Sabtu, 11 Juni 2016

Belajar Kepada Sang Juara

Diantara kata-kata mutiara dari Muhammad Ali, mungkin inilah yang paling berkesan untuk kami. “God have me this illness to remind me that I’m not number one; He is”. Sejenak mari kita renungkan ungkapan dari seorang petinju yang dijuluki The Greatest ini. Dan sejenak mari kita singkirkan sejumlah kerumitan dari ungkapan itu, seperti menyebut kata ganti Alloh dengan “He”, karena pembahasannya bakal panjang dan lebar. Apa kira-kira makna dibalik ungkapan Muhammad Ali itu?

Pertama, Rendah Hati
Muhammad Ali sudah menaklukkan banyak petinju hebat di zamannya, rekornya pun mengkilap. Jika ada pengandaian pertarungan yang paling dinanti, biasanya imajinasi untuk mempertemukan antara Muhammad Ali dengan Mike Tyson. Namun hal itu jelas tidak bisa terwujud karena mereka petinju beda zaman. Namun banyak pihak berspekulasi bahwa jika mereka berhadapan, niscaya Muhammad Ali yang akan keluar sebagai pemenangnya. Seperti halnya pembicaraan yang disajikan dalam salah satu scene film Rundown yang dibintangi oleh Dwyne Johnson alias The Rock.

Muhammad Ali sendiri sering dijuluki sebagai The Big Mouth karena senang melempar pernyataan provokatif kepada calon lawannya. Selain sebagai psywar, tentu juga dimaksudkan sebagai strategi marketing untuk meningkatkan bobot dan rating pergelaran tinju yang akan dilakoninya. Namun saat diberi cobaan berat berupa penyakit parkinson, tidak ada kata yang provokatif, umpatan, dan sumpah serapah yang terucap. Sebaliknya, dengan rendah hati beliau berkata bahwa penyakit ini adalah pemberian dari Alloh untuk mengingatkannya bahwa dirinya bukan yang nomor satu.

Ini adalah sebuah ungkapan yang lahir dari kesadaran yang tinggi tentang siapa dirinya. Pada sebelumnya, kita mengenal ungkapan dari Nabi Sulaiman yang berkata dengan tawadhu “Hadza min fadhli Robbi”, saat para punggawa kerajaannya pamer kekuatan dan kemampuan di depannya. Demikian juga dengan ungkapan Dzulkarnain, saat berhasil menyelesaikan megaproyek yang sangat berat, dia berkata “Hadza rohmatun min Robbi”. Begitulah, orang-orang mulia menisbatkan kebesaran, kehebatan, dan keberhasilannya kepada Alloh. 

Sepertinya, Muhammad Ali mampu merasakan adanya teguran dari Alloh atas capaian prestasinya. Beliau pun dengan sadar mengakuinya sebagai pertanda khusus agar dirinya bisa bersikap mawas diri dan rendah hati. Hal ini layak diacungi jempol karena tidak semua orang bisa sampai pada kesimpulan yang sama dalam memandang musibah hidup yang menderanya.

Kedua, Tetap Husnuzhzhon
Banyak orang bisa berhusnuzhzhon saat kondisinya berada di atas, namun berbalik menjadi su’uzhon saat kondisinya berada di bawah. Gambarannya persis dengan sebuah pernyataan di dalam Al Qur’an “Fa ammal insaanu idzaa mabtalaahu robbuhuu fa akromahuu wa na’amahuu fayaquulu robbii akroman. Wa ammaa idza mabtalaahu faqoddaroalaihi rizquhuu fayaquulu robbii ahaanan”. 

Pada saat berada di puncak, mudah bagi kita untuk berbicara hal-hal yang baik, meskipun ada pula yang malah berkata seperti ucapannya Qorun “Innamaa uutiituhuualaailminindii”. Sedang saat mendapatkan cobaan, musibah, dan hukuman, umumnya senang menyalahkan pihak lain, sebagaimana model ucapannya iblis kepada Alloh “Fabimaa aghwaitanii”. Namun Muhammad Ali lebih memilih untuk mengambil hikmah dan pelajaran, serta memilih tetap berhusnuzhzhon kepada Alloh. 

Namanya juga husnuzhzhon, pasti melekat kesabaran dan ketawakalan di dalamnya. Karena itu, kita tidak pernah mendengar kabar berita bahwa Muhammad Ali mengalami depresi dan frustasi. Karena itu adalah buah kesabaran dan ketawakalan. Kesabaran akan berbanding pahala tanpa batas, ketawakalan memberinya energi positif untuk melanjutkan kehidupan dan husnuzhzhon kepada Alloh menjadikannya memiliki ikhlas. 

Sebagaimana engkau hidup dengan terus berhusnuzhzhon kepada Alloh, maka semoga engkau pun meninggal dalam keadaan husnuzhzhon kepada Alloh. Karena diantara rumus menghadapi kematian adalah “Laa yamuutanna ahadun minkum, illa wahuwa yuhsinu dzanna billahi ta’ala.

Khotimah
Semoga kelak akan lahir kembali sosok-sosok hebat sebagaimana Muhammad Ali, baik di dalam ring tinju maupun di luar ring tinju, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Karena para pahlawan hebat biasanya hanya akan lahir dari rahim generasi yang hebat pula. Siapkah generasi kita melahirkan sosok sepertinya?

Eko Junianto, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar