Selasa, 07 Juni 2016

Ramadhan's Race

Jika pistol sudah dibunyikan atau bendera start sudah diangkat, pertanda peserta lari bisa segera beraksi. Begitulah, pemerintah sudah menetapkan awal Romadhon melalui sidang itsbat, pertanda kompetisi kebaikan sudah dimulai. Semua berlomba agar bisa jadi yang terdepan, terbanyak dan terbaik dalam melakukan suatu amal kebajikan. Istilahnya, fastabiqul khoirot.

Jika kita perhatikan dengan seksama, ternyata respon peserta kompetisi kebajikan di bulan Romadhon memiliki gaya yang berbeda-beda. Meski start-nya sama, namun progresnya cukup bervariasi satu sama lain. Kita bisa kelompokkan ke dalam beberapa kategori, diantaranya:

Pertama, Pelari Sprinter
Sejak peluit ditiup, mereka mengambil kecepatan penuh. Semua amalan dilakukan full speed dengan standar top performance. Pelari sprinter umumnya mampu mengambil tolakan penuh sejak langkah pertama. Ini karena faktor kebiasaan dan latihan rutin. Kita bisa melakukan aksi amaliah Romadhon sebagai model pelari sprinter jika melakukan persiapan yang cukup, yakni sejak 6 bulan sebelumnya. Maksudnya, suasana Romadhon dengan berbagai amaliahnya sudah kita biasakan sejak lama, sehingga kita masuk ke Romadhon sudah dalam posisi on fire.

Sebagaimana ceetah, umumnya pelari sprinter hanya bisa berlari cepat dalam jangka pendek saja. Sedang jangka jauh, mereka akan kalah karena kehabisan baterai. Hal ini bergantung dari seberapa keras seseorang berlatih. Bagi mereka yang sudah melakukan persiapan dengan baik, maka jarak satu bulan masih berada dalam jangkauan lintasan 100 meter. Sebagaimana petinju hebat, mereka menyiapkan diri untuk terus menerus memukul dalam jangka waktu 12 ronde. Bukan sekedar untuk meledak di atas ring dalam durasi 3-5 ronde saja.

Imam Syafi’i mungkin layak dijadikan contoh kasus model sprinter. Dimana beliau memiliki kebiasaan untuk mengkhatamkan Al Qur’an dua kali sehari selama bulan Romadhon. Dan beliau melakukannya secara konstan sejak hari pertama Romadhon. Demikian pula banyak salafush sholih yang berlari kencang dengan amaliah Romadhon sejak hari pertamanya dan terus istiqomah hingga takbir Syawal berkumandang.

Kedua, Pelari Marathon
Mempertimbangkan jarak tempuh yang jauh, maka seorang pelari marathon memulainya dengan langkah ringan dan mudah. Durabilitas menjadi faktor kunci agar bisa berlari dengan kecepatan konstan. Lama-lama mereka menikmati dan tidak lagi berfikir tentang jauhnya jarak yang ditempuh. Mereka hanya berfikir bagaimana bisa melewati pohon demi pohon, atau gunung demi gunung. Saat di rasa garis finish mulai dekat, pelari marathon akan meningkatkan kecepatannya dan terus berpacu seperti pelari sprinter hingga garis finish.

Kebanyakan kita umumnya melakukan amaliah Romadhon dengan pola pelari marathon. Meski sudah menginginkannya sejak lama, namun kita cenderung tidak melakukan persiapan secara khusus dan spesial untuk beramal. Akibatnya, saat awal Romadhon posisi mesin masih belum panas. Setelah berlalu beberapa waktu, mesin mulai panas dan bisa bergerak dengan stabil. Lalu pada akhir Romadhon, kita akan melaju kencang. Khususnya untuk mengejar lailatul qodar, dengan i’tikaf, khotaman al Qur’an, menyalurkan ziswaf dll.

Ketiga, Pelari Estafet
Pelari estafet tidak menyiapkan diri untuk berlari menyelesaikan semua jalur hingga garis finish sebagaimana pelari sprint dan pelari marathon. Dia menyiapkan untuk satu kali putaran atau satu garis lintasan tertentu. Setelah menyerahkan tongkat estafet kepada pelari selanjutnya, maka tugasnya dianggap usai.

Sebagian kalangan awam melalui bulan Romadhon dengan pola pelari estafet. Mampu berlari cepat di awal, tapi tidak mampu menyelesaikan seluruh jalur lintasan. Mereka berhenti di tengah jalan, entah karena capek atau disebabkan merasa bahwa tugas dan target yang ditetapkan sudah tercapai. Sudah dua kali khotam al Qur’an, sudah mencapai nominal tertentu dalam penggalangan ziswaf dll. Selanjutnya, mereka bersiap dengan kesibukan pribadi, berupa persiapan berhari raya atau persiapan mudik ke kampung halaman.

Khotimah
Bagaimana cara kita untuk berlari sangat tergantung dari siapa kita dan bagaimana kondisi kita. Jika memang tidak bisa berlari sprint, setidaknya kita bisa menjadi pelari marathon. Jangan sampai kita hanya berperan sebagai pelari estafet apalagi hanya sebagai penonton. Suasana kejiwaan penonton kadang larut dalam euforia, melebihi mereka yang menjadi pemain (atlet). Meski seringkali penuh dengan gegap gempita dengan aneka kembang api dan petasan, namun mereka hanyalah penonton yang tidak tahu bagaimana rasanya berlari di arena balapan. Wallohu a’lam.

Eko Junianto, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar