Kamis, 21 April 2016

Citarasa Partai Dakwah; Refleksi Milad PKS 18

Sebuah klaim bahkan menuntut adanya pembuktian, baik bagi mereka yang percaya terlebih bagi yang menentang, baik yang disengaja maupun insidental. Hal ini berlaku umum, shohih fii kulli makaan, wafii kulli zamaan.

Ambil contoh, klaim Al Qur’an. Saat Al Qur’an menjelaskan bahwa tidak ada manusia dan jin yang mampu membuat semisal dengan Al Qur’an, maka para penyair Quroisy berupaya mematahkan klaim tersebut. Termasuk beberapa nabi palsu juga membuat. Bait syairnya jadi, tapi kualitasnya jauh berbeda. Akhirnya mereka menyadari kebenaran klaim Al Qur’an tersebut.

Contoh lain, kisah Islamnya Salman Al Farisi. Saat Rosululloh saw tiba di Madinah, Salman Al Farisi tidak langsung beriman. Dia ingin membuktikan sifat-sifat rosul sesuai dengan ilmu yang dimilikinya, yakni sifat rosul menerima hadiah dan tidak menerima sedekah. Setelah ia menyaksikan sendiri perbedaan Rosululloh dalam memperlakukan hadiah dan sedekah, barulah dia yakin dan menyatakan diri masuk Islam.

Sejak awal dideklarasikan, PKS (sebelumnya PK) mentahbiskan diri sebagai partai dakwah. Isinya para aktivis dakwah, misinya berdakwah dijalur parlemen dan kebijakan umumnya adalah amar ma’ruf nahi munkar. Dalam perjalanannya, ada fase-fase pergerakan yang memiliki citarasa khas, diantaranya:

Pertama, Oposan
Elit partai, pengurus dan kader berada dalam suasana oposisi dengan penguasa. Semangat yang dibawa adalah suasana nabi Musa melawan Fir’aun, framing-nya hitam-putih dan cenderung heroik. Kita datang, berdiri tegak dihadapan penguasa, dan berteriak lantang untuk membela mereka yang tertindas dan menentang kebijakan negara yang memberatkan rakyat.

Proses advokasi dilakukan baik oleh anggota legislatif melalui sikap politiknya, para pemikir melalui tulisannya hingga para kader dan simpatisan melalui aksi demonstrasinya. Isunya khas, seperti menolak kenaikan harga BBM dan solidaritas Palestina. Harus diakui, inilah sifat genuine kader PKS yang setiap saat cenderung bersikap kritis terhadap fenomena sosial maupun kebijakan penguasa. 

Kedua, Partisipatif
Sebagian elit masuk ke lingkaran kekuasaan, khususnya lingkaran istana. Beberapa pos kementerian diambil sebagai sarana melakukan proses perbaikan dari dalam, berlatih mengelola negara hingga wujud penajaman konsep untuk membuktian jargon “Islam adalah solusi”.

Semangat yang dibawa adalah suasana Nabi Yusuf yang mampu menyelamatkan Mesir dari bencana (kemarau). Kebijakan, strategi, dan program diuji agar bisa memberi dampak positif bagi bangsa. Dalam scoop yang terbatas, PKS ingin mewujudkan swasembada beras, swasembada daging dll. 

Tidak mudah melakukan peran partisipatif dalam pemerintahan, karena banyaknya kepentingan yang bertabrakan serta fatsoen politik yang kadang membelenggu. Julukan “koalisi tidak loyal” atau “koalisi bercitarasa oposisi” sering disematkan pihak luar ke PKS. Padahal sebagai makmum, PKS juga berkewajiban mengingatkan imam jika lupa atau melakukan kesalahan.

Ketiga, Nahkoda
Ini adalah fase puncak, dimana PKS menempatkan kadernya sebagai kepala eksekutif. Semangat yang dibawa adalah suasana Nabi Sulaiman yang membawa rakyatnya (Bani Isro’il) ke zaman keemasan serta menebar dakwah ke penjuru dunia (negeri Saba’).

Ini adalah fase dimana PKS memiliki legitimasi kuat dari rakyat untuk memimpin dan melayani bangsa, leluasa untuk menjalankan program dan kebijakan sesuai dengan ideologi perjuangan yang diyakininya. Fase ini mulai dirasakan pada skala kabupaten dan provinsi. Sedangkan pada skala nasional, kita masih menunggu kesempatan agar bisa memerintah seperti di Turki dan Arab Saudi.

Khotimah
Kita beruntung diberi banyak model dakwah dari para nabi. Ada nabi yang hanya berdakwah di tengah umatnya saja, ada pula nabi yang dalam dakwahnya harus berinteraksi dengan kekuasaan. Tanpa bermaksud menegasikan pola dan strategi dakwah lainnya, karakter PKS umumnya terpola pada tiga model tersebut. Meskipun bisa jadi citarasa di satu daerah tidak sama dengan di daerah lain. Atau pola pergerakan antara realitas lokal tidak sebangun dengan realitas nasional.

Sampai disini, pergerakan elit PKS harus dibersamai secara intens oleh Dewan Syari’ah pada tingkatan masing-masing. Merekalah yang akan menuntun dan memberi kaidah tentang operasionalisasi pilihan citarasa dakwah secara praktis. Agar misi dakwah benar-benar terwujud dalam politik PKS, bukan sekedar menjadi klaim kosong tanpa makna sebagaimana sangkaan pihak luar.

Eko Junianto, SE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar