Senin, 08 Juni 2015

Nasehat Artinya Ketulusan

nasehati aku di kala kita hanya berdua
jangan meluruskanku di tengah ramai
sebab nasehat di depan banyak manusia
terasa bagai hinaan yang membuat hatiku luka

-asy-Syafi’i, Diwan-



DALAM salah satu segi, menjaga harmoni memang berarti menghindari konflik. Adalah lebih baik diam jika bicara justru memperkeruh suasana. Lebih baik mengalah jika menang berarti membuat luka. Lebih baik mendahului minta maaf meski berada di pihak yang benar. Lebih baik memberi meski hak kita adalah menerima. Begitulah, dan seterusnya.

Tetapi bukankah kita hidup tak hanya untuk keselarasan? Bukankah kita juga harus hidup dengan kebenaran, dalam kebenaran, dan demi kebenaran? Dan bukankah kebenaran itu harus ditegakkan tak terkecuali dalam hubungan-hubungan di antara kita? Bukankah kebenaran harus ditegakkan pada diri kita dan juga orang-orang yang kita cintai? Bukankah itu artinya kita harus mengingatkan yang lupa, menegur yang khilaf, meluruskan yang bengkok, membetulkan yang keliru, dan menunjukkan yang sesat?

Tanpa ragu, jawaban untuk semua pertanyaan bertubi itu adalah “ya”. Soalnya adalah bagaimana membuat itu semua tak bertentangan dengan harmoni dan keselarasan hidup sebagai sesama makhluk Alloh, sesama Muslim, dan sesama peyakin sejati.

Maka formula keselarasan antara hidup untuk kebenaran dengan hidup yang penuh harmoni itu kita sebut sebagai da’wah. Hidup dalam da’wah artinya menghidupkan iklim taushiyah, menyuburkan suasana saling memberi nasehat. Dan hal ini, menyatu dengan iman dan amal sholih menjadi wasilah agar kita sebagai insan tak berjumpa kerugian.

“Demi masa. Sesunguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih, serta nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Qs. al-‘Ashr [103]: 1-3)

Tawashou, artinya asalnya adalah saling berpesan, saling berwasiat. Tetapi bahasa kita, Bahasa Indonesia lebih memilih kata nasehat sebagai padanan untuk kerja saling mengingatkan dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang itu. Sebagaimana taushiyah, kata ini juga diserap dari Bahasa Arab. Kata ini memang terasa lembut, akrab, dan penuh cinta. Tetapi apakah sebenarnya arti dari nasehat jika merujuk kepada bahasa dari mana ia berasal yakni Arab?

Ada sebuah hadits menarik yang mencantumkan kata “an-Nashiha(t)” dengan kedudukan begitu penting. Dalam hadits tersebut, Rosululloh menjadikan kata “an-Nashiha(t)” sebagai definisi dari agama. Para ulama memandang bahwa hadits ini adalah salah satu inti ajaran Islam. Hadits yang dibawakan Imam Muslim itu bahkan diletakkan di urut ketujuh oleh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Arba’in yang disusunnya.

Hadits ini dari Tamim ibn Aus ad-Dari, Rodhiyallohu ‘Anhu. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, menurut Tamim, pernah bersabda, “Agama adalah nasehat.” Para shohabat lalu bertanya, “Untuk siapa, ya Rosululloh?” Beliau menjawab, “Untuk Alloh, untuk Kitab-Nya, untuk Rosul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum Muslimin beserta seluruh orang awamnya.”

Nah, apa arti kata nasehat dalam hadits ini?

Imam al-Khoththobi menjelaskan bahwa asal kata nasehat adalah “nashoha-yanshohu” yang berarti memurnikan. “Jika seseorang mengatakan ‘Nashohtu al-‘Asl,” tulis beliau, “Itu berarti ‘Aku memurnikan madu dengan memisahkannya dari lilin’.” Maka kata “an-Nashiha(t)” artinya bukanlah sama persis dengan kata nasehat seperti yang kita fahami dalam Bahasa Indonesia, melainkan lebih bermakna kemurnian dan ketulusan.

Maka agama adalah ketulusan untuk Alloh, ketulusan untuk Kitab-Nya, ketulusan untuk Rosul-Nya, dan ketulusan untuk para pemimpin kaum Muslimin beserta seluruh orang awamnya.

“Nasehat, yakni ketulusan kepada Alloh,” tulis Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, “Maksudnya adalah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Robbnya dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Esa dalam Uluhiyah-Nya. Kehambaannya bersih dari noda syirik, tandingan dan pemisalan, serta apa-apa yang tak pantas bagi-Nya. Alloh mempunyai sifat segala kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan-Nya, dan seorang Muslim harus mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya pengagungan. Dia mengamalkan amalan-amalan zhohir dan batin yang Alloh cintai dan menjauhi apa-apa yang Alloh benci. Dia cinta kepada apa-apa yang dicintai oleh Alloh dan benci kepada apa-apa yang Alloh benci. Dia meyakini apa-apa yang Alloh jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, dan yang batil itu sebagai suatu kebatilan. Hatinya penuh dengan cinta dan rindu kepada-Nya. Dia bersyukur akan nikmat-nikmat-Nya dan sabar atas musibah yang menimpanya, serta ridho dengan segala ketentuan-Nya.”

“Adapun nasehat ketulusan kepada Kitab-Nya,” lanjut beliau masih dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, “Adalah dengan meyakini bahwa al-Qur’an itu Kalamulloh. Kita wajib mengimaninya dengan apa-apa yang ada di dalamnya, wajib mengamalkan, memuliakan dan membacanya dengan sebenar-benarnya. Kita mengutamakan ia dari selainnya dan penuh perhatian untuk mendapat ilmu-ilmunya. Al-Qur’an merupakan teman dekat orang-orang yang menempuh jalan Alloh dan merupakan wasilah bagi orang-orang yang senantiasa berhubungan dengan Alloh. Al-Qur’an menjadi penyejuk mata bagi orang-orang yang berilmu. Barangsiapa yang ingin sampai di tujuan, maka harus menempuh jalan yang dibimbingkan al-Qur’an, karena kalau tidak dia pasti tersesat. Seandainya seorang hamba mengetahui keagungan kitab Alloh, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya sedikit pun.”

“Kita juga bernasehat, bertulus hati kepada Rosululloh, yaitu dengan meyakini bahwa beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya. Alloh mengutusnya kepada para hambanya agar beliau mengeluarkan mereka dari segala kegelapan kepada cahaya. Beliau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang membuat mereka bahagia dan apa-apa yang membuat mereka sengsara. Beliau juga menerangkan kepada mereka jalan Alloh yang lurus agar mereka lulus mendapatkan kenikmatan surga dan terhindar dari kepedihan siksa neraka. Kita mencintai beliau, memuliakannya, dan mengikutinya.

“Hendaknya tak ada kesempitan di dada kita atas apa-apa yang beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam putuskan. Kita tunduk serta patuh kepada beliau, seperti orang yang buta mengikuti penunjuk jalan yang awas matanya. Orang yang beruntung adalah mereka yang membawa kecintaan dan ketaatan kepada sunnahnya dan orang yang rugi adalah mereka yang terhalang dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang taat kepada beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka dia telah taat kepada Alloh dan barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Alloh.”

“Sedangkan makna nasehat kepada para pemimpin kaum Muslimin,” lanjut Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi, “Adalah menerima perintah mereka, mendengar dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat dan tidak memerangi mereka selama mereka belum kafir. Kita berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka dan membersihkan kerusakan mereka. Kita memerintahkan mereka kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran. Kita mendo’akan agar mereka mendapatkan kebaikan sebab kebaikan mereka akan menjadi kebaikan bagi rakyat dan dalam kerusakan mereka terkandung kerusakan bagi ummat.”

“Yang harus, makna nasehat kepada kaum Muslimin pada umumnya adalah dengan menolong mereka dalam hal kebaikan, dan melarang mereka berbuat keburukan. Kita membimbing mereka kepada petunjuk dan mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan. Kita mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana kita mencintainya untuk diri sendiri. Dikarenakan mereka itu semua adalah hamba-hamba Alloh, maka haruslah bagi kita untuk memandang mereka dengan kacamata yang satu, yaitu kacamata kebenaran.”

Begitulah, dalam dekapan ukhuwah, kita ambil makna nasehat sebagai ketulusan. Sebagaimana taubat yang paling indah juga disebut oleh Alloh sebagai ‘taubatan nashuha’, yakni taubat yang tulus dan murni. Maka dalam dekapan ukhuwah, ketulusan hati di saat saling menasehati akan benar-benar diuji.

***

Sejak kita mengikrarkan diri untuk hidup di dalam da’wah, maka kita menjadi akrab dengan kebenaran dan membiasakan diri untuk menjadi penyampainya. Di titik itu, salah satu kerawanan yang mengintai adalah hadirnya rasa lebih yang menyergap hati. Kita kadang merasa lebih benar, lebih baik, lebih tinggi, dan lebih suci dibanding mereka yang kita nasehati.

Hanya mengingatkan kembali kepada diri ini: jika kau merasa besar, periksa hatimu. Mungkin ia sedang bengkak. Jika kau merasa suci, periksa jiwamu. Mungkin itu putihnya nanah dari luka nurani. Jika kau merasa tinggi, periksa batinmu. Mungkin ia sedang melayang kehilangan pijakan. Jika kau merasa wangi, periksan ikhlasmu. Mungkin itu asap dari amal sholihmu yang hangus dibakar riya’. Ya Alloh, dalam dekapan ukhuwah, kami memohon lisan yang shiddiq dan hati yang tulus.

Selebihnya, agar secara zhohir nasehat kita juga mengena dan tak membawa luka, ada beberapa hal yang selayaknya kita perhatikan.

Pertama, sebagaimana sabda Sang Nabi dalam riwayat Imam al-Bukhori, nasehat adalah hak dari sesama Muslim ketika mereka memintanya. Maka nasehat yang baik adalah yang diberikan kepada mereka yang meminta. Maka nasehat yang terbaik adalah yang diberikan kepada mereka yang meminta. Saudara kita dalam dekapan ukhuwah, yang berani meminta nasehat dimungkinkan adalah mereka yang telah siap untuk menerima masukan dan koreksi. Memberi nasehat tanpa diminta, apalagi dengan nada merasa lebih tahu, justru akan menjauhkan seseorang dari kebenaran.

Kedua, memperhatikan waktu, situasi, dan kondisi. Bacalah wajah seseorang dan semoga kita bisa membedakan apakah yang dibutuhkannya saat ini nasehat ataukah ajakan untuk makan sebab rasa lapar. Selamilah perasaannya dan ketahuilah kata-kata yang paling dirindukannya, bukan hal-hal menyakitkan yang tak ingin dikenangnya. Perhatikanlah jiwanya, lalu ketahuilah bahwa yang dia butuhkan adalah penghiburan, bukan ditunjukkan luput dan khilaf yang selama ini telah menyiksanya.

Yang ketiga, tahanlah diri kita dari terlalu sering memberi nasehat. “Adalah Rosululloh,” kata ‘Abdulloh ibn Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu, “Tidak memberi nasehat kepada kami dengan sering-sering atau tiap hari. Beliau hanya sesekali memberi nasehat, sebab khawatir bahwa kami akan bosan.” Sesuatu menjadi berharga sebab ia langka. Nasehat yang terlalu banyak hanya membebani persahabatan dan menyesaki persaudaraan. Lapangkanlah dada saudara kita dengan sedikit nasehat saja, maka pohon-pohon kebaikan akan tumbuh dengan rimbunnya.

Keempat, sampaikanlah nasehat secara ihsan. “Bagaimana memberi nasehat secara ihsan?” demikian ‘Abdulloh ibn ‘Abbas pernah ditanya. “Hendaknya engkau lakukan,” ujar beliau, “Dalam keadaan tersembunyi berdua-duaan saja.”

Berikut ini adalah kisah dari seorang ‘alim besar ahli hadits dan pedagang kain di kota Baghdad, al-Hujjah, Harun ibn ‘Abdulloh tentang betapa ihsannya seorang Ahmad ibn Hanbal memberi nasehat.

“Pada saat itu,” kata Harun bercerita, “Ahmad ibn Hanbal mengunjungiku di tengah malam. Kudengar pintu diketuk, maka aku bertanya: ‘Siapa di luar sana?’ Dia menjawab: ‘Aku, Ahmad.’ Segera kubuka pintu dan menyambutnya. Aku mengucapkan salam kepadanya dan dia pun melakukan hal yang sama sehingga kami pun saling menjawab berbarengan. Kami pun saling tersenyum.”

Lanjut Harun, “Keperluan apakah yang membawamu kemari?”

“Siang tadi, sikapmu mengusik hatiku.”

“Masalah apakah yang membuatmu terusik, wahai Abu ‘Abdillah?”

“Siang tadi aku lewat di samping halaqohmu. Kulihat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan engkau duduk di bawah bayang-bayang pohon sedang murid-muridmu secara langsung terkena terik matahari dengan tangan memegang pena dan catatan.”

Dia berhenti sejenak lalu tersenyum. “Kumohon jangan kau ulangi perbuatan semacam itu di kemudian hari. Jika engkau mengajar, wahai Harun, maka duduklah dalam keadaan yang sama dengan murid-muridmu.”

***

Dalam dekapan ukhuwah, kita menghidupkan iklim taushiyah di antara kita dengan segala adabnya agar harmoni persaudaraan terus terjaga. Tentu saja, saling menjaga kebaikan dengan mereka yang kita cintai dalam dekapan ukhuwah ini tetaplah mengandung resiko yang mungkin membahayakan. Tetapi Alloh-lah sebaik-baik pelindung dan penjaga. Maka tetaplah memberi nasehat sebagaimana kisah menarik berikut ini.

“Ada seorang raja yang memerintah sebuah negeri,” demikian ditulis oleh al-Ghozali ketika menjelaskan tentang hasad dalam Ihya’ ‘Ulumuddin. Pada suatu hari datanglah seorang ‘alim yang tulus hati ke istananya. Atas pinta sang penguasa, si ‘alim pun menasehatinya.

“Balaslah orang yang berbuat baik dengan lebih baik lagi,” demikian sang bijak memberi nasehat, “Karena kebajikan yang telah dia lakukan pada Baginda. Tetapi jangan hiraukan orang yang mendengki. Abaikanlah! Sebab kedengkian itu sudah cukup untuk mencelakakan dirinya.”

Ada seorang wazir di istana tersebut yang memang benar-benar seorang pendengki. Dia iri melihat pemuliaan begitu rupa yang dilakukan sang raja pada tamunya ini. Dia telah merencanakan sesuatu.

Begitu sang penasehat pergi dari majelis, sang wazir mengantarnya keluar. Setelah itu dia bergegas kembali menemui sang raja. “Orang bijak tadi mengatakan padaku,” ujar sang pendengki, “Bahwa mulut Baginda sungguh bau. Coba saja Baginda panggil lagi dia di esok hari. Jika di dekat Baginda dia menutup mulutnya, itu berarti benar bahwa dia menganggap mulut Baginda sungguh bau.”

Sang raja sangat tersinggung mendengarnya.

Keesokan paginya, sang wazir mengundang penasehat tulus itu untuk sarapan di rumahnya. Kepadanya dihidangkan bawang-bawangan dan masakan berbau tajam. Mulut sang ‘alim tulus hati itu menjadi amat bau.

Tak lama kemudian, seperti direncanakan oleh si wazir, datanglah panggilan pada sang penasehat untuk menghadap sang raja di majelisnya.

Setelah memberikan nasehatnya pada sang raja, raja itu memintanya untuk mendekat. “Kemarilah wahai penasehat yang baik!” ujarnya. “Datanglah mendekat padaku!”

Sang ‘alim ragu untuk mendekat. Dia takut bau busuk di mulutnya akan menyinggung sang raja.

“Ayo kemari! Mengapa engkau ragu?”

Dengan menutupi mulutnya sendiri karena khawatir akan bau bawang dalam jamuan di pagi tadi, dia pun mendekat. Sang raja bergumam dalam hati, “Ternyata benar. Dia melecehkanku dan menganggap mulutku bau. Dia ingin menghinaku!” Maka sang raja pun menulis sebuah surat dan memberikannya pada sang penasehat yang masih tak mengerti untuk apa dia diminta mendekat.

“Bawalah surat ini kepada salah seorang petugasku,” kata sang raja, “Niscaya dia akan memberikan sebuah hadiah yang berharga untukmu.”

Sebetulnya yang ditulis sang raja dalam surat itu bukanlah hadiah. Karena sangat tersinggung batas sikap sang penasehat itu, dia memberi perintah lain kepada sang pejabat. “Jika pembawa nawala ini datang padamu, maka sembelihlah dia. Kuliti tubuhnya. Masukkan jerami ke dalam badannya dan bakarlah. Sementara kepalanya, bawa ke hadapanku!”

Begitu keluar dari istana, sang penasehat disambut oleh wazir pendengki yang menjebaknya. “Apa yang dilakukan Baginda kepadamu, Saudaraku?” tanyanya.

“Alhamdulillah,” ujar sang penasehat berseri, “Beliau menyuruhku membawa surat ini kepada seorang petugas istana yang akan memberikan kepadaku hadiah dari sang raja.”

“Wah,” ujar si pendengki takjub, “Bagaimana jika Tuan penasehat beristirahat saja di kediaman saya? Biar saya saja yang mengurus semua itu.”

“Wah,” kata si penasehat, “Saya merepotkan Anda.”

“Tentu tidak,” ujar sang wazir dengan senyum liciknya, “Ini sudah merupakan tanggung jawab saya sebagai tuan rumah. Lagi-pula Tuan penasehat belum begitu mengenal seluk beluk istana ini.”

Nah, pastinya kita telah tahu bagaimana akhir dari kisah ini. Alloh berfirman dalam surat Faathir ayat keempat puluh tiga, “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.”

Dalam dekapan ukhuwah, nasehat artinya ketulusan.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar