Minggu, 12 Juni 2016

Meletakkan Visi pada Anak

Banyak tokoh telah berlalu. Mereka meninggalkan karya dan catatan dalam sejarah yang dapat kita buka lembarannya setiap saat.

Dr. Muhammad Iqbal salah satunya. Ia pemikir besar Muslim yang sangat berpengaruh. Gagasan-gagasannya banyak dikaji orang hingga hari ini.

Apa yang menarik dari Dr. Muhammad Iqbal buat kita para orangtua? Visi ayahnya. Jika ibu bertugas menyayangi, melimpahi perhatian yang tulus, mengasuhnya dengan penuh kelembutan, serta memberi rasa aman sejak hari pertama kelahiran; maka kita melihat bahwa para ayah dari orang-orang besar meletakkan visi yang kuat pada diri anak-anaknya. Inilah yang kita dapati pada diri Luqman Al-Hakim, tukang kayu yang menggenggam hikmah dari Alloh ‘Azza wa Jalla mengabadikan dalam al-Qur`an. Begitu pula pada diri Nabi kekasih Alloh Ta’ala, Ibrohim ‘alaihissalam, bapak para Nabi. Dari seorang ayah yang memiliki visi Ilahiyah sangat kuat ini, lahir para nabi pembimbing umat. Tidak terkecuali Nabi Muhammad Shollallohu’alaihi wa sallam (SAW).

Kenabian memang bukan soal visi orangtua. Ia merupakan hak mutlak Alloh SWT untuk memberikan kepada orang yang dipilih-Nya. Kenabian juga telah berakhir. Sesudah Muhammad SAW, tak ada lagi Nabi dan Rosul yang akan dibangkitkan di tengah-tengah umat ini.

Tetapi…
Ada yang bisa kita petik dari ayah Dr. Muhammad Iqbal. Kepada Iqbal kecil, ayahnya memberi nasihat, “Bacalah al-Qur`an seakan-akan ia diturunkan untukmu.”

Tentu ada banyak nasihat yang pernah diberikan ayahnya. Tetapi nasihat inilah yang membekas di dada Iqbal kecil sehingga memengaruhi perkembangan jiwanya.

Tentang nasihat ayahnya ini, ia memberi kesaksian:

“Setelah itu,” kata Dr. Muhammad Iqbal menuturkan, “Al-Qur’an terasa berbicara langsung kepadaku!”

Inilah nasihat yang sangat visioner. Ia mengingatkan hal-hal pokok yang apabila itu hidup dalam dirinya, maka seluruh pikiran dan tindakannya akan terwarnai. Hal yang sama berlaku untuk motivasi, dorongan belajar, nasihat tentang perilaku, dan seterusnya. Ada nasihat yang hanya memiliki kekuatan satu-dua jam, ada nasihat yang memiliki kekuatan satu-dua minggu dan ada juga nasihat yang memiliki kekuatan hingga masa yang sangat panjang.

Kemampuan memberi nasihat yang paling tepat untuk menggerakkan kebaikan dalam diri anak, kerapkali bukan lahir dari kecerdasan orangtua. Betapa banyak anak-anak yang memiliki orangtua doktor sekaligus dokter, tetapi kualitas pengasuhan dan pendidikan keluarga yang ia terima hanya setingkat dengan mereka yang tidak mampu menamatkan pendidikan dasar di SD Inpres yang paling buruk. Kenapa?

Salah satunya karena orangtua tidak punya visi dalam mengasuh dan mendidik. Sebab lain yang kerap saya temui, mereka –para orangtua—menempuh pendidikan tinggi memang bukan untuk menyiapkan anak-anak masa depan. Kembali ke rumah setelah menempuh jenjang pendidikan yang sangat tinggi merupakan mimpi yang buruk. Mereka memilih menyerahkan anak-anaknya kepada orang yang sebenarnya tidak diciptakan untuk mendidik anak. Mereka mungkin bagus dalam mendidik anak-anaknya, tetapi bukan anak kita.

Contoh sederhana. Tugas orangtua mendidik anak, sedangkan tugas nenek memanjakan cucu. Tidak ada masalah yang perlu dirisaukan seandainya masing-masing menjalankan perannya dengan baik. Nenek secara alamiah akan cenderung memanjakan cucu. Tanpa disuruh, mereka akan melakukannya. Sebagian orangtua bahkan merasa kebingungan bagaimana menghadapi nenek yang begitu memanjakan cucu. Alih-alih risau terhadap kelangsungan pendidikan anak, kita menuding nenek anak-anak kita sebagai penyebab kekacauan. Padahal, akar masalahnya terletak pada rendahnya komitmen kita menjalankan tugas sebagai orangtua. Atau, boleh jadi kita memiliki komitmen yang sangat kuat, tetapi tidak memiliki visi yang jelas.

Apa yang Anda inginkan terhadap anak Anda?

“Saya ingin punya anak yang saleh.” Saleh yang seperti apa? Coba rumuskan.

“Saya ingin punya anak yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama.” Wah, ini persis seperti petuah pada penataran P-4. Singkat, padat, dan tidak jelas. Apakah yang Anda maksud berguna bagi nusa, bangsa, dan agama itu berarti tukang sapu jalan yang rajin sholat lima waktu? Negara ini butuh tukang sapu, meski negara ini juga membutuhkan negarawan yang baik, memiliki keteladanan yang tinggi dan kerendah-hatian untuk mendengarkan suara rakyatnya langsung dari lisan mereka.

Lalu, Kenapa Visi?

Jika saya boleh menyepakati pengertian visi sebagai an ideal standard of excellence (standar ideal keunggulan), maka visi yang kuat akan membangkitkan sense of purpose and direction. Kepekaan terhadap tujuan dan arah. Visi membentuk gambaran mental (mental image) pada diri kita sehingga memengaruhi perasaan, pikiran, sikap, dan tindakan kita. Semakin kuat visi kita, semakin peka kita membawa kepada tujuan. Sebaliknya, kita juga semakin cepat menangkap apa yang menjauhkan dari tercapainya standar ideal kesempurnaan dan kehebatan.

Tetapi harap diingat, lamunan yang tak diikuti dengan upaya yang keras, gambaran yang jelas dan tujuan yang kuat, bukanlah visi. Ia adalah angan-angan kosong. Tak bernilai. Wallohu a’lam bishowab.

Bukan Fasilitas dan Keterampilan
Kisah Dr. Muhammad Iqbal hanyalah sekadar contoh bagaimana visi orangtua memengaruhi pribadi seorang anak. Ada yang bisa kita petik di sini. Bukan tentang pemikiran Dr. Muhammad Iqbal, tetapi tentang bagaimana orangtua mempersiapkan anaknya. Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa ada yang lebih berharga daripada sekadar kecerdasan. Keyakinan, sikap hidup, cara berpikir, dan prinsip hidup merupakan bekal yang jauh lebih berharga daripada prestasi-prestasi akademik. Tanpa keyakinan yang kuat, orang yang paling cerdas bisa terombang-ambing hidupnya. Tanpa keimananan yang bersih, orang yang paling sukses kariernya bisa mengalami kehampaan ruhani.

Pertanyaannya, apakah yang sudah kita tanamkan pada anak-anak kita? Belajar dari para orangtua sukses di masa lalu, umumnya yang paling menonjol bukan pada banyaknya fasilitas yang mereka berikan kepada anak-anak. Juga bukan pada banyaknya keterampilan yang dilatihkan sehingga mereka cakap bekerja. Tetapi warisan yang paling berharga bagi anak-anak itu adalah visi hidup, keyakinan yang kuat, keimanan yang kokoh, sikap hidup yang baik, dan kesediaan untuk memperjuangkan keyakinan. Inilah yang sepertinya justru kurang pada anak-anak di masa ini. Atau jangan-jangan kita sendiri sebagai orangtua belum memiliki kualitas yang seharusnya kita tanamkan pada anak-anak kita, sehingga –sebenarnya— kita belum layak menjadi orangtua.

Astaghfirullohaladzim. Alangkah besar harapan… dan alangkah sedikit bekal yang sudah tersedia.

Semoga Alloh Ta’ala mengampuni kita semua. Semoga Alloh Ta’ala membaguskan amal-amal kita. Semoga pula Alloh Ta’ala membaguskan anak-anak kita dan memasukkan mereka ke dalam barisan para penolong agama-Nya. Allohumma aamiin.

Mohammad Fauzil Adhim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar