Rabu, 20 April 2016

Membersamai Kereta Dakwah

Kebersamaan itu menandakan kedekatan. Bisa dekat di mata, bisa pula dekat di hati. Kebersamaan dalam kereta dakwah, bisa karena duduk di gerbong yang sama, bisa pula duduk di lain gerbong tapi masih dalam kereta yang sama. Atau bahkan, bisa pula naik kendaraan lain tetapi menuju titik arah yang sama dengan yang dituju kereta.

Dengan beragam pola ini, kita bisa memperbanyak penumpang (pendukung) meski kapasitas gerbongnya terbatas. Bagi mereka yang berada didalam gerbong, urusannya sudah jelas, yakni mendengar dan taat. Lalu apa standar minimal yang ditetapkan bagi mereka yang berada di luar gerbong agar bisa membersamai kereta dakwah?

Pertama, Penegasan Komitmen
Komitmen bahwa pola perjuangan yang dilakukannya adalah dalam rangka mewujudkan tujuan yang sama, menuju arah yang sama serta tunduk pada aturan umum yang telah digariskan.

Pasca Sulhul Hudaibiyah, ada shahabat bernama Abu Bashir lari dari Makkah menuju Madinah. Rosululloh pun menyuruhnya kembali ke Makkah sebagaimana diktum Sulhul Hudaibiyah. Di tengah perjalanan, Abu Bashir membunuh utusan Quroisy yang menjemputnya dan membuat kamp perlawanan tersendiri di sebuah tempat.

Sebanyak 70 orang kaum mustadh’afin di Makkah lari dan bergabung dengan Abu Bashir. Karena kafilah dagangnya terus diganggu (dirampas) oleh kelompok Abu Bashir, maka kaum Quroisy berkirim surat kepada Nabi Muhammad agar kelompok Abu Bashir bergabung saja ke Madinah.

Rosululloh berkirim surat kepada Abu Bashir untuk masuk bergabung dengan kaum muslimin di Madinah. Saat menerima surat itu, Abu Bashir tengah menghadapi ajal. Dia membacanya lalu tersenyum dan meninggal. Setelah menguburkannya, 70 orang pengikut Abu Bashir ke Madinah. 

Perjuangan di luar gerbong yang dilakukan oleh kelompok Abu Bashir tidak melanggar perjanjian antara Makkah dengan Madinah (Sulhul Hudaibiyah). Hanya saja, mereka lebih bebas bertindak karena berada di luar wilayah yuridiksi Rosululloh.

Para jundi dakwah yang tidak berada dalam satu gerbong harus tetap menjaga kesatuan gerak langkah dengan jama’ah dakwah yang lebih besar. Pergerakannya lebih gesit dan kreatifitasnya lebih tinggi, namun harus dalam koridor saling menguatkan.

Kedua, Anti Intervensi Asing
Perpindahan gerbong maupun kendaraan kadang harus melalui proses yang dramatis. Jika tidak ada kebesaran hati dan manajemen konflik yang baik, seringkali kawan berubah jadi lawan. Adanya intervensi asing akhirnya menjadi bahan bakar untuk menebarkan kebencian dan mengobarkan pemusuhan.

Saat tengah konflik dengan 'Ali bin Abi Tholib, Mu’awiyah ditawari bantuan pasukan oleh Romawi. Dengan marah dia menjawab, “Jika kalian lakukan hal itu, niscaya aku akan bersatu dengan 'Ali untuk memerangimu.”

Mu’awiyah dalam posisi kuat, didukung pasukan dari negeri Syam. Adanya bantuan pasukan tentu membuat posisinya semakin di atas angin. Namun dia tidak ingin ada pihak lain (asing) turut campur dan mengambil keuntungan atas situasi yang terjadi. 

Bagaimana pun, dia sangat paham tentang keutamaan ahli bait nabi. Memerangi mereka sama artinya dengan mengundang azab Alloh. Tujuannya berperang adalah untuk menuntut had atas darah 'Utsman, dimana sebagian pelakunya ikut tergabung dalam pasukannya ‘Ali bin Abi Tholib. Jika pihak asing masuk, maka tujuannya bisa berubah.

Situasi ini terasa kontras jika dibandingkan dengan kondisi sekarang. Dimana pihak yang berkonflik membuka diri dan sangat permissif atas dukungan dan bantuan pihak luar. Mulai dari bantuan media dan pemberitaan hingga pasukan bersenjata. Akibatnya, masalah semakin kompleks, ukhuwah semakin tercabik, dan hati semakin sulit disatukan.

Boleh jadi ada para da'i dan jundi yang tidak lagi berada dalam gerbong yang sama. Namun selama mereka masih menjaga in-group feeling, baik sebagai keluarga besar jama’ah maupun sebagai umat Islam, maka kereta dakwah masih bisa melaju tanpa hambatan berarti.

Ketiga, Tegar Atas Hukuman
Hukuman dari qiyadah kepada para jundi bukan barang baru dalam Islam. Dari pemboikotan, pemecatan hingga pengasingan sudah terjadi sejak masa rosul dan generasi shahabat. Standar moral yang dipegang adalah bersabar, tidak membangkang serta tidak melakukan mobilisasi politik untuk memulihkan jabatannya semula.

Ada Ka'ab bin Malik cs yang diboikot oleh komunitas muslim sebagai hukuman karena tidak berangkat perang. Ada gelombang pemecatan yang dilakukan oleh Kholifah 'Utsman bin Affan yang efeknya cukup mengguncang bila dibandingkan gelombang pemecatan 'Umar bin Khoththob. Karena 'Umar mengganti pejabatnya dengan shahabat yang sama nilai keutamaannya, sedangkan 'Utsman mengganti pejabat dengan bagian anggota keluarganya.

Kisah yang paling tragis terjadi pada Abu Dzar Al Ghifari. Karena kritiknya yang sangat keras, akhirnya dia diasingkan ke Robadzah oleh Kholifah 'Utsman bin Affan. Abu Dzar ikhlas menjalani pengasingan seorang diri, tanpa menggalang kekuatan untuk menentang 'Utsman kendati dia termasuk shahabat senior.

Mengapa mereka sabar, menerima dan tunduk dengan kebijakan para kholifah meskipun terasa menyakitkan? Karena mereka tahu besarnya keutamaan 'Umar dan 'Utsman di sisi Rosululloh dan di sisi Alloh, serta keutamaan mereka baik di dunia dan akhirat. Jika mereka berani melawan, statusnya jadi golongan pembangkang sebagaimana mereka yang menentang Imam 'Ali bin Abi Tholib ra.

Saat ini, para pemimpin sebuah jama’ah tidak memiliki legitimasi keutamaan yang ditegaskan dengan nash dan dalil. Hanya berupa kesaksian dari guru dan ulama sejawatnya. Karena itu, ketegaran atas hukuman dan sangsi dari para qiyadah juga bersifat relatif, tidak boleh diabsolutkan. Meskipun kesabaran tetap lebih utama.

Khotimah
Dakwah adalah tugas yang diwariskan oleh nabi kepada umatnya secara keseluruhan. Keberadaaan sebuah jama’ah dimaksudkan agar dakwah bisa berjalan secara efektif, dengan tahapannya yang terencana dan metodenya yang spesifik.

Jika berada didalamnya, kita menjadi jundi dakwah yang terhubung langsung dengan kebijakan jama’ah. Jika berada di luar, kita masih tetap bisa berjalan bersama, seiring sejalan. Dengan mentaati beberapa asas dasar, kita bisa membersamai kereta dakwah hingga ke tujuan. Wallohu a’lam bi showab.

Eko Junianto, SE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar