Rabu, 20 April 2016

Memahami Citarasa Berjama'ah

"Al arwahu junuudun mujannadah." Ruh itu seperti tentara. Mereka berkumpul (berkelompok, berserikat, berjama’ah) berdasarkan kesatuannya masing-masing. Ada ciri dan karakter yang seragam disana sini. Meski begitu, sebenarnya ada banyak rasa dalam hidup berjama’ah, diantaranya:

Pertama, Pedukung
Yakni, mereka yang selalu berdiri di depan untuk melaksanakan perintah, mengamankan amanah serta memiliki kesetiaan yang tinggi untuk membela kepentingan pemimpin dan organisasinya.

Contoh nyata dari barisan pendukung adalah ungkapan khas dari 'Umar bin Khoththob ra. Jika ada orang yang tidak bersepakat dengan keputusan rosul dan bahkan membangkang, maka 'Umar biasanya akan berkata, “Ijinkan aku memenggal kepala orang munafik ini, ya Rosululloh”.

Golongan pendukung ini menjamin soliditas dan vitalitas sebuah organisasi. Terlebih jika jumlahnya signifikan. Meski demikian, seorang pemimpin harus mengarahkan golongan ini agar tidak bertindak melampaui batas dan kewenangan.

Contohnya, nasehat Kholifah Abu Bakar kepada 'Umar. 'Umar marah kepada orang yang tidak mau taat kepada perintah Kholifah Abu Bakar dan kalimat khasnya pun keluar, “Ijinkan aku memenggal kepala orang munafik ini, ya Abu Bakar”. Kholifah Abu Bakar menyanggah sambil berkata, “Ya Umar, hak seperti itu hanya untuk Rosululloh”.

Kedua, Penurut
Yakni mereka yang mengedepankan ketaatan, meski memiliki pandangan yang berbeda. Golongan ini menjamin tegaknya stabilitas dan tertib sosial.

Contohnya adalah sikap yang ditunjukkan oleh 'Abdulloh Ibnu Mas’ud di masa kepemimpinan Kholifah 'Utsman bin Affan. Ibnu Mas’ud mengucapkan istirja’ atas kebijakan 'Utsman bin Affan yang melaksanakan sholat secara sempurna (tidak di qoshor) di Mina. Karena hal itu menyalahi tradisi yang berlaku sejak masa Rosululloh, Abu Bakar, dan 'Umar. 

Meski begitu, 'Abdulloh ibnu Mas’ud akhirnya juga mengikuti arahan dari Kholifah 'Utsman bin Affan. Saat sebagian shahabat bertanya tentang hal itu, Ibnu Mas’ud menjawab, “Meng-qoshor shalat itu lebih utama, hanya saja aku tidak suka bertengkar”.

Ketiga, Penyeimbang
Yakni mereka yang berani secara terbuka menyampaikan gagasan, ide, ilmu, dan pandangannya kepada pemimpin maupun khalayak. Mereka sama sekali bukan kelompok oposan, pembangkang apalagi pemberontak.

Pada masa Amirul Mukminin 'Umar bin Khoththob, mereka diwadahi dalam majelis khusus. Jika mengalami masalah yang pelik, 'Umar biasanya akan mengundang sekelompok shahabat dengan kategori tertentu, seperti pemuka kaum muhajirim, kaum anshor, ahli Badar dll. Di forum itu mereka bebas berkata apa saja, mulai dari memberi masukan hingga mengkritik kebijakan 'Umar.

Pemimpin berkewajiban untuk mendengarkan saran dan masukan dari siapapun, tapi tidak berkewajiban untuk mentaatinya. Sebagaimana sikap Imam 'Ali bin Abi Tholib kepada 'Abdulloh bin Abbas, dimana nasehat darinya kadang diterima, kadang ditolak.

Khotimah
Dibalik kebesaran sebuah jama’ah, disana ada keragaman sifat dan karakter anggotanya. Interaksi yang terbangun juga beragam, dari kerjasama, kompetisi bahkan konflik. Indahnya berjama’ah adalah saat kita mampu merajut harmoni di tengah perbedaan dan menjalin cinta di tengah kebekuan. 

Citarasa hidup berjama’ah terbangun saat kita mencoba menjadikan sebuah jama’ah menjadi rumah besar yang bisa menampung seluruh anggotanya dan tinggal didalamnya dengan nyaman. Ini bukan hanya tugas para pemimpin dan pembesar, tapi juga tugas kita yang berstatus akar rumput.

Eko Junianti, SE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar