nasehati
aku di kala kita hanya berdua
jangan
meluruskanku di tengah ramai
sebab
nasehat di depan banyak manusia
terasa
bagai hinaan yang membuat hatiku luka
-asy-Syafi’i,
Diwan-
DALAM salah satu segi,
menjaga harmoni memang berarti menghindari konflik. Adalah lebih baik diam jika
bicara justru memperkeruh suasana. Lebih baik mengalah jika menang berarti
membuat luka. Lebih baik mendahului minta maaf meski berada di pihak yang
benar. Lebih baik memberi meski hak kita adalah menerima. Begitulah, dan
seterusnya.
Tetapi bukankah
kita hidup tak hanya untuk keselarasan? Bukankah kita juga harus hidup dengan
kebenaran, dalam kebenaran, dan demi kebenaran? Dan bukankah kebenaran itu
harus ditegakkan tak terkecuali dalam hubungan-hubungan di antara kita?
Bukankah kebenaran harus ditegakkan pada diri kita dan juga orang-orang yang
kita cintai? Bukankah itu artinya kita harus mengingatkan yang lupa, menegur
yang khilaf, meluruskan yang bengkok, membetulkan yang keliru, dan menunjukkan
yang sesat?
Tanpa ragu, jawaban
untuk semua pertanyaan bertubi itu adalah “ya”. Soalnya adalah bagaimana
membuat itu semua tak bertentangan dengan harmoni dan keselarasan hidup sebagai
sesama makhluk Alloh, sesama Muslim, dan sesama peyakin sejati.
Maka formula
keselarasan antara hidup untuk kebenaran dengan hidup yang penuh harmoni itu
kita sebut sebagai da’wah. Hidup dalam da’wah artinya menghidupkan iklim
taushiyah, menyuburkan suasana saling memberi nasehat. Dan hal ini, menyatu
dengan iman dan amal sholih menjadi wasilah agar kita sebagai insan tak
berjumpa kerugian.
“Demi masa. Sesunguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih,
serta nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.”
(Qs. al-‘Ashr [103]: 1-3)
Tawashou, artinya asalnya adalah saling berpesan,
saling berwasiat. Tetapi bahasa kita, Bahasa Indonesia lebih memilih kata
nasehat sebagai padanan untuk kerja saling mengingatkan dalam kebenaran,
kesabaran, dan kasih sayang itu. Sebagaimana taushiyah, kata ini juga diserap
dari Bahasa Arab. Kata ini memang terasa lembut, akrab, dan penuh cinta. Tetapi
apakah sebenarnya arti dari nasehat jika merujuk kepada bahasa dari mana ia
berasal yakni Arab?
Ada sebuah hadits
menarik yang mencantumkan kata “an-Nashiha(t)”
dengan kedudukan begitu penting. Dalam hadits tersebut, Rosululloh menjadikan
kata “an-Nashiha(t)” sebagai definisi
dari agama. Para ulama memandang bahwa hadits ini adalah salah satu inti ajaran
Islam. Hadits yang dibawakan Imam Muslim itu bahkan diletakkan di urut ketujuh
oleh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Arba’in
yang disusunnya.
Hadits ini dari
Tamim ibn Aus ad-Dari, Rodhiyallohu ‘Anhu.
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam,
menurut Tamim, pernah bersabda, “Agama adalah nasehat.” Para shohabat lalu
bertanya, “Untuk siapa, ya Rosululloh?” Beliau menjawab, “Untuk Alloh, untuk
Kitab-Nya, untuk Rosul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum Muslimin beserta
seluruh orang awamnya.”
Nah, apa arti kata
nasehat dalam hadits ini?
Imam al-Khoththobi
menjelaskan bahwa asal kata nasehat adalah “nashoha-yanshohu”
yang berarti memurnikan. “Jika seseorang mengatakan ‘Nashohtu al-‘Asl,” tulis beliau, “Itu berarti ‘Aku memurnikan madu
dengan memisahkannya dari lilin’.” Maka kata “an-Nashiha(t)” artinya bukanlah sama persis dengan kata nasehat
seperti yang kita fahami dalam Bahasa Indonesia, melainkan lebih bermakna
kemurnian dan ketulusan.
Maka agama adalah
ketulusan untuk Alloh, ketulusan untuk Kitab-Nya, ketulusan untuk Rosul-Nya,
dan ketulusan untuk para pemimpin kaum Muslimin beserta seluruh orang awamnya.
“Nasehat, yakni
ketulusan kepada Alloh,” tulis Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
“Maksudnya adalah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Robbnya
dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Esa dalam Uluhiyah-Nya. Kehambaannya
bersih dari noda syirik, tandingan dan pemisalan, serta apa-apa yang tak pantas
bagi-Nya. Alloh mempunyai sifat segala kesempurnaan yang sesuai dengan
keagungan-Nya, dan seorang Muslim harus mengagungkan-Nya dengan
sebesar-besarnya pengagungan. Dia mengamalkan amalan-amalan zhohir dan batin
yang Alloh cintai dan menjauhi apa-apa yang Alloh benci. Dia cinta kepada
apa-apa yang dicintai oleh Alloh dan benci kepada apa-apa yang Alloh benci. Dia
meyakini apa-apa yang Alloh jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran,
dan yang batil itu sebagai suatu kebatilan. Hatinya penuh dengan cinta dan
rindu kepada-Nya. Dia bersyukur akan nikmat-nikmat-Nya dan sabar atas musibah
yang menimpanya, serta ridho dengan segala ketentuan-Nya.”
“Adapun nasehat
ketulusan kepada Kitab-Nya,” lanjut beliau masih dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, “Adalah dengan meyakini bahwa
al-Qur’an itu Kalamulloh. Kita wajib
mengimaninya dengan apa-apa yang ada di dalamnya, wajib mengamalkan, memuliakan
dan membacanya dengan sebenar-benarnya. Kita mengutamakan ia dari selainnya dan
penuh perhatian untuk mendapat ilmu-ilmunya. Al-Qur’an merupakan teman dekat
orang-orang yang menempuh jalan Alloh dan merupakan wasilah bagi orang-orang
yang senantiasa berhubungan dengan Alloh. Al-Qur’an menjadi penyejuk mata bagi
orang-orang yang berilmu. Barangsiapa yang ingin sampai di tujuan, maka harus
menempuh jalan yang dibimbingkan al-Qur’an, karena kalau tidak dia pasti
tersesat. Seandainya seorang hamba mengetahui keagungan kitab Alloh, niscaya
mereka tidak akan meninggalkannya sedikit pun.”
“Kita juga
bernasehat, bertulus hati kepada Rosululloh, yaitu dengan meyakini bahwa beliau
adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya. Alloh mengutusnya kepada para
hambanya agar beliau mengeluarkan mereka dari segala kegelapan kepada cahaya.
Beliau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang membuat mereka bahagia dan
apa-apa yang membuat mereka sengsara. Beliau juga menerangkan kepada mereka
jalan Alloh yang lurus agar mereka lulus mendapatkan kenikmatan surga dan
terhindar dari kepedihan siksa neraka. Kita mencintai beliau, memuliakannya,
dan mengikutinya.
“Hendaknya tak ada
kesempitan di dada kita atas apa-apa yang beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam putuskan. Kita tunduk serta patuh
kepada beliau, seperti orang yang buta mengikuti penunjuk jalan yang awas
matanya. Orang yang beruntung adalah mereka yang membawa kecintaan dan ketaatan
kepada sunnahnya dan orang yang rugi adalah mereka yang terhalang dari
mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang taat kepada beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka dia telah taat kepada Alloh dan
barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Alloh.”
“Sedangkan makna
nasehat kepada para pemimpin kaum Muslimin,” lanjut Syaikh Muhammad Hayat
as-Sindi, “Adalah menerima perintah mereka, mendengar dan taat kepada mereka
dalam hal yang bukan maksiat dan tidak memerangi mereka selama mereka belum
kafir. Kita berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka dan membersihkan
kerusakan mereka. Kita memerintahkan mereka kepada kebaikan dan melarangnya
dari kemungkaran. Kita mendo’akan agar mereka mendapatkan kebaikan sebab
kebaikan mereka akan menjadi kebaikan bagi rakyat dan dalam kerusakan mereka
terkandung kerusakan bagi ummat.”
“Yang harus, makna
nasehat kepada kaum Muslimin pada umumnya adalah dengan menolong mereka dalam
hal kebaikan, dan melarang mereka berbuat keburukan. Kita membimbing mereka
kepada petunjuk dan mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan. Kita
mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana kita mencintainya untuk diri
sendiri. Dikarenakan mereka itu semua adalah hamba-hamba Alloh, maka haruslah
bagi kita untuk memandang mereka dengan kacamata yang satu, yaitu kacamata
kebenaran.”
Begitulah, dalam
dekapan ukhuwah, kita ambil makna nasehat sebagai ketulusan. Sebagaimana taubat
yang paling indah juga disebut oleh Alloh sebagai ‘taubatan nashuha’, yakni taubat yang tulus dan murni. Maka dalam dekapan
ukhuwah, ketulusan hati di saat saling menasehati akan benar-benar diuji.
***
Sejak kita
mengikrarkan diri untuk hidup di dalam da’wah, maka kita menjadi akrab dengan
kebenaran dan membiasakan diri untuk menjadi penyampainya. Di titik itu, salah
satu kerawanan yang mengintai adalah hadirnya rasa lebih yang menyergap hati.
Kita kadang merasa lebih benar, lebih baik, lebih tinggi, dan lebih suci
dibanding mereka yang kita nasehati.
Hanya mengingatkan
kembali kepada diri ini: jika kau merasa besar, periksa hatimu. Mungkin ia
sedang bengkak. Jika kau merasa suci, periksa jiwamu. Mungkin itu putihnya
nanah dari luka nurani. Jika kau merasa tinggi, periksa batinmu. Mungkin ia
sedang melayang kehilangan pijakan. Jika kau merasa wangi, periksan ikhlasmu. Mungkin
itu asap dari amal sholihmu yang hangus dibakar riya’. Ya Alloh, dalam dekapan
ukhuwah, kami memohon lisan yang shiddiq dan hati yang tulus.
Selebihnya, agar
secara zhohir nasehat kita juga mengena dan tak membawa luka, ada beberapa hal
yang selayaknya kita perhatikan.
Pertama,
sebagaimana sabda Sang Nabi dalam riwayat Imam al-Bukhori, nasehat adalah hak
dari sesama Muslim ketika mereka memintanya. Maka nasehat yang baik adalah yang
diberikan kepada mereka yang meminta. Maka nasehat yang terbaik adalah yang
diberikan kepada mereka yang meminta. Saudara kita dalam dekapan ukhuwah, yang
berani meminta nasehat dimungkinkan adalah mereka yang telah siap untuk
menerima masukan dan koreksi. Memberi nasehat tanpa diminta, apalagi dengan
nada merasa lebih tahu, justru akan menjauhkan seseorang dari kebenaran.
Kedua,
memperhatikan waktu, situasi, dan kondisi. Bacalah wajah seseorang dan semoga
kita bisa membedakan apakah yang dibutuhkannya saat ini nasehat ataukah ajakan
untuk makan sebab rasa lapar. Selamilah perasaannya dan ketahuilah kata-kata
yang paling dirindukannya, bukan hal-hal menyakitkan yang tak ingin
dikenangnya. Perhatikanlah jiwanya, lalu ketahuilah bahwa yang dia butuhkan
adalah penghiburan, bukan ditunjukkan luput dan khilaf yang selama ini telah
menyiksanya.
Yang ketiga,
tahanlah diri kita dari terlalu sering memberi nasehat. “Adalah Rosululloh,”
kata ‘Abdulloh ibn Mas’ud Rodhiyallohu
‘Anhu, “Tidak memberi nasehat kepada kami dengan sering-sering atau tiap
hari. Beliau hanya sesekali memberi nasehat, sebab khawatir bahwa kami akan
bosan.” Sesuatu menjadi berharga sebab ia langka. Nasehat yang terlalu banyak
hanya membebani persahabatan dan menyesaki persaudaraan. Lapangkanlah dada
saudara kita dengan sedikit nasehat saja, maka pohon-pohon kebaikan akan tumbuh
dengan rimbunnya.
Keempat,
sampaikanlah nasehat secara ihsan.
“Bagaimana memberi nasehat secara ihsan?” demikian ‘Abdulloh ibn ‘Abbas pernah
ditanya. “Hendaknya engkau lakukan,” ujar beliau, “Dalam keadaan tersembunyi
berdua-duaan saja.”
Berikut ini adalah
kisah dari seorang ‘alim besar ahli hadits dan pedagang kain di kota Baghdad,
al-Hujjah, Harun ibn ‘Abdulloh tentang betapa ihsannya seorang Ahmad ibn Hanbal
memberi nasehat.
“Pada saat itu,”
kata Harun bercerita, “Ahmad ibn Hanbal mengunjungiku di tengah malam. Kudengar
pintu diketuk, maka aku bertanya: ‘Siapa di luar sana?’ Dia menjawab: ‘Aku,
Ahmad.’ Segera kubuka pintu dan menyambutnya. Aku mengucapkan salam kepadanya
dan dia pun melakukan hal yang sama sehingga kami pun saling menjawab
berbarengan. Kami pun saling tersenyum.”
Lanjut Harun,
“Keperluan apakah yang membawamu kemari?”
“Siang tadi,
sikapmu mengusik hatiku.”
“Masalah apakah
yang membuatmu terusik, wahai Abu ‘Abdillah?”
“Siang tadi aku
lewat di samping halaqohmu. Kulihat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku
saksikan engkau duduk di bawah bayang-bayang pohon sedang murid-muridmu secara
langsung terkena terik matahari dengan tangan memegang pena dan catatan.”
Dia berhenti
sejenak lalu tersenyum. “Kumohon jangan kau ulangi perbuatan semacam itu di
kemudian hari. Jika engkau mengajar, wahai Harun, maka duduklah dalam keadaan
yang sama dengan murid-muridmu.”
***
Dalam dekapan
ukhuwah, kita menghidupkan iklim taushiyah di antara kita dengan segala adabnya
agar harmoni persaudaraan terus terjaga. Tentu saja, saling menjaga kebaikan
dengan mereka yang kita cintai dalam dekapan ukhuwah ini tetaplah mengandung
resiko yang mungkin membahayakan. Tetapi Alloh-lah sebaik-baik pelindung dan
penjaga. Maka tetaplah memberi nasehat sebagaimana kisah menarik berikut ini.
“Ada seorang raja
yang memerintah sebuah negeri,” demikian ditulis oleh al-Ghozali ketika
menjelaskan tentang hasad dalam Ihya’ ‘Ulumuddin. Pada suatu hari
datanglah seorang ‘alim yang tulus hati ke istananya. Atas pinta sang penguasa,
si ‘alim pun menasehatinya.
“Balaslah orang
yang berbuat baik dengan lebih baik lagi,” demikian sang bijak memberi nasehat,
“Karena kebajikan yang telah dia lakukan pada Baginda. Tetapi jangan hiraukan
orang yang mendengki. Abaikanlah! Sebab kedengkian itu sudah cukup untuk
mencelakakan dirinya.”
Ada seorang wazir
di istana tersebut yang memang benar-benar seorang pendengki. Dia iri melihat
pemuliaan begitu rupa yang dilakukan sang raja pada tamunya ini. Dia telah
merencanakan sesuatu.
Begitu sang
penasehat pergi dari majelis, sang wazir mengantarnya keluar. Setelah itu dia
bergegas kembali menemui sang raja. “Orang bijak tadi mengatakan padaku,” ujar
sang pendengki, “Bahwa mulut Baginda sungguh bau. Coba saja Baginda panggil
lagi dia di esok hari. Jika di dekat Baginda dia menutup mulutnya, itu berarti
benar bahwa dia menganggap mulut Baginda sungguh bau.”
Sang raja sangat
tersinggung mendengarnya.
Keesokan paginya,
sang wazir mengundang penasehat tulus itu untuk sarapan di rumahnya. Kepadanya
dihidangkan bawang-bawangan dan masakan berbau tajam. Mulut sang ‘alim tulus
hati itu menjadi amat bau.
Tak lama kemudian,
seperti direncanakan oleh si wazir, datanglah panggilan pada sang penasehat
untuk menghadap sang raja di majelisnya.
Setelah memberikan
nasehatnya pada sang raja, raja itu memintanya untuk mendekat. “Kemarilah wahai
penasehat yang baik!” ujarnya. “Datanglah mendekat padaku!”
Sang ‘alim ragu
untuk mendekat. Dia takut bau busuk di mulutnya akan menyinggung sang raja.
“Ayo kemari!
Mengapa engkau ragu?”
Dengan menutupi
mulutnya sendiri karena khawatir akan bau bawang dalam jamuan di pagi tadi, dia
pun mendekat. Sang raja bergumam dalam hati, “Ternyata benar. Dia melecehkanku
dan menganggap mulutku bau. Dia ingin menghinaku!” Maka sang raja pun menulis
sebuah surat dan memberikannya pada sang penasehat yang masih tak mengerti
untuk apa dia diminta mendekat.
“Bawalah surat ini
kepada salah seorang petugasku,” kata sang raja, “Niscaya dia akan memberikan
sebuah hadiah yang berharga untukmu.”
Sebetulnya yang
ditulis sang raja dalam surat itu bukanlah hadiah. Karena sangat tersinggung
batas sikap sang penasehat itu, dia memberi perintah lain kepada sang pejabat.
“Jika pembawa nawala ini datang padamu, maka sembelihlah dia. Kuliti tubuhnya.
Masukkan jerami ke dalam badannya dan bakarlah. Sementara kepalanya, bawa ke
hadapanku!”
Begitu keluar dari
istana, sang penasehat disambut oleh wazir pendengki yang menjebaknya. “Apa
yang dilakukan Baginda kepadamu, Saudaraku?” tanyanya.
“Alhamdulillah,”
ujar sang penasehat berseri, “Beliau menyuruhku membawa surat ini kepada
seorang petugas istana yang akan memberikan kepadaku hadiah dari sang raja.”
“Wah,” ujar si
pendengki takjub, “Bagaimana jika Tuan penasehat beristirahat saja di kediaman
saya? Biar saya saja yang mengurus semua itu.”
“Wah,” kata si
penasehat, “Saya merepotkan Anda.”
“Tentu tidak,” ujar
sang wazir dengan senyum liciknya, “Ini sudah merupakan tanggung jawab saya
sebagai tuan rumah. Lagi-pula Tuan penasehat belum begitu mengenal seluk beluk
istana ini.”
Nah, pastinya kita
telah tahu bagaimana akhir dari kisah ini. Alloh berfirman dalam surat Faathir ayat keempat puluh tiga,
“Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya
sendiri.”
Dalam dekapan
ukhuwah, nasehat artinya ketulusan.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar