hidup
tidak dihitung dari jumlah nafas yang kita hirup
hidup,
ternilai dari berapa kali nafas terhenti karena takjub dan anehnya
keajaiban
justru hanya memberi kejutan, pada mereka yang percaya
Dalam perbincangan
sebelum ini, kita telah belajar berprasangka baik kepada Alloh dan meyakini
bahwa Dia menyertai prasangka hamba-Nya. Mari kita kuatkan lagi cara pandang
itu sembari melatih baik sangka pada orang-orang yang ada di sekitar kita.
Kadang, kita merasa mereka menyakiti. Tapi seringkali, sebenarnya mereka justru
ingin membantu kita. Dengan prasangka baik, bantuan itulah yang akan kita rasa.
Bukan rasa sakitnya.
Satu waktu,
mungkin mereka memang malah menaburkan tanah ketika kita jatuh dan perlu uluran
tangan. Bisa kacau memang. Tapi ya, begitulah. Dengan prasangka baik bisa saja
guyuran tanah itu benar-benar menolong kita tanpa melukai dan menyakiti.
Semuanya kembali ke soal cara pandang berdasar prasangka yang kita bangun.
Seperti kisah tentang seekor keledai tua, milik seorang petani tua, yang pada
suatu sore terperosok ke dalam sebuah sumur tua.
Petani itu begitu
menyayangi keledainya, sahabat perjuangan selama belasan tahun menyambung
hidup. Si keledai adalah andalannya untuk membajak ladang, menjerai benih, dan
mengangkut panen. Kini, keledai itu meringkik-ringkik di dalam kegelapan sumur
di bawah sana. Mungkin ia kesakitan, mungkin ketakutan, mungkin kebingungan.
Maka dicobanya segala cara untuk menolong sang keledai agar bisa keluar.
Dia berpikir
keras. Mula-mula disambarnya segulung tali. Diulurkannya ke bawah. Diteriakinya
sang keledai agar menggigit tali itu. Ditariknya kuat-kuat, tapi dia justru
terpelanting menarik utasan tali itu. Cara ini tak berhasil. Dilemparnya lagi
ke bawah. “Ambil tali itu,” serunya, “Ikatkan ke tubuhmu! Akan kutarik kau ke
atas!” Ini pun tidak bisa.
Lalu diikatnya
tali itu membentuk laso. Diulurkannya ke bawah lagi. Diserunya sang keledai
masuk ke simpulan laso. Ditariknya perlahan. Berat. Berat sekali. Dan sang
keledai berseru-seru serak. Sepertinya dia kesakitan dan tersiksa. Oh itu,
hanya bagian lehernya yang terjerat. Gagal lagi. Dicobanya segala cara dengan
tali. Dan hasilnya masih nihil. Dia mulai merasa sia-sia dan tak berguna.
Menerawang sejenak,
dilihatnya ada rumpun bambu di dekat situ.
Dengan golok,
dipapasnya sebatang sedang yang tampak kuat. Lalu dia mencoba mengulurkannya ke
dalam sumur. “Jepit bambu itu dengan kaki-kakimu!” teriaknya, ”Akan kuungkit
kau naik!” Berulang-ulang dia mencoba mengungkit dan mengungkil. Dan selalu
gagal. Segala cara dia kerahkan dengan bambu. Segala upaya dia coba. Sesekali
dia padukan tali dengan bambu. Tapi semuanya nihil hasil. Dicobanya pula
balok-balok kayu. Dengan segala rekadaya. Dan ia makin lelah. Dan harapnya
makin menguap. Merembes keluar dari jiwa bersama keringat yang mengkuyupi
pakaiannya.
Matahari makin
rendah di barat sana, hari kian senja. Dan sang petani telah mengambil
keputusan bersama keputusasaannya. Dia akan menimbun sang keledai. Biarlah si
keledai tua beristirahat di sana. Rehat yang damai setelah belasan tahun
pengabdian. Biarlah. “Keledaiku tersayang… Terima kasih atas persahabatan kita.
Kini saatnya engkau beristirahat. Rehatlah dengan tenang.”
Matanya basah.
Dadanya sesak. Tangannya tertahan. Tapi dia mulai mengayunkan cangkul. Setimbun
demi setimbun tanah meluncur ke dasar sumur.
Si keledai marah
ketika segenggam tanah pertama mengenai punggungnya. Ketika datang yang kedua
meluncur berdebam, dia menghindar. Tapi kian lama, dia makin tahu apa yang
harus dilakukannya. Dia mengangkat kakinya, naik ke atas tiap timbun tanah yang
jatuh ke dasar. Kadangkala ia harus bergerak ke kanan atau kiri, menghindari
bongkahan tanah yang meluncur bertubi-tubi. Atau menggoyang tubuhnya
hebat-hebat, agar guyuran tanah yang menimpa punggungnya gugur ke bawah. Dan
dia terus naik.
Tiap kali ada
tanah mengguyur turun, dia naik ke atasnya. Tiap kali ada bongkahan meluncur
jatuh, dia naik, dan terus naik.
Hingga senja tamat
menjadi malam. Sang petani yang bersedih mengira bahwa dia telah sempurna
menguburkan keledai kesayangannya. Dalam lelah, dalam payah, dalam duka yang
menyembilu hati dia berbaring di samping sumur. Sejenak memejamkan mata,
menghayati gemuruh dalam dadanya. Diam-diam, hatinya menggumamkan do’a. dan
saat itulah, sang keledai meloncati tubuhnya dengan ringkikan bahagia, keluar
dari sumur tanpa kurang suatu apa.
Itu keajaiban baik
sangka.
Tugas kita adalah
berbaik sangka. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai musibah, mungkin saja
bukanlah musibah itu sendiri. Bahwa yang seringkali kita anggap sebagai
penderitaan, bisa jadi adalah pertolongan Alloh dari jalan yang tak kita
sangka-sangka. Bahwa sesama yang zhohirnya akan menyakiti, bisa jadi punya niat
mulia di dalam hatinya. Bahwa kalaupun niatnya tak suci, kita tetap bisa
mendapatkan kebaikannya. Dengan prasangka baik.
***
Dalam dekapan
ukhuwah, kita mengembangkan berbagai sudut pandang untuk selalu berprasangka
baik pada sesama. Seperti dilakukan seorang ‘alim bernama Tholhah ibn ‘Abdillah
ibn ‘Auf. Tercatat dalam kitab Roudhotul
‘Uqola karya Imam Abu Hatim, bahwa suatu hari sang istri, ‘Aisyah binti
‘Abdillah ibn Muthi’ al-Aswad mengajaknya bicara. “Demi Alloh, hai saudaraku,”
keluhnya, “Aku tidak pernah menemukan orang yang lebih buruk sifatnya dari
sahabat-sahabatmu.”
Tholhah agak
terkejut mendengar kata-kata istrinya. “Demi Alloh,” ujarnya, “Jangan sampai
mereka mendengar kata-kata ini. Sifat buruk apakah yang kau maksud itu,
Sayang?”
“Demi Alloh, sifat
buruk itu tampak sangat jelas.”
“Apakah gerangan?”
“Jika engkau dalam
keadaan senang,” kata sang istri, “Mereka datang dan menemuimu. Namun jika
engkau susah, mereka menjauhimu.”
“Sebenarnya tidak
seperti itu,” timpal Tholhah sambil tersenyum. “Aku justru melihatnya sebagai
budi yang mulia.”
“Apa maksudmu
menganggapnya sebagai budi yang mulia?”
“Memang demikian,”
tegas Tholhah. “Mereka hanya berkunjung di saat kita sedang mampu menjamu. Saat
kita sedang tidak sanggup menjamu, mereka memahaminya. Lalu mereka tidak datang
kemari.”
Dinukil dari Dalam
Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar