh bin Mubarok melayani tantangan orang kafir untuk berduel. Dengan mengendarai kudanya, ia merangsek maju melayani dan membunuh beberapa orang pasukan kafir yang sebelumnya telah membunuh beberapa orang pasukan kaum muslimin. Namun setelah kemenangan gemilang itu diraihnya, ‘Abdulloh bin Mubarok langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia khawatir mendapatkan banyak pujian karena berhasil mengalahkan beberapa orang.
Berlatih Ikhlas Sampai Akhir Hayat
Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amalan. Sehingga alangkah berbahagianya seseorang jika amalannya telah dinilai sebagai amalan yang ikhlas. Seorang salaf berkata, “Ikhlas sejenak adalah keselamatan abadi.”
Ikhlas tidaknya seseorang hanyalah Alloh yang mengetahuinya. Manusia hanya sebagai bisa berharap bahwa ia telah melakukan keikhlasan. Wajar jika para ulama kelihatan tidak terlalu memikirkan energi yang harus dikeluarkan untuk mengejar keikhlasan itu. Mereka beramal dan terus beramal. Dengan harapan di antara sekian banyak amalannya itu ada yang sudah memenuhi kriteria ikhlas.
Mengaku atau merasa sudah ikhlas merupakan indikasi ketidakikhlasan. Dan hal itu juga merupakan bentuk pensucian diri yang terlarang. Sehingga para salaf berpesan, “Ketika kamu merasa ikhlas, maka sesungguhnya pada saat itu kamu sangat butuh dengan keikhlasan.” Keikhlasan adalah dengan tidak melihat diri kita ikhlas. Ulama yang lain mengatakan, siapa yang merasa dirinya telah ikhlas maka sungguh keikhlasannya itu butuh keikhlasan.
Perasaan memang tak selamanya berkata jujur. Ketika setan menguasainya, bisikan yang dihembuskan oleh perasaan kita tak lebih dari bisikan-bisikan setan yang mencelakakan. Sebagai musuh, bisikan setan supaya kita merasa ikhlas jangan pernah kita ladeni. Tapi justru harus dilawan bahkan dijauhkan dari hati dan perasaan kita.
Memberi untuk Tujuan Duniawi
Salah satu bentuk ketidakikhlasan adalah ketika kita memberi untuk tujuan duniawi. Ada yang memberi karena ingin dipuji, menjabat jabatan, atau terpilih menjadi pemimpin. Atau juga memberi dengan tujuan ingin mendapatkan keuntungan yang lebih.
Memberi untuk tujuan duniawi adalah pemberian yang merugikan. Tak sedikit pun yang akan didapatkannya di akhirat. Pada saat ia sangat membutuhkannya, Alloh SWT justru tidak memberikannya. Alloh SWT berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Hud [11]: 15).
Berbuat untuk tujuan duniawi bisa mengecilkan bahkan menghanguskan nilai amalan kita. Jihad yang merupakan amalan mulia dalam Islam, bisa tidak bermakna jika dilakukan tidak karena Alloh SWT.
Abu Musa Al-Asy’ari pernah menceritakan, seorang lelaki datang kepada Rosululloh SAW dan bertanya, “Seorang bertempur karena harta rampasan, yang lain bertempur karena ingin terkenal, yang lain bertempur supaya dilihat posisinya. Siapakah di antara mereka yang berada di jalan Alloh? Siapa yang berperang untuk menegakkan kalimat La Ilaaha Illalloh maka dia berada di jalan Alloh.” (HR. Bukhori).
Qotadah berkata, “Siapa yang tuntutan dan niatnya dalam beramal adalah dunia, Alloh SWT akan membalasnya di dunia karena kebaikannya. Kemudian ia menuju akhirat dan tidak ada kebaikannya yang diberikan ganjaran. Adapun orang mukmin, maka kebaikannya akan dibalas di dunia dan diberikan ganjaran di akhirat.”
Berbuat kebaikan untuk tujuan dunia menghilangkan ganjaran. Bahkan lebih berbahaya lagi adalah Alloh SWT akan memberikan kepadanya hukuman yang berat. Dalam hadits disebutkan bahwa di antara orang yang pertama kali dinyalakan untuknya Jahanam adalah orang yang bersedekah dengan tujuan supaya dikatakan sebagai dermawan. Semoga kita diberikan taufik untuk selalu ikhlas dalam beramal. Aamiin.
Dikutip dari: Ahmad Rifai, Suara Hidayatullah Edisi 9|XXIV|Januari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar