Rabu, 01 Juni 2016

Kemelut Politik Klaim Pancasila

Sungguhpun Pancasila sering dianggap sebagai “kalimatun sawaa” diantara founding fathers bangsa Indonesia, namun diskusi seputar Pancasila seringkali berhadapan dengan beragam kerumitan. Diantara penyebabnya fenomena politik klaim yang terjadi secara massif, baik ditingkat wacana maupun gerakan. 

Imbasnya cukup serius, di mana Pancasila lebih banyak diposisikan sebagai sarana propaganda dan alat politik dari satu pihak kepada pihak lain, ketimbang diletakkan sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Mari kita lihat beberapa contoh kasusnya.

Pertama, Klaim Historis
Sejarah sering disebut sebagai ilmu yang kental dengan subjektifitas, karena ditulis oleh pemenang. Tidak terkecuali dengan sejarah lahirnya Pancasila. Golongan nasionalis memandang Pancasila sebagai hasil permufakatan BPUPKI, sedang beberapa kelompok Islam memposisikan Pancasila sebagai bentuk penelikungan sejarah.

Hal ini akhirnya membawa beberapa konsekuensi serius. Diantaranya, munculnya usaha dari sekelompok pihak untuk meluruskan sejarah perjalanan bangsa. Sederhananya adalah, Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 semestinya jadi negara Islam dan bukan negara Pancasila. Cakupan perjuangannya juga luas, dari perjuangan konstitusional (Masyumi) hingga pergerakan bersenjata (DI/TII).

Selain itu, gerakan Islam seringkali diberi stempel negatif karena dianggap tidak Pancasilais. Baik gerakan yang bersifat dakwah kultural semata maupun gerakan Islam politik. Akibatnya, gerakan Islam seringkali dianaktirikan, dipinggirkan, dan sering tidak diberi simpati meskipun dalam posisi menjadi korban sebagaimana kasus Ambon sampai Siyono. Padahal diantara ciri khas aktivis biasanya memiliki keberpihakan yang tinggi kepada korban, meskipun korban dalam posisi salah sebagaimana pembelaan aktivis HAM untuk keluarga PKI.

Kedua, Klaim Penafsiran
Metode penafsiran itu bisa dengan cara memaknai teks per kata (metode tahlili), secara global (metode ijmal) hingga latar belakang historis (asbabul wurut). Pertanyaannya, pada kasus Pancasila siapakah yang paling berhak menafsirkannya?

Golongan nasionalis tentu merasa di atas angin untuk memberi tafsir atas Pancasila. Karena diterimanya Pancasila adalah wujud kemenangan perjuangan konstitusional mereka, baik di BPUPKI maupun Badan Konstituante dalam menentukan bentuk negara dan arah bangsa. Pancasila lalu diidentikkan secara personal kepada sosok Soekarno.

Sedangkan golongan Islam mengalami evolusi dalam penerimaan terhadap Pancasila. Jika awalnya kompak menolak, maka di tengah jalan sebagian melunak dan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Mereka yang menolak menganggap Pancasila sebagai Thoghut karena memiliki ritual tertentu yang dilakukan secara konstan layaknya peribadatan, seperti acara upacara bendera setiap hari Senin, pengagungan dengan memberikan hormat kepada bendera dll. Selain Pancasila juga digunakan secara salah untuk menindas dan memberangus gerakan Islam.

Sedang kelompok Islam yang menerima menganggap bahwa tidak ada yang salah dengan kelima sila yang terkandung dalam Pancasila. Bahwa kelima sila yang dirumuskan bisa dikembalikan pada Al Qur’an dan hadits. Kelompok ini biasanya disebut atau menyebut diri sebagai kelompok moderat. Dengan sendirinya, tercipta imej di tengah publik bahwa kelompok lain sebagai kelompok radikal.

Belakangan muncul klaim dari kelompok kiri baru alias newleft bahwa Pancasila sebenarnya konsep perjuangan kaum kiri. Mereka mengklaim Soekarno sebagai tokoh kiri dan sila Pancasila sebagai rumusan kaum sosialis. Pada masa dahulu, baik golongan kanan maupun kiri menganggap bahwa Pancasila bukan bagian dari perjuangan mereka. Karena itu, dibuat konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), karena ketiganya adalah entitas/kelompok yang berbeda satu sama lain.

Hal yang menarik sebenarnya terjadi pada masa orde baru, di mana Presiden Soeharto memberi tafsiran tersendiri tentang Pancasila, dengan penataran P4 yang diwajibkan kepada siswa dan PNS baru. Soeharto sendiri lebih mencerminkan golongan militer yang kental dengan pendekatan keamanan. Dan beliau tidak memiliki nasab pergerakan seperti halnya kaum nasionalis, golongan Islam maupun komunis.

Ketiga, Klaim Politik
Ini juga problem mendasar dalam kemelut politik klaim terhadap Pancasila. Pertanyaan mendasarnya adalah “Siapakah orang yang layak disebut sebagai golongan Pancasilais sejati?”. Apakah mereka yang selalu membawa gambar Pancasila dalam setiap baliho dan spanduknya? Apakah mereka yang tewas sebagai pahlawan revolusi? Apakah mereka yang memiliki standar nilai moral tertentu?

Sekedar perbandingan, di dalam Islam ada tokoh yang menjadi rujukan seperti apa pengamalan Islam yang benar, yakni Rosululloh saw. Meski sudah begitu, kenyataannya banyak tafsiran tentang Islam yang benar, mulai dari peribadatan hingga fase pergerakan. Contoh mudah, doa itu mengangkat tangan apa tidak? Sujud sahwi itu dilaksanakan sebelum salam atau sesudah salam? Dan banyak lagi yang lainnya. Padahal, contohnya jelas dan cuma satu, yakni Rosululloh saw.

Apakah Soekarno dan Soeharto memiliki kualifikasi sebagai “uswatun hasanah” atas konsepsi Pancasila? Jawabannya bisa iya dan bisa pula tidak, bergantung dari kelompok mana yang menjawab dan metode tafsir apa yang digunakan. Karena tidak ada dalil dari langit yang mentahbiskan seseorang sebagai “qudwah”, maka klaim politik lebih mendominasi.

Sampai sekarang, Pancasila sering digunakan sebagai sarana untuk memvonis kelompok lain dan menjadi alat pembenar untuk melakukan tindakan ekstrim sekalipun. Karena tindak kekerasan bisa terjadi atas nama apa saja, baik atas nama agama, atas nama kemanusiaan bahkan atas nama menjaga perdamaian.

Khotimah
Hemat kami, perlu ada kedewasaan untuk memandang peristiwa masa lalu. Karena kemelut klaim seperti ini tidak akan pernah selesai. Mari kita belajar pada kasus Ka’bah. Di mana Ka’bah sekarang tidak sama sebagaimana bangunan awal yang didirikan oleh Nabi Ibrohim dan Ismail. 

Rosululloh bersabda “Jika bukan karena kaummu baru saja masuk Islam, niscaya akan ku kembalikan bangunan Ka’bah seperti semula”. Beberapa kholifah setelahnya ada yang ingin merubah bentuk-bentuk Ka’bah, baik karena alasan agama maupun politis. 

Akhirnya Imam Malik bin Anas berkata “Wahai Amirul Mukminin, janganlah negkau membuat Ka’bah menjadi mainan para penguasa”. Kholifah Harun Al Rosyid pun mengurungkan niatnya untuk mengubah bentuk Ka’bah dan hal itu berlaku sampai sekarang.

Pancasila kira-kira juga demikian. Persoalannya tinggal bagaimana kita bisa jujur melihat sejarah serta bagaimana agar Pancasila bisa memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Wallohu a’lam.

Eko Junianto, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar