dalam
dekapan ukhuwah kita tersambung
bukan
untuk saling terikat membebani
melainkan
untuk saling tersenyum memahami
dan
saling mengerti dengan kelembutan nurani
“SESUNGGUHNYA di antara
hamba-hamba Alloh terdapat orang-orang yang bukan nabi, dan bukan pula
syuhada,” ujar Rosululloh sebagaimana dibawakan dalam hadits oleh Imam Abu
Dawud, “Tapi bahwa para nabi dan syuhada cemburu pada mereka di hari kiamat
nanti, tersebab kedudukan yang diberikan oleh Alloh pada mereka.”
“Ya Rosululloh,”
kata para shohabat ketika itu, “Beritahukanlah kepada kami, siapa mereka?”
“Mereka itu
adalah,” jawab beliau, “Segolongan manusia yang saling mencintai karena rohmat
Alloh. Bukan oleh sebab kekerabatan dan darah. Bukan pula karena didasarkan
pemberian harta. Demi Alloh, wajah mereka pada hari itu bersinar cemerlang dan
mereka berada di atas cahaya. Mereka tiada merasa khawatir ketika manusia lain
ketakutan. Dan mereka tidak bersedih ketika manusia lain berduka.”
Sebuah hadits Qudsi
yang dibawakan Imam Ahmad dan at-Tirmidzi merekam kalimat Alloh ‘Azza wa Jalla tentang karunia kepada
para pencinta ini. “Orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku,”
demikian Alloh berfirman, “Akan diberikan padanya mimbar dari cahaya yang
dicemburui oleh para Nabi dan syuhada.”
Alangkah agungnya
mereka yang mendapat karunia itu. Alangkah beruntungnya mereka yang beroleh
kemuliaan itu. Hari-hari ini dalam tertatihnya kita meniti ukhuwah yang terasa
gersang, dalam menyambungi shilaturrohim yang terasa kering, dan dalam menjalin
hubungan yang terasa pahit, kita telah merasa sejuk sekedar mendengar frasa
‘saling mencintai karena Alloh’. Hari ini, harapan kita kembali dibangkitkan,
asa kembali ditumbuhkan; bahkan meski bukan Nabi dan bukan syuhada, kita
berpeluang memperoleh anugerah yang membuat mereka cemburu.
Mimbar-mimbar
cahaya…
Lalu kita tersadar
bahwa untuk menggapainya, dalam dekapan ukhuwah ada niat yang harus diluruskan,
ada tekad yang harus dikokohkan, ada komitmen yang harus disimpul ulang, dan
ada tanggungan amal-amal yang harus dibayartunaikan. Ada begitu banyak langkah,
dan meski tetap terseok, mari selalu bergerak ke hadapan. Setapak demi setapak.
Selangkah demi selangkah. Walau duri merantaskan kaki, walau onak mencacah
jari.
Berlembar lalu,
kita telah memulainya dengan prasangka baik. Dalam dekapan ukhuwah, setelah
prasangka baik, pilar cinta kita yang berikut adalah saling mengerti dengan
kelembutan nurani…
***
Usia suaminya kini
menjelang empat puluh, dan Khodijah menangkap kegelisahan yang makin berjebah
di wajah itu. Dia tak bertanya. Tetapi dia dapatkan jawab dari mata Muhammad
yang senantiasa basah melihat ketidakadilan. Dia tak bertanya, tapi dia membaca
wajah yang menunduk tiap kali keberhalaan membunuh dan memperkosa kemanusiaan.
Dia memahaminya dari wajah yang jerih tiap kali menyaksikan pertikaian tanpa
makna dan kebejatan yang tetebar kian jamak.
Tetapi hari inilah
puncaknya. Hari ini dia menyaksikan Muhammad pulang dari tahannuts di gua Hiro bukan dengan wajah segar terlepas dari beban
seperti biasanya. Dia melihat lelaki terkasihnya itu menggigil ketakutan.
Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Muhammad basah kuyup. Wajahnya
pucat, mimiknya pias, dan nafasnya tersengal-sengal. Denyut jantungnya memburu
sementara tatapan matanya tercekam seakan dikejar sesuatu yang begitu
mengerikan.
Begitu pintu
terbuka, Muhammad bergegas menuju kamarnya dan luruh di pembaringan. “Zammilunii, selimuti aku! Selimuti aku!”
teriaknya masih dengan wajah pasi dan sinar mata ketakutan.
Khodijah tak kalah
cemas. Dia begitu ketakutan. Hatinya meneriakkan tanya, “Ada apa sebenarnya?”
Tentu ini sebuah kejadian yang sangat besar dan mengguncang. Tentu ini perkara
yang sangat serius. Tapi dia surut, lisannya dibungkam kuat-kuat. Ditahannya
keinginan untuk tahu. Yang dibutuhkan suamninya kini bukan menceritakan apa
yang dia alami. Yang diperlukannya adalah menenangkan diri dari sebuah hantaman
kejiwaan yang Khodijah tak tahu entah apa.
Maka Khodijah tak
bertanya.
Sepertinya sikap
Khodijah yang tak bertanya ini hanya soal kecil. Tetapi mari bayangkan apa
jadinya riwayat kenabian dan da’wah andai Khodijah adalah istri yang tak mampu
memahami apa yang dihajatkan suami pada saat dilanda panik? Apa jadinya jika di
saat Muhammad mendapatkan wahyu pertama yang seakan menimbunkan beban seberat
isi dunia ke pundaknya itu Khodijah menampilkan diri sebagai wanita yang tak
rela kehilangan berita di momen pertama? Bertubinya kalimat “Ada apa? Ada apa?”
yang diluncurkan Khodijah pasti membuat keterguncangan Muhammad ―ba’da
kejatuhan wahyu― makin menghempaskan.
Dalam dekapan
ukhuwah, Khodijah mengajari kita sebuah kaidah penting. Bahwa kita harus punya
kepekaan jiwa untuk mengenal kebutuhan jiwa orang yang kita cintai. Bahwa kita
mesti memiliki kelembutan nurani untuk memberi kesempatan ruh saudara yang
tertekan melepaskan beban-bebannya.
Dalam dekapan
ukhuwah, kepedulian yang terlembut bukanlah sekedar rasa ingin tahu. Kepedulian
yang terlembut kadang tampil dalam bentuk kesadaran bahwa mungkin kita belum
perlu tahu sampai tibanya suatu waktu. Maka kesadaran akan menuntun kita untuk
tahu, di saat yang paling tepat, dengan cara yang paling indah. Begitulah kita
belajar kepada Khodijah, belajar untuk mengerti dengan kelembutan nurani.
***
Bahkan terhadap
mereka yang kita cintai, mengerti dengan kelembutan nurani adalah kerja besar
yang seringkali tak mudah. “Sebabnya tak lain,” ujar John Gray dalam karyanya
yang indah dan tajam, Men Are from Mars,
Women Are from Venus, “Karena benak kita telah terjejali oleh kaidah
‘Cintailah orang lain sebagaimana kau ingin dicintai. Perlakukanlah orang lain,
sebagaimana kau ingin diperlakukan.’”
Dengan aturan main
ini, kita merasa telah mencintai orang lain dan melakukan hal terbaik baginya,
sedangkan mereka tak merasa demikian. Bahkan bisa saja, mereka merasa tersakiti
dan terluka oleh cara kita mencintai dan memperlakukannya. Sebagaimana sebaliknya,
kita sering merasa orang lain menyakiti dan melukai kita, padahal mungkin saja
dia bermaksud mencintai kita setulus-tulusnya.
Semuanya gara-gara
ajaran yang terdengar manis itu: “Cintailah orang lain sebagaimana kau ingin
dicintai. Perlakukanlah orang lain, sebagaimana kau ingin diperlakukan.”
“Prinsip itu,”
lanjut John Gray, “Jauh lebih sering tak berlaku. Apalagi jika antara kita dan
orang yang kita perlakukan, ada perbedaan pola pikir, cara merasa, dan latar
tumbuh. Alih-alih mengikuti kredo itu, sebaiknya kita menggantinya dengan
prinsip yang lebih berdaya. Begini bunyinya, “Cintailah orang lain dengan cara
sebagaimana mereka ingin dicintai. Perlakukanlah orang lain dengan cara
sebagaimana mereka ingin diperlakukan.”
Dalam dekapan
ukhuwah, untuk bisa melakukan itu, terlebih dahulu kita harus mengerti dan
memahami orang yang kita cintai, dengan kelembutan nurani. Bahwa kita belum
merasakan itu dari mereka yang kita cintai dan mencintai kita, itu tersebab
kitalah yang harus memulainya. Sebab memulai ungkapan cinta adalah penanda
cinta yang lebih tinggi. Sebab cinta yang lebih tinggi mengantar pada kemuliaan
cinta Ilahi.
Inilah Rosululloh
bersabda dalam riwayat al-Bukhori, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Hakim,
“Tidaklah dua orang saling mencintai karena Alloh, kecuali yang paling besar
cintanya di antara keduanya adalah yang paling mulia.” Atau dalam redaksi lain,
ath-Thobroni merekam sabda beliau, “Tiadalah dua sahabat yang saling mencintai
karena Alloh, ketika mereka berjauhan, kecuali yang lebih besar cintanya kepada
saudaranya adalah yang lebih dicintai oleh Alloh.”
Dalam dekapan
ukhuwah, kita akan berupaya untuk mengerti dan memahami orang yang kita cintai,
dengan kelembutan nurani.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Materi terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar