BAGIAN I
MENGATASI MASALAH PESERTA DIDIK MELALUI LAYANAN
KONSELING INDIVIDUAL
A. PENDAHULUAN
Pelayanan bimbingan
dan konseling yang sedang dikembangkan di lndonesia dewasa ini adalah bimbingan
dan konseling yang berorientasi pada perkembangan, yaitu pelayanan bimbingan
dan konseling yang lebih mengutamakan dan mengedepankan berbagai bentuk dan
jenis layanan yang memungkinkan peserta didik dapat tercegah dari berbagai
masalah dan terkembangkannya segenap potensi yang dimiliki peserta didik.
Kendati demikian, pelayanan bimbingan dan konseling yang bersifat
klinis-kuratif masih tetap diperlukan, dan menjadi salah satu bagian penting
dari layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Prayitno dan Amti,
(2004) mengemukakan 3 (tiga) orientasi atau pusat perhatian bimbingan dan
konseling, yaitu: (1) orientasi perseorangan, (2) orientasi perkembangan, dan
(3) orientasi permasalahan. Berkenaan dengan orientasi permasalahan bahwa
perjalanan kehidupan dan proses perkembangan seringkali ternyata tidak mulus,
banyak mengalami hambatan dan rintangan. OIeh karenanya, melalui layanan
bimbingan dan konseling, selain dapat mencegah timbulnya masalah, juga dapat
membantu mengatasi peserta didik yang sudah terlanjur mengalami masalah. Di lain
pihak, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan bahwa secara umum dalam bidang
pendidikan terdapat 2 (dua) tujuan hubungan bimbingan dan konseling, yaitu: (1)
mengembangkan potensi individu secara optimal sehingga dia kreatif, produktif,
mandiri dan religius, dan (2) memecahkan masalah yang dihadapi individu dari
tekanan emosional (stress), kemudian muncul idenya yang cemerlang untuk
merencanakan hidupnya yang cemerlang. Hal senada dikemukakan Asosiasi Bimbingan
dan Konseling lndonesia (2007) bahwa tujuan pelayanan bimbingan dan konseling ialah
agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan
karir serta kehidupannya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh
potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan,
lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan
yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat,
maupun lingkungan kerja.
Dari ketiga pendapat
di atas tampak bahwa upaya mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi peserta
didik menjadi salah satu orientasi sekaligus menjadi tujuan pelayanan bimbingan
dan konseling di sekolah. Dengan tidak bermaksud mengenyampingkan arti penting
pelayanan bimbingan dan konseling yang berorientasi pencegahan dan perkembangan,
buku ini hadir dengan lebih menfokuskan pada pembahasan seputar pelayanan
bimbingan dan konseling yang bersifat klinis-kuratif, yakni berusaha mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi peserta didik di sekolah melalui layanan konseling
individual. Dalam buku ini akan dikemukakan hakikat masalah peserta didik dan
upaya pemecahannya melalui layanan konseling individual, ditopang oleh dua
kegiatan pendukung, yaitu: konferensi kasus (case conference); dan
kunjungan rumah (home visit). Upaya pemecahan masalah peserta didik tersebut
dapat digambarkan dalam sebuah model atau kerangka berikut ini:
Gambar
1. Kerangka Pemecahan Masalah Peserta Didik
B. MASALAH
PESERTA DIDIK DI SEKOLAH
Secara sederhana,
masalah dapat diartikan sebagai suatu kesulitan yang harus dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya.
Ciri-ciri masalah adalah sebagai berikut:
1. Masalah
muncul karena ada kesenjangan antara harapan (das sollen) dan
kenyataannya (das sein).
2. Semakin
besar kesenjangan, maka masalah semakin berat.
3. Tiap
kesenjangan yang terjadi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda.
4. Masalah
muncul sebagai perilaku yang tidak dikehendaki oleh individu itu sendiri maupun
oleh lingkungan.
5. Masalah
timbul akibat dari proses belajar yang keliru.
6. Masalah
memerlukan berbagai pertanyaan dasar (basic question) yang perlu dijawab.
7. Masalah
dapat bersifat individual maupun kelompok.
Sementara itu,
Prayitno (2004) menyebutkan bahwa sesuatu dirasakan sebagai masalah atau tidak bergantung
kepada jawaban tiga pertanyaan berikut:
1. Apakah
sesuatu itu tidak disukai adanya?
2. Apakah
sesuatu itu ingin ditiadakan keberadaannya?
3. Apakah
sesuatu itu (berpotensi) menimbulkan kesulitan dan atau kerugian?
Jika jawabannya adalah
“YA” maka jelas sesuatu itu adalah masalah. Masalah manusia sesungguhnya amat
beragam, baik dilihat segi jenis, ukuran, dan sifat maupun ruang lingkupnya.
Ada masalah yang tergolong berat-ringan, besar-kecil, personal-umum, sederhana-kompleks,
disadari-tidak disadari, dan sebagainya. Dalam mempersepsi dan memaknai tentang
suatu masalah setiap orang akan berbeda-beda. Bagi seseorang, sesuatu itu bisa
saja dianggap masalah, sementara bagi orang lain bukan masalah, atau
sebaliknya. Demikian juga, bagi seseorang sesuatu itu merupakan masalah kecil
atau ringan, tetapi dipersepsi dan dimaknainya sebagai suatu masalah yang berat
dan besar atau justru sebaliknya.
Terkait dengan
masalah-masalah psikologis yang dihadapi individu, pada umumnya individu yang
bersangkutan kurang atau bahkan sama sekali tidak menyadarinya. Misalkan, orang
yang sombong kadang-kadang tidak menyadari kesombongannya, demikian juga orang
yang malas kadang-kadang tidak menyadari kemalasannya, sehingga cenderung untuk
membiarkannya dan menjadi semakin kronis. Berbeda dengan masalah yang bersifat
fisik, jika seseorang mendapatkan masalah fisik, misalnya dia mengalami sakit
perut, orang itu dengan mudah menyadari bahwa dirinya mempunyai masalah dengan
perutnya, sehingga dia berupaya untuk segera menghilangkannya dengan cara
membeli obat atau datang ke dokter.
Di sekolah, kita akan
menjumpai berbagai jenis masalah psikologis yang dihadapi peserta didik. Dari sekian
banyak jenis masarah yang mungkin dihadapi peserta didik di sekolah, setidaknya
ada dua jenis masalah peserta didik yang perlu mendapat perhatian dan
diwaspadai oleh para pendidik di sekolah, yaitu masalah yang berhubungan dengan
belajar dan keadaan emosi peserta didik.
1.
Masalah Belajar
Menurut Moh. Surya (1997)
belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sementara
itu, Witherington (1985) mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan
dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru
berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.
Dalam kegiatan pembelajaran
di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakteristik peserta didik yang
beraneka ragam. Ada peserta didik yang dapat menempuh kegiatan belajarnya
secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak
sedikit pula peserta didik yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai
kesulitan. Kesulitan belajar peserta
didik ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar, dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga
pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di
bawah semestinya.
Kesulitan belajar peserta
didik mencakup pengertian yang luas, di antaranya: (a) learning disorder;
(b) learning disfunction; (c) under achiever; (d) slow learner,
dan (e) learning disabilities.
a.
Learning disorder atau kekacauan
belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena
timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, peserta didik yang mengalami
kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya
terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga
hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya.
Contoh: peserta didik yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti
karate, tinju, dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar
menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
b.
Learning disfunction merupakan gejala
dimana proses belajar yang dilakukan peserta didik tidak berfungsi dengan baik,
meskipun sebenarnya peserta didik tersebut tidak menunjukkan adanya
subnormalitas mental, gangguan alat indera, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh:
peserta didik yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok
menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola
volley, maka dia tidak dapat menguasai
permainan volley dengan baik.
c.
Under achiever mengacu kepada peserta
didik yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di
atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergorong rendah. Contoh: peserta didik
yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergorong sangat
unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah
sangat rendah.
d.
Slow learner atau lambat belajar
adalah peserta didik yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan
waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok peserta didik lain yang memiliki
taraf potensi intelektual yang sama.
e.
Learning disabilities atau
ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana peserta didik tidak mampu belajar
atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari
berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik,
kognitif, konatif maupun afektif. Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi
gejala kesulitan belajar, antara lain:
a.
Menunjukkan hasil belajar yang rendah
di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang
dimilikinya.
b.
Hasil yang dicapai tidak seimbang
dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada peserta didik yang sudah
berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah.
c.
Lambat dalam melakukan tugas-tugas
kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang
disediakan.
d.
Menunjukkan sikap-sikap yang tidak
wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta, dan
sebagainya.
e.
Menunjukkan perilaku yang berkelainan,
seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah,
mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak
teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
f.
Menunjukkan gejala emosional yang kurang
wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira
dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah,
tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton
(Abin Syamsuddin, 2003) mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan
belajar, ditunjukkan dengan adanya kegagalan peserta didik dalam mencapai
tujuan-tujuan berajar. Menurut dia, bahwa peserta didik dikatakan gagal dalam belajar
apabila:
a.
Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan
tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery
level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion
reference).
b.
Tidak dapat mengerjakan atau mencapai
prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau
kecerdasan yang dimilikinya. Peserta didik ini dapat digolongkan ke dalam under
achiever.
c.
Tidak berhasil tingkat penguasaan
materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan
tingkat pelajaran berikutnya. Peserta didik ini dapat digolongkan ke dalam slow
learner atau belum matang (immature), sehingga harus jadi pengulang
(repeater).
Untuk dapat
menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan,
sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana peserta didik dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar peserta didik:
a.
Tujuan pendidikan. Dalam keseluruhan
sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan
yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap
kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan
pembelajaran. Peserta didik yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut
dapat dianggap sebagai peserta didik yang berhasil. Sedangkan, apabila peserta
didik tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami
kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan
pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara
jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan
sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut.
Secara
statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika peserta
didik telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang
harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning)
dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam
belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah
ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka peserta
didik tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat
digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai
hasil belajar.
b.
Kedudukan dalam kelompok. Kedudukan seorang peserta
didik dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya.
Peserta didik dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh
prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan.
Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, peserta didik yang mendapat
nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan
demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah
dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini,
guru akan dapat menandai peserta didik-peserta
didik yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu peserta didik yang
mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik,
mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25%
di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan peserta
didik berdasarkan nilai-nilai yang dicapainya. Dari yang paling tinggi hingga
yang paling rendah, sehingga peserta didik mendapat nomor urut prestasi
(ranking). Mereka yang menduduki posisi 25% di bawah diperkirakan mengalami
kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar
setiap peserta didik dengan prestasi rata-rata kelompok. Peserta didik yang mendapat
prestasi di bawah rata-rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
c.
Perbandingan antara potensi dan
prestasi.
Prestasi belajar yang dicapai seorang peserta didik akan tergantung dari
tingkat potensinya, baik berupa kecerdasan maupun bakat. Peserta didik yang berpotensi
tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi
pula. Sebaliknya, peserta didik yang memiliki potensi yang rendah cenderung
untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara
potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya, kita dapat memperkirakan
sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimilikinya. Peserta didik
dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak
sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang peserta didik setelah
mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ)
sebesar 135, termasuk kategori superior dalam skala Simon & Binnet. Namun
ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan
tingkat kecerdasan yang dimilikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka
8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa
disebut dengan istilah under achiever.
d.
Kepribadian. Hasil belajar yang
dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap
proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Peserta
didik yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu,
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Peserta didik
dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku
atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti: acuh tak acuh,
melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah,
emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
2.
Masalah Emosi
Selain masalah yang
berhubungan kemampuan belajar peserta didik seperti dikemukakan di atas, hal
lain yang perlu dipahami dan diwaspadai oleh para pendidik adalah masalah yang
berhubungan dengan keadaan emosi peserta didik. Menurut Syamsu Yusuf (2003)
emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: emosi sensoris dan emosi
psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar
terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti: (a)
perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (b)
perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain,
baik yang bersifat individual maupun kelompok; (c) perasaan susila, yaitu
perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral);
(d) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan
sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (e) perasaan
ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (homo divinas) dan makhluk beragama (homo religious).
Sementara itu, Nana Syaodih
Sukadinata (2005) mengetengahkan tentang macam-macam emosi individu,
diantaranya: (a) takut, cemas, dan khawatir. Ketiga macam emosi ini berkenaan
dengan rasa terancam oleh sesuatu; (b) marah dan permusuhan, yang merupakan
suatu perayaan yang dihayati seseorang
atau sekelompok orang dengan kecenderungan untuk menyerang; (c) rasa bersalah
dan duka, yang merupakan emosi akibat dari kegagalan atau kesalahan dalam
melakukan perbuatan yang berkenaan norma; dan (d) cinta, yaitu jenis emosi yang
menurut Erich Fromm berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dengan
yang Iain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut.
Setiap orang memiliki
pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau karakteristik dari
reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan emosinya secara
stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya secara baik
dan memiliki suasana hati yang tidak terlalu variatif dan fluktuatif.
Sebaliknya, ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak
memiliki stabilitas emosi, biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang
cepat dan tidak dapat diduga-duga.
Pada tingkat ekstrim
keadaan emosional dapat muncul dalam berbagai bentuk gangguan kekacauan
emosional (emotional disorder) yaitu sejenis penyakit mental dimana
reaksi emosionalnya tidak tepat dan kronis serta sangat menonjol atau menguasai kepribadian yang bersangkutan.
Untuk kasus-kasus kekacauan emosi yang sangat ekstrim biasanya diperlukan
terapi tersendiri dengan bantuan ahli. Berikut ini disajikan 3 (tiga) bentuk gangguan
emosi yang mungkin dihadapi peserta didik di sekolah.
a.
Kecemasan (anxiety)
Kecemasan atau anxiety
merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa
terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas.
Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai
motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah
akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis
individu yang bersangkutan.
Adalah Sigmund Freud,
sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam
kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan
penting dalam dinamika kepribadian seorang individu. Freud (Calvin S. Hall,
2005) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:
1) Kecemasan
realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada
di dunia luar atau lingkungannya.
2) Kecemasan
neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting (dorongan id)
akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa
membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap
insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan
menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan
pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan
ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia
melakukan perbuatan impulsif.
3) Kecemasan
moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang yang
memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka
berbuat atau berpikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya
dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan
pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan
ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia
melakukan perbuatan yang melanggar norma.
Selanjutnya, dikemukakan
pula bahwa kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan
yang efektif disebut traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak
berdaya, dan serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi
kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang
tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense
mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi, dan regresi.
Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum, yaitu:
(1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka
bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang
terjadi.
Kecemasan dapat
dialami siapa pun dan di mana pun, termasuk juga oleh para peserta didik di
sekolah. Kecemasan yang dialami peserta didik di sekolah bisa berbentuk
kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakanproses
psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk menentukan apakah
seseorang peserta didik mengalami kecemasan
atau tidak, diperlukan penelaahan
yang seksama, dengan berusaha mengenali Simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor
yang melatarbelakangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat
bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah sebagian
kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di lautan, yang
apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan persoalan-persoalan yang jauh
lebih kompleks.
Di sekolah, banyak faktor-faktor
pemicu timbulnya kecemasan pada diri peserta didik. Target kurikulum yang
terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang
sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor
penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga,
sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes, dan kurang kompeten
merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri peserta didik yang
bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih
mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan
prasarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya
kecemasan pada peserta didik yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.
Menurut Sieber e.al.
(1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar
yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam
berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Pada
tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik
(somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit
kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.
b.
Depresi
Menurut Phillip L.
Rice (1992) depresi adalah gangguan mood kondisi emosional berkepanjangan
yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan, dan berperilaku)
seseorang. Sementara itu, Chaplin (2005) menyebutkan bahwa depresi pada orang
normal merupakan gangguan kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang ditandai
dengan perasaan tidak tepat, menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa
yang akan datang. Pada kasus patologis, depresi merupakan ketidakmauan ekstrim
untuk mereaksi terhadap rangsang disertai menurunnya nilai diri, delusi
ketidakpasan, tidak mampu, dan putus asa. Di sekolah, peserta didik juga bisa
mengalami berbagai kekecewaan yang berujung pada gangguan depresif. Menurut
lrwin A. Hyman dan Pamela A. Snook (1999) tindakan hukuman fisik ternyata tidak
hanya menimbulkan rasa sakit secara fisik tetapi juga dapat menyebabkan
gangguan stress traumatik.
c.
Agresi
Menurut Scheneiders
(1955) agresi merupakan luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan individu
yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap orang atau benda dengan
unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata (verbal) dan perilaku non
verbal. Murry (Hall dan Lindzey, 1993) mendefinisikan agresi sebagai suatu cara
untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau
menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang
dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Agresi
mempunyai beberapa karakteristik. Pertama, agresi merupakan perilaku
yang bersifat membahayakan, menyakitkan, dan melukai orang lain. Kedua, agresi
merupakan suatu perilaku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai,
menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain dilakukan dengan
sengaja. Ketiga, agresi tidak hanya dilakukan untuk melukai korban
secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologis), misalnya melalui kegiatan
yang menghina atau menyalahkan.
C. MENGATASI
MASALAH PESERTA DIDIK DI SEKOLAH MELALUI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING
1.
Landasan Bimbingan
dan Konseling
Sebagai sebuah
layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling perlu dibangun
dan berpijak pada landasan yang kokoh, berdasarkan pada hasil-hasil pemikiran mendalam
dari para ahli maupun hasil-hasil penelitian. Dengan adanya pijakan kokoh,
setiap upaya mengatasi masalah peserta didik melalui layanan bimbingan dan
konseling dapat lebih dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari segi proses maupun
hasilnya. Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakikatnya merupakan
faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan konselor selaku pelaksana
utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling dan dalam membantu mengatasi
masalah peserta didik.
Ibarat sebuah
bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fondasi yang
kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fondasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau
bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila
tidak didasari oleh fondasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan
kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang
menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya. Secara umum terdapat empat
aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu
landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan
ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Di bawah ini akan dideskripsikan dari
masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut:
a.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis
merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi
konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis. Landasan filosofis
dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban
yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang: apakah manusia itu? Untuk menemukan
jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan
dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai
dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat
yang ada, para penulis Barat (Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes,
Thompson & Rudolph, dalam Prayitno,
2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut:
·
Manusia adalah makhluk rasional yang
mampu berfikir dan menggunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
·
Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah
yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada
pada dirinya.
·
Manusia berusaha terus-menerus
memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
·
Manusia dilahirkan dengan potensi
untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan
menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
·
Manusia memiliki dimensi fisik,
psikologis, dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
·
Manusia akan menjalani tugas-tugas
kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas
kehidupannya sendiri.
·
Manusia adalah unik dalam arti manusia
itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
·
Manusia adalah bebas merdeka dalam
berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut
perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan
menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu dan akan menjadi apa manusia itu.
·
Manusia pada hakikatnya positif yang
pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik
untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat
manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak
menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam
berinteraksi dengan konseli harus mampu melihat dan memperlakukan konseli sebagai
sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
b.
Landasan Psikologis
Landasan psikologis
merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang,
perilaku konseli. Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian
psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang: (1) motif dan
motivasi; (2) pembawaan dan lingkungan, (3) perkembangan individu; (4) belajar;
dan (5) kepribadian.
1)
Motif dan Motivasi
Motif
dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku
baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki
oleh individu semenjak dia lahir, seperti: rasa lapar, bernafas, dan sejenisnya
maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi,
memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya
motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan, -baik dari dalam diri individu
(motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)-, menjadi
bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
2)
Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan
dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi
perilaku individu pembawaan, yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan
merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti
struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri kepribadian
tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan
dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana
individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda.
Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau
bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius),
normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil, atau ideot). Demikian pula dengan
lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan
sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang
dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup
dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif sehingga segenap potensi bawaan
yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik dan menjadi tersia-siakan.
3)
Perkembangan lndividu
Perkembangan
individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang
merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, di antaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral
dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan
sebagai rujukan, diantaranya: (a) teori dari McCandless tentang pentingnya
dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (b) teori dari
Freud tentang dorongan seksual; (c) teori dari Erickson tentang perkembangan
psiko-sosial; (d) teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (e) teori dari
Kohlberg tentang perkembangan moral; (f) teori dari Zunker tentang perkembangan
karier; (g) teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (h) teori dari
Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan
masa dewasa.
Dalam
menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan
konseli sekaligus dapat melihat arah perkembangan konseli di masa depan, serta
keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
4)
Belajar
Belajar
merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikoiogi. Manusia belajar
untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan
dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat
kemanusiaannya. lnti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu
yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan
yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah
tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/
keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar,
baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun
hasil belajar sebelumnya.
Untuk
memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori
belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya: (a) Teori Belajar
Behaviorisme; (b) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan lnformasi; dan
(c) Teori Belajar Gestalt.
5)
Kepribadian
Hingga
saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian
secara bulat dan komprehensif. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang
dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat
dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang
kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian
adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan
caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci
dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu
Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons
individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi
kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi, dan
konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut
dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat
dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu
didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi
fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan
dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu
yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk
menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian
yang sudah banyak dikenal, diantaranya: Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud,
Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler,
Fromm, Horney dan Sullivan, Teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari
Kurt Lewin, Teori Psikologi lndividual dari Allport, Teori Stimulus-Respons
dari Thorndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian,
yang mencakup:
· Karakter;
yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten tidaknya
dalam memegang pendirian atau pendapat.
· Temperamen;
yaitu disposisi reaksi seseorang, atau cepat-lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan
yang datang dari lingkungan.
· Sikap;
sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
· Stabilitas
emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
· Responsibilitas
(tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan
yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
· Sosiabilitas;
yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti:
sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain.
Untuk
kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya mengatasi masalah
konseli maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan
motivasi yang melatarbelakangi perilaku konseli. Selain itu, seorang konselor
juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya
sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup konseli. Begitu pula,
konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi
pengembangan segenap potensi bawaan konseli. Terkait dengan upaya pengembangan
belajar konseli, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam
belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya
pengembangan kepribadian konseli, konselor kiranya perlu memahami tentang
karakteristik dan keunikan kepribadian konselinya. Oleh karena itu, agar
konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat
bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum,
psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan
psikologi kepribadian.
c.
Landasan
Sosial-Budaya
Landasan
sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada
konseror tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya
merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia
sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan
dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi
tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan
sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda
sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan
kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya
ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal
maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan
pribadi dan perilaku individu yang bersangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses
konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan konseli,
yang mungkin antara konselor dan konseli memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda.
Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin
timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuaian diri antar budaya, yaitu: (1) perbedaan
bahasa; (2) komunikasi non-verbal; (3) stereotipe; (4) kecenderungan menilai;
dan (5) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak
yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun
sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang.
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu
berdasarkan prasangka subjektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian
terhadap orang lain di samping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi
tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika
seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan
asing. Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya
dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama
sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komunikasi sosial antara
konselor dengan konseli dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi
tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan
bimbingan dan konseling di lndonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang
tren bimbingan dan konseling nrultikultural, bahwa bimbingan dan konseling
dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti
lndonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat Bhinneka
Tunggal Ika, yaitu kesamaan di atas keragaman.
Layanan bimbingan dan
konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara
nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
d.
Landasan llmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan
konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan,
baik yang menyangkut teori maupun praktiknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan
konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai
metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes,
inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan
penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya
gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya
logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah
(McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan
konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin
ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan
dan konseling, seperti: psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi,
filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama.
Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan
bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun praktiknya.
Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan
melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan
perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak
tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan
konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan
jasa komputer, ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh.
Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer
interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (konseli) tidak
hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui
hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”.
Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut
kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan
bimbingan dan konseling.
Dengan adanya
landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor di dalamnya mencakup
pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003)
bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu
mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan
hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks lndonesia,
Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan
landasan pedagogis, landasan religius, dan landasan yuridis-formal.
Landasan pedagogis
dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (1)
pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah
satu bentuk kegiatan pendidikan; (2) pendidikan sebagai inti proses bimbingan
dan konseling; dan (3) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan
bimbingan dan konseling. Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling
ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu: (1) manusia sebagai makhluk Tuhan; (2)
sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah
dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (3) upaya yang memungkinkan
berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya
(termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai
dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan
masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan
dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari
kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan
ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan
berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan
berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk
menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong
kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual
atau religi.
Landasan yuridis-formal
berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di lndonesia
tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri serta
berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan
bimbingan dan konseling di lndonesia. Berkaitan dengan upaya mengatasi masalah peserta
didik di sekolah, maka penguasaan konselor tentang landasan bimbingan dan
konseling sebagaimana dijelaskan di atas tampak menjadi mutlak adanya. Sehingga
cara-cara penyelesaian masalah peserta didik yang dilakukannya dapat dibedakan dengan
cara-cara yang lainnya, di luar koridor bimbingan dan konseling. Dengan
berpijak pada landasan tersebut, pelayanan bantuan yang diberikan kepada
konseli diharapkan lebih dapat dipertanggungjawabkan dalam proses maupun hasilnya,
secara ilmiah, etis, estetis, dan yuridis.
2.
Mekanisme Penanganan
Peserta Didik Bermasalah
Di sekolah sangat
mungkinditemukan peserta didik yang
bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. Yang
merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani peserta
didik yang bermasalah, dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: (a)
pendekalan disiplin dan (b) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan peserta
didik bermasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan
(tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu
komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) peserta didik beserta
sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya
berbagai penyimpangan perilaku peserta didik. Kendati demikian, harus diingat
sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada peserta didik
yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru
kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan
perilaku yang terjadi pada para peserta didiknya.
Oleh karena itu, di
sinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui
bimbingan dan konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan
pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan peserta didik
bermasalah melalui bimbingan dan konseling justru lebih mengutamakan pada upaya
penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan
peserta didik bermasalah melalui bimbingan dan konseling sama sekali tidak
menggunakanbentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya
kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan peserta
didik yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap peserta didik tersebut
dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan
diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Secara visual, kedua
pendekatan dalam menangani peserta didik bermasalah dapat dilihat dalam bagan berikut
ini:
Gambar
2. Pendekatan Penanganan Peserta Didik Bermasalah
Dengan melihat gambar
di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan peserta
didik bermasalah tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat
dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan
yang optimal pada peserta didik yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua
pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Sebagai ilustrasi,
misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang peserta didik yang hamil
akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan
untuk kasus demikian, peserta didik yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika
hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil
sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali peserta didik yang
bersangkutan dan uiung-ujungnya peserta didik dinyatakan dikembalikan kepada
orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi bimbingan dan
konseling, maka sangat mungkin peserta didik yang bersangkutan akan
meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat
semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi bimbingan dan konseling,
diharapkan peserta didik yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran
positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima
resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang
dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk
melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya peserta
didik yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah. Perlu
digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti konselor yang harus mendorong atau
bahkan memaksa peserta didik untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan
mengeluarkan peserta didik merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas
konselor hanyalah membantu peserta didik agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam
hidupnya.
Lebih jauh, meski
saat ini paradigma pelayanan bimbingan dan konseling lebih mengedepankan
pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan bimbingan dan
konseling terhadap peserta didik bermasalah tetap masih menjadi perhatian.
Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah peserta didik harus
ditangani oleh konselor. Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan
tingkatan masalah beserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagai berikut:
a.
Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos,
malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar,
minum-minumankeras tahap awal,
berpacaran, mencuri kelas
ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi
kepada kepala sekolah (konselor) dan mengadakan kunjungan rumah.
b.
Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan
emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan
belajar, karena gangguan di keluarga, minum-minuman keras tahap pertengahan,
mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang
dibimbing oleh konselor, dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah,
ahli/profesional, polisi, guru, dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi
kasus.
c.
Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional
berat, kecanduan alkohol, dan narkotika, pelaku kriminalitas, peserta didik
hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api.
Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan
psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan
kegiatan konferensi kasus.
Secara visual, penanganan
peserta didik bermasalah melalui pendekatan bimbingan dan konseling dilihat dari
tingkatan masalah dan petugas yang menanganinya tampak seperti dalam gambar berikut
ini:
Gambar
3. Pendekatan penanganan peserta didik bermasalah dilihat dari tingkatan
masalah dan petugas yang menanganinya
Dengan melihat penjelasan
di atas, tampak jelas bahwa penanganan peserta didik bermasalah melalui
pendekatan bimbingan dan konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab
konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan berbagai pihak lain untuk
bersama-sama membantu peserta didik agar memperoleh penyesuaian diri dan
perkembangan pribadi secara optimal.
3.
Prosedur Umum Mengatasai
Masalah Peserta Didik
Sebagai sebuah
layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan
secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur
tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan, yaitu: (a) identifikasi kasus;
(b) identifikasi masalah; (c) diagnosis; (d) prognosis; (e) treatment;
(f) evaluasi dan tindak lanjut.
Gambar
4. Prosedur Umum Mengatasi Masalah Peserta Didik Melalui Layanan Bimbingan dan
Konseling
a.
ldentifikasi kasus
ldentifikasi kasus
merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan
layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003)
memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta
didik yang diduga membutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni:
1)
Call them approach; melakukan wawancara
dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini
akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
2)
Maintain good relationship; menciptakan
hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah
antara konselor dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui
berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar
saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi, dan situasi-situasi
informal lainnya.
3)
Developing a desire for counseling;menciptakansuasana yang
menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya.
Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan
tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran
lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4)
Melakukan analisis terhadap hasil belajar
peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau
kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
5)
Melakukan analisis sosiometris, dengan
cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan
penyesuaian sosial.
b.
Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan
upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta
didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat
berkenaan dengan aspek: (1) substansial-material; (2) struktural-fungsional; (3)
behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk
mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk (2004) telah
mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa
yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). lnstrumen ini sangat membantu untuk
menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik,
seputar aspek: (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial;
(4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan
pelajaran; (7) agama, nilai, dan moral; (8) hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan
hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang. Sementara itu, Sunaryo dkk (2003) telah
mengembangkan instrumen untuk melacak masalah peserta didik dikaitkan dengan tahapan
perkembangan individu, dikenal dengan istilah Inventori Tugas Perkembangan (lTP).
lnventori ini mengukur tujuh tingkat perkembangan dan sebelas aspek perkembangan
individu, merentang dari mulai usia tingkat Sekolah Dasar sampai dengan usia
Perguruan Tinggi, dengan menggunakan kerangka pemikiran dari Loevenger.
c.
Diagnosis
Diagnosis merupakan
upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya
masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab
kegagalan belajar peserta didik, bisa
dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. Burton membagi
ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan
belajar peserta didik, yaitu: (1) faktor internal; faktor yang bersumber dari
dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti: kondisi jasmani dan kesehatan,
kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis
lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti: lingkungan rumah, lingkungan
sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
d.
Prognosis
Langkah ini dilakukan
untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin
untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya. Hal ini
dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil
langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya
terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak
yang terkait dengan masalah yang dihadapi peserta didik untuk diminta bekerja
sama guna membantu menangani kasus-kasus yang dihadapi.
e.
Treatment
Langkah ini merupakan
upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi
konseli, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika
jenis dan sifat serta surnberpermasalahannya masih berada dalam kesanggupan dan
kemampuan guru/konselor, maka pemberian bantuan dapat dilakukan oleh
guru/konselor itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan
layanan yang tersedia.
Namun, jika
permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan
lebih luas maka selayaknya tugas guru atau konselor sebatas hanya membuat
rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
f.
Evaluasi dan Follow
Up
Cara manapun yang ditempuh,
evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat
seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan
terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik. Berkenaan dengan
evaluasi bimbingan dan konseling, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004)
mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang
telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan
yang tampak segera dan kriteria jangka panjang. Kriteria keberhasilan tampak segera,
diantaranya apabila:
1)
Konseli telah menyadari (to be
aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2)
Konseli telah memahami (self insight)
permasalahan yang dihadapi.
3)
Konseli telah mulai menunjukkan
kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara objektif (self
acceptance).
4)
Konseli telah menurun ketegangan
emosinya (emotion stress release).
5)
Konseli telah menurun penentangan
terhadap lingkungannya.
6)
Konseli telah mulai menunjukkan sikap
keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara
objektif.
7)
Konseli mulai menunjukkan kemampuannya
dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan, dan mengambil keputusan secara
sehat dan rasional.
8)
Konseli telah menunjukkan kemampuan
melakukan usaha-usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya,
sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
Sementara itu,
Depdiknas (2003) menyebutkan kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling,
yaitu: (1) berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh konseli berkaitan dengan
masalah yang dibahas; (2) tumbuhnya perasaan positif sebagai dampak dari proses
dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan (3) adanya rencana kegiatan
tertentu yang akan dilaksanakan oleh konseli sesudah pelaksanaan layanan.
Sedangkan kriteria
keberhasilan jangka panjang, di antaranya apabila:
1)
Konseli telah menunjukkan kepuasan dan
kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
2)
Konseli telah mampu menghindari secara
preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
3)
Konseli telah menunjukkan sifat-sifat yang
kreatif dan konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga
ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.
Berdasarkan data
hasil evaluasi kemudian dilakukan berbagai upaya tindak lanjut (follow up)
tertentu untuk kepentingan pengembangan.
[Download]
tolong di share referensi bukunya dong..makasih
BalasHapusOntah
BalasHapus