Senin, 17 Februari 2014

Mengatasi Masalah Peserta Didik Melalui Layanan Konseling Individual

BAGIAN I
MENGATASI MASALAH PESERTA DIDIK MELALUI LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL

A.  PENDAHULUAN
Pelayanan bimbingan dan konseling yang sedang dikembangkan di lndonesia dewasa ini adalah bimbingan dan konseling yang berorientasi pada perkembangan, yaitu pelayanan bimbingan dan konseling yang lebih mengutamakan dan mengedepankan berbagai bentuk dan jenis layanan yang memungkinkan peserta didik dapat tercegah dari berbagai masalah dan terkembangkannya segenap potensi yang dimiliki peserta didik. Kendati demikian, pelayanan bimbingan dan konseling yang bersifat klinis-kuratif masih tetap diperlukan, dan menjadi salah satu bagian penting dari layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

Prayitno dan Amti, (2004) mengemukakan 3 (tiga) orientasi atau pusat perhatian bimbingan dan konseling, yaitu: (1) orientasi perseorangan, (2) orientasi perkembangan, dan (3) orientasi permasalahan. Berkenaan dengan orientasi permasalahan bahwa perjalanan kehidupan dan proses perkembangan seringkali ternyata tidak mulus, banyak mengalami hambatan dan rintangan. OIeh karenanya, melalui layanan bimbingan dan konseling, selain dapat mencegah timbulnya masalah, juga dapat membantu mengatasi peserta didik yang sudah terlanjur mengalami masalah. Di lain pihak, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan bahwa secara umum dalam bidang pendidikan terdapat 2 (dua) tujuan hubungan bimbingan dan konseling, yaitu: (1) mengembangkan potensi individu secara optimal sehingga dia kreatif, produktif, mandiri dan religius, dan (2) memecahkan masalah yang dihadapi individu dari tekanan emosional (stress), kemudian muncul idenya yang cemerlang untuk merencanakan hidupnya yang cemerlang. Hal senada dikemukakan Asosiasi Bimbingan dan Konseling lndonesia (2007) bahwa tujuan pelayanan bimbingan dan konseling ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3)  menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.

Dari ketiga pendapat di atas tampak bahwa upaya mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi peserta didik menjadi salah satu orientasi sekaligus menjadi tujuan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dengan tidak bermaksud mengenyampingkan arti penting pelayanan bimbingan dan konseling yang berorientasi pencegahan dan perkembangan, buku ini hadir dengan lebih menfokuskan pada pembahasan seputar pelayanan bimbingan dan konseling yang bersifat klinis-kuratif, yakni berusaha mengatasi berbagai masalah yang dihadapi peserta didik di sekolah melalui layanan konseling individual. Dalam buku ini akan dikemukakan hakikat masalah peserta didik dan upaya pemecahannya melalui layanan konseling individual, ditopang oleh dua kegiatan pendukung, yaitu: konferensi kasus (case conference); dan kunjungan rumah (home visit). Upaya pemecahan masalah peserta didik tersebut dapat digambarkan dalam sebuah model atau kerangka berikut ini:
Gambar 1. Kerangka Pemecahan Masalah Peserta Didik

B.  MASALAH PESERTA DIDIK DI SEKOLAH
Secara sederhana, masalah dapat diartikan sebagai suatu kesulitan yang harus  dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya. Ciri-ciri masalah adalah sebagai berikut:
1.   Masalah muncul karena ada kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataannya (das sein).
2.   Semakin besar kesenjangan, maka masalah semakin berat.
3.   Tiap kesenjangan yang terjadi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda.
4.   Masalah muncul sebagai perilaku yang tidak dikehendaki oleh individu itu sendiri maupun oleh lingkungan.
5.   Masalah timbul akibat dari proses belajar yang keliru.
6.   Masalah memerlukan berbagai pertanyaan dasar (basic question) yang perlu dijawab.
7.   Masalah dapat bersifat individual maupun kelompok.

Sementara itu, Prayitno (2004) menyebutkan bahwa sesuatu dirasakan sebagai masalah atau tidak bergantung kepada jawaban tiga pertanyaan berikut:
1.   Apakah sesuatu itu tidak disukai adanya?
2.   Apakah sesuatu itu ingin ditiadakan keberadaannya?
3.   Apakah sesuatu itu (berpotensi) menimbulkan kesulitan dan atau kerugian?

Jika jawabannya adalah “YA” maka jelas sesuatu itu adalah masalah. Masalah manusia sesungguhnya amat beragam, baik dilihat segi jenis, ukuran, dan sifat maupun ruang lingkupnya. Ada masalah yang tergolong berat-ringan, besar-kecil, personal-umum, sederhana-kompleks, disadari-tidak disadari, dan sebagainya. Dalam mempersepsi dan memaknai tentang suatu masalah setiap orang akan berbeda-beda. Bagi seseorang, sesuatu itu bisa saja dianggap masalah, sementara bagi orang lain bukan masalah, atau sebaliknya. Demikian juga, bagi seseorang sesuatu itu merupakan masalah kecil atau ringan, tetapi dipersepsi dan dimaknainya sebagai suatu masalah yang berat dan besar atau justru sebaliknya.

Terkait dengan masalah-masalah psikologis yang dihadapi individu, pada umumnya individu yang bersangkutan kurang atau bahkan sama sekali tidak menyadarinya. Misalkan, orang yang sombong kadang-kadang tidak menyadari kesombongannya, demikian juga orang yang malas kadang-kadang tidak menyadari kemalasannya, sehingga cenderung untuk membiarkannya dan menjadi semakin kronis. Berbeda dengan masalah yang bersifat fisik, jika seseorang mendapatkan masalah fisik, misalnya dia mengalami sakit perut, orang itu dengan mudah menyadari bahwa dirinya mempunyai masalah dengan perutnya, sehingga dia berupaya untuk segera menghilangkannya dengan cara membeli obat atau datang ke dokter.

Di sekolah, kita akan menjumpai berbagai jenis masalah psikologis yang dihadapi peserta didik. Dari sekian banyak jenis masarah yang mungkin dihadapi peserta didik di sekolah, setidaknya ada dua jenis masalah peserta didik yang perlu mendapat perhatian dan diwaspadai oleh para pendidik di sekolah, yaitu masalah yang berhubungan dengan belajar dan keadaan emosi peserta didik.

1.   Masalah  Belajar
Menurut Moh. Surya (1997) belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sementara itu, Witherington (1985) mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.

Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakteristik peserta didik yang beraneka ragam. Ada peserta didik yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula peserta didik yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan  belajar peserta didik ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar peserta didik mencakup pengertian yang luas, di antaranya: (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) under achiever; (d) slow learner, dan (e) learning disabilities.

a.   Learning disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, peserta didik yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh: peserta didik yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju, dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

b.   Learning disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan peserta didik tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya peserta didik tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat indera, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh: peserta didik yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak  dapat menguasai permainan volley dengan baik.

c.   Under achiever mengacu kepada peserta didik yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergorong rendah. Contoh: peserta didik yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergorong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

d.   Slow learner atau lambat belajar adalah peserta didik yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok peserta didik lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

e.   Learning disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana peserta didik tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Peserta didik yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif. Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain:

a.   Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.

b.   Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada peserta didik yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah.

c.   Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.

d.   Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta, dan sebagainya.

e.   Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.

f.    Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin, 2003) mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan belajar, ditunjukkan dengan adanya kegagalan peserta didik dalam mencapai tujuan-tujuan berajar. Menurut dia, bahwa peserta didik dikatakan gagal dalam belajar apabila:

a.   Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).

b.   Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Peserta didik ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.

c.   Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Peserta didik ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus jadi pengulang (repeater).

Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana peserta didik dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar peserta didik:

a.   Tujuan pendidikan. Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Peserta didik yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai peserta didik yang berhasil. Sedangkan, apabila peserta didik tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut.

Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika peserta didik telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka peserta didik tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.

b.   Kedudukan dalam kelompok. Kedudukan seorang peserta didik dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Peserta didik dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, peserta didik yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai  peserta didik-peserta didik yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu peserta didik yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.

Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25% di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan peserta didik berdasarkan nilai-nilai yang dicapainya. Dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga peserta didik mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25% di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap peserta didik dengan prestasi rata-rata kelompok. Peserta didik yang mendapat prestasi di bawah rata-rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.

c.   Perbandingan antara potensi dan prestasi. Prestasi belajar yang dicapai seorang peserta didik akan tergantung dari tingkat potensinya, baik berupa kecerdasan maupun bakat. Peserta didik yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, peserta didik yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya, kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimilikinya. Peserta didik dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang peserta didik setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 135, termasuk kategori superior dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimilikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah under achiever.

d.   Kepribadian. Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Peserta didik yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Peserta didik dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti: acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.

2.   Masalah Emosi
Selain masalah yang berhubungan kemampuan belajar peserta didik seperti dikemukakan di atas, hal lain yang perlu dipahami dan diwaspadai oleh para pendidik adalah masalah yang berhubungan dengan keadaan emosi peserta didik. Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: emosi sensoris dan emosi psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti: (a) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (b) perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat individual maupun kelompok; (c) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral); (d) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (e) perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (homo  divinas) dan makhluk beragama (homo religious).

Sementara itu, Nana Syaodih Sukadinata (2005) mengetengahkan tentang macam-macam emosi individu, diantaranya: (a) takut, cemas, dan khawatir. Ketiga macam emosi ini berkenaan dengan rasa terancam oleh sesuatu; (b) marah dan permusuhan, yang merupakan suatu  perayaan yang dihayati seseorang atau sekelompok orang dengan kecenderungan untuk menyerang; (c) rasa bersalah dan duka, yang merupakan emosi akibat dari kegagalan atau kesalahan dalam melakukan perbuatan yang berkenaan norma; dan (d) cinta, yaitu jenis emosi yang menurut Erich Fromm berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dengan yang Iain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut.

Setiap orang memiliki pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau karakteristik dari reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlalu variatif dan fluktuatif. Sebaliknya, ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi, biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-duga.

Pada tingkat ekstrim keadaan emosional dapat muncul dalam berbagai bentuk gangguan kekacauan emosional (emotional disorder) yaitu sejenis penyakit mental dimana reaksi emosionalnya tidak tepat dan kronis serta sangat menonjol  atau menguasai kepribadian yang bersangkutan. Untuk kasus-kasus kekacauan emosi yang sangat ekstrim biasanya diperlukan terapi tersendiri dengan bantuan ahli. Berikut ini disajikan 3 (tiga) bentuk gangguan emosi yang mungkin dihadapi peserta didik di sekolah.

a.   Kecemasan (anxiety)
Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.

Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu. Freud (Calvin S. Hall, 2005) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:

1)   Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.

2)   Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting (dorongan id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan impulsif.

3)   Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka berbuat atau berpikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma.

Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi, dan regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum, yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Kecemasan dapat dialami siapa pun dan di mana pun, termasuk juga oleh para peserta didik di sekolah. Kecemasan yang dialami peserta didik di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakanproses psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang peserta didik mengalami kecemasan  atau  tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan berusaha mengenali Simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor yang melatarbelakangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.

Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri peserta didik. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes, dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri peserta didik yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan prasarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada peserta didik yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.

Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.

b.   Depresi
Menurut Phillip L. Rice (1992) depresi adalah gangguan mood kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan, dan berperilaku) seseorang. Sementara itu, Chaplin (2005) menyebutkan bahwa depresi pada orang normal merupakan gangguan kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak tepat, menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang. Pada kasus patologis, depresi merupakan ketidakmauan ekstrim untuk mereaksi terhadap rangsang disertai menurunnya nilai diri, delusi ketidakpasan, tidak mampu, dan putus asa. Di sekolah, peserta didik juga bisa mengalami berbagai kekecewaan yang berujung pada gangguan depresif. Menurut lrwin A. Hyman dan Pamela A. Snook (1999) tindakan hukuman fisik ternyata tidak hanya menimbulkan rasa sakit secara fisik tetapi juga dapat menyebabkan gangguan stress traumatik.

c.   Agresi
Menurut Scheneiders (1955) agresi merupakan luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata (verbal) dan perilaku non verbal. Murry (Hall dan Lindzey, 1993) mendefinisikan agresi sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Agresi mempunyai beberapa karakteristik. Pertama, agresi merupakan perilaku yang bersifat membahayakan, menyakitkan, dan melukai orang lain. Kedua, agresi merupakan suatu perilaku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain dilakukan dengan sengaja. Ketiga, agresi tidak hanya dilakukan untuk melukai korban secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologis), misalnya melalui kegiatan yang menghina atau menyalahkan.


C.  MENGATASI MASALAH PESERTA DIDIK DI SEKOLAH MELALUI LAYANAN BIMBINGAN DAN  KONSELING

1.   Landasan Bimbingan dan Konseling

Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling perlu dibangun dan berpijak pada landasan yang kokoh, berdasarkan pada hasil-hasil pemikiran mendalam dari para ahli maupun hasil-hasil penelitian. Dengan adanya pijakan kokoh, setiap upaya mengatasi masalah peserta didik melalui layanan bimbingan dan konseling dapat lebih dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari segi proses maupun hasilnya. Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling dan dalam membantu mengatasi masalah peserta didik.

Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fondasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fondasi yang kokoh,  maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fondasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya. Secara umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut:

a.   Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis. Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang: apakah manusia itu? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat (Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno,  2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut:
·       Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan menggunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
·       Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
·       Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
·       Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
·       Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis, dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
·       Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
·       Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
·       Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu dan akan menjadi apa manusia itu.
·       Manusia pada hakikatnya positif yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.

Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan konseli harus mampu melihat dan memperlakukan konseli sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.

b.   Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang, perilaku konseli. Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang: (1) motif dan motivasi; (2) pembawaan dan lingkungan, (3) perkembangan individu; (4) belajar; dan (5) kepribadian.

1)   Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti: rasa lapar, bernafas, dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan, -baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)-, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.

2)   Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu pembawaan, yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil, atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik dan menjadi tersia-siakan.

3)   Perkembangan lndividu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, di antaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya: (a) teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (b) teori dari Freud tentang dorongan seksual; (c) teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (d) teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (e) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (f) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (g) teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (h) teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan konseli sekaligus dapat melihat arah perkembangan konseli di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.

4)   Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikoiogi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. lnti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/ keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.

Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya: (a) Teori Belajar Behaviorisme; (b) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan lnformasi; dan (c) Teori Belajar Gestalt.

5)   Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi, dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.

Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya: Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, Teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi lndividual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Thorndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup:
·       Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
·       Temperamen; yaitu disposisi reaksi seseorang, atau cepat-lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
·       Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
·       Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
·       Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
·       Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya mengatasi masalah konseli maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku konseli. Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup konseli. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan konseli. Terkait dengan upaya pengembangan belajar konseli, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian konseli, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian konselinya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian.

c.   Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konseror tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang bersangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.

Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan konseli, yang mungkin antara konselor dan konseli memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuaian diri antar budaya, yaitu: (1) perbedaan bahasa; (2) komunikasi non-verbal; (3) stereotipe; (4) kecenderungan menilai; dan (5) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subjektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain di samping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komunikasi sosial antara konselor dengan konseli dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.

Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di lndonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling nrultikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti lndonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat Bhinneka Tunggal Ika, yaitu kesamaan di atas keragaman.

Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.

d.   Landasan llmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun praktiknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.

Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).

Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti: psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun praktiknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.

Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer, ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (konseli) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.

Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor di dalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks lndonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan pedagogis, landasan religius, dan landasan yuridis-formal.

Landasan pedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (1) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (2) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (3) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling. Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu: (1) manusia sebagai makhluk Tuhan; (2) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (3) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.

Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di lndonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di lndonesia. Berkaitan dengan upaya mengatasi masalah peserta didik di sekolah, maka penguasaan konselor tentang landasan bimbingan dan konseling sebagaimana dijelaskan di atas tampak menjadi mutlak adanya. Sehingga cara-cara penyelesaian masalah peserta didik yang dilakukannya dapat dibedakan dengan cara-cara yang lainnya, di luar koridor bimbingan dan konseling. Dengan berpijak pada landasan tersebut, pelayanan bantuan yang diberikan kepada konseli diharapkan lebih dapat dipertanggungjawabkan dalam proses maupun hasilnya, secara ilmiah, etis, estetis, dan yuridis.

2.   Mekanisme Penanganan Peserta Didik Bermasalah

Di sekolah sangat mungkinditemukan peserta didik yang  bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. Yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani peserta didik yang bermasalah, dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: (a) pendekalan disiplin dan (b) pendekatan bimbingan dan konseling.

Penanganan peserta didik bermasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) peserta didik beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku peserta didik. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada peserta didik yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para peserta didiknya.

Oleh karena itu, di sinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui bimbingan dan konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan peserta didik bermasalah melalui bimbingan dan konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan peserta didik bermasalah melalui bimbingan dan konseling sama sekali tidak menggunakanbentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan peserta didik yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap peserta didik tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.

Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani peserta didik bermasalah dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Gambar 2. Pendekatan Penanganan Peserta Didik Bermasalah

Dengan melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan peserta didik bermasalah tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada peserta didik yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.

Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang peserta didik yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, peserta didik yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali peserta didik yang bersangkutan dan uiung-ujungnya peserta didik dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi bimbingan dan konseling, maka sangat mungkin peserta didik yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi bimbingan dan konseling, diharapkan peserta didik yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya peserta didik yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah. Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa peserta didik untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan peserta didik merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas konselor hanyalah membantu peserta didik agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.

Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan bimbingan dan konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah peserta didik harus ditangani oleh konselor. Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah beserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagai berikut:

a.   Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum-minumankeras  tahap  awal,  berpacaran,  mencuri  kelas  ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor) dan mengadakan kunjungan rumah.
b.   Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum-minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh konselor, dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru, dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
c.   Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol, dan narkotika, pelaku kriminalitas, peserta didik hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.

Secara visual, penanganan peserta didik bermasalah melalui pendekatan bimbingan dan konseling dilihat dari tingkatan masalah dan petugas yang menanganinya tampak seperti dalam gambar berikut ini:
Gambar 3. Pendekatan penanganan peserta didik bermasalah dilihat dari tingkatan masalah dan petugas yang menanganinya

Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan peserta didik bermasalah melalui pendekatan bimbingan dan konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu peserta didik agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.

3.   Prosedur Umum Mengatasai Masalah Peserta Didik

Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan, yaitu: (a) identifikasi kasus; (b) identifikasi masalah; (c) diagnosis; (d) prognosis; (e) treatment; (f) evaluasi dan tindak lanjut.
Gambar 4. Prosedur Umum Mengatasi Masalah Peserta Didik Melalui Layanan Bimbingan dan Konseling


a.   ldentifikasi kasus
ldentifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga membutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni:

1)   Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
2)   Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara konselor dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi, dan situasi-situasi informal lainnya.
3)   Developing a desire for counseling;menciptakansuasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4)   Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
5)   Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.

b.   Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek: (1) substansial-material; (2) struktural-fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.

Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk (2004) telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). lnstrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek: (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai, dan moral; (8) hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang. Sementara itu, Sunaryo dkk (2003) telah mengembangkan instrumen untuk melacak masalah peserta didik dikaitkan dengan tahapan perkembangan individu, dikenal dengan istilah Inventori Tugas Perkembangan (lTP). lnventori ini mengukur tujuh tingkat perkembangan dan sebelas aspek perkembangan individu, merentang dari mulai usia tingkat Sekolah Dasar sampai dengan usia Perguruan Tinggi, dengan menggunakan kerangka pemikiran dari Loevenger.

c.   Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa  dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu: (1) faktor internal; faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti: kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti: lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

d.   Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya. Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi peserta didik untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus-kasus yang dihadapi.

e.   Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi konseli, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta surnberpermasalahannya masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru/konselor, maka pemberian bantuan dapat dilakukan oleh guru/konselor itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia.

Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).

f.    Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik. Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang. Kriteria keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:

1)   Konseli telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2)   Konseli telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3)   Konseli telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara objektif (self acceptance).
4)   Konseli telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5)   Konseli telah menurun penentangan terhadap lingkungannya.
6)   Konseli telah mulai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara objektif.
7)   Konseli mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan, dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
8)   Konseli telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha-usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.

Sementara itu, Depdiknas (2003) menyebutkan kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling, yaitu: (1) berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh konseli berkaitan dengan masalah yang dibahas; (2) tumbuhnya perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan (3) adanya rencana kegiatan tertentu yang akan dilaksanakan oleh konseli sesudah pelaksanaan layanan.

Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, di antaranya apabila:
1)   Konseli telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
2)   Konseli telah mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
3)   Konseli telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.

Berdasarkan data hasil evaluasi kemudian dilakukan berbagai upaya tindak lanjut (follow up) tertentu untuk kepentingan pengembangan.

2 komentar: