Minggu, 07 Juni 2015

Senyum Pengertian

dalam dekapan ukhuwah kita tersambung
bukan untuk saling terikat membebani
melainkan untuk saling tersenyum memahami
dan saling mengerti dengan kelembutan nurani


“SESUNGGUHNYA di antara hamba-hamba Alloh terdapat orang-orang yang bukan nabi, dan bukan pula syuhada,” ujar Rosululloh sebagaimana dibawakan dalam hadits oleh Imam Abu Dawud, “Tapi bahwa para nabi dan syuhada cemburu pada mereka di hari kiamat nanti, tersebab kedudukan yang diberikan oleh Alloh pada mereka.”

“Ya Rosululloh,” kata para shohabat ketika itu, “Beritahukanlah kepada kami, siapa mereka?”

“Mereka itu adalah,” jawab beliau, “Segolongan manusia yang saling mencintai karena rohmat Alloh. Bukan oleh sebab kekerabatan dan darah. Bukan pula karena didasarkan pemberian harta. Demi Alloh, wajah mereka pada hari itu bersinar cemerlang dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tiada merasa khawatir ketika manusia lain ketakutan. Dan mereka tidak bersedih ketika manusia lain berduka.”

Sebuah hadits Qudsi yang dibawakan Imam Ahmad dan at-Tirmidzi merekam kalimat Alloh ‘Azza wa Jalla tentang karunia kepada para pencinta ini. “Orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku,” demikian Alloh berfirman, “Akan diberikan padanya mimbar dari cahaya yang dicemburui oleh para Nabi dan syuhada.”

Alangkah agungnya mereka yang mendapat karunia itu. Alangkah beruntungnya mereka yang beroleh kemuliaan itu. Hari-hari ini dalam tertatihnya kita meniti ukhuwah yang terasa gersang, dalam menyambungi shilaturrohim yang terasa kering, dan dalam menjalin hubungan yang terasa pahit, kita telah merasa sejuk sekedar mendengar frasa ‘saling mencintai karena Alloh’. Hari ini, harapan kita kembali dibangkitkan, asa kembali ditumbuhkan; bahkan meski bukan Nabi dan bukan syuhada, kita berpeluang memperoleh anugerah yang membuat mereka cemburu.

Mimbar-mimbar cahaya…

Lalu kita tersadar bahwa untuk menggapainya, dalam dekapan ukhuwah ada niat yang harus diluruskan, ada tekad yang harus dikokohkan, ada komitmen yang harus disimpul ulang, dan ada tanggungan amal-amal yang harus dibayartunaikan. Ada begitu banyak langkah, dan meski tetap terseok, mari selalu bergerak ke hadapan. Setapak demi setapak. Selangkah demi selangkah. Walau duri merantaskan kaki, walau onak mencacah jari.

Berlembar lalu, kita telah memulainya dengan prasangka baik. Dalam dekapan ukhuwah, setelah prasangka baik, pilar cinta kita yang berikut adalah saling mengerti dengan kelembutan nurani…

***

Usia suaminya kini menjelang empat puluh, dan Khodijah menangkap kegelisahan yang makin berjebah di wajah itu. Dia tak bertanya. Tetapi dia dapatkan jawab dari mata Muhammad yang senantiasa basah melihat ketidakadilan. Dia tak bertanya, tapi dia membaca wajah yang menunduk tiap kali keberhalaan membunuh dan memperkosa kemanusiaan. Dia memahaminya dari wajah yang jerih tiap kali menyaksikan pertikaian tanpa makna dan kebejatan yang tetebar kian jamak.

Tetapi hari inilah puncaknya. Hari ini dia menyaksikan Muhammad pulang dari tahannuts di gua Hiro bukan dengan wajah segar terlepas dari beban seperti biasanya. Dia melihat lelaki terkasihnya itu menggigil ketakutan. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Muhammad basah kuyup. Wajahnya pucat, mimiknya pias, dan nafasnya tersengal-sengal. Denyut jantungnya memburu sementara tatapan matanya tercekam seakan dikejar sesuatu yang begitu mengerikan.

Begitu pintu terbuka, Muhammad bergegas menuju kamarnya dan luruh di pembaringan. “Zammilunii, selimuti aku! Selimuti aku!” teriaknya masih dengan wajah pasi dan sinar mata ketakutan.

Khodijah tak kalah cemas. Dia begitu ketakutan. Hatinya meneriakkan tanya, “Ada apa sebenarnya?” Tentu ini sebuah kejadian yang sangat besar dan mengguncang. Tentu ini perkara yang sangat serius. Tapi dia surut, lisannya dibungkam kuat-kuat. Ditahannya keinginan untuk tahu. Yang dibutuhkan suamninya kini bukan menceritakan apa yang dia alami. Yang diperlukannya adalah menenangkan diri dari sebuah hantaman kejiwaan yang Khodijah tak tahu entah apa.

Maka Khodijah tak bertanya.

Sepertinya sikap Khodijah yang tak bertanya ini hanya soal kecil. Tetapi mari bayangkan apa jadinya riwayat kenabian dan da’wah andai Khodijah adalah istri yang tak mampu memahami apa yang dihajatkan suami pada saat dilanda panik? Apa jadinya jika di saat Muhammad mendapatkan wahyu pertama yang seakan menimbunkan beban seberat isi dunia ke pundaknya itu Khodijah menampilkan diri sebagai wanita yang tak rela kehilangan berita di momen pertama? Bertubinya kalimat “Ada apa? Ada apa?” yang diluncurkan Khodijah pasti membuat keterguncangan Muhammad ―ba’da kejatuhan wahyu― makin menghempaskan.

Dalam dekapan ukhuwah, Khodijah mengajari kita sebuah kaidah penting. Bahwa kita harus punya kepekaan jiwa untuk mengenal kebutuhan jiwa orang yang kita cintai. Bahwa kita mesti memiliki kelembutan nurani untuk memberi kesempatan ruh saudara yang tertekan melepaskan beban-bebannya.

Dalam dekapan ukhuwah, kepedulian yang terlembut bukanlah sekedar rasa ingin tahu. Kepedulian yang terlembut kadang tampil dalam bentuk kesadaran bahwa mungkin kita belum perlu tahu sampai tibanya suatu waktu. Maka kesadaran akan menuntun kita untuk tahu, di saat yang paling tepat, dengan cara yang paling indah. Begitulah kita belajar kepada Khodijah, belajar untuk mengerti dengan kelembutan nurani.

***

Bahkan terhadap mereka yang kita cintai, mengerti dengan kelembutan nurani adalah kerja besar yang seringkali tak mudah. “Sebabnya tak lain,” ujar John Gray dalam karyanya yang indah dan tajam, Men Are from Mars, Women Are from Venus, “Karena benak kita telah terjejali oleh kaidah ‘Cintailah orang lain sebagaimana kau ingin dicintai. Perlakukanlah orang lain, sebagaimana kau ingin diperlakukan.’”

Dengan aturan main ini, kita merasa telah mencintai orang lain dan melakukan hal terbaik baginya, sedangkan mereka tak merasa demikian. Bahkan bisa saja, mereka merasa tersakiti dan terluka oleh cara kita mencintai dan memperlakukannya. Sebagaimana sebaliknya, kita sering merasa orang lain menyakiti dan melukai kita, padahal mungkin saja dia bermaksud mencintai kita setulus-tulusnya.

Semuanya gara-gara ajaran yang terdengar manis itu: “Cintailah orang lain sebagaimana kau ingin dicintai. Perlakukanlah orang lain, sebagaimana kau ingin diperlakukan.”

“Prinsip itu,” lanjut John Gray, “Jauh lebih sering tak berlaku. Apalagi jika antara kita dan orang yang kita perlakukan, ada perbedaan pola pikir, cara merasa, dan latar tumbuh. Alih-alih mengikuti kredo itu, sebaiknya kita menggantinya dengan prinsip yang lebih berdaya. Begini bunyinya, “Cintailah orang lain dengan cara sebagaimana mereka ingin dicintai. Perlakukanlah orang lain dengan cara sebagaimana mereka ingin diperlakukan.”

Dalam dekapan ukhuwah, untuk bisa melakukan itu, terlebih dahulu kita harus mengerti dan memahami orang yang kita cintai, dengan kelembutan nurani. Bahwa kita belum merasakan itu dari mereka yang kita cintai dan mencintai kita, itu tersebab kitalah yang harus memulainya. Sebab memulai ungkapan cinta adalah penanda cinta yang lebih tinggi. Sebab cinta yang lebih tinggi mengantar pada kemuliaan cinta Ilahi.

Inilah Rosululloh bersabda dalam riwayat al-Bukhori, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, “Tidaklah dua orang saling mencintai karena Alloh, kecuali yang paling besar cintanya di antara keduanya adalah yang paling mulia.” Atau dalam redaksi lain, ath-Thobroni merekam sabda beliau, “Tiadalah dua sahabat yang saling mencintai karena Alloh, ketika mereka berjauhan, kecuali yang lebih besar cintanya kepada saudaranya adalah yang lebih dicintai oleh Alloh.”

Dalam dekapan ukhuwah, kita akan berupaya untuk mengerti dan memahami orang yang kita cintai, dengan kelembutan nurani.

Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media











Materi terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar