Kalau kemudian ia menikah dengan Muhammad, pemuda miskin yang yatim piatu itu, bukan karena tak ada orang yang meminangnya. Telah banyak yang datang kepadanya, dan sebanyak itulah ia tidak bersedia menjadi istri. Padahal mereka adalah orang-orang kaya, orang-orang berpengaruh, orang-orang terhormat, orang-orang dari kalangan bangsawan, dan orang-orang yang sangat diperhitungkan di antara kaumnya.
Ia memilih Muhammad karena ia menyukai. Ia memilih Muhammad karena ia tahu akhlak Muhammad yang tinggi dan perilakunya halus. Kepada Muhammad ia mengatakan, “Wahai Muhammad, aku senang kepadamu karena kekerabatanmu dengan aku, kemuliaanmu dan pengaruhmu di tengah-tengah kaummu, sifat amanahmu di mata mereka, kebagusan akhlakmu, dan kejujuran bicaramu.”
Ketika simpati itu ada, dan perasannya menguat, Khodijah mulai berketetapan bahwa Muhammadlah yang paling berhak untuk menjadi suaminya. Sebaik-baik orang yang pantas untuk didampingi dengan kesetiaan penuh dan kecintaan yang dalam adalah Muhammad.
Ketika perasaan itu menguat dan ketetapan sudah bulat, ia menyuruh pembantu laki-lakinya Maisaroh untuk memperhatikan gerak-gerik Muhammad. Ia mengirim utusan kepada Muhammad untuk memintanya berangkat ke Syam membawa barang dagangan Khodijah dalam suatu kafilah. Khodijah menyertakan Maisaroh dalam kafilah itu agar dapat memperhatikan gerak-gerik dan tingkah lakunya dari dekat. Sehingga Khodijah memperoleh keterangan dari orang yang benar-benar mengetahui, tidak menurut kabar burung yang belum jelas kebenarannya.
Khodijah kemudian memberanikan diri untuk menawarkan diri kepada Muhammad. Ia berharap Muhammad akan menangapi pikiran dan perasaannya, tetapi ia tidak melihat tanda-tanda yang menunjukkan hal itu pada diri Muhammad. Ia ingin menjajagi bagaimana sesungguhnya pikiran dan perasaan Muhammad. Karena itu, Khodijah kemudian meminta temannya, Nafisah binti Munayyah, menemui Muhammad.
Di sejumlah buku siroh, kita dapati nukilan percakapan antara Nafisah binti Munayyah dengan Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu belum menjadi rosul. Saya tidak berani mengutipkan di sini karena percakapan tersebut tidak memiliki sandaran riwayat yang kuat. Karena itu, saya memilih untuk menyampaikan hal-hal pokok terkait peristiwa ini, yakni atas perantaraan Nafisah binti Munayyah, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam akhirnya berkenan menikah dengan Khodijah al-Kubro. Ketika Muhammad tidak memiliki harta yang cukup untuk disebut besar.
Tepat pada waktu yang telah ditetapkan bersama oleh keluarga dari kedua belah fihak, berangkatlah Muhammad bersama beberapa orang paman beliau, dipimpin oleh Abu Tholib, untuk secara resmi menyampaikan lamaran kepada Khodijah. Ketika masanya tiba, sejarah pun mencatat peristiwa akad nikah yang paling barokah. Tak ada yang lebih barokah dari pernikahan itu sesudahnya.
Begitu kisah pernikahan Siti Khodijah dan Muhammad Rosululloh Saw. Ada perasaan yang mendahului pada diri Khodijah karena terkesan oleh akhlaknya, kemudian diseriusi dengan usaha untuk mencapai pernikahan. Kelak dari pernikahan ini, lahir manusia-manusia suci yang dimuliakan Alloh. Lahir Zainab yang memiliki putri Umamah. Lahir Fathimah yang dari rahim sucinya Alloh mengaruniakan keturunan paling mulia, Al-Hasan dan Al-Husain.
Jadi, kalau suatu saat ada rasa simpati yang tumbuh kepada seorang ikhwan, tanyakanlah kesungguhan hati Anda. Jika perasaan itu terus mekar dan memantapkan keinginan untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya, periksalah akhlak dan agamanya. Anda bisa mencari seorang Maisaroh yang dapat memperhatikan gerak-geriknya dari dekat, sehingga Anda mendapatkan informasi mengenai akhlak, agama, dan sikapnya dari orang yang memang mengetahui sendiri. Bukan dari cerita-cerita yang tak jelas sumbernya. Anda bisa mengingat kisah percakapan ‘Umar dengan orang yang akan menyampaikan informasi mengenai seseorang.
Kalau Anda telah mendapatkan informasi yang semakin meyakinkan Anda, kini usaatnya Anda bisa mencari seorang Nafisah binti Munayyah untuk menjajagi perasaan dan pikiran orang yang Anda harapkan. Seorang wanita yang matang lebih bisa membicarakan masalah-masalah gerak hati wanita dan menyelami pikiran laki-laki. Apalagi kalau sudah mempunyai beberapa anak.
*** Ini merupakan nukilan dari tulisan lama yang tidak saya publikasikan. Saya tulis sekitar tahun 1996 atau 1997. Kadang terbetik keinginan untuk menerbitkan naskah keseluruhan beserta bab lain, sebuah tulisan bertajuk Masih Ada Tempat untuk Cinta. Tapi rasanya saya sudah terlalu tua untuk bicara cinta. :-)
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar