orang
lain menilai kita berdasar apa yang SUDAH kita lakukan
-Benjamin
Franklin-
‘ALI
IBN ABI THOLIB
Rodhiyalloh ‘Anhu memang lelaki
periang dan penuh kelakar. Bahkan menjelang wafatnya, ketika di shubuh itu
pedang ‘Abdurrohman ibn Muljam baru saja memancungnya di mihrob sholat, beliau
masih sempat bercanda, namun juga sungguh-sungguh.
“Aku telah membeli
pedang itu seharga seribu dirham!” teriak ‘Abdurrohman ibn Muljam sambil
meronta dalam rangketan para sahabat ‘Ali. “Lalu kulumuri dia dengan racun
seharga seribu dirham! Demi Alloh, lalu aku memohon pada-Nya agar pedang itu
bisa membunuh makhluk-Nya yang terburuk dan terkutuk!”
‘Ali tersenyum,
“Pintamu insya Alloh terkabul.”
“Jadi engkau
mengakui bahwa kaluah sejelek-jelek makhluk Alloh?”
“Tidak,” jawab
‘Ali. “Kaulah orangnya! Karena, duhai al-Hasan, putraku, jika aku mati setelah
ini, bunuhlah lelaki Khowarij ini sebagai qishosh dengan pedangnya itu! Demi
Alloh, aku pernah mendengar Rosululloh bersabda, ‘Maukah kuberitahukan padamu
seburuk-buruk makhluk, hai ‘Ali? Dia adalah Ahimyar Tsamud yang membunuh unta
Nabi Sholih, dan seorang lelaki yang mengayunkan pedang ke kepalamu hingga
darah membasahi janggutmu!’”
***
‘Ali, lelaki penuh
ilmu dengan pemahaman mendalam, sekaligus periang dan penuh kelakar.
Demikianlah ‘Umar ibn al-Khoththob suatu ketika mensifatinya. ‘Umar, meski
memiliki sifat firasat tajam, bukanlah orang yang sekilas lalu memberikan
penilaian. ‘Umar memiliki tiga ukuran untuk menimbang benarkah seseorang
mengenali orang lain.
Satu saat ketika
seseorang memuji kawannya dalam persaksian sebagai orang yang baik, ‘Umar
bertanya padanya, “Apakah engkau pernah memiliki hubungan dagang atau
hutang-piutang dengannya sehingga engkau mengetahui sifat jujur dan amanahnya?”
“Belum,” jawabnya
ragu.
“Pernahkah engkau,”
cecar ‘Umar, “Berselisih perkara dan bertengkar hebat dengannya sehingga tahu
bahwa dia tidak fajir kala berbantahan?”
“Ehm, juga belum…”
“Pernahkah engkau
bepergian dengannya selama sepuluh hari sehingga telah habis kesabarannya untuk
berpura-pura lalu kamu mengenali watak-watak aslinya?”
“Itu, itu juga
belum.”
“Kalau begitu
pergilah kau, hai hamba Alloh. Demi Alloh, kau sama sekali tidak mengenalnya!”
Ukuran-ukuran yang
dipakai ‘Umar ini begitu dalam dan penuh makna.
***
Menjelang wafat,
‘Umar memberikan penilaian pada keenam calon penggantinya, termasuk ‘Ali,
dengan pengenalan yang jujur dan amat terus terang. Imam az-Zuhri meriwayatkan
kejadian itu sebagaimana diuraikan oleh Ibnu Abil Hadiid dalam Kitab Syarh-nya.”Ketika terbaring akibat
lukanya,” begitu tulis beliau, “’Umar ibn al-Khoththob meminta agar keenam
anggota Majelis Syuro yang ditunjuknya dihadirkan dan memulai musyawarah di
dekatnya. Lalu beliau minta didudukkan.
“Apakah
masing-masing di antara kalian,” tanya ‘Umar menyela, “Berambisi untuk menjadi
kholifah setelahku?”
Semua yang hadir
terdiam takut. Tapi mereka melihat ‘Umar menyeringai. Ketika dia berteriak,
rupanya darah menyembur dari lukanya. Setelah terdiam sejenak, ‘Umar mengulangi
pertanyaannya.
“Apakah
masing-masing di antara kalian berambisi untuk menduduki kholifah sepeninggalku?
Jawablah aku!”
Az-Zubair ibn
al-‘Awwam memberanikan diri. “Benar,” ujarnya, “Memangnya apa yang menjauhkan
dan menghalangi kami darinya, sedang engkau hai ‘Umar telah menjabat dan
melaksanakannya? Padahal tidaklah kami lebih rendah daripada engkau di kalangan
Quroisy, juga dalam hal siapa yang lebih dulu masuk Islam, demikian pula dalam
hal kekerabatan dengan Rosululloh?”
‘Umar tersenyum.
“Bersediakah kalian,” tanya ‘Umar, “Aku beritahukan tentang sifat-sifat diri
kalian?”
Mereka menjawab,
“Ya. Sebab kau jujur dan keras, dan kau takkan memaafkan kami ataupun
meringankan penilaian jika kami meminta maaf!”
“Adapun engkau hai
az-Zubair,” kata ‘Umar sembari menghela nafas, “Adalah orang yang cepat
terbakar amarah, sempit dada, serta penuh ambisi. Engkau seorang mukmin di saat
ridho, dan sekaligus seorang kafir di saat murka. Sehari sebagai manusia dan
sehari sebagai syaithon. Bisa jadi jika aku memilihmu dan menyerahkan khilafah
kepadamu, niscaya engkau akan berbuat aniaya bahkan meski hanya pada satu mud
gandum. Pikirkanlah, hai az-Zubair. Jika aku memasrahkannya padamu, siapa yang
akan menjadi pemimpin bagi manusia pada hari engkau menjadi syaithon dan pada
saat kemurkaanmu meledak? Demi Alloh, Dia takkan menyerahkan urusan ummat
Muhammad ini kepadamu sedang dalam dirimu masih bersemayam sifat-sifat ini.”
Az-Zubair tertunduk
malu.
Kemudian ‘Umar
menghadap ke arah Tholhah ibn ‘Ubaidillah. “Apakah aku akan bicara tentangmu
atau diam?” tanyanya.
“Bicaralah. Tapi
memang aku tahu, sesungguhnya engkau takkan bicara tentang kebaikanku sedikit
pun!” jawab Tholhah.
“Demi Alloh, hai
Tholhah. Aku tidak mengenalmu lagi sejak hilangnya jari-jarimu di Perang Uhud.
Kau dirasuki bangga diri dan sombong. Telah wafat Rosululloh dalam keadaan
murka atas apa yang kau katakan sehingga turunlah ayat hijab. Hai Tholhah,
apakah akan aku tambah lagi ataukah aku diam?”
Tholhah nyaris
menangis. “Diamlah! Itu cukup!” katanya terisak.
Kemudian ‘Umar
menghadap ke arah Sa’d ibn Abi Waqqosh. “Adapun engkau, hai Sa’d. adalah tukang
berburu, pemilik busur, anak panah, dan tombak. Engkau adalah bagian dari
sekumpulan kuda perang dan pasukan. Engkau seorang panglima perang yang
memiliki kuku-kuku singa. Namun kau bukan kholifah! Bahkan Bani Zuhroh pun
takkan sanggup kau mengurusnya!”
Lalu ‘Umar
menghadap ke arah ‘Ali ibn Abi Tholib.
“Dan adapun engkau,
hai ‘Ali,” katanya, “Demi Alloh, seandainya bukan karena unsur kelakar dalam
dirimu, niscaya engkau bisa membawa mereka pada tujuan yang terang dan
kebenaran yang jelas ketika engkau memimpin mereka. Sayangnya, mereka takkan
mau kau bawa ke sana. Mereka takkan melakukannya.”
Setelahnya, ‘Umar
menghadap ke arah ‘Abdurrohman ibn ‘Auf.
“Dan engkau, wahai
‘Abdurrohman. Seandainya setengah iman seluruh kaum Muslimin ditimbang dengan
imanmu, maka imanmu akan lebih berat. Akan tetapi dalam dirimu terdapat
kelemahan. Dan hal khilafah ini, tidak akan baik jika dipegang oleh orang yang
memiliki kelemahan seperti kelemahanmu!”
‘Abdurrohman ibn
‘Auf mengangguk-angguk dan tersenyum.
Terakhir, ‘Umar
menghadap ke arah ‘Utsman dan memintanya mendekat.
“Sepertinya, hai
‘Utsman,” kata ‘Umar lembut, “Quroisy akan mempercayakan urusan khilafah ini
kepadamu lantaran kecintaan mereka atasmu, ya Dzun Nuroin. Lalu engkau akan mempersamakan dan mengangkat Bani
‘Umayyah serta Bani Mu’aith atas manusia dan memuliakan mereka dengan fa’i. Lalu sekelompok serigala-serigala
Arab akan menyerang dan membunuhmu di tempat tidurmu. Demi Alloh, seandainya
mereka menyerahkan khilafah kepadamu, niscaya itulah yang akan kau alami. Dan seandainya
engkau menerima, niscaya itulah yang akan terjadi.”
‘Umar mendekatkan
kepalanya ke kepala ‘Utsman. Diusapnya ubun-ubun ‘Utsman penuh kasih, lalu dia
berbisik di telinga ‘Utsman, “Ingatlah ucapanku ini. Sebab ia akan terjadi.”
***
Dalam dekapan ukhuwah,
Alloh akan menganugerahkan kepada kita sahabat-sahabat yang kadang lebih mampu
menilai kita daripada diri kita sendiri. Secara pribadi, kadang kita memang
bias dan menjadi tak jujur dalam mengenali diri. Kita menilai diri sendiri
berdasar apa yang bisa kita perbuat. Orang lain menilainya sesuai dengan apa
yang telah kita lakukan.
Sungguh di antara
nikmat terbesar dalam dekapan ukhuwah adalah keberanian kita untuk menerima
penilaian itu sebagai sebuah masukan. Itu sikap agung yang telah diambil oleh
az-Zubair. Oleh Tholhah. Oleh Sa’d ibn Abi Waqqosh. Oleh ‘Ali. Oleh
‘Abdurrohman ibn ‘Auf. Dan juga oleh ‘Utsman ibn ‘Affan.
Rosululloh dahulu
memuji mereka masing-masing dengan keutamaannya. Az-Zubair adalah Hawari Rosulillah, penjaga setia Sang
Nabi. Tholhah adalah syahid yang masih berjalan di muka bumi. Hari Uhud adalah
harinya Tholhah. Sa’d ibn Abi Waqqosh adalah satu-satunya orang yang Rosululloh
satukan ibu dan ayahnya untuk menjadi tebusan. “Panahlah, hai Sa’d,” kata Sang
Nabi dalam berbagai pertempuran, “Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu.” Sa’d
jugalah yang dibanggakan sebagai paman oleh Sang Nabi. “Ini pamanku!” seru
beliau, “Ayo tunjukkan padaku paman-paman kalian!” ‘Abdurrohman ibn ‘Auf adalah
dermawan tak tertandingi. ‘Ali ibn Abi Tholib adalah pintu kota ilmu, dan
kedudukannya di sisi Rosululloh bagai Harun di sisi Musa. Sementara ‘Utsman ibn
‘Affan kita tahu, takkan membahayakannya sesudah apa yang disumbangkannya untuk
Perang Tabuk, wakafnya dengan sumur Roumah, hijrohnya yang dua kali, dan dua cahaya
yang dinikahinya.
Tetapi di hari yang
prihatin itu, ‘Umar dengan perut terluka menganga dan terus mengucurkan darah
telah memberikan hal lain yang tak kalah berharga: sebuah penilaian! ‘Umar
mengungkap sisi lain dari masing-masing kepribadian mereka. Dalam dekapan
ukhuwah, mereka menerima itu semua dengan lapang dada.
***
Memperhatikan
penilaian orang-orang berhati jernih atas diri kita, lalu menerimanya sebagai
masukan berharga akan membuat kita merasa nyaman dengan diri kita. Dalam
tataran ilmu, kemampuan kita untuk penilaian itu lalu merasa nyaman atas diri
sendiri, harus dimulai dengan memahami diri.
Apa pentingnya
memahami diri terkait keterampilan kita untuk menjalin hubungan dalam dekapan
ukhuwah? Ternyata sangat penting. Sebab, pertama-tama, siapa diri kita
menentukan apa yang kita lihat.
Di Amerika Serikat,
ada negara bagian Colorado yang bercirikan pegunungan tinggi, sungai-sungai
berarus deras, lembah dan tebing curam, serta hutan cemara yang begitu sejuk
dan asri. Dalam kebalikannya, ada negara bagian Texas yang kondisinya
kebanyakan berupa dataran, tanah peternakan, dan padang rumput luas seakan tak
terbatas.
Satu saat, demikian
diilustrasikan seorang penulis, ada orang dari Texas yang pindah rumah ke
Colorado. Dia membangun rumah dengan jendela besar menghadap ke arah pegunungan
Rocky Mountains. Dia ditanya, apakah dia menyukai pemandangan indah di tempat
barunya. “Satu-satunya masalah dengan tempat ini,” ujarnya gusar, “Adalah kau
tak bisa melihat apa pun karena ada sebuah pegunungan besar yang menghalangi
pandanganmu!”
Di saat yang sama,
seorang dari Colorado pindah ke Texas. Rumahnya didirikan menghadap sebuah
ranch yang sangat luas dengan lembu dan kuda yang tiap pagi serta sore digiring
pulang dan pergi ke padang rumput. Dia juga ditanya, apakah dia menikmati
pemandangan di sini. “Masalah terbesarnya adalah,” katanya kesal, “Tak ada
apapun yang bisa dilihat!”
Siapa diri kita,
juga menentukan bagaimana kita melihat orang lain.
Seorang wisatawan
muda yang sedang memasuki sebuah kota besar, demikian ditulis oleh John C.
Maxwell dalam Winning with People,
bertanya kepada seorang lelaki tua yang duduk di pinggir jalan. “Bagaimana
orang-orang di kota ini?”
Lelaki tua itu
tersenyum. “Bagaimana orang-orang di kota tempatmu berasal?” balasnya balik
bertanya.
“Mengerikan!” pekik
si wisatawan muda, “Mereka licik, tak dapat dipercaya, dan menjijikkan dalam
segala hal!”
“Ah ya,” timpal si
orang tua, “Kau akan menemukan keadaan yang sama di kota ini!”
Ketika wisatawan
muda itu berlalu pergi menyusuri kota yang baru dimasukinya, datanglah seorang
wisatawan lain kepada si Pak Tua. Wisatawan yang kedua ini juga bertanya
tentang orang-orang di kota yang dia tuju ini. Orang sepuh itu kembali balas
menanyakan bagaimana keadaan orang-orang di kota asal yang ditinggalkannya.
“Wah,” ujar sang
wisatawan, “Mereka adalah orang-orang yang menyenangkan, baik, jujur, rajin,
dan suka memaafkan. Aku merasa sangat sayang meninggalkan kotaku.”
“Tenang saja,” kata
si lelaki tua, “Engkau akan mendapati orang-orang di kota ini juga seperti
itu.”
***
Dalam dekapan
ukhuwah, siapa kita juga menentukan bagaimana kita memandang dunia dan apa yang
menjadi sikap kita atasnya. Maka di awal-awal, bagaimana cara kita memandang
diri akan sangat berpengaruh terhadap segala sesuatu. Siapakah kita? Cobalah
jawab pertanyaan ini. Tapi sebelum itu, mari kita perhatikan jawaban dari salah
satu Muslim yang dinilai sangat berhasil menjalin hubungan indah dengan
orang-orang di sekitarnya. Luasnya cakupan ukhuwah yang dia bangun membuatnya
digelari Bapak Persaudaraan Islam abad keempatbelas Hijriah.
“Akulah petualang,”
kata Hasan al-Banna, “Yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna
dan hakikat kemanusiaannya di tengah Bani Adam. Akulah mujahid yang berjuang
menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi
tanah air di bawah naungan Islam yang hanif.”
“Akulah lelaki
merdeka,” lanjutnya, “Yang telah mengetahui rahasia wujudnya, maka ia pun
berseru, “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk
Alloh, Robb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Kepada yang demikian itulah
aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
“Inilah aku. Dan
kamu, kamu sendiri siapa?”
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar