aku
mengenal dengan baik siapa diriku;
dulunya
dia adalah setetes air yang hina
kelak
akan menjadi sekujur bangkai membusuk
kini
dia berada di antara kedua hal itu;
hilir
mudik ke sana ke mari membawa kotoran
KITA selalu bisa tahu,
apakah seseorang yang berada di dekat kita merasa nyaman dengan keberadaan kita
atau justru menganggap kita sebagai gangguan. Demikian pula orang yang kita
ajak bicara. Mereka memberi isyarat dan tanda dengan bahasa tubuhnya untuk
mengungkapkan ketidaknyamanan itu. Kita selalu bisa menangkap gejala-gejalanya.
Dalam dekapan
ukhuwah, kita kemudian akan tahu diri. Kita merasa, kitalah masalahnya.
Tetapi bagaimana
dengan peran sebaliknya? Apakah kita juga pernah merasa tak nyaman dengan
kehadiran seseorang di dekat kita, atau dalam kehidupan ini? Jawabnya tentu
pernah. Pertanyaan selanjutnya adalah darimana asal perasaan tak nyaman yang
kita alami ketika berhadapan dengan orang? Pada umumnya, kita akan menjawab
dalam dua sisi. Bisa dari mereka, dan bisa juga dari diri kita sendiri.
Saya lebih sering
merasakan yang kedua.
Gangguan itu
berawal dari dalam diri saya, bukan berasal dari orang-orang yang mendekat ke
dalam kehidupan saya, apalagi sahabat-sahabat tercinta dalam dekapan ukhuwah.
Bukan. Sama sekali bukan dari mereka. Saya betul-betul merasa, gangguan itu ada
di sini, ada dalam diri saya. Ada ketidaknyamanan yang zhohir sifatnya.
Misalnya, saya belum mandi dan belum bersiwak sehingga khawatir berdekat-dekat
akan membuat kawan tak nyaman. Atau ketika merasa pakaian yang saya kenakan
kurang pantas dan baunya agak apak karena telah berkeringat seharian.
Tapi ada yang jauh
lebih menghalangi kedekatan dibanding ketidaknyamanan zhohir. Ialah
ketidaknyamanan batin terhadap diri kita sendiri. Kita merasa kotor, berbau,
dan kerdil berharapan dengan saudara seiman. Kita merasa telah terputus dari
ikatan cinta dengan mereka akibat kemaksiatan yang kita lakukan. Ya, itu benar.
Saya teringat sebuah hadits yang tercantum dalam al-‘Adabul Mufrod no. 310 dan al-Musnad
V/71.
“Tidaklah dua orang yang saling berkasih sayang karena
Alloh berpisah, kecuali disebabkan oleh dosa yang dilakukan oleh salah seorang
di antara keduanya.”
(HR. al-Bukhori dan Ahmad)
Awal-awal ketika
hati kita masih peka mengenali kemaksiatan sendiri, kitalah yang merasakan
ketidaknyamanan batin. Tetapi jika perilaku dosa itu berlanjut, ketidaknyamanan
itu juga akan makin hebat dan meningkat. Bukan hanya kita yang merasakannya,
melainkan juga orang-orang yang kita kasihi. Bisa jadi, kemaksiatan yang kita
lakukan telah membuat Alloh murka, lalu Dia tanamkan rasa benci kepada kita, di
dalam hati hamba-hamba yang dicintai-Nya. Na’udzu
billaahi min dzaalik.
***
Memahami
keadaan-keadaan itu, kita menemukan sebuah kaidah penting dalam dekapan
ukhuwah. Bahwa merasa nyaman dengan diri kita sendiri, akan membantu orang lain
untuk bisa merasa nyaman atas keberadaan kita di dekatnya. Ini berlaku baik
dalam suatu pertemuan singkat, maupun dalam jalinan hubungan jangka panjang di
kehidupan.
Tentu saja dalam
hal yang zhohir, kita memang perlu memperbaiki penampilan kita sehingga kita
percaya diri dan merasa nyaman berhadapan dengan sesama. Dalam dekapan ukhuwah,
lihatlah Sang Nabi teladan kita. Penampilannya begitu mempesona. Pakaiannya
yang kebanyakan putih, selalu bersih. Rambutnya diminyaki. Mulutnya harum. Sela
giginya bercahaya. Matanya bercelak. Wewangiannya semerbak. Beliau nyaman
dengan seluruh perangkat zhohir yang beliau kenakan, dan orang-orang pun merasa
nyaman dengan beliau.
Dalam hal yang
batin, hati pun harus kita percantik agar diri kita merasa nyaman saat berhadapan
dengan saudara-saudara tercinta. Memperbaiki terus-menerus ketaatan dan
hubungan dengan Alloh adalah kuncinya. Selebihnya, kita memang bukan orang
maksum yang suci dari dosa. Maka berdamailah dengan kesalahan. Maksudnya tentu
bukan menganggapnya sebagai angin lalu. Sikapi kesalahan dengan sepenuh
penyesalan, mohon keampunan dengan taubat, iringi dengan kebajikan agar
tertebus, dan muhasabahkan agar tak terulang.
Sesudah itu,
sahabati nurani kita dengan nasehat tulus dari saudara-saudara yang mencintai
kita karena Alloh. Maka rasa nyaman pada diri pun hadir, hingga mereka juga
merasa nyaman dengan keberadaan kita.
***
Tentu saja ada cara
tertentu untuk membuat orang lain merasa tenteram di dekat kita.
“Orang mukmin itu,”
demikian Rosululloh bersabda, “Mudah akrab dan gampang didekati. Tidak ada
kebaikan pada orang yang tak mudah dekat dan sulit diakrabi.” Al-Haitsami
meriwayatkan hadits ini dalam Majma’uz
Zawaaid X/273-274 dan al-Albani menshohihkannya dalam Silsilatu al-Ahaadits ash-Shohihah I/425.
Dalam dekapan
ukhuwah, kita belajar untuk memiliki kehangatan semacam ini. Mudah akrab dan
gampang dikaribi. Jadikan orang-orang selingkar kita merasa bahwa kita
benar-benar memiliki hati untuk mereka. Itulah kebaikan yang kata Christian
Bovee merupakan bahasa yang bisa dikatakan oleh si bisu, terlihat oleh si buta,
serta bisa didengar dan dimengerti oleh si tuli.
Menjadi orang yang
mudah akrab dan gampang didekati mensyaratkan kita untuk menghargai perbedaan.
Setiap orang memiliki kecenderungan yang tak dapat dipaksa untuk sama dengan
kesukaan kita. Kita belajar untuk mengerti bahwa ada beda-beda yang membawa
kebaikan. Kita belajar untuk menghargai sesama atas apa adanya mereka dan apa
yang mereka tawarkan. Seiring itu, kita belajar untuk menangani kelemahan-kelemahan
diri. Kita belajar untuk saling melengkapi dan membantu satu sama lain.
Orang yang gampang
didekati biasanya adalah seseorang yang ksatria. Dia sadar, bahwa orang yang
selalu berusaha mempertahankan citra bahwa dirinya sempurna adalah orang yang menyebalkan.
Maka dia adalah orang yang mampu mengakui kelemahan diri dan berani
menertawakan dirinya sendiri. “Teberkatilah mereka,” kata sebuah peribahasa
Tiongkok, “Yang bisa menertawakan dirinya sendiri. Sebab mereka takkan pernah
berhenti terhibur di tengah kepahitan dunia.”
Dengan kemampuannya
mengakui kelemahan diri, dia juga menjadi orang yang sigap dalam meminta maaf
sekaligus pengasih. Dia pengampin. Dia memiliki kemampuan untuk memaafkan orang
lain. Orang yang mudah diakrabi adalah mereka yang rendah hati dan mengetahui
hakikat sebuah hubungan. “Tak satu hal pun,” demikian terkutip dari David
Augsburger dalam Simpson’s Contemporary
Quotations, “Yang kita maksudkan baik lalu tak mengandung kesalahan. Tak
satu hal pun yang kita upayakan yang tak membawa kesalahan. Tak satu hal pun
yang kita capai yang tak berkemungkinan menyakiti. Ah, kita menyebut semua
keadaan ini manusiawi. Maka hanya pengampunan Tuhan dan sesama yang bisa
menyelamatkan kita.”
Akhirnya, mereka
yang nyaman diakrabi adalah orang-orang yang tampil apa adanya. Mereka tak
menyembunyikan sesuatu. Suasana hati mereka tak banyak dipengaruhi oleh keadaan
sekitar. Mereka bisa diduga. Mereka gampang didekati sebab orang tahu tanggapan
apa yang akan didapat ketika sesuatu disampaikan. Mereka menyeimbangkan prinsip
ini dengan kepekaannya pada perasaan sesama. Mereka tumbuh menjadi orang jujur
tanpa menyakiti. Mereka bisa bicara terbuka tanpa melukai. Dalam dekapan
ukhuwah, merekalah orang-orang yang gampang didekati, enak diakrabi, dan nyaman
diakrabi.
***
aku mencintaimu
seperti Quroisy menyayangi ‘Utsman
Bait syair ini
adalah senandung para ibu untuk menimang putra-putrinya di Hijjaz maupun Najd.
‘Utsman ibn ‘Affan memang seorang figur kesayangan. Akhlaknya yang mulia,
kelembutan hatinya, kedermawanannya yang tanpa tanding membuat semua orang
Quroisy mencintainya. Ketika di Hudaibiyah terdengar kabar bahwa ‘Utsman
terbunuh, Sang Nabi menadahkan tangannya yang suci, lalu bersabda, “Ini tangan
‘Utsman!” Maka terjadilah Bai’atur
Ridhwan, janji setia kepada Alloh yang salah satunya bertujuan membela
darah ‘Utsman.
‘Utsman selalu
menempatkan diri sebagai orang yang mudah didekati bagi siapapun.
Saat itu, Ummu
Salamah, istri Rosululloh, menulis sebuah surat kepada ‘Utsman. “Wahai
putraku,” tulis beliau Rodhiyallohu ‘Anha,
“Mengapa aku melihat rakyatmu menyimpang dan menjauhkan diri darimu? Janganlah
engkau, wahai putraku, menutupi jalan yang telah ditetapkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dan
janganlah engkau menyulut api fitnah setelah beliau memadamkannya. Berjalanlah
seperti kedua sahabatmu, Abu Bakar dan ‘Umar. Keduanya, wahai putraku,
benar-benar telah menetapi urusan khilafah ini, dan tidaklah keduanya
menzholiminya.”
“Duhai Ibunda,”
ujar ‘Utsman, “Wafatnya Rosululloh telah menampakkan segala hal yang sebelumnya
tersembunyi di antara kita dan mereka. Kebenaran menunjukkan diri kepada kita
beserta ahlinya, dan kebatilan pun demikian. Adapun Abu Bakar, Alloh memberinya
waktu yang sempit dan dia habiskan itu untuk mengembalikan ketaatan orang-orang.
Adapun ‘Umar, sungguh dia adalah orang yang tak ingin ada yang berubah dari
masa Rosululloh sehingga dia memaksa manusia dengan perintah dan cambuknya. Dia
kuat dan mampu meski rakyatnya merasa berat dan sempit. Mereka yang menyimpang
takut kepadanya sebagaimana syaithon mengambil jalan lain jika bertemu
dengannya.”
“Adapun aku, wahai
Ibuku,” lanjut ‘Utsman, “Adalah orang yang berlapang dada atas segala keadaan
dan kenyataan mereka. Aku telah melepaskan kekangan orang yang terbelenggu, dan
kubiarkan unta yang merumput sampai pada sumber airnya. Cukuplah Alloh menjadi
penolong bagiku pada hari di mana mereka tak mampu berbicara dan tidak
diizinkan bagi mereka untuk meminta ‘udzur.”
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar