Rabu, 20 April 2016

Paradigma Baru Khilafah Islamiyah

Pengantar
Bila membahas Khilafah Islamiyah atau dengan bahasa lain Pan-Islamisme maka asosiasi kita langsung mengarah kepada Hizbu Tahrir (HT) yang lantang mengumandangkan tentang Khilafah. Setiap ada permasalahan yang membelit bangsa ini atau dunia pada umumnya, maka HT akan segera lantang mengatakan bahwa Khilafah adalah solusi dan semua masalah akan selesai jika sudah terbentuk Khilafah. Padahal selain HT, Ikhwanul Muslimin (IM) juga memiliki gagasan mengembalikan Khilafah, namun bedanya bila HT tidak menjelaskan bagaimana metodologi mencapai Khilafah tersebut, maka IM menegaskan mereka menempuh cara reformasi dan masuk ke dalam sistem politik yang ada. Sedangkan HT anti kepada sistem politik demokrasi sehingga lebih merupakan pressure group yang sering turun ke jalanan, berdakwah secara horizontal-kultural dan mendatangi partai-partai Islam di DPR untuk memberikan saran dan masukan terkait dengan pembentukan undang-undang yang mencerminkan nilai-nilai Islam.

Bila dipetakan ada polarisasi antara kubu yang pro Khilafah dan yang anti Khilafah. Kubu pertama yang meyakini gagasan untuk memunculkan Khilafah ini pun terbagi dua yakni antara gerakan Islam Hizbu Tahrir (HT) yang menempuh cara melalui dakwah kultural dengan gerakan Islam Ikhwanul Muslimin (IM) yang meyakini metode perjuangan berupa reformasi yang legal, formal, dan konstitusional. Sedangkan kubu kedua yang anti Khilafah direpresentasikan di satu sisi oleh kelompok Salafiy yang apolitis dan kelompok Muslim sekuler yang menganggap ide Khilafah adalah utopia semata serta di sisi lain negara-negara Barat yang menganggap wacana dan realisasi Khilafah sebagai bahaya laten bagi hegemoni Barat. Negara-negara Barat yang terdiri dari AS yang selalu membela kepentingan Israel dan negara-negara yang tergabung di dalam Uni Eropa menganggap ide pembentukan Khilafah atau yang mereka sebut pula sebagai ‘Islamic super power” adalah ancaman bagi kepentingan mereka melestarikan hegemoni militer, politik, dan ekonomi atas negara-negara Muslim.

Jika di akhir abad 18 dan 19 negara-negara Muslim di Asia dan Afrika dengan kekayaan alam yang luar biasa adalah negara-negara jajahan yang mereka eksploitasi secara militer dan ekonomi dengan cara mencaplok dan menduduki wilayahnya, maka kini bentuk penjajahan mereka terutama dalam bentuk teknologi, ekonomi, dan budaya. Bila dahulu ide Pan-Islamisme Sultan 'Abdul Hamid II dianggap ancaman oleh negara-negara Barat, maka kini ide ‘Islamic super power’ yang akan menyatukan negara-negara Muslim dalam suatu zona kerjasama sosial, politik, budaya, dan ekonomi menjadi ancaman pula bagi Barat. Oleh karena itu, gerakan reformasi dan demokratisasi yang disebut “Arab Spring” di negara-negara di Afrika dan di Timur Tengah justru dipadamkan dan dianulir sendiri oleh negara-negara penganjur demokrasi dengan cara menggerakkan agen-agen mereka di negeri-negeri tersebut untuk melakukan kudeta. Barat dengan sadar memilih sikap standar ganda dan melakukan gerakan kontra-Arab Spring.

Mayoritas Muslim dan gerakan Islam termasuk gerakan Islam moderat seperti Ikhwanul Muslimin memandang demokrasi sebagai sistem yang netral dan merupakan alat untuk mewujudkan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, gerakan Salafiy yang memiliki prinsip anti politik dan Hizbut Tahrir yang walaupun berpolitik memilih tidak masuk ke dalam sistem, menganggap demokrasi bukan berasal dari Islam. Robert W. Hefner menawarkan sikap kritis terhadap demokrasi dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan budaya lokal sebagai jalan tengah di antara umat Islam yang menerima secara utuh maupun yang menolaknya mentah-mentah.

Terkait dengan wacana Khilafah, ada baiknya dilakukan lebih dulu kilas balik seputar keruntuhan Khilafah terakhir di awal abad 20 yakni Khilafah Turki Utsmani:

Latar Belakang Historis Keruntuhan Khilafah Terakhir
Khilafah terakhir adalah Kekholifahan Turki Utsmani yang bertahan lama selama lebih kurang 6,5 abad yakni dari tahun 699 H-1342 H atau 1299-1924 Masehi. Khilafah ini runtuh di awal abad 20 yakni tepatnya pada tahun 1924, oleh sebuah konspirasi Young Turken hasil didikan Perancis dengan negara-negara Barat yang sudah lama menganggap Khilafah Turki Utsmani sebagai ancaman global bagi mereka. Dan Turki modern saat ini adalah sebuah negara yang berasal dan berakar dari Kekholifahan Turki Utsmani. Khilafah yang juga disebut dengan Ottoman Empire. Khilafah atau imperium ini berjaya selama beberapa abad hingga awal abad 20 dan kemudian menurun serta akhirnya runtuh seiring dengan kebangkitan Eropa dan Rusia.

Proses keruntuhan Khilafah Turki Utsmani menurut Profesor Mehmet Ali Behan, guru besar ilmu sejarah, Marmara University, Istanbul, bermula ketika di tahun 1820-an dibuat sebuah perjanjian antara negara-negara Eropa, Rusia dengan Turki Utsmani berupa proyek nizhom jadid atau tatanan baru, yang berisikan rekomendasi dan dorongan agar Turki secara militer dan manajemen sama majunya dengan negara-negara Eropa atau dengan kata lain terjadi reformasi.[1] Sebelumnya pada tahun 1808, upaya reformasi militer juga sudah dilakukan sehingga menyulut pemberontakan militer. Namun kemudian secara bertahap terjadi reformasi dalam hal militer dan manajerial pemerintahan di Khilafah Turki Utsmani.

Pada masa itu wilayah Ottoman Empire melingkupi tiga benua yakni Asia, Eropa, dan Afrika, sehingga membawahi beragam suku, qobilah, dan agama. Maka tak heran banyak problematika dan banyak pula terjadi kudeta. Eropa pun terus melakukan sorotan dan tekanan terhadap Khilafah Turki Utsmani dengan menekankan bahwa di Khilafah ada begitu banyak problem. Kemudian kaum muda Turki hasil didikan Perancis yang disebut Young Turken, mulai gencar memunculkan ide perubahan lewat tulisan di media-media, yakni ingin membentuk sistem parlementer, yang sedang menjadi trend baru di Eropa.

Padahal sebenarnya keinginan anak muda Turki tersebut tidak memiliki akar filosofis yang jelas, selain hanya meniru revolusi yang terjadi di Perancis yang terkenal dengan slogannya Egalite, Fraternite, dan Liberte (kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan). Young Turken ingin mengadopsi bulat-bulat sistem dari Perancis dan menerapkannya di Turki, namun mereka lupa bahwa ada perbedaan yang mendasar antara Perancis dan Turki. Bila di Perancis ada perbedaan kasta antara kaum bangsawan atau borju dengan kaum proletar, maka tidak demikian halnya di Turki. Di Turki bisa dikatakan hampir tidak ada feodalisme, tidak ada diskriminasi berdasarkan kasta dan golongan karena memang tidak ada perbedaan kasta. Di negara Turki Utsmani, bisa saja anak seorang petani menjadi wali kota, bila menempuh pendidikan tinggi. Presiden Erdogan sendiri menjadi contoh nyata seorang anak yang berhasil menjadi pemimpin, berasal dari kelas menengah bawah yang sekolah di madrasah dan pernah menjadi pedagang asongan serta marbot masjid. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Perancis yang sangat feodal. Selain itu di Khilafah Turki Utsmani juga telah ada kebebasan beragama sejak dulu karena melingkupi juga wilayah-wilayah orang-orang non-Muslim dan mereka bebas menjalankan agamanya.

Namun tetap saja ketika Young Turken ini kembali ke Turki, mereka melancarkan serangan kepada pemerintahan Khilafah Turki Utsmani melalui media dan sarana lainnya. Pada 1876, Young Turken membentuk sebuah organisasi dan memberontak kepada pemerintahan Sultan 'Abdul 'Aziz yang akhirnya berhasil mereka gulingkan. Setelah menggulingkan Sultan, mereka pun membentuk sistem monarki parlementer dengan simbol pemimpin tertinggi tetap seorang sultan yakni Sultan Murod. Dari Sultan Murod kemudian dilanjutkan dengan Sultan 'Abdul Hamid II, yang merupakan salah satu sultan terhebat dengan masa memerintah terlama yakni selama 33 tahun (30 Agustus 1876-30 April 1906).

Walaupun Turki sudah mengalami reformasi, tetap saja memiliki banyak problematika. Selain masalah politik intenal, juga ada ancaman dari luar yakni pemberontakan Armenia yakni di Timur Turki dan juga Etnis Kurdi. Terlebih lagi kedua etnis yang memberontak tersebut sangat didukung oleh Eropa untuk merebut kemerdekaannya. Sementara itu di sisi lain, zionis Yahudi terus menekan karena mereka ingin membentuk negara Yahudi atau Israel di Palestina yang saat itu berada di wilayah Khilafah Turki Utsmani. Theodore Herzl, tokoh Yahudi yang sudah 6 kali datang ke Istanbul, baru diterima oleh Sultan 'Abdul Hamid II pada 1898. Pada pertemuan itu, Herzl menawarkan tiga bentuk kerja sama: pertama, membantu masalah finansial Turki Utsmani dengan membayarkan hutang (kantong-kantong finansial saat itu sudah di tangan Yahudi). Kedua, mengendalikan dan mengontrol media (dilakukan Yahudi hingga saat ini). Ketiga, mereka juga menawarkan untuk meredakan pemberontakan separatis Armenia. Dan ‘hebatnya’ kompensasi bagi ketiga proyek besar itu ‘hanya’ dengan imbalan mereka, bangsa Yahudi, boleh ikut berdiam untuk bertani dan beternak di Palestina.

Namun Sultan 'Abdul Hamid II tak sedikit pun bergeming dan selalu menjawab dengan tegas bahwa pintu Turki Utsmani selalu terbuka juga untuk orang-orang Yahudi misalnya di wilayah seperti Andalusia. Mereka bisa migran di wilayah Turki Utsmani yang manapun kecuali tanah Palestina, karena Sultan Hamid II memahami benar tujuan mereka sesungguhnya. Tak lama kemudian melalui media surat kabar yang menjadi corong mereka “Neolinsky” di Istanbul mereka menulis artikel bahwa selama Sultan Hamid masih berkuasa, mereka tidak akan bisa menguasai Palestina. Mereka kemudian membuat rencana untuk 50 tahun ke depan, dan ternyata tepat 50 tahun kemudian yakni pada 1948, mereka berhasil mendirikan negara Israel di Palestina.

Young Turken pada tahun 1908 mendirikan gerakan Ittihad yang kemudian menjadi partai politik dan inilah masa menjelang berakhirnya Khalifah Turki Utsmani. Gerakan tersebut memang bertujuan menggulingkan Sultan 'Abdul Hamid II dan pada 31 Maret 1908 mereka berhasil menggulingkan Sultan 'Abdul Hamid II dan gerakan itu kemudian menjadi penguasa. Sebenarnya bila dengan tindakan represif Sultan 'Abdul Hamid II bisa mempertahankan kekuasaan, karena masih mendapatkan dukungan sebagian militer yang loyal. Namun beliau tidak menghendaki pertumpahan darah sehingga memilih mundur. Menurut Mehmet Ali Behan, tentu saja konspirasi tersebut ada hubungannya dengan Israel atau Yahudi tapi sulit dibuktikan.

Hal yang lain juga cukup signifikan turut menjadi penyebab keruntuhan Khilafah Turki Utsmani adalah pemberontakan negara-negara Arab setelah dihasut oleh seorang agen rahasia Inggris yang sangat terkenal, T. E. Lawrence. Lawrence menjadi mata-mata penghubung antara dunia Arab dan Inggris dengan menjadi sahabat Raja. Ia terus meyakini bahwa negara-negara Arab harus memisahkan diri dari Khilafah Turki Utsmani karena dijajah sehingga akhirnya pecah Revolusi Arab yang melepaskan dirinya dari Khilafah Islam. Selama perang, Lawrence berperang bersama tentara lokal Arab di bawah komando Amir Faisal, putera dari Sharif Hussein di Mekkah, dalam operasi-operasi gerilya yang berkepanjangan melawan angkatan bersenjata dari Imperium Utsmaniyah dengan tidak melakukan serangan frontal pada kubu Utsmaniyah di Madinah. Jalur atau rel kereta api yang menghubungkan antara Madinah dan Istanbul pun dicopot oleh negara Arab (Wikipedia: T.E. Lawrence )

Namun yang jelas sisi Sultan Abdul Hamid II memang memiliki ide Pan-Islamisme untuk menyatukan negeri-negeri Muslim, dan hal dianggap ancaman oleh negara-negara Eropa yang memiliki negara-negara jajahan di negeri-negeri Muslim di Asia dan Afrika. Sebenarnya runtuhnya Khilafah Turki Utsmani bukan semata-mata karena memiliki wilayah yang terlalu luas dan penduduk yang terlalu majemuk menjadi problem, walaupun kedua hal tersebut juga menjadi problematika saat itu. Namun sebenarnya lebih karena daerah-daerah yang dikuasai Khilafah Turki Utsmani adalah daerah-daerah yang kaya seperti lembah subur Mesopotamia yang terletak di antara sungai Eufrat dan Tigris. Daerah tersebut selain bisa dibuat pertanian ternyata juga mengandung minyak. Hal tersebut jelas membuat Barat menginginkan untuk menguasai wilayah-wilayah tersebut dan mengeksploitasi kekayaan alamnya. Ditambah lagi motif ideologis yang dimiliki Yahudi untuk menguasai Palestina. Mereka mengawali usahanya dengan menyebarkan ide perubahan dan pembaharuan di antaranya ide reformasi dan demokrasi, padahal mereka hanya menjadikannya sebagai alat untuk kemudian menguasai negeri-negeri Muslim yang kaya tersebut. Sebenarnya di awal abad 20, pada saat itu di negeri-negeri Muslim sudah mulai terjadi apa yang disebut oleh Samuel Huntington sebagai gelombang ketiga demokrasi.

Demokratisasi di Negara-negara Muslim
Mayoritas Muslim dan gerakan Islam termasuk gerakan Islam moderat seperti Ikhwanul Muslimin memandang demokrasi sebagai sistem yang netral dan merupakan alat untuk mewujudkan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, gerakan Salafiy yang memiliki prinsip anti politik dan Hizbut Tahrir yang walaupun berpolitik memilih tidak masuk ke dalam sistem, menganggap demokrasi bukan berasal dari Islam. [2]

Robert W. Hefner menawarkan sikap kritis terhadap demokrasi dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan budaya lokal sebagai jalan tengah di antara umat Islam yang menerima secara utuh maupun yang menolaknya mentah-mentah. Perspektif dialogis lintas kultural antara negara-negara Barat dan negara-negara mayoritas Muslim merupakan cara pandang yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern.[3] Bahtiar Effendy menganggap tidak perlu mendikotomikan antara Islam dan demokrasi, ataupun mempertanyakan apakah Islam compatible dengan demokrasi, sebaliknya yang penting adalah bagaimana dan sejauh mana Islam berperan dalam demokratisasi di Indonesia.[4]

Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan gerakan Islam tentang konsep demokrasi, faktanya demokratisasi telah memberi dampak positif bagi gerakan Islam dengan adanya peluang kebebasan. Di Indonesia misalnya demokratisasi di era Reformasi menyebabkan bermunculannya begitu banyak partai Islam. Demikian pula di Turki demokratisasi telah memberi peluang bagi gerakan Islam yang dibuktikan dengan keberhasilan RP (Refah Party) di tahun 1994 yang menjadi pemenang dan pemimpin di pemerintah koalisi dan pendiri sekaligus Ketuanya yakni Necmettin Erbakan menjadi Perdana Menteri. RP muncul sebagai varian halus dan demokratis dari politik Islam bila dibandingkan dengan versi yang dianggap lebih radikal di Timur Tengah dan Afrika Utara.[5]

Gerakan Islam di Turki dan di negara-negara Muslim lainnya telah diuntungkan dengan berkembangnya nilai-nilai demokrasi yang menekankan pada kebebasan, keterbukaan, dan kesamaan peluang serta kesiapan hidup berdampingan dalam perbedaan selama tahun 1990-an. Nilai-nilai tersebut kondusif untuk memunculkan gerakan Islam di dalam kehidupan politik bersama kelompok-kelompok sekuler. Padahal sebelumnya konflik antara prinsip-prinsip sekularisme dengan Islam telah berlangsung di Republik Turki selama lebih dari 80 tahun sejak runtuhnya Khilafah Turki Utsmani pada tahun 1924 dan kelompok Islam selalu ditekan oleh kelompok sekuler dan militer yang berkuasa.[6]

Otokritik terhadap Barat yang dianggap memiliki standar ganda dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi terkait dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan dan toleransi pada perbedaan dilakukan oleh John L. Esposito. Ia menekankan bahwa Barat seharusnya menerima dan menjalankan nilai-nilai toleransi lebih dulu dengan cara tidak memaksakan para migran Muslim di Eropa untuk memiliki kultur yang homogen dengan mereka, karena trend negara global saat ini adalah multikultural. Jadi, bukan hanya dunia Islam yang perlu memahami dan menerapkan multikulturalisme serta toleran pada pluralitas masyarakat. Bila Barat menginginkan agar dunia Islam tidak terus menaruh dendam masa lalu dan menolak segala yang berasal dari Barat termasuk demokrasi, maka Barat pun harus lebih dulu membuka diri dan tidak selalu menaruh prasangka pada dunia Islam, menyebut Islam sebagai teroris padahal mereka sendiri melakukan agresi di dunia Islam.[7] Komunikasi dialogis dalam iklim demokrasi yang saling menghargai keterbukaan dan kesetaraan adalah hal yang harus dihidupkan antara dunia Islam dan Barat dan secara fair menerima wacana atau kelompok mana yang lebih diterima oleh masyarakat di suatu negeri termasuk keleluasaan memilih pemimpinnya.[8]

Kemunculan partai-partai politik Islam menurut Greg Fealy merupakan kelanjutan aplikasi wacana yang dimulai sejak awal abad ke-20 tentang hubungan yang tidak terpisahkan antara Islam, politik, dan masyarakat yang diyakini lahir dari ide sentral: kebangkitan Islam.[9]

Demokratisasi memberi kebebasan bagi aktivis Islamisme atau aktivis gerakan Islam untuk menampilkan identitas keislamannya dalam berbagai aspek kehidupan secara lebih leluasa. Gerakan Islam menganggap Islam bukan hanya agama ritual melainkan agama yang mewarnai segala aspek kehidupan mulai dari pemerintahan, pendidikan, sistem hukum hingga kebudayaan, politik dan ekonomi. Semangat menampilkan identitas keislaman menurut Vali Nasr diawali dengan kemajuan di bidang pemikiran dan ekonomi yang memunculkan new muslim middle class. Selain itu, fenomena ini pun semakin menguat di bidang politik dengan adanya gerakan merebut kemerdekaan di negara-negara muslim terjajah ditambah pula adanya gelombang demokratisasi di pertengahan hingga akhir abad ke-20. Sebagaimana telah disebutkan di atas, negara-negara muslim tersebut terkena gelombang ketiga demokratisasi.[10]

Semangat mendirikan partai politik Islam bila ditelusuri berawal dari munculnya gerakan Islam Ikhwanul Muslimin di Mesir pada awal abad kedua puluh, Jami’at Islami di Pakistan dan gerakan Jama’ah Said An Nursi di Turki pada pertengahan abad kedua puluh. Gelombang demokrasi yang menyebar dari Barat dan memasuki dunia Islam malah menyadarkan dunia Islam untuk melepaskan diri dari imperialisme Barat dalam bentuknya yang berbeda saat ini yakni imperialisme ekonomi.[11]

Melihat siklus 7 abad kebangkitan Islam nampaknya abad 21 adalah permulaan dari kebangkitan 7 abad berikutnya. Indikator-indikator “Islamic revival” di atas adalah merupakan salah satu pertandanya. Kemajuan politik Islam dengan unggulnya partai-partai Islam di Pemilu di berbagai negara seperti Turki, Tunisia, dan Mesir (sebelum kemudian di kudeta) sebagai fenomena Arab Spring adalah juga menunjukkan luasnya spektrum semangat kebangkitan Islam. Semangat kebangkitan Islam tersebut diyakini berdampak positif bagi kemunculan kembali Khilafah Islamiyah.

Analisis
Ide Pan-Islamisme Sultan 'Abdul Hamid II yang dianggap mengancam Barat yang punya negara-negara jajahan negeri-negeri Muslim sebenarnya memang merupakan hakikat Khilafah Islamiyah itu sendiri yakni semacam kesatuan negeri-negeri Muslim yang bertujuan melindungi negeri-negeri Muslim dengan segala aset kekayaannya serta saling bekerjasama. Ide tersebut diwarisi oleh Hasan al Banna, Abul A’la Al Maududi dan Said Nursi. Mereka berada dalam satu masa atau satu generasi. Umat Islam sendiri meyakini nubuat atau prediksi Nabi SAW yang bersifat Hadits tiap 100 tahun ada mujadid, pembaharu yang akan membawa kemajuan bagi Islam. Hasan al Banna, Said Nursi yang dijuluki ‘Badi’uz Zaman’ dan Abul A'la Al Maududi diyakini para pengikutnya sebagai mujadid abad 20. Sebagaimana dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh ra:
هذا الحديث من الأحاديث الصحيحة المشهورة ، يرويه الصحابي الجليل أبو هريرة رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قال :
( إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا )
رواه أبو داود
Sesungguhnya Alloh mengutus untuk ummat ini tiap permulaan seratus tahun, seseorang yang memperbaharui urusan agama-Nya.

Selain itu bila melihat siklus 7 abad kebangkitan Islam nampaknya abad 21 adalah permulaan dari kebangkitan 7 abad berikutnya. Tiap 7 abad ada siklus naik turunnya kejayaan umat dan diyakini bahwa kejayaan Islam tersebut ditandai dengan berdirinya kembali Khilafah Islamiyah. Hanya saja persoalannya bagaimana memahami Khilafah Islamiyah dalam konteks zamannya dan bagaimana caranya membangun kembali Khilafah? Kemudian siapa yang mewarisi semangat untuk menghidupkan kembali kejayaan Islam di abad ke-21 ini dengan cara membangun kembali Khilafah Islamiyah. Pertanyaan berikutnya adalah di mana akan dibangun Khilafah Islamiyah.

Salah satu metode perjuangan yang digagas oleh Hasan Al Banna misalnya adalah metode ’ishlah’ atau reformasi yakni metode yang evolusioner, legal, formal serta konstitusional dengan memasuki sistem politik demokrasi. Keyakinan Hasan Al Banna dengan gerakan Islamnya dipertanyakan oleh Olivier Roy, ilmuwan Perancis. Roy membantah adanya kemungkinan kebangkitan Islam di berbagai lini terutama politik. Dalam bukunya “The Failure of Political Islam”, Roy meyakini bahwa kelompok Islamis atau disebut juga Islam politik akan menemui kegagalannya di dalam pentas demokrasi dan kemudian berbalik arah menjadi radikalis seperti Al Qoidah atau fundamentalis apolitis seperti Salafiy.

Mehmet Ali Behan, guru besar sejarah tersebut meyakini Turki mampu mengemban cita-cita bersama tersebut. Selain itu menurutnya pemerintahan AKP Turki sekarang dengan kepemimpinan Erdogan yang kuat, cukup kompeten untuk mengembalikan keunggulan Turki dan lebih jauh lagi mengembalikan kejayaan Islam. Menurut Behan, yang jelas di Turki sedang terjadi sebuah perubahan yang tidak bisa dibendung atau dihalangi. Behan sangat meyakini bahwa tempat bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah adalah di Turki di bawah kepemimpinan tokoh pembaharu Presiden Turki, Recep Tajip Erdogan. Namun menurut Behan cukup mustahil untuk membentuk semacam negara federal seperti Amerika Serikat, namun lebih memungkinkan untuk membangun semacam zona atau blok yang terdiri dari perkumpulan negara-negara berpenduduk Muslim, yang independen dan membangun hubungan inter-dependensi dalam kesatuan ideologi dan kerja sama yang menguntungkan. Di zaman modern dewasa ini, menurut Behan, sulit membangun Khilafah dalam paradigma lama seperti yang didengung-dengungkan kelompok Hizbu Tahrir yang berpusat di Yordan. Sebab Khilafah dalam paradigma lama adalah sebuah imperium besar yang otoriter karena menguasai dan sekaligus mengayomi banyak dengan otoritas penuh di bidang politik dan keagamaan.

Maka solusinya adalah dengan jalan tengah bukan dengan radikalisme atau cara-cara militeristik sehingga menyebabkan keterancaman Barat dan mendapatkan serangan balik dari mereka, namun juga bukan dengan menyerah dan tunduk pada kehendak Barat sehingga menyibukkan diri semata-mata pada urusan ritual keagamaan saja. Melainkan tetap aktif menyebarkan nilai-nilai Islam ke seluruh dunia agar dapat menjadi ‘rohmatan lilalamin’ baik melalui dakwah, kebajikan, kegiatan amal, dan budaya maupun melalui pendirian masjid dan penyebaran para muslim dengan memanfaatkan bonus demografi. Bonus demografi memungkinkan terjadinya langkah-langkah ekspansif untuk menyebarkan peradaban Islam serta memunculkan paradigma baru tentang peradaban Islam, paradigma baru tentang kebangkitan Islam, dan paradigma baru tentang Khilafah Islamiyah.

Sesungguhnya sepanjang sejarah telah ada empat gelombang pemikiran politik Islam: Generasi pertama adalah fase Kerosulan yang dilanjutkan dengan era Khulafaur Rosyidin. Generasi kedua adalah dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan generasi ketiga adalah Khilafah Turki Utsmani. Serta generasi keempat adalah era para pemimpin Islam dewasa ini yang direpresentasikan terutama oleh Presiden Turki, Erdogan yang menawarkan pertarungan peradaban dengan paradigma baru yakni bukan dengan menekankan keunggulan perang militeristik atau hard power, melainkan dengan soft power yakni melalui keunggulan budaya, sosial, ekonomi, diplomasi dan lain lain.

Kesimpulan     
Opsi pertama adalah Turki yang selama ini sudah menjadi mitra kehormatan Uni Eropa diterima masuk menjadi anggota Uni Eropa, memperoleh keuntungan dari berbagai perjanjian kerjasama di Uni Eropa untuk di kemudian hari malah unggul sehingga kelak bisa memimpin Eropa. Sebab menurut prediksi para orientalis seperti Prevolt dan Ernest Gellner, diprediksi Eropa akan menjadi benua Muslim melihat begitu besarnya gelombang mualaf dan larisnya Al Quran sebagai best seller book serta adanya arus pengungsi Muslim. Angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menjadi bonus demografi untuk penyebaran jumlah Muslim di seluruh dunia. Bahkan di Rusia misalnya, Islam telah menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen. Bila demikian faktanya maka Turki harus mampu menjaga keseimbangan dan keharmonisan sebagai negara anggota Uni Eropa yang mengalami kemajuan secara ekonomi dan politik dengan Turki sebagai salah satu simbol peradaban Islam yang juga teguh memegang nilai-nilai moral dan kultural yang berasal dari Islam. Bagaimana menjaga keseimbangan antara kemajuan yang berkiblat ke Uni Eropa dengan upaya menjaga Turki yang memiliki nilai-nilai tradisi dan historis yang luar biasa.

Namun Mehmet Ali Behan meyakini bahwa Uni Eropa tidak akan serius memproses penerimaan Turki sebagai anggotanya. Sebab di satu sisi sebenarnya masa depan Uni Eropa juga belum jelas, sementara di sisi lain adalah sebuah fakta bahwa Turki memiliki penduduk yang cukup banyak yakni 78 juta dan mayoritas tergolong muda serta terkategori angkatan kerja. Hal itu merupakan ancaman bagi negara-negara Uni Eropa. Selain itu perbedaan agama, ideologi, dan budaya antara Turki dengan negara-negara Eropa adalah alasan-alasan mengapa Uni Eropa boleh jadi tidak akan menerima Turki. Demikian pula Hilmi Aminuddin, pemimpin gerakan Islam yang dikenal sebagai Jama'ah Tarbiyah juga meyakini bahwa kecil kemungkinannya Uni Eropa menerima Turki. Negara-negara di Uni Eropa menurut Hilmi memiliki tiga akar peradaban yakni agama Masehi, filsafat Yunani, dan Politik Romawi. Ketiga hal tersebut tidak dimiliki oleh Turki, sehingga menurutnya kecil kemungkinannya Turki diterima untuk bergabung ke Uni Eropa.

Oleh karena itu, opsi kedua adalah sebuah situasi di mana Turki tidak diterima di Uni Eropa namun mampu bersaing dengan Uni Eropa membentuk dan memimpin yang diyakini oleh Mehmed Behan semacam blok kerjasama negara-negara Muslim. Sedangkan menurut Hilmi Aminuddin bentuk Khilafah Islamiyah adalah semacam PBB namun bukan seperti PBB sekarang yang lebih merupakan perkumpulan negara-negara pemenang Perang Dunia II (PD II) dengan negara-negara lainnya hanya sebagai pelengkap. Khilafah Islamiyah di masa kini bukanlah merupakan sebuah kekuatan superior yang menyatukan antara otoritas agama dan otoritas politik, melainkan semacam persatuan negeri negeri Muslim dalam bentuk kerja sama yang multi dimensional.

Turki diharapkan memimpin zona Islam dalam bidang ekonomi dan politik. Apalagi Turki Utsmani pernah memimpin wilayah-wilayah di tiga benua yakni Asia, Afrika, dan Eropa sehingga menjadi pusat peradaban. Maka perkembangan sekarang juga bisa mengembalikan kekuatan Turki sebagai salah satu pusat peradaban. Kini Turki pun diyakini dapat kembali leading, mencapai masa keemasan, dan menjembatani antara dunia Barat dengan Timur. Turki saat ini berpenduduk 78 juta dengan mayoritas orang muda dan angkatan kerja yang cakap dan giat bekerja keras. Selain itu juga tidak memiliki hutang dan memiliki pula kewibawaan politik. Demokratisasi juga berjalan dengan kepemimpinan sipil atas militer yang sudah dimulai sejak masa Turgut Ozal.

Apalagi bila kemudian Turki mampu mengatasi masalah-masalah dalam negeri, misalnya pemberontakan etnis Kurdi di Timur Turki serta masalah pengungsi Suriah dan Turki menjadi stabil, maka Turki sangat layak memimpin zona Islam. Sesuatu yang tidak boleh dilupakan adalah fakta bahwa Turki adalah negara yang memiliki pengaruh dan diperhitungkan baik oleh Rusia dan Amerika. Uni Eropa sebenarnya juga membutuhkan Turki. Turki dengan posisinya saat ini relatif menjadi pemimpin di kawasan, mitra kehormatan Uni Eropa, dan anggota NATO yang disegani. Selain itu, Turki juga dikagumi di dunia Islam karena pembelaannya pada Palestina dan bersedia menampung pengungsi Suriah lebih dari dua juta. Secara politik, relatif independen karena bisa memainkan hubungan yang saling membutuhkan antara Turki-Rusia, Turki-Uni Eropa, Turki-AS, dan Turki-Israel. Demikian pula secara ekonomi Turki juga sudah relatif independen dan terbebas dari hutang IMF bahkan sekarang ikut menjadi salah satu negara kreditur.

Presiden Turki saat ini yang telah memimpin Turki selama 14 tahun, Recep Tajip Erdogan, mengatakan akan membangkitkan crusade war in new paradigm atau perang salib dalam paradigma baru. Namun sekali lagi hal yang menarik adalah bahwa paradigma baru tentang perang salib adalah dengan bonus demografi. Kesadaran bahwa melahirkan adalah ibadah sangat kuat di dunia Islam sehingga angka kelahiran tetap tinggi di negeri-negeri Muslim. Erdogan pun menghimbau agar wanita Turki melahirkan minimal 3 kali dan semua ditanggung negara. Hal tersebut juga menjaga agar stok pemuda tetap cukup dan menjadi tulang punggung kemajuan Turki. Kondisi berbeda terjadi di Eropa yakni angka kelahiran yang sangat minim bahkan mendekati zero growth population menyebabkan negara-negara di Barat didominasi lansia yang memiliki harapan hidup semakin tinggi.

Erdogan juga menegaskan bahwa Khilafah baru akan bangkit kembali tepat di tempat di mana Khilafah itu runtuh, dengan kata lain tetap di Turki. Namun Erdogan juga mengatakan akan membangkitkan Kekhilafahan dengan paradigma baru. Kekhilafahan baru yang dimaksudkan Erdogan bukanlah kesatuan teritorial, melainkan lebih berupa kesatuan umat Islam yang berjuang bersama untuk memenangkan kejayaan Islam dan peradaban Islam. Boleh jadi yang memimpin gagasan kesatuan umat tersebut adalah tokoh agama atau tokoh umat dan bukan presidennya. Atau bahkan boleh jadi negaranya adalah negara mayoritas berpenduduk non-Muslim, namun jika umat Islam yang tinggal di dalamnya memiliki kesatuan keyakinan dan kesatuan cara hidup yakni dalam bingkai nilai-nilai Islam, maka sesungguhnya mereka tergabung dengan ikatan yang kokoh.

Sebab Khilafah dalam paradigma baru adalah kesatuan aqidah, kesatuan hati, cita-cita, dan kesatuan cara hidup sehingga seolah-olah di bawah dengan komando yang sama. Khilafah Islamiyah yang memiliki otoritas penuh di bidang politik dan keagamaan memang sudah tidak ada lagi, namun secara substantif memiliki otoritas di hati umat yang mentaatinya dengan suka rela tanpa paksaan. Khilafah dalam paradigma baru adalah bagaimana dunia Islam mampu memerangi musuh utama berupa kezholiman, ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan, dan kebodohan. Khilafah dalam paradigma baru adalah bagaimana dunia Islam mencapai kemajuan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi di samping juga memiliki kekuatan militer sebagai bentuk pertahanan dan perlindungan.

Oleh karena itu, slogan untuk kebangkitan kembali Khilafah adalah Turkiye Hazir Hedef 2023 (Turki siap menghadapi tahun 2023) yakni tepat 100 tahun keruntuhan Khilafah Turki Utsmani yang notabene adalah pembangunan terowongan sebagai jalur penghubung ketiga di selat Bosporus yang menghubungkan antara Asia dan Eropa, sehingga diharapkan arus perdagangan dan pembangunan ekonomi meningkat. Dengan kata lain, konsep Khilafah dalam perspektif ekonomi. Dan akhirnya yang terpenting adalah bahwa Khilafah dalam paradigma baru adalah memenangkan peradaban Islam dalam sebuah pertarungan peradaban yang disebut Samuel Huntington sebagai clash of civilization.
°°°

[1] Wawancara dengan Prof Mehmet Ali Behan, guru besar dalam bidang sejarah di Marmara University, Istanbul dan Ustadz Hilmi Aminuddin, pendiri Jama'ah Tarbiyah di Indonesia)

[2] http://hizbuttahrir.or.id/2009/06130/demokrasi-sistem-kufur-menyalahi-orang-Yahudi-dan Nasrani-termasuk-prinsip-agama-kita. Dan lihat pula di http://koranmuslim.com/2011/jubir-salafi-mesir-demokrasi-paham-yang-berbahaya/

[3] Robert W. Hefner. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: ISAI, 2001. Hlm: 356.

[4] Bahtiar Effendy. Islam and the State in Indonesia. Singapore: ISEAS, 2003. Hlm 8.

[5] Zi̇ya Öniş. The Political Economy of Islamic Resurgence in Turkey: The Rise of the Welfare Party in Perspective Author(s): Zi̇ya Öniş Source: Third World Quarterly, Vol. 18, No. 4 (Sep., 1997), pp. 743-766 Published by: Taylor & Francis, Ltd. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3993215 Accessed: 23/07/2009 03:57 Paper presentasi di BRISMES International Conference di Middle Eastern Studies, diselenggarakan di St Catherine’s College, Universitas Oxfod, 6-9 Juli 1997.

[6] Ibid.

[7] John L. Esposito. Et. al. Siapakah Muslim Moderat? Gaung Persada Press Group, 2008

[8] Robert W. Hefner. Op. Cit.

[9] Greg Fealy. Jejak Kafilah (edisi Bahasa Indonesia). Mizan, 2005. Hlm 27.

[10] Samuel P. Huntington. Gelombang Demokratisasi Ketiga (edisi terjemahan dari “The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century”). Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997. Hlm: 13.

[11] Zayar. Revolusi Iran: Sejarah dan Hari Depannya (Ed. Terjemahan dari The Iranian Revolution: Past, Present and Future. Senin, 15 Desember 2003). Lihat diwww.marxist.com/iran-latar-belakang-sejarah.html

Kredit: Sitaresmi S. Soekanto (Doktor Ilmu Politik UI)

2 komentar:

  1. IMAM MAHDI MENYERU
    BENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA ISLAM
    SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
    bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah senjata kalian.

    Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu yang Agung
    Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !

    Firman Allah: at-Taubah 38, 39
    Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit
    sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

    Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi, sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan kedurhakaan yang besar terhadap Allah!

    Firman Allah: al-Anfal 39
    Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.

    Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan kepada manusia di bumi.
    Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka Dajjal

    Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada sesama manusia karena itu adalah FITNAH

    Firman Allah: al-Hajj 39, 40
    Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka itu. Iaitu
    orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah

    Firman Allah: an-Nisa 75
    Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
    Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)

    Firman Allah: at-Taubah 36, 73
    Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.

    Firman Allah: at-Taubah 29,
    Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..

    Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa / kampung.
    Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.

    Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
    ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera Hitam
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
    para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    email : seleksidim@yandex.com

    Dipublikasikan
    Markas Besar Angkatan Perang
    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    BalasHapus
  2. WILAYAH ASAL
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH (MELAYU)

    Bismillahir Rahmanir Rahiim

    MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
    MENERBITKAN SURAT SECARA RESMI
    NOMOR : 1436H-RAJAB-02

    PETA ASAL WILAYAH
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Maha Suci Allah yang di tangan-Nya Kekuasaaan Pemerintahan atas segala
    sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
    Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala Kerajaan, dan Dia Maha
    Kuasa atas segala sesuatu,
    Wahai Rabb Pemilik Kerajaan Langit dan Bumi maupun Kerajaan yang Ada
    diantara Keduanya, Sesunggunya Engkau Maha Kuasa atas Segala Sesuatu yang Engkau Kehendaki.

    Wahai Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
    Hamba memohon Ampun dan Kasih Sayang-Mu,
    Kami Hamba-Mu yang Dhoif Mohon Izin untuk melakukan Ijtihad Syiasah

    Allaahumma sholli alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad kamaa shol
    laita alaa aali Ibroohiim ,
    wa baarik alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad kamaa baarokta alaa aali
    Ibroohiim fil aalamiina innaka hamiidum majiid.

    Pada Hari Ini Hari Isnain 1 Rajab 1436H
    1. Kami sampaikan Kabar Gembira bahwa Asal Mula wilayah
    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu adalah dari Sabang hingga
    Maurake

    2. Wilayah Negeri dari Sabang hingga Mauroke yang dihuni oleh Umat
    Islam yang Sholeh-sholeh kami beri Namanya sesuai dengan Hadist
    Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam Menjadi Wilayah Negeri Syam.

    3. Peta Wilayah Indonesia Kami Hapus diganti dengan Nama Wilayah Syam (Negeri
    Ummat Islam Akhir Zaman)

    4. RI bubar dan Hilang, Berganti Nama Organisasi Penyamun Indonesia (OPI)

    "Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka." (QS. Al-Taubah: 73, Al-Tahrim: 9)


    Kepada para Alim Ulama cerdik cendikia Islam, Mari bersama-sama kita
    tegakkan Islam dan menjadikan AlQuran dan As Sunnah Rasulullah SAW
    menjadi satu-satunya sumber hukum yang berkuasa di Wilayah Syam.

    Umat Islam tidak layak untuk hidup tentram di-RI,
    RI adalah bagian dari Negara Zionis Internasional, Negara Dajjal.

    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah (Melayu) menghimbau melalui
    Aqidah Islam bahwa Semua Negara binaan Dajjal adalah Jibti dan Thagut
    yang harus dihancurkan, bukan menjadikannya tempat bernaung dan merasa
    hidup tentram di dalamnya sampai akhir hayat.

    Akhir Zaman adalah Masa-nya seluruh umat islam harus berperang melawan
    Zionis Internasional yang di Komandoi Israel. Waktu akan kian mendekat
    Maka Umat Islam secara terpaksa atau secara ikhlas menjadi dua
    gelombang besar wala kepada Zionis atau wala kepada Islam.

    Bila Umat Islam yang berada di Wilayah Negeri Syam ridha pasrah dan
    tunduk dibawah Tekanan OPI (organisasi Penyamun Indonesia), maka
    bersiaplah menjadi negeri yang mengerikan.

    Dan betapa banyak penduduk negeri yang mendurhakai perintah Tuhan
    mereka dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan
    hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.
    (Qs. At-Thalaq :8)

    Dan demikianlah Kami jadikan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat
    yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan
    mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka
    tidak menyadarinya. (Qs. Al-an am : 123)

    Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-
    negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat
    pedih lagi keras. (Qs. Huud:102)

    Dan berapa banyak penduduk negeri yang zalim yang teIah Kami
    binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain sebagai
    penggantinya. (Qs. Al-Anbiyaa:11)


    Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang Kafir (OPI) yang ada
    disekitar kamu, hendaklah mereka merasakan keganasan darimu,
    ketahuilah Allah bersama orang-orang yang bertaqwa (Qs. At-Taubah:123)

    ..dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
    memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
    orang-orang yang bertakwa. (Qs. At-Taubah:36)

    PANGLIMA PERANG PASUKAN KOMANDO PANJI HITAM
    Kolonel Militer Syuaib Bin Sholeh
    angsahitam@inbox.com

    BalasHapus