Jumat, 24 Juni 2016

Sekali Lagi tentang Pendidikan Seks

Seandainya umur ini kita habiskan untuk menanggapi setiap isu dan gejolak yang muncul, niscaya tidak akan pernah cukup. Akan selalu muncul isu yang menyibukkan, sehingga kita dapat kehilangan arah. Lupa bahwa ada hal mendasar yang perlu dilakukan. Lupa bahwa ada pegangan yang tidak pernah berubah, sehingga dengan meneguhkan keyakinan kepadanya, masalah-masalah yang tampak sangat rumit akan terurai lebih sederhana.

Agama kita Islam. Bukan yang lain. Dan Islam memberikan dua pegangan yang kokoh. Bahkan seandainya kita sedang berselisih pun, jika masing-masing mau kembali kepada dua pegangan itu secara jujur dan adil, niscaya perselisihan akan padam. Itulah wahyain (dua wahyu), yakni al-Qur`an yang merupakan sebaik-baik perkataan dan As-Sunnah sebagai sebaik-baik petunjuk.

Mari kita ingat kembali seraya menguatkan keyakinan bahwa sebaik-baik perkataan adalah Kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rosululloh. Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru yang diadakan. Maka setiap datang “pegangan” yang baru dalam mengasuh dan mendidik anak, mari kita tengok kembali apakah ia bersesuaian dengan wahyain, seolah-olah bersesuaian, atau justru bertolak belakang.

Sekali lagi kita akan berbincang tentang pendidikan seks. Sungguh, tidak ada satu pun dari apa yang disebut sebagai pendidikan seks modern merupakan hal yang ilmiah. Tidak. Itu berkait erat dengan paradigma yang dianut, dan paradigma itu sekali-kali tidaklah terlepas dari ideologi; dari keyakinan yang menaunginya.

Paradigma pendidikan seks “modern” yang disebut-sebut ilmiah, tidak terlepas dari paradigma pendidikan seks yang dianut Amerika, tidak terkecuali pergeserannya, yakni dari pro-choice (kebebasan untuk memilih melakukan tindakan seksual), pro-safe (pendekatan yang tetap memberikan kebebasan seks dengan mempertimbangkan keamanan dari segi kesehatan), dan belakangan muncul paradigma yang kurang bergaung, yakni pro-abstinence (tidak ada hubungan seks sebelum menikah). Tiap-tiap paradigma memiliki cara sendiri, termasuk mengenalkan secara visual dan tidak jarang cenderung vulgar terhadap organ-organ seks kepada anak-anak yang ini sungguh merupakan aurat besar. Kita harus menjaganya, melindunginya dari terlihat orang lain, dan mengendalikan diri agar tidak melihatnya dengan menundukkan pandangan. Sementara pendidikan seks “modern” justru memperlihatkan dengan sangat terang. Bahkan terhadap yang bukan aurat besar pun, Islam memerintahkan kita agar menundukkan pandangan. Ini telah cukup sebagai hujjah bagi kita bahwa cara-cara tersebut bukanlah cara-cara kita; bukan cara-cara yang apabila kita berpayah-payah mengajarkannya kepada anak akan berbuah pahala dan ridho Alloh Ta’ala. Salah-salah justru mengundang dosa.

Kita tidak menutup mata bahwa pornografi sudah sedemikian memprihatikan. Kita tidak menampik kenyataan bahwa hari ini anak-anak di negeri ini begitu tak terlindungi dari paparan sampah budaya yang begitu mengerikan bernama pornografi, bahkan termasuk pornografi yang tidak dianggap porno karena berselubung olahraga misalnya. Tetapi ini semua tidak semestinya menjadikan kita panik sehingga melupakan panduan Islam, seolah agama ini tidak menyediakan bekal yang mencukupi dalam mengasuh dan mendidik anak untuk menjadi pribadi dewasa yang menyejukkan mata hati kita dunia akhirat.

Laporan yang ditulis oleh David Bamber dari Home Affairs Editor harian The Telegraph, Inggris berjudul Teen pregnancies increase after sex education classes hanya salah satu pelajaran. Sebuah catatan bahwa pendidikan seks yang disebut modern dapat menjadi awal dari musibah besar. Ada lonjakan kasus yang sangat dratis, dari 25,143 remaja usia 19 tahun ke bawah yang mengalami penyakit menular seksual (PMS) di tahun 1997 menjadi 40,821 kasus di tahun 2002 atau mengalami lompatan tajam sebesar 62%. Mengerikan. Padahal pendidikan seks tersebut diberikan agar remaja tidak mengalami PMS. Padahal Inggris masih termasuk lebih santun dibandingkan beberapa negara Eropa lainnya.

Sesungguhnya, secara prinsip tantangan mendidik di zaman ini sama dengan zaman-zaman sebelumnya, sama pula dengan zaman yang akan datang. Bentuknya saja yang berubah. Kerusakan iman yang disebabkan oleh pemahaman, keyakinan, dan aqidah yang salah serta kerusakan agama yang bersumber pada syahwat terhadap dunia maupun lawan jenis, termasuk keinginan untuk meraih decak kagum manusia.

Kapan Seharusnya Masa ‘Aqil Baligh Tiba?
Yang pertama perlu mendapat perhatian kita adalah menjaga anak-anak, mendampingi, dan mengasuhnya dengan tepat agar masa ‘aqil baligh datang mendahului kemasakan seksual. ‘Aqil baligh berarti akalnya telah sampai, yakni anak sanggup menerima tanggung jawab sebagai manusia dewasa. Ia memiliki kematangan pribadi, sudah mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, baik berupa amal sholih maupun amal salah.

Sebelum menginjak usia 10 tahun, tepatnya ketika menginjak masa tamyiz atau anak mampu membedakan baik dan buruk serta benar dan salah dengan akalnya, kita mulai mengajarkan ibadah beserta hukum-hukum yang menyertainya. Ini merupakan persiapan ilmu sekaligus mental sebelum memasuki usia 10 tahun, usia ketika anak mulai belajar menerima konsekuensi jika melakukan pelanggaran syari’at.

Masa tamyiz datang ketika anak berusia 6 atau 7 tahun. Artinya, ada masa tiga tahun untuk belajar, berlatih, memahami hukum, dan berbekal secara mental untuk mempertanggungjawabkan perbuatan. Memasuki usia 10 tahun adalah masa penegakan disiplin; orangtua dapat mengambi tindakan tegas yang lebih keras, meskipun tetap tidak dibolehkan memukul dengan pukulan yang menyakitkan.

Jika rentang usia 7 hingga 10 tahun menjadi masa untuk menyiapkan ilmu maupun mental anak dalam melaksanakan syari’at, maka usia 10 tahun merupakan persiapan untuk menyambut hadirnya masa dewasa. Anak tidak lagi boleh tidur dalam satu selimut dengan sesama jenis, meskipun itu saudaranya sendiri. Tegakkan adab terhadap lawan jenis, menjaga waktu-waktu aurat, menundukkan pandangan, serta mempelajari hukum-hukum syari’at yang berkait dengan kewajiban sehari-hari. Ini sangat bermanfaat untuk mematangkan pribadinya. Tetapi jika di rentang usia ini anak dibiarkan melihat apa saja, diizinkan untuk menyibukkan diri melihat hal-hal yang seharusnya ia menundukkan pandangan, maka sangat mungkin kemasakan seksual terjadi bahkan jauh sebelum usia 10 tahun. Boleh jadi usianya baru 8 tahun, tetapi telah mengalami menarche (menstruasi pertama). Usia baru menginjak 9 tahun, tetapi sudah mengalami polutio saat ihtilam (mimpi basah).

Nah, apa yang perlu diberikan untuk anak-anak kita? In sya Alloh kita akan bicarakan bulan depan.

Mohammad Fauzil Adhim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar