Sabtu, 11 Juni 2016

Mendampingi Anak Menghadapi Trauma

Pagi-pagi seorang bapak memanaskan mesin sepeda motornya. Tak jauh dari situ anaknya yang berusia dua tahun mendekat. Rupanya ia tertarik, lalu mencoba memegang roda motor. Apa yang terjadi kemudian? Tangan si bocah terenggut roda sehingga harus di bawa ke dokter.

Peristiwa ini meninggalkan rasa bersalah yang amat dalam pada ibunya. Semenjak itu, ibunya selalu dihantui rasa khawatir yang besar terhadap anak. Sekejap saja anak itu lepas dari pandangannya, segera ia akan mencari. Mata tak akan terlelap, selagi anak lelakinya itu belum tidur.

Akibatnya, ia tak pernah tenang membiarkan anak berlari ke sana kemari menikmati masa kecilnya dan mengembangkan rasa ingin tahunya yang paling alamiah. Ketika si anak baru saja mulai berlompat-lompat ceria dan menaiki benda-benda yang ada di sekelilingnya, ibunya akan segera datang, lengkap dengan segala kekhawatirannya.

Apa yang harus kita lakukan ketika anak kita mengalami kejadian memilukan seperti itu?

Bedakan perasaan Anda dan perasaan anak. Anak jelas merasakan sakit luar biasa ketika peristiwa itu terjadi. Tetapi sesudahnya? Mungkin ia mengalami trauma, mungkin juga tidak. Boleh jadi, ia hanya mengalami sedikit rasa takut untuk beberapa saat. Jika ia menemukan lingkungan yang positif, anak tidak lagi merasa takut. Kejadian yang memilukan itu akan segera berlalu.

Sebaliknya, ketika mendapati lingkungan yang menunjukkan rasa cemas, anak yang awalnya merasa nyaman pun bisa menjadi cemas; yang semula merasa aman berubah menjadi takut. Sebabnya, orangtua menularkan rasa takut itu kepada anak.

Apa yang harus kita lakukan? Bedakan perasaan kita dan perasaan anak. Rasa takut dan trauma itu muncul dalam diri kita atau anak. Beda sekali cara menangani kedua kasus itu. Dan perlu juga kita ingat bahwa jika kita mengalami trauma, tidak dengan sendirinya anak juga mengalami hal yang sama. Mereka mungkin pada akhirnya juga merasa trauma, tetapi itu bukan akibat peristiwa yang ia alami. Tetapi karena ia belajar dari kita selaku orangtua. Ia belajar takut karena kita menampakkan ketakutan.

Terima Perasaannya
Apa pun yang dirasakan anak, itulah kenyataan yang terjadi dalam dirinya. Kita tidak dapat memungkiri karena bukan kita yang mengalami. Sedih, takut, ngeri, kesal, jijik, atau marah adalah keadaan yang sungguh-sungguh dialami anak. Kita tak dapat mengingkari atau menolaknya. Semakin kita menolak perasaan anak, semakin sulit kita menetralkan perasaan anak terhadap peristiwa yang terjadi. Bahkan bisa jadi, pengingkaran kita terhadap perasaan anak membuat anak merasa tidak diterima, atau diabaikan. Ini justru bisa berbahaya. Alih-alih kita ingin membesarkan hati anak, justru ia merasa diremehkan.

Jadi, kalau anak menampakkan rasa takut –apalagi kalau ia mengungkapkan secara langsung— tanggapilah ia dengan menunjukkan penerimaan terhadap perasaannya. Katakan kepadanya dengan penuh empati, “Kamu takut ya, Nak?” Atau ungkapan lain yang menunjukkan bahwa Anda mengerti perasaannya dan menerima setulus hati. Jangan katakan yang sebaliknya, “Masak kamu takut, sih? Cuma gitu aja, kok?”

Kadangkala, menerima perasaan anak merupakan bagian terpenting dari cara mengatasi trauma anak. Dalam beberapa kasus, anak merasa sangat lega ketika orangtua mau menerima perasaannya apa adanya. Ini membuatnya merasa diakui. Ia merasa mendapat perhatian dari orangtua sekaligus menganggap orangtua memahami dirinya. Ia menjadi bersemangat karena orangtua berempati terhadap dirinya.

Dampingi Ia Memahami Peristiwa
Trauma sebenarnya merupakan bentuk ketidakberdayaan menghadapi sesuatu. Ia memiliki pengalaman buruk terhadapnya dan tidak tahu bagaimana menghadapinya. Jika perasaan ini dibiarkan tanpa koreksi, akan muncul keyakinan bawah sadar yang mengkristal sehingga secara spontan ia akan mereaksi dengan emosi negatif setiap kali menghadapi benda atau peristiwa yang serupa. Pada tingkat yang parah, mendengar nama bendanya saja bisa membangkitkan emosi negatif bahkan somatisasi, yakni bereaksinya badan kita atau sebagian dari anggota badan kita mengikuti situasi psikis yang terjadi. Misalnya, kita merasa mual atau sakit kepala setiap kali mendengar kata microphone disebabkan kita trauma terhadapnya.

Apa yang harus kita lakukan? Dampingi anak untuk memahami peristiwa. Tak ada microphone yang melengking suaranya kalau tanpa loud-speaker. Kitalah yang memegang kendali atas benda-benda di sekeliling kita. Nah, tunjukkan kepada anak bahwa segala sesuatu ada ilmunya untuk menggunakan dengan baik. Peristiwa buruk terjadi karena kita salah dalam bertindak. Tunjukkan bagaimana menghadapi. Dan lagi-lagi, tumbuhkan sikap positif.

Ajak Ia Melihat Secara Positif
Semasa SD, saya pernah ikut lomba azan antar siswa yang diadakan oleh sekolah. Banyak sekali yang ikut. Cukup lama saya menanti giliran. Dan ketika telah tiba waktunya, saya segera beranjak naik di atas panggung. Saya tidak tahu seberapa keras suara saya, sehingga beberapa orang menutup telinganya. Tetapi sebagiannya, meski tidak banyak, ada yang tersenyum. Maka saya berteriak lebih lantang lagi, dan semakin banyak yang menutup telinga. Sebagiannya tampak kaget.

Terjadilah apa yang terjadi. Ketika saya meneriakkan bagian syahadat, suara saya tidak sampai. Maka yang hadir pun tertawa. Sebagiannya tertawa geli, sebagiannya mentertawakan. Saya kira sebagian besar tertawa geli. Tetapi ketika ada sejumlah orang yang mentertawakan, maka apa pun bentuk tawanya, terasa seperti mentertawakan.

Hari itu runtuhlah harga diri saya.

Bersyukur kepada Alloh Ta’ala yang memberikan kepada seorang ibu luar biasa. Ketika saya pulang, ibu menyambut saya dengan penuh antusias. Ini sebenarnya menakutkan. Saya tidak tahu harus menjawab seperti apa kalau ditanya. Tetapi untunglah ibu saya tidak bertanya. Ibu justru menyatakan kebanggaannya. Sudah ibu dengar suara lantang saya. Seandainya tanpa loud-speaker, suara saya pasti terdengar sangat keras.

“Kalau kamu memimpin barisan, pasti barisanmu akan bersemangat. Mereka akan mendengar setiap komando darimu. Kalau kamu berceramah, pasti semua orang akan mendengar. Kalau kamu khotbah, pasti tidak ada yang mengantuk. Kenapa? Karena suaramu keras. Kalau suaramu yang keras digunakan untuk berceramah, pasti orang akan bersemangat ketika mendengarkan,” kata ibu saya. Hari itu kebanggaan saya terhadap suara keras yang saya miliki, pulih kembali. Kalau pagi hari tadi saya malu karena punya suara keras, maka saat ini saya justru bersyukur memiliki suara keras. Suara orang-orang hebat.

Ibu kemudian bercerita tentang seorang guru yang membosankan saat mengajar. Guru ini pintar, tetapi suaranya nyaris tak terdengar karena suaranya amat lirih. Ia seperti bergumam, bukan mengajar. Ibu juga bercerita tentang seorang penceramah yang hebat. Meski mulai ceramah ketika orang sudah banyak yang mengantuk, tetapi majelis pengajian itu akan segera bersemangat karena suara penceramahnya yang keras dan berwibawa. Ibu pula yang bercerita tentang seorang komandan yang disegani karena suaranya keras dan perintahnya jelas.

Hari itu, saya pun bangga punya suara keras. Trauma sesaat melihat orang-orang yang tertawa geli maupun mentertawakan, hilang secara sempurna dan berganti kepercayaan diri yang meluap-luap. Keterpurukan berubah menjadi kebangkitan karena cara pandang terhadap keadaan dan peristiwa secara sangat positif.

Berawal dari mengubah cara pandang, ibu telah membangkitkan percaya diri saya sekaligus memberi inspirasi untuk menggunakan suara keras saya sebagai modal sukses. Kisah-kisah yang dituturkannya mendorong saya berani berbicara di hadapan khalayak.

Mohammad Fauzil Adhim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar