tak
mudah untuk mengatakan hal yang benar di waktu yang tepat
namun
agaknya yang lebih sulit adalah,
tidak
menyampaikan hal yang salah
ketika
tiba saat yang paling menggoda untuk mengatakannya
HAMNAH
BINTI JAHSY,
Hasan ibn Tsabit, dan Misthoh ibn Utsatsah.
Kita membaca
nama-nama ini dengan penuh ta’zhim sebab mereka adalah sahabat-sahabat
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
dari kalangan Muhajirin dan Anshor. Mereka mengalami kepahitan dan derita dalam
menegakkan Islam di sisi Sang Nabi.
Hamnah, misalnya.
Adalah istri dari Mush’ab ibn ‘Umair dan adik dari ‘Abdulloh ibn Jahsy. Dari
hari Uhud, dia kehilangan paman, kakek, dan juga suaminya yang menjadi syuhada.
Hassan adalah penyair Anshor yang begitu besar pembelaannya terhadap Islam.
Sedang Misthoh, kita tahu termasuk Muhajirin miskin yang mengalami lara-lapa siksaan Quroisy di Makkah.
Sungguh mereka bagi Islam adalah bintang yang berpendar terang di langit
sejarah. Semoga Alloh meridhoi mereka semua.
Tetapi nama mereka
juga menjadi pelajaran bagi kita agar berhati-hati ketika mendengar kabar tak
baik tentang sesama Mukmin, lalu menjaga hati dan lisan kita agar tak menyakiti
orang beriman dalam dekapan ukhuwah. Ya, ini tentang haditsul ifki, kabar dusta yang menimpa ‘Aisyah dan Shofwan ibn
al-Mu’aththol sepulang Rosululloh dari Perang Bani Mustholiq.
Hari-hari itu
adalah hari-hari terberat dalam hidup ‘Aisyah. Dia tak mengira bahwa kalung
yang dipinjam dari kakaknya Asma’ akan menjadi sebuah cerita besar.
Jadi, dalam Perang
Bani Mustholiq itu, Sang Nabi mengundi istri-istrinya. ‘Aisyah yang terpilih
untuk mendampingi beliau. Dan ‘Aisyah, yang masih berusia 14 tahun, begitu
sukacita menghiaskan diri dengan kalung Asma’ di sepanjang perjalanan. Hingga
ketika rombongan Sang Nabi beristirahat dalam perjalanan pulang, seusai
menunaikan hajat, ‘Aisyah baru menyadari bahwa kalung itu hilang.
Dari kalung yang
hilang inilah, segala kisah bermula.
Apa yang sebenarnya
terjadi pada ‘Aisyah ketika itu? Inilah dia Rodhiyallohu
‘Anha bercerita. “Dalam perjalanan,” ujarnya, “Ada beberapa orang yang
ditugaskan Rosululloh menjagaku dan mengawal sekedup untaku. Ketika aku sedang
sibuk menelusur ke sana kemari mencari kalungku, orang-orang itu datang dan
bersiap mengangkat sekedupku. Mereka mengira aku berada di dalamnya, sebab pada
umumnya para wanita ketika itu bertubuh langsing dan berbobot ringan. Maka,
dengan yakin mereka meletakkan sekedup itu di atas unta tungganganku dan
memberangkatkan kafilah.”
“Beberapa jenak
kemudian,” lanjut ‘Aisyah, “Aku berhasil menemukan kalungku, tetapi rombongan
kaum Muslimin telah berangkat. Aku mendatangi tempat mereka, tapi tak kutemui
seorang pun di sana. Aku mencoba mengejar, tapi kafilah Rosululloh telah sama
sekali tak terlihat. Lalu aku kembali ke tempat sekedupku semula dengan harapan
agar kaum Muslimin sadar bahwa aku tertinggal lalu ada yang pergi mencariku.”
“Tetapi sayang,”
tuturnya lagi, “Aku tertidur. Ketika itulah Shofwan ibn al-Mu’aththol as-Sulami
yang memang bertugas jaga di barisan paling belakang memacu untanya
mendekatiku. Dia melihat sesosok bayangan hitam yang setelah didekatinya
ternyata adalah aku. Ketika itu belum turun perintah hijab, dan dia langsung
mengenaliku. Dia berseru kaget, ‘Innalillahi
wa inna ilaihi rooji’uun!’ Aku terbangun oleh teriakannya dan segera
menutup wajah dengan ujung kain kerudungku. Demi Alloh kami sama sekali tak
saling berbicara. Tak kudengar sepatah kata pun keluar dari lisannya kecuali
teriakan keterkejutannya tadi.”
“Shofwan lalu
turun,” begitu ‘Aisyah melanjutkan kisah, “Kemudian dia mendudukkan untanya.
Dia memberi isyarat agar aku naik. Aku bersegera mendatangi unta itu dan
menaikinya, lalu kami pun berangkat. Shofwan berjalan di depan menuntun unta
dengan penuh hormat. Begitulah, hingga kami tiba di tempat perhentian kaum
Muslimin yang beristirahat dalam cuaca siang yang sangat terik.”
‘Aisyah tak
menyadari bahwa kedatangannya bersama Shofwan di tengah hari itu diendus oleh
para munafikin sehingga mereka menemukan celah untuk menyakiti Rosululloh,
menjatuhkan nama baik ahli bait dan keluarga ash-Shiddiq, serta menyemai
perpecahan di kalangan kaum Muslimin. Adalah ‘Abdulloh ibn Ubay sang kampiun
munafik yang kemudian mengarang sebuah cerita menjijikkan tentang ‘Aisyah dan
Shofwan.
Pada umumnya kaum
Muslimin yang jernih hati langsung menyangkal berita dusta itu. Abu Ayyub dan
Ummu Ayyub, misalnya. Di rumah besar yang pernah menjadi tempat tinggal Sang
Nabi di awal hijrah, sekaligus menjadi tampungan yang memadai bagi puluhan
Muhajirin miskin itu, sepasang suami-istri itu saling bertukar suara hati.
“Hai Ummu Ayyub,”
ujar sang suami, “Andai engkau adalah ‘Aisyah, meungkinkah engkau melakukan hal
itu?”
“Aku berlindung
kepada Alloh dari yang sedemikian. Sesungguhnya aku memandang zina sebagai
sesuatu yang hina dan keji. Ia adalah seburuk-buruk jalan, sesuatu yang takkan
terpikir untuk kulakukan meski datang kesempatan untuk itu.”
“Demikian pun aku,”
sahut Abu Ayyub, “Aku juga berlindung kepada Alloh dari hal sedemikian. Padahal
sungguh, ‘Aisyah jauh lebih baik daripada dirimu dan Shofwan ibn al-Mu’aththol
lebih baik daripada diriku. Maka lebih tak mungkin lagi mereka melakukannya.
Sungguh berita ini adalah sebuah kedustaan yang nyata!”
Sikap sepasang
suami-istri yang penuh baik sangka ini dipuji oleh Alloh. Bagi selain mereka,
sikap ini dijadikan teladan sekaligus teguran. “Mengapa di waktu kalian
mendengar berita bohong itu, orang-orang Mukmin lelaki dan perempuan tidak
bersangka baik terhadap diri mereka sendiri?” demikian firman-Nya tertulis
dalam surat an-Nuur ayat kedua belas, “Dan
mengapa mereka tak berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’”
Seperti Abu Ayyub
dan Ummu Ayyub, dalam dekapan ukhuwah, kita belajar berprasangka baik pada diri
kita sendiri. Semua kecurigaan dan tuduhan kita pada sesama saudara, bisa jadi
tersebab kita merasa bahwa diri kita akan melakukan hal-hal yang buruk andai
Alloh menguji kita dengan cobaan seberat yang Alloh timpakan pada mereka. Jika
hati kita berisi kebaikan, pastilah kita akan mengatakan bahwa tak mungkin mereka
bertindak demikian. Sebab, kita pun jijik dan tak sudi untuk melakukannya jika
berada dalam keadaan yang mereka alami.
***
Sayang sekali,
Hamnah binti Jahsy, Hassan ibn Tsabit, dan Misthoh ibn Utsatsah terlibat
penyebaran berita itu.
Tetapi mengapa?
“Hamnah adalah
saudari Zainab binti Jahsy,” ujar ‘Aisyah di kemudian hari. “Mungkin dia
berharap dengan ikut serta menyebarkan berita bohong itu dan menjatuhkan
namaku, maka Zainab-lah yang akan menggantikan kedudukanku sebagai istri
tercinta yang paling disayangi oleh Rosululloh. Adapun Zainab sendiri, sungguh
aku tak mengetahui orang yang lebih menjaga pendengaran, penglihatan, dan
ucapannya daripada dia. Dia hanya mengatakan yang baik-baik saja tentang
diriku.”
Ya, jikapun Hamnah
terlibat, itu sungguh ketergelinciran yang disebabkan semangat untuk menjadikan
keluarganya sebagai bagian kehidupan Rosululloh yang paling beliau cintai.
Bukankah Hamnah tak tahu apa-apa sebab dia tetap tinggal di Madinah dan tak
ikut dalam Perang Bani Mustholiq? Maka dia percaya saja pada kabar itu, sebab
beritanya insya Alloh akan membawa keuntungan bagi keluarganya. Semangat Hamnah
itu telah menggusur tabayyun dan baik sangkanya pada sesama saudara.
Dan ‘Aisyah benar
tentang Zainab. Sebab inilah jawabannya ketika Rosululloh meminta tanggapan
atas kabar miring itu. “Adapun aku, ya Rosululloh,” ujarnya, “Selalu berupaya
menjaga penglihatan dan pendengaranku. Demi Alloh, tak ada yang kulihat pada
‘Aisyah selain kebaikan.” Maka sungguh pantas, tersebab kecantikan dan
kemuliaan akhlaknya, ‘Aisyah pernah berkata di lain kesempatan, “Sungguh yang
paling bisa membuatku cemburu adalah Zainab. Aku cemburu oleh ibadahnya,
sedekahnya, dan perangainya yang terpuji.”
Lalu ada apa dengan
Hassan ibn Tsabit? Mengapa dia turut serta menjatuhkan diri dalam fitnah ini
padahal dia juga tak melihat langsung bagaimana ‘Aisyah datang bersama Shofwan―sebab
dia juga tak ikut serta dalam perang itu? Bahkan dia pun mengubah syair ejekan
untuk Shofwan yang sangat menyakitkan.
semakin banyak jilbab dibutuhkan di sini, sore ini
ketika Shofwan, putra seorang ibu yang muli
tiba-tiba
menjadi pemuka kaumnya.
Walloohu a’lam. “Tampaknya,” tulis Sulaiman an-Nadawi
dalam Siroh as-Sayyidah ‘Aisyah Ummil Mukminin, “Hassan memiliki
permusuhan pribadi dengan Shofwan ibn al-Mu’aththol. Konon, Hassan pun
terjangkit cemburu sebab kaum Muhajirin beroleh tampat dan kedudukan yang lebih
mulia dibanding kaum Anshor di kota mereka, Madinah.”
Begitulah,
sebagaimana Hamnah, tampaknya Hassan juga gagal menjaga dirinya dari tak
mengatakan yang salah ketika tiba saat yang paling menggoda untuk
menyampaikannya. Kepentingan, terkadang, amat lebih menarik dibanding
kebenaran.
Adapun Misthoh ibn
Utsatsah, bahkan sang ibu pun, Ummu Misthoh―yang tidak lain adalah pelayan
‘Aisyah―tak habis pikir bagaimana bisa dia sampai ikut-ikutan menyebarkan haditsul ifki. Apalagi jika mengingat
bahwa keluarga Misthoh hidup dari tanggungan nafkah yang diberikan oleh Abu
Bakar ash-Shiddiq, ayah ‘Aisyah. Sungguh mengherankan. Tetapi hikmahnya, dari
Ummu Misthoh-lah ‘Aisyah tahu apa yang sedang terjadi.
“Aku keluar bersama
Ummu Misthoh menuju tempat untuk menunaikan hajat,” kata ‘Aisyah mengisahkan,
“Kami hanya melakukan hal itu di malam hari.” Ketika itu Ummi Misthoh
terserimpat oleh pakaiannya sendiri dan nyaris jatuh. Dia pun mengumpat,
“Celakalah Misthoh!”
“Sungguh buruk
ucapanmu pada seorang sahabat yang ikut Perang Badar, hai Ummu Misthoh!” tegur
‘Aisyah.
“Aduhai putri Abu
Bakar,” tukas Ummu Misthoh, “Belumkah engkau mendengar kabar dusta yang beredar
luas itu, yang Misthoh ikut-ikutan menyebarkannya?”
“Kabar apa?”
Maka Ummu Misthoh
pun menceritakan apa yang dikatakan oleh orang-orang munafik tentang diri
‘Aisyah dan Shofwan ibn al-Mu’aththol. Berulangkali ‘Aisyah meminta peyakinan
dari Ummu Misthoh, “Benarkah mereka menuduhku begitu?” Ketika Ummu Misthoh
mengiyakan, wajah ‘Aisyah memerah, matanya berlinang, dan tubuhnya jadi lemas.
Dia langsung pulang. “Demi Alloh,” kata ‘Aisyah, “Aku tak dapat menunaikan
hajatku dengan perasaan seperti malam itu.”
Sejak hari itu,
setelah yakin bahwa desas-desus tentangnya beredar luas di penjuru Madinah,
‘Aisyah kembali ke rumah orangtuanya dan tinggal di sana. Dia terus mengurung
diri di kamar dan menangis. Dia jatuh sakit. Bahkan ketika Rosululloh
menjenguknya, ‘Aisyah merasa sikap beliau Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam padanya sungguh berubah. “Rosululloh menemuiku,” ujar
‘Aisyah, “Tapi aku tak melihat kelembutan yang biasanya beliau tunjukkan ketika
aku sakit. Beliau hanya mengucap salam, masuk, menanyakan keadaanku, lalu
pergi. Sungguh aku mulai menyangsikan beliau!”
***
Sebenarnya,
kesedihan dan rasa terluka Sang Nabi sangatlah dalam.
Beliau pernah
mencoba menyampaikan keluhannya di mimbar. “Siapakah di antara kalian,” ujar
Rosululloh, “Yang bisa membelaku dari seorang laki-laki yang melontarkan
tuduhan kepada keluargaku. Demi Alloh, yang kuketahui tentang keluargaku adalah
kebaikan. Orang-orang juga menuduh Shofwan. Padahal sungguh tak ada yang aku
ketahui tentangnya kecuali kebaikan!”
Sa’d ibn Mu’adz,
pemimpin Aus bangkit berdiri. “Ya Rosulalloh,” katanya dengan penuh wibawa,
“Demi Alloh, kamilah yang akan membelamu dari lelaki itu. Jika dia dari kabilah
Aus, aku sendiri yang akan memenggal lehernya. Dan jika dia berasal dari
kabilah saudara-saudara kami Khozroj, lalu engkau perintahkan kami untuk
membunuhnya, maka niscaya kami juga akan membunuhnya!”
Sa’d ibn ‘Ubadah,
pemimpin Khozroj tersulut ghirohnya mendengar hal itu. Baginya, ini adalah
tantangan sekaligus ejekan. Sebab siapapun tahu, ‘Abdulloh ibn Ubay berasal
dari Khozroj. Maka Sa’d ibn ‘Ubadah dengan penuh rasa tersinggung berdiri
membalas. “Dusta engkau, hai Sa’d!” teriaknya, “Engkau hanya menggunakan
masalah ini untuk membalas Khozroj atas dendam lama di masa jahiliyah! Demi
Alloh, engkau tidak akan membunuhnya! Engkau tidak akan mampu melakukannya!”
“Engkau yang
dusta!” potong ‘Usaid ibn Hudhoir. “Dia sesepuh Aus, paman dari Sa’d ibn
Mu’adz. “Demi Alloh, kami pasti membunuhnya! Engkau munafik, dan mencoba
melindungi kawan-kawan munafikmu!”
Rosululloh segera
turun dari mimbar. Beliau nyaris menangis ketika melerai mereka. Duka beliau
makin dalam. Persoalan keluarga beliau ini telah nyaris membuat persatuan kaum
Muslimin yang dibangun bertahun-tahun dengan darah dan air mata hancur
berkeping-keping. Dendam lama antara Aus dan Khozroj diungkit ulang dan
hampir-hampir menghancurkan ikatan persaudaraan dalam dekapan ukhuwah.
Sekali lagi, kita
belajar pada Sa’d ibn Mu’adz, Sa’d ibn ‘Ubadah, dan Usaid ibn Hudhoir. Bahkan
dalam dekapan ukhuwah, tak mudah untuk tidak menyampaikan hal yang kurang
tepat, ketika tiba saat yang paling menggoda untuk mengatakannya.
***
Satu waktu, dalam
kesedihan dan beban berat yang menghimpit, Sang Nabi memanggil dua orang muda
yang dicintainya. Usamah ibn Zaid dan ‘Ali ibn Abi Tholib. Kepada mereka beliau
adukan kegelisahan hatinya. Dimintanya mereka memberi pendapat.
“Ya Rosulalloh,”
begitu Usamah berkata sambil menghela nafas dan menatap sendu wajah kekasihnya.
“Siapakah yang menikahkanmu dengan ‘Aisyah?”
Sang Nabi menunduk.
“Alloh,” jawabnya.
“Subhanalloh! Maka
apakah mungkin Alloh menipumu, ya Rosulalloh?” hentak Usamah. “Demi Alloh, aku
mempersaksikan bahwa ‘Aisyah seorang wanita yang suci lagi menjaga kesuciannya.
Janganlah engkau hiraukan fitnah-fitnah.”
Adapun ‘Ali,
mendengar pendapat Usamah, dia berusaha menjadi penyeimbang. Inilah
kata-katanya yang merupakan pendapat khas kaum lelaki. “Wahai Rosululloh,”
demikian ‘Ali menjawab, “Sungguh Alloh tak hendak menyulitkanmu dalam perkara
ini. Sungguh masih banyak perempuan selain ‘Aisyah untuk kau nikahi. Adapun
jika engkau benar-benar ingin tahu tentang ‘Aisyah, bertanyalah pada
pelayanmu!”
Kemudian Sang Nabi
pun memanggil Bariroh. “Wahai Bariroh,” ujar beliau, “Tidakkah engkau melihat
sesuatu yang membuatmu ragu tentang ‘Aisyah?”
Agaknya Bariroh
kurang mengerti maksud dan arah pertanyaan Rosululloh. Dia mengira, Sang Nabi
dan kedua sahabat beliau ini hanya ingin tahu tentang hal-ihwal ‘Aisyah dalam
rumah tangga sehari-hari. Dengan polos, dia menjawab, “Demi Zat yang mengutusmu
dengan kebenaran. Satu-satunya kekurangan ‘Aisyah adalah bahwa dia masih muda
dan pernah lena tertidur hingga kambing memakan adonan roti yang sedang
dibuatnya.”
Rosululloh
mengulang pertanyaannya. Menurut sebagian riwayat, bajkan ‘Ali pun memukul dan
menghardik Bariroh, “Bicaralah jujur kepada Rosululloh!”
“Demi Alloh,” ujar
Bariroh ketakutan, “Aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi
Alloh, ‘Aisyah sungguh lebih baik daripada emas yang baik.”
***
Sebagian orang dari
kalangan Syi’ah maupun pembela Bani ‘Umayyah yang membenci ‘Ali telah
berlebihan dalam menjadikan kisah ini seolah sebagai bibit pertikaian antara
‘Ali dengan ‘Aisyah hingga berujung pada Waq’atul
Jamal.
Tentu saja memang,
andai ‘Aisyah mendengar kata-kata ‘Ali di hadapan Rosululloh itu, dia pasti
sedih dan kecewa. Apalagi ‘Aisyah seorang wanita, yang sungguh akan tak mudah
baginya memahami sudut pandang kata-kata ‘Ali.
Sungguh, niat ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu adalah baik semata.
‘Ali mengatakan itu semua agar Sang Nabi tak terlalu berat menanggung bebannya
sehingga menyita energi beliau dari urusan ummat yang lebih penting. Seperti
pernah kita ulas, salah satu karakter ‘Ali adalah periang dan senantiasa
berupaya meringankan serta menyederhanakan persoalan. Maka kita maklum, mengapa
‘Ali bicara demikian. Baginya, pikiran, tenaga, dan ruhiyah Sang Nabi terlalu
berharga jika harus terkuras untuk berdalam-dalam pada masalah ini. Maka kata
‘Ali, “Ya Rosulalloh, Alloh tak hendak menyulitkanmu dalam perkara ini.”
Jika dinilai dari
sisi ‘Aisyah, kalimat ‘Ali yang berbunyi “Sungguh masih banyak perempuan selain
‘Aisyah untuk kau nikahi”, memang sungguh memojokkannya. Tetapi apakah ini
menjadi bukti langsung bahwa mereka berseteru sejak hari itu? Tentu saja tidak.
Ada lagi riwayat
unik yang dibawakan untuk mendukung praduga itu. Yakni bahwa ketika Rosululloh
sakit keras menjelang wafatnya, ‘Abbas dan ‘Ali-lah yang memapah beliau untuk
berjalan ke masjid menemui khalayak. Tetapi riwayat ‘Aisyah atas hal ini
menyebutkan, “Rosululloh dipapah oleh ‘Abbas dan seorang lelaki yang lain.”
Benarkah ini penanda bahwa ‘Aisyah begitu marah hingga tak sudi menyebut nama
‘Ali?
“Sungguh tuduhan
yang mengada-ada!” ujar Imam az-Zuhri mengomentari berbagai riwayat tentang tak
disebutnya nama ‘Ali dalam banyak riwayat yang dibawakan ‘Aisyah. Termasuk
ketika suatu hari ‘Ali datang bersama ‘Utsman menemui Sang Nabi, lalu ‘Aisyah
hanya berkata, “Telah datang ‘Utsman, dan seorang lelaki yang lain.” Ini semua,
menurut az-Zuhri, bukanlah kesengajaan ‘Aisyah. Kemungkinan besar, ‘Aisyah
memang tak bisa melihat dengan jelas sosok ‘Ali ketika itu. Demikianlah dikutip
oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan
Nihayah.
Wallohu a’lam bish showwab.
Yang jelas, di saat
Waq’atul Jamal kita menyaksikan
bertapa besar penghargaan dan pemuliaan yang dilakukan oleh ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu kepada ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha. Ketika mereka masih
berhadapan dengan pasukan yang saling mengayunkan pedang, inilah ‘Ammar ibn
Yassir, orang terdekat ‘Ali bicara pada seorang prajurit yang mencela ‘Aisyah.
“Diamlah engkau, hai si buruk laku!” gertak ‘Ammar. “Akankah engkau sakiti kecintaan
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam?
Demi Alloh aku bersaksi, bahwa ‘Aisyah adalah putri beliau di dunia dan
akhirat! Hanya saja… hanya saja, saat ini Alloh sedang menguji kita, apakah
kepada-Nya kita taat, atau kepadanya!”
Dengan penuh penghormatan,
‘Ali menyambut ‘Aisyah begitu perdamaian dicapai. Diutusnya Muhammad ibn Abi
Bakar, saudara ‘Aisyah untuk memeriksa keadaannya dan memenuhi keperluannya.
Dengan tangannya sendiri, ‘Ali menyiapkan segala keperluan, termasuk binatang
tunggangan dan perbekalan untuk perjalanan ‘Aisyah kembali ke Madinah lewat
Makkah. ‘Ali juga menyertakan 40 wanita bashroh sebagai pendamping perjalanan
sekaligus mengizinkan para pengikut ‘Aisyah untuk mengawalnya. Sesudah itu, dia
menemui ‘Aisyah.
“Assalaamu ‘alaiki, duhai Ibunda,” kata
‘Ali di depan sekedup ‘Aisyah.
“’Alaikassalaam wa rohmatulloh, wahai
Putraku!”
“Bagaimana
keadaanmu?”
“Baik.”
“Semoga Alloh
mengampunimu…”
“Dan mengampunimu
juga…”
Akhir yang baik, Alhamdulillah. Sekali lagi, tentang
persoalan di antara mereka, wallohu a’lam
bish showwab. Yang jelas, kita belajar dari kisah mereka bahwa alangkah
tajamnya kata-kata jika ia tak dijaga. Alangkah pandai syaithon meruyakkan
dendam lama yang sebenarnya telah dihapus dengan maaf ketika sedang muncul persoalan
baru di tengah dekapan ukhuwah kita.
Ketika berangkat,
‘Aisyah menyampaikan khuthbah perpisahan yang sangat agung. “Wahai
anak-anakku,” ujarnya, “Kalian telah berselisih. Jangan sampai hal ini
berlanjut. Setelah hari ini, tak boleh ada lagi seseorang yang memusuhi
saudaranya sesama Muslim akibat perang yang telah berlalu ini.”
“Demi Alloh,”
lanjutnya, “Tak pernah ada permusuhan antara aku dan ‘Ali, kecuali sekedar
berselisihnya seorang ibu mertua dengan menantunya. Aku memang pernah
mencelanya, tetapi demi Alloh, bagiku dia tetaplah seorang lelaki yang terbaik
di antara kalian!”
***
Begitulah. Dalam
dekapan ukhuwah, kita berlatih melembutkan nurani dengan mewaspadai godaan
kesempatan, untuk mengatakan apa yang tak seharusnya diucapkan.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar