Kamis, 21 April 2016

Why Always Me; Wacana Kritis Hari Kartini

Diantara berbagai macam hari besar yang diperingati oleh bangsa Indonesia, mungkin hari Kartini yang agak problematis dan mengundang kontroversi. Pasalnya memang ada beberapa catatan kritis yang perlu diklarifikasi. Diantaranya:

Pertama, Sangat Personal
Mari kita buka hari-hari besar nasional, maka akan didapati bahwa ada peristiwa besar yang melatarbelakanginya atau ada pencanangan ide dan gerakan moral tertentu. Misalnya, hari Proklamasi kemerdekaan, hari Kesaktian Pancasila, hari Sumpah Pemuda, hari Pendidikan Nasional, hari Anak Nasional, hari Buruh, hari Bumi, hari Air, hari Ibu dll.

Pada kasus kita memperingati hari lahir seseorang, biasanya karena memiliki nilai spiritualitas tertentu, seperti hari Natal (Kristen), Maulid Nabi (Islam), hari Trisuci Waisak (umat Buddha). Di titik ini, kita jadi bingung menempatkan konteks Hari Kartini, karena memang sangat personal. Tidak ada pahlawan bangsa yang diperingati harinya secara personal sebagaimana Kartini. Mengapa tidak sekalian Bung Karno diperingati hari kelahirannya? Bukankah kiprah dan jasanya lebih besar daripada Kartini?

Kedua, Kejelasan Konteks
Karena diperingati secara personal, maka lain kepala lain tafsiran. Arus utama menjadikan hari Kartini sebagai gerakan emansipasi wanita, ada pula yang menjadikannya sebagai tonggak pencerahan spiritual. Malah ada pula yang menjadikan sosok Kartini sebagai legitimasi berpoligami. Runyam urusannya kan?

Andai sosok Kartini mau dipertahankan sebagai pahlawan bangsa sebagaimana ketetapan Presiden Soekarno, maka narasi tentang perjuangan Kartini perlu diperjelas dan disepakati bersama. Karena manusia memiliki fase-fase tertentu yang berbeda karakteristiknya. Di titik mana Kartini berubah, dari gadis yang dipingit menjadi sosok pahlawan. Jangan sampai kita memperingati hari lahir seseorang pada titik sisi gelapnya, bukan setelah terjadinya pencerahan.

Jika persoalan ini tidak diselesaikan, maka kontroversi selalu mengiringi peringatan Hari Kartini. Jangankan tentang cara kita menempatkannya sebagai pahlawan dan bagaimana mengikuti jejaknya, bahkan pada tataran citra visual saja masih menyisakan perdebatan. Misalnya antara gambar yang tidak berjilbab dengan yang berjilbab. Kita tidak mau lagi mengulang perdebatan sebagaimana sosok KH. Hasyim Asy’ari yang digambarkan tidak berjenggot pada peringatan hari santri tahun lalu.

Ketiga, Pengusung Narasi
Biasanya, gelar pahlawan diberikan oleh rakyat sebagai bentuk pengakuan atas perjuangan dan pengorbanannya. Juga tidak semua yang berjuang bisa beruntung dengan diberi gelar pahlawan oleh bangsanya. Kartini memang ditetapkan sebagai pahlawan oleh Presiden Soekarno, namun pengusung utamanya adalah orang-orang Belanda, teman korespondensinya yang mempopulerkan nama Kartini. Sedangkan saat itu, Belanda menjajah Indonesia.

Secara naluri, jika ada sosok yang yang dijadikan pahlawan oleh bangsa penjajah, biasanya sarat dengan kepentingan terselubung. Mulai dari pembiasan sejarah, pembelokan fakta hingga alat dan boneka yang digunakan untuk tujuan tertentu. Karena itu diperlukan proses verifikasi sejarah secara cermat dan komprehensif agar sosok Kartini yang genuine bisa ditampilkan, berdasarkan kacamata bangsa Indonesia, bukan kacamatanya pihak luar.

Khotimah
Diantara hal radikal yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah nama hari Kartini menjadi nama hari kebangkitan atau pemberdayaan perempuan. Atau nama lain yang semisal. Dengan ini kita mengubah perayaan personal menjadi bentuk lain yang lebih komunal. Mengubah kultus individu menjadi pergerakan perempuan berskala nasional. Toh pada hari Kartini, banyak juga sosok pejuang perempuan lain yang ikut dimunculkan.

Kita sama sekali tidak menafikkan luhurnya cita-cita RA Kartini dan perempuan lain di zamannya, namun kita juga tidak boleh menutup mata atas perjuangan perempuan lain yang dengan gagah berani mengangkat senjata. Mereka juga layak mendapatkan penghargaan yang selayaknya. Wallohu a’lam bi showab.

Eko Junianto, SE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar