Rabu, 01 Juni 2016

Naga dalam Penjara

Sebagaimana dunia, yang dihuni oleh orang baik dan orang jahat. Demikian pula dengan penjara, yang dihuni oleh pelaku kriminal, lawan politik, hingga orang tak bersalah yang bernasib sial atau dikorbankan. Karena itu, ada orang yang keluar penjara dan menyandang status sebagai sampah masyarakat, ada pula yang disambut hangat seperti pahlawan.

Bagi sebagian kalangan, penjara adalah tempat yang menakutkan. Di mana seseorang akan menerima siksaan fisik dan tekanan mental. Mereka akan diisolasi dari dunia luar, dibatasi pergerakannya, dan dilumpuhkan pikirannya. Penjara memang menjadi tempat pesakitan bagi para pelaku kriminal, namun bisa juga menjadi sarana peneguhan jatidiri bagi orang-orang besar. Apa fungsi penjara bagi para pejuang berjiwa ksatria?

Pertama, Tempat Berdakwah
Hal ini terjadi pada Nabi Yusuf As. Beliau adalah seorang nabi yang digambarkan oleh Rosululloh sebagai “Al Karim bin Karim bin Karim bin Karim”. Maksudnya, orang yang mulia (Nabi Yusuf) anak dari orang yang mulia (Nabi Ya‘qub), anak dari orang mulia (Nabi Ishaq), anak dari orang mulia (Nabi Ibrohim). Luar biasa, nasab kenabian tersambung berurutan hingga derajat keempat (cicit).

Nabi Yusuf As disebut sebagai orang yang mulia oleh Rosululloh. Demi menjaga kemuliaannya, beliau berkata “Robbis sijnu ahabbu ilayya mimmaa yad’uu nanii ilaihi”. Ucapan khas para pejuang yang menggambarkan idealisme yang tidak bisa dibeli. Sebagaimana halnya Imam Ahmad bin Hambal yang lebih memilih di siksa dan di penjara ketimbang mendukung paham Mu'tazilah yang menyatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, bukan Kalamulloh.

Saat berada didalam penjara, beliau berdakwah kepada sesama tahanan. Mengajak mereka ke jalan tauhid dan merenungi hakikat kehidupan. Berdakwah memang tugas mulia para nabi dan pengikutnya, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Baik didalam istana sebagaimana Nabi Sulaiman, di dalam mihrob sebagaimana Nabi Zakaria atau bahkan didalam penjara sebagaimana Nabi Yusuf.

Kedua, Tempat Ber-'uzlah
Ber-'uzlah (mengasingkan diri dari dunia) pada hakekatnya diharamkan, kecuali dalam kondisi takut terkena fitnah maupun dipaksa oleh penguasa. Dalam hal dipaksa oleh penguasa, ber-'uzlah dilakukan dengan mengasingkan ke satu daerah tertentu atau mengurungnya dalam penjara. Apa yang dilakukan oleh orang sholih saat ber-'uzlah? Mereka mengisi hari-harinya dengan beribadah kepada Alloh.

Diantara ucapan yang sangat terkenal dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah “Apa yang bisa dilakukan oleh musuh kepadaku? Jika mereka mengusirku, berarti aku akan rihlah. Jika mereka memenjarakanku, berarti aku akan ber-'uzlah, jika mereka membunuhku, berarti aku akan syahid”. Ini adalah ungkapan yang menunjukkan beliau dalam posisi bebas tekanan dan merasa “Nothing to loose”, apapun kondisinya.

Seseorang yang ber-'uzlah, maka ibadahnya akan meningkat. Mereka bisa tilawah Al Qur’an dengan tenang, tanpa gangguan aktivitas sebagaimana para santri di pondok tahfizh. Mereka bisa berpuasa dengan nyaman, mereka bisa qiyamullail sepuasnya dll. Maka tidak heran jika dalam penjara, ada orang-orang yang bisa menjadi Hafizh Qur’an.

Ketiga, Tempat Berkarya
Banyak karya monumental yang lahir dari penjara. Dari memoar hingga tafsir Al Qur’an. Karena lahirnya di medan juang, maka suasana kejiwaan sebagai pejuang mengalir kental dalam setiap goresan pena yang ditorehkannya. Dan secara mudah, hal ini akan ditransmisikan kepada siapa saja yang membaca hasil karyanya.

Ada Sayyid Quthb yang mengarang tafsir Fii Dzilalil Qur’an. Sebuah kitab tafsir yang berjiwa haroki tapi dibungkus dengan untaian sastra yang tinggi. Apresiasi para ulama dalam kitab-kitab Ulumul Qur’an disampaikan jelas, khususnya saat membahas bab At Tafsir wal Mufassiruun. Meski banyak pula yang mencibirnya karena menganggapnya berpaham khowarij/beraliran keras dan radikal.

Ada Buya Hamka yang mengarang kitab Al Azhar. Sebuah kitab tafsir yang diterima dan dikaji secara luas di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, dan beberapa negara lainnya. Buya Hamka memiliki banyak kesamaan seperti Sayyid Quthb yakni sebagai sastrawan, sejarawan maupun pejuang. Wajar jika kitabnya mendapatkan apresiasi tinggi karena tingginya kandungan pembahasan di dalamnya.

Keempat, Madrasah Pendidikan
Orang-orang mulia memiliki daya magnet yang tinggi. Mereka bisa menarik orang lain untuk mendekat kepadanya sekaligus mampu menularkan sifat magnetnya kepada orang lain. Hal seperti ini terjadi di mana saja, baik di Istana maupun penjara. Dahulu, para ulama sangat benci dengan istana dan bertemu dengan penguasa. Namun setelah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz menjadi kholifah, maka banyak ulama yang bertandang ke istana. Baik untuk memberi nasihat dan wasiat, memberi masukan tentang urusan kenegaraan, hingga bermajelis (mudzakaroh) dengannya.

Tidak lama setelah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dijebloskan ke penjara, segeralah menyusul santri utamanya, yakni Ibnul Qoyyim Al Jauziyah. Selain untuk membantu mengurus keperluannya, juga untuk terus menyerap ilmu dari syaikhnya itu. Banyak juga para ulama dan pejabat yang berkunjung ke penjara untuk bermajelis maupun meminta fatwa dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Salah satu fungsi penjara adalah melakukan terapi dan rehabilitasi mental kepada para tahanan. Agar mereka bertaubat dari perbuatan dosa dan maksiat dan siap terlahir kembali menjadi orang baru. Memang ada juga tokoh agama yang ditugaskan untuk melakukan pendampingan dan pembinaan spiritual. Namun hadirnya ulama yang berstatus sebagai tahanan seringkali efeknya lebih kuat bagi penghuni lapas, karena interaksi yang lebih intens dan solidaritas sebagai sesama tahanan.

Kelima, Benteng Perlindungan
Kita sulit memungkiri ada banyak kekejaman dan proses dehumanisasi didalam penjara sebagaimana yang terjadi di Kamp Guantanamo dan Abu Ghraib. Tak jarang, penyiksaan yang berlebihan berujung pada cacat permanen dan berujung kematian. Namun dalam beberapa kasus, penjara juga bisa menjadi tempat berlindung yang aman bagi para tahanan. Mereka lebih aman berada didalam penjara ketimbang di luar penjara.

Jelang pemberontakan PKI tahun 1965 di Indonesia, mereka melakukan banyak pembunuhan massal kepada para ulama, kyai, dan satri yang tidak sejalan dengan paham komunis. Di lain sisi, Presiden Soekarno juga banyak menjebloskan lawan-lawan politiknya yang tidak sepakat dengan ide Nasakom dengan menganggapnya sebagai pihak yang anti revolusioner dan berpotensi melakukan tindakan subversif.

Akhirnya, banyak tokoh-tokoh besar dari aktivis Masyumi yang masuk penjara. Seperti halnya Buya Hamka, M. Natsir dll. Mereka berstatus sebagai tahanan politik, bukan penjahat kriminal. Mereka keluar dari penjara saat Soeharto naik menjadi presiden. Diantara hikmah tersembunyi adalah, mereka selamat dari gonjang ganjing berdarah tahun 1965. Dengan sikapnya yang sangat keras menentang paham komunisme, sangat mungkin mereka diincar sebagai target operasi untuk dieksekusi oleh PKI sebagaimana lazim terjadi di berbagai daerah. Namun karena posisinya ada di penjara yang dijaga ketat oleh militer, maka mereka aman.

Khotimah
Ada hadits yang sangat terkenal dan sering disampaikan oleh para muballigh “Ad dun-ya sijnul mu’min, wa jannatul kaafir”. Selain dipahami secara literal, kita juga paham bahwa dunia dan penjara memiliki beberapa kesamaan, yakni sama-sama sebagai tempat berkiprah, berkarya, dan berprestasi. Mari kita menjadi orang berjiwa merdeka meskipun fisiknya di penjara. Jangan sebaliknya, jiwanya terpenjara meskipun fisiknya bebas merdeka. Wallohu a’lam.

Eko Junianto, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar