“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Alloh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuuro [42]: 30).
Sedih, menyesal, dan merasa bersalah atas peristiwa yang menimpa anak Anda? Wajar. Normalnya begitu. Setelah melakukan kecerobohan yang berakibat fatal, reaksi pertama umumnya seperti itu. Kita merasa sedih karena telah menyebabkan anak terluka. Kita kecewa pada diri sendiri sehingga menyesal sedalam-dalamnya. Kadang bahkan sampai di luar kendali. Kita menyalahkan diri sendiri, orang lain atau jika kontrol diri kurang, salah-salah bisa menyalahkan Tuhan. Padahal, kitalah yang melakukan kesalahan itu.
Masalahnya, peristiwa itu sudah terjadi. Meminjam nasihat seorang guru saya, segala yang telah terjadi tak bisa ditarik kembali. Meratapi tentu bukan cara yang bagus untuk meraih kebaikan dan menolak bahaya. Keburukan tidak akan pergi karena kita ratapi. Sama seperti kebaikan tak akan datang hanya karena kita menangis mengiba-iba. Begitu pula mengeluh, tak akan memperbaiki keadaan. Sebab, mengeluh tidak mengurangi keburukan, tidak pula meringankan penderitaan.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Lakukan yang terbaik untuk anak. Atasi trauma yang ada sehingga Anda bisa lebih berkonsentrasi mengasuh anak Anda. Ada beberapa hal yang bisa Anda perhatikan:
Terima Kenyataan
Kalau musibah terjadi karena keteledoran kita, terimalah kenyataan itu. Kesalahan memang ada pada kita. Cuma dimana letak kesalahan kita? Inilah yang perlu kita sadari. Sebab, beda sekali dampak antara merasa bersalah –apalagi sampai berlarut-larut— dengan menyadari bahwa kita bersalah. Kalau saat ini belum memungkinkan untuk mengurai masalah yang terjadi, endapkan dulu. Yang penting, terimalah kenyataan. Menerima kenyataan membuat kita lebih cepat meraih ketenangan dan lebih mudah menghalau perasaan bersalah yang berkepanjangan.
Jika kita sudah tenang, kita bisa menengok kembali peristiwa yang telah terjadi. Lihatlah dengan hati lapang dan pikiran jernih. Bila perlu, ajaklah suami Anda berbicara dengan kepala dingin. Boleh jadi, apa yang Anda anggap sebagai kesalahan fatal, bukan sepenuhnya kesalahan Anda. Misalnya, jemari anak terkena jeruji sepeda motor di saat Anda sedang memasak untuk keluarga. Pertanyaannya, apakah memasak untuk keluarga merupakan kesalahan fatal? Tidak. Anda sudah melakukan tindakan yang benar. Anda hanya perlu menambahkan satu tindakan: memastikan tidak ada sesuatu yang membahayakan keselamatan anak. Ketika musibah sudah terjadi, yang perlu kita lakukan adalah membuat standar tindakan aman, misalnya tidak ada kompor maupun lilin yang menyala saat berangkat ke pembaringan. Ini berlaku saat Anda memang hendak tidur ataupun sekadar berbaring saja.
Berdiskusilah dengan kepala dingin dan semangat untuk meluruskan kesalahan dan menemukan kebaikan bagi keluarga. Pembicaraan Anda sepatutnya untuk menemukan apa saja yang bisa kita lakukan untuk kebaikan anak-anak di masa mendatang. Kita sudah melakukan kesalahan. Tak perlu melakukan kesalahan lebih besar lagi dengan sibuk meratapi yang sudah terjadi, sehingga kita justru menjadi orangtua pencemas. Anak bermain sebentar saja sudah kita khawatirkan. Akibatnya, anak justru sulit berkembang. Dan inilah musibah yang sesungguhnya. Bukan tergerusnya jemari karena jeruji motor.
‘Alaa kulli haal, apa pun yang ingin Anda kerjakan, pertama yang kita perlukan dalam mengatasi masalah adalah menerima kenyataan apa adanya. Kalau ada airmata yang harus ditumpahkan, biarlah ia mengalir. Tetapi jangan membiarkan ia menguasai hidup Anda, sehingga tak ada yang Anda lakukan kecuali menangis dan memperbesar kekhawatiran terhadap anak.
Ingatlah ketika Rosululloh Shollallohu ’alaihi wa sallam (SAW) bersabda, “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Alloh serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Alloh telah menakdirkan dan apa yang Alloh kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” (Riwayat Muslim).
Jadi, berhentilah berkata “seandainya kemarin kita tidak menghidupkan motor” atau “seandainya saya memasak ketika anak-anak sudah tidur”. Mulai sekarang, simpanlah kata “seandainya” di laci lemari dapur. Tak perlu dibuka. Kata “seandainya” hanya bermanfaat untuk merumuskan masa depan, lalu kita secara serius melakukannya. Bukan untuk meratapi masa lalu, bukan pula untuk berpanjang angan-angan.
Mulai sekarang, gantilah kata “seandainya” dengan rencana tindakan, yakni kebaikan apa yang bisa Anda lakukan.
Bersungguh-sungguh Memperoleh Manfaat
Alih-alih menyesali kesalahan, pikirkan apa yang sebaiknya Anda lakukan untuk kebaikan anak. Bila perlu, susunlah rencana untuk melakukan yang terbaik baginya. Satu jemari boleh berkurang kesempurnaannya, tapi berikanlah kepadanya anugerah yang jauh lebih berharga. Bukankah banyak orang yang menemukan kekuatan dirinya justru karena ia menerima kelemahannya? Dan yang seharusnya pertama kali mengajarkan kepada anak-anak itu adalah ibunya.
Tahukah Anda, bahwa salah satu nikmat yang saya syukuri dalam hidup ini adalah bibir saya yang memble? Di masa kecil, bibir memble menjadi bahan olok-olokan. Ini kekurangan yang tak terampuni. Tetapi, ibu saya justru mengajarkan kepada saya bahwa bibir memble adalah anugerah. Bukan musibah. Memble adalah pertanda bahwa kelak saya akan berbicara di mana-mana.
Apakah anak-anak sebaiknya dijauhkan dari kata musibah? Tidak. Justru mereka perlu belajar memahami dengan benar berbagai konsep penting dalam agama, termasuk musibah. Sesudah itu, berikan motivasi agar ia memiliki penerimaan diri, harga diri, dan percaya diri yang baik. Ia yakin bahwa Alloh Ta’ala sangat dekat. Begitu pun pertolongan dan kasih-sayang-Nya.
Wallohu a’lam bishowab.
Itu sebabnya, alih-alih menunjukkan penyesalan yang mendalam atas musibah yang terjadi, ajaklah anak melihat kejadian tersebut secara positif. Daripada memperbesar rasa khawatir sampai anak tak bisa berkembang secara wajar.
Tunjukkanlah kesungguhan Anda dalam meraih kebaikan tersebut kepada anak, sehingga ia juga akan belajar bersungguh-sungguh. Ia merasa yakin dan bangga kepada orangtuanya karena sudah berpayah-payah melakukan yang terbaik untuknya. Ia juga merasa tenteram karena yakin orangtuanya selalu melakukan yang terbaik untuknya.
Bedakan Masalahnya
Akhirnya, penting juga untuk Anda periksa secara jujur, siapa sesungguhnya yang mengalami trauma; Anda atau anak. Perlakuan yang kita berikan kepada anak kerapkali berdasarkan apa yang kita rasakan. Karena merasa kedinginan, kita segera beranjak untuk menyelimuti anak kita yang sedang tertidur lelap. Padahal, boleh jadi ia justru sedang gerah.
Nah, begitu pula dengan trauma. Tangisnya yang histeris saat peristiwa terjadi adalah hal wajar. Tapi lihatlah, bagaimana sikap dan perilaku anak sesudah itu. Kalau satu-dua hari atau seminggu sesudah kejadian masih takut mendekati benda yang menyebabkan ia celaka, itu adalah hal yang sangat wajar. Tak perlu dirisaukan. Anda hanya perlu membesarkan hatinya. Tetapi kalau sampai berbulan-bulan rasa takutnya masih besar, Anda perlu mendampinginya secara khusus.
Jika anak tetap ceria sementara Anda sangat cemas jika dua menit tak melihatnya, itu berarti Anda yang mengalami trauma. Luangkan waktu sejenak untuk memulihkannya. Atasi trauma yang Anda alami. Sementara kepada anak, bersikaplah seperti tak terjadi apa-apa.
Wallohu a’lam bishowab
Mohammad Fauzil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar