Senin, 08 Juni 2015

Godaan Kesempatan

tak mudah untuk mengatakan hal yang benar di waktu yang tepat
namun agaknya yang lebih sulit adalah,
tidak menyampaikan hal yang salah
ketika tiba saat yang paling menggoda untuk mengatakannya



HAMNAH BINTI JAHSY, Hasan ibn Tsabit, dan Misthoh ibn Utsatsah.

Kita membaca nama-nama ini dengan penuh ta’zhim sebab mereka adalah sahabat-sahabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshor. Mereka mengalami kepahitan dan derita dalam menegakkan Islam di sisi Sang Nabi.

Hamnah, misalnya. Adalah istri dari Mush’ab ibn ‘Umair dan adik dari ‘Abdulloh ibn Jahsy. Dari hari Uhud, dia kehilangan paman, kakek, dan juga suaminya yang menjadi syuhada. Hassan adalah penyair Anshor yang begitu besar pembelaannya terhadap Islam. Sedang Misthoh, kita tahu termasuk Muhajirin miskin yang mengalami lara-lapa siksaan Quroisy di Makkah. Sungguh mereka bagi Islam adalah bintang yang berpendar terang di langit sejarah. Semoga Alloh meridhoi mereka semua.

Tetapi nama mereka juga menjadi pelajaran bagi kita agar berhati-hati ketika mendengar kabar tak baik tentang sesama Mukmin, lalu menjaga hati dan lisan kita agar tak menyakiti orang beriman dalam dekapan ukhuwah. Ya, ini tentang haditsul ifki, kabar dusta yang menimpa ‘Aisyah dan Shofwan ibn al-Mu’aththol sepulang Rosululloh dari Perang Bani Mustholiq.

Hari-hari itu adalah hari-hari terberat dalam hidup ‘Aisyah. Dia tak mengira bahwa kalung yang dipinjam dari kakaknya Asma’ akan menjadi sebuah cerita besar.

Jadi, dalam Perang Bani Mustholiq itu, Sang Nabi mengundi istri-istrinya. ‘Aisyah yang terpilih untuk mendampingi beliau. Dan ‘Aisyah, yang masih berusia 14 tahun, begitu sukacita menghiaskan diri dengan kalung Asma’ di sepanjang perjalanan. Hingga ketika rombongan Sang Nabi beristirahat dalam perjalanan pulang, seusai menunaikan hajat, ‘Aisyah baru menyadari bahwa kalung itu hilang.

Dari kalung yang hilang inilah, segala kisah bermula.

Apa yang sebenarnya terjadi pada ‘Aisyah ketika itu? Inilah dia Rodhiyallohu ‘Anha bercerita. “Dalam perjalanan,” ujarnya, “Ada beberapa orang yang ditugaskan Rosululloh menjagaku dan mengawal sekedup untaku. Ketika aku sedang sibuk menelusur ke sana kemari mencari kalungku, orang-orang itu datang dan bersiap mengangkat sekedupku. Mereka mengira aku berada di dalamnya, sebab pada umumnya para wanita ketika itu bertubuh langsing dan berbobot ringan. Maka, dengan yakin mereka meletakkan sekedup itu di atas unta tungganganku dan memberangkatkan kafilah.”

“Beberapa jenak kemudian,” lanjut ‘Aisyah, “Aku berhasil menemukan kalungku, tetapi rombongan kaum Muslimin telah berangkat. Aku mendatangi tempat mereka, tapi tak kutemui seorang pun di sana. Aku mencoba mengejar, tapi kafilah Rosululloh telah sama sekali tak terlihat. Lalu aku kembali ke tempat sekedupku semula dengan harapan agar kaum Muslimin sadar bahwa aku tertinggal lalu ada yang pergi mencariku.”

“Tetapi sayang,” tuturnya lagi, “Aku tertidur. Ketika itulah Shofwan ibn al-Mu’aththol as-Sulami yang memang bertugas jaga di barisan paling belakang memacu untanya mendekatiku. Dia melihat sesosok bayangan hitam yang setelah didekatinya ternyata adalah aku. Ketika itu belum turun perintah hijab, dan dia langsung mengenaliku. Dia berseru kaget, ‘Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun!’ Aku terbangun oleh teriakannya dan segera menutup wajah dengan ujung kain kerudungku. Demi Alloh kami sama sekali tak saling berbicara. Tak kudengar sepatah kata pun keluar dari lisannya kecuali teriakan keterkejutannya tadi.”

“Shofwan lalu turun,” begitu ‘Aisyah melanjutkan kisah, “Kemudian dia mendudukkan untanya. Dia memberi isyarat agar aku naik. Aku bersegera mendatangi unta itu dan menaikinya, lalu kami pun berangkat. Shofwan berjalan di depan menuntun unta dengan penuh hormat. Begitulah, hingga kami tiba di tempat perhentian kaum Muslimin yang beristirahat dalam cuaca siang yang sangat terik.”

‘Aisyah tak menyadari bahwa kedatangannya bersama Shofwan di tengah hari itu diendus oleh para munafikin sehingga mereka menemukan celah untuk menyakiti Rosululloh, menjatuhkan nama baik ahli bait dan keluarga ash-Shiddiq, serta menyemai perpecahan di kalangan kaum Muslimin. Adalah ‘Abdulloh ibn Ubay sang kampiun munafik yang kemudian mengarang sebuah cerita menjijikkan tentang ‘Aisyah dan Shofwan.

Pada umumnya kaum Muslimin yang jernih hati langsung menyangkal berita dusta itu. Abu Ayyub dan Ummu Ayyub, misalnya. Di rumah besar yang pernah menjadi tempat tinggal Sang Nabi di awal hijrah, sekaligus menjadi tampungan yang memadai bagi puluhan Muhajirin miskin itu, sepasang suami-istri itu saling bertukar suara hati.

“Hai Ummu Ayyub,” ujar sang suami, “Andai engkau adalah ‘Aisyah, meungkinkah engkau melakukan hal itu?”

“Aku berlindung kepada Alloh dari yang sedemikian. Sesungguhnya aku memandang zina sebagai sesuatu yang hina dan keji. Ia adalah seburuk-buruk jalan, sesuatu yang takkan terpikir untuk kulakukan meski datang kesempatan untuk itu.”

“Demikian pun aku,” sahut Abu Ayyub, “Aku juga berlindung kepada Alloh dari hal sedemikian. Padahal sungguh, ‘Aisyah jauh lebih baik daripada dirimu dan Shofwan ibn al-Mu’aththol lebih baik daripada diriku. Maka lebih tak mungkin lagi mereka melakukannya. Sungguh berita ini adalah sebuah kedustaan yang nyata!”

Sikap sepasang suami-istri yang penuh baik sangka ini dipuji oleh Alloh. Bagi selain mereka, sikap ini dijadikan teladan sekaligus teguran. “Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu, orang-orang Mukmin lelaki dan perempuan tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri?” demikian firman-Nya tertulis dalam surat an-Nuur ayat kedua belas, “Dan mengapa mereka tak berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’”

Seperti Abu Ayyub dan Ummu Ayyub, dalam dekapan ukhuwah, kita belajar berprasangka baik pada diri kita sendiri. Semua kecurigaan dan tuduhan kita pada sesama saudara, bisa jadi tersebab kita merasa bahwa diri kita akan melakukan hal-hal yang buruk andai Alloh menguji kita dengan cobaan seberat yang Alloh timpakan pada mereka. Jika hati kita berisi kebaikan, pastilah kita akan mengatakan bahwa tak mungkin mereka bertindak demikian. Sebab, kita pun jijik dan tak sudi untuk melakukannya jika berada dalam keadaan yang mereka alami.

***

Sayang sekali, Hamnah binti Jahsy, Hassan ibn Tsabit, dan Misthoh ibn Utsatsah terlibat penyebaran berita itu.

Tetapi mengapa?

“Hamnah adalah saudari Zainab binti Jahsy,” ujar ‘Aisyah di kemudian hari. “Mungkin dia berharap dengan ikut serta menyebarkan berita bohong itu dan menjatuhkan namaku, maka Zainab-lah yang akan menggantikan kedudukanku sebagai istri tercinta yang paling disayangi oleh Rosululloh. Adapun Zainab sendiri, sungguh aku tak mengetahui orang yang lebih menjaga pendengaran, penglihatan, dan ucapannya daripada dia. Dia hanya mengatakan yang baik-baik saja tentang diriku.”

Ya, jikapun Hamnah terlibat, itu sungguh ketergelinciran yang disebabkan semangat untuk menjadikan keluarganya sebagai bagian kehidupan Rosululloh yang paling beliau cintai. Bukankah Hamnah tak tahu apa-apa sebab dia tetap tinggal di Madinah dan tak ikut dalam Perang Bani Mustholiq? Maka dia percaya saja pada kabar itu, sebab beritanya insya Alloh akan membawa keuntungan bagi keluarganya. Semangat Hamnah itu telah menggusur tabayyun dan baik sangkanya pada sesama saudara.

Dan ‘Aisyah benar tentang Zainab. Sebab inilah jawabannya ketika Rosululloh meminta tanggapan atas kabar miring itu. “Adapun aku, ya Rosululloh,” ujarnya, “Selalu berupaya menjaga penglihatan dan pendengaranku. Demi Alloh, tak ada yang kulihat pada ‘Aisyah selain kebaikan.” Maka sungguh pantas, tersebab kecantikan dan kemuliaan akhlaknya, ‘Aisyah pernah berkata di lain kesempatan, “Sungguh yang paling bisa membuatku cemburu adalah Zainab. Aku cemburu oleh ibadahnya, sedekahnya, dan perangainya yang terpuji.”

Lalu ada apa dengan Hassan ibn Tsabit? Mengapa dia turut serta menjatuhkan diri dalam fitnah ini padahal dia juga tak melihat langsung bagaimana ‘Aisyah datang bersama Shofwan―sebab dia juga tak ikut serta dalam perang itu? Bahkan dia pun mengubah syair ejekan untuk Shofwan yang sangat menyakitkan.

semakin banyak jilbab dibutuhkan di sini, sore ini
ketika Shofwan, putra seorang ibu yang muli
 tiba-tiba menjadi pemuka kaumnya.

Walloohu a’lam. “Tampaknya,” tulis Sulaiman an-Nadawi dalam Siroh as-Sayyidah  ‘Aisyah Ummil Mukminin, “Hassan memiliki permusuhan pribadi dengan Shofwan ibn al-Mu’aththol. Konon, Hassan pun terjangkit cemburu sebab kaum Muhajirin beroleh tampat dan kedudukan yang lebih mulia dibanding kaum Anshor di kota mereka, Madinah.”

Begitulah, sebagaimana Hamnah, tampaknya Hassan juga gagal menjaga dirinya dari tak mengatakan yang salah ketika tiba saat yang paling menggoda untuk menyampaikannya. Kepentingan, terkadang, amat lebih menarik dibanding kebenaran.

Adapun Misthoh ibn Utsatsah, bahkan sang ibu pun, Ummu Misthoh―yang tidak lain adalah pelayan ‘Aisyah―tak habis pikir bagaimana bisa dia sampai ikut-ikutan menyebarkan haditsul ifki. Apalagi jika mengingat bahwa keluarga Misthoh hidup dari tanggungan nafkah yang diberikan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, ayah ‘Aisyah. Sungguh mengherankan. Tetapi hikmahnya, dari Ummu Misthoh-lah ‘Aisyah tahu apa yang sedang terjadi.

“Aku keluar bersama Ummu Misthoh menuju tempat untuk menunaikan hajat,” kata ‘Aisyah mengisahkan, “Kami hanya melakukan hal itu di malam hari.” Ketika itu Ummi Misthoh terserimpat oleh pakaiannya sendiri dan nyaris jatuh. Dia pun mengumpat, “Celakalah Misthoh!”

“Sungguh buruk ucapanmu pada seorang sahabat yang ikut Perang Badar, hai Ummu Misthoh!” tegur ‘Aisyah.

“Aduhai putri Abu Bakar,” tukas Ummu Misthoh, “Belumkah engkau mendengar kabar dusta yang beredar luas itu, yang Misthoh ikut-ikutan menyebarkannya?”

“Kabar apa?”

Maka Ummu Misthoh pun menceritakan apa yang dikatakan oleh orang-orang munafik tentang diri ‘Aisyah dan Shofwan ibn al-Mu’aththol. Berulangkali ‘Aisyah meminta peyakinan dari Ummu Misthoh, “Benarkah mereka menuduhku begitu?” Ketika Ummu Misthoh mengiyakan, wajah ‘Aisyah memerah, matanya berlinang, dan tubuhnya jadi lemas. Dia langsung pulang. “Demi Alloh,” kata ‘Aisyah, “Aku tak dapat menunaikan hajatku dengan perasaan seperti malam itu.”

Sejak hari itu, setelah yakin bahwa desas-desus tentangnya beredar luas di penjuru Madinah, ‘Aisyah kembali ke rumah orangtuanya dan tinggal di sana. Dia terus mengurung diri di kamar dan menangis. Dia jatuh sakit. Bahkan ketika Rosululloh menjenguknya, ‘Aisyah merasa sikap beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam padanya sungguh berubah. “Rosululloh menemuiku,” ujar ‘Aisyah, “Tapi aku tak melihat kelembutan yang biasanya beliau tunjukkan ketika aku sakit. Beliau hanya mengucap salam, masuk, menanyakan keadaanku, lalu pergi. Sungguh aku mulai menyangsikan beliau!”

***

Sebenarnya, kesedihan dan rasa terluka Sang Nabi sangatlah dalam.

Beliau pernah mencoba menyampaikan keluhannya di mimbar. “Siapakah di antara kalian,” ujar Rosululloh, “Yang bisa membelaku dari seorang laki-laki yang melontarkan tuduhan kepada keluargaku. Demi Alloh, yang kuketahui tentang keluargaku adalah kebaikan. Orang-orang juga menuduh Shofwan. Padahal sungguh tak ada yang aku ketahui tentangnya kecuali kebaikan!”

Sa’d ibn Mu’adz, pemimpin Aus bangkit berdiri. “Ya Rosulalloh,” katanya dengan penuh wibawa, “Demi Alloh, kamilah yang akan membelamu dari lelaki itu. Jika dia dari kabilah Aus, aku sendiri yang akan memenggal lehernya. Dan jika dia berasal dari kabilah saudara-saudara kami Khozroj, lalu engkau perintahkan kami untuk membunuhnya, maka niscaya kami juga akan membunuhnya!”

Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin Khozroj tersulut ghirohnya mendengar hal itu. Baginya, ini adalah tantangan sekaligus ejekan. Sebab siapapun tahu, ‘Abdulloh ibn Ubay berasal dari Khozroj. Maka Sa’d ibn ‘Ubadah dengan penuh rasa tersinggung berdiri membalas. “Dusta engkau, hai Sa’d!” teriaknya, “Engkau hanya menggunakan masalah ini untuk membalas Khozroj atas dendam lama di masa jahiliyah! Demi Alloh, engkau tidak akan membunuhnya! Engkau tidak akan mampu melakukannya!”

“Engkau yang dusta!” potong ‘Usaid ibn Hudhoir. “Dia sesepuh Aus, paman dari Sa’d ibn Mu’adz. “Demi Alloh, kami pasti membunuhnya! Engkau munafik, dan mencoba melindungi kawan-kawan munafikmu!”

Rosululloh segera turun dari mimbar. Beliau nyaris menangis ketika melerai mereka. Duka beliau makin dalam. Persoalan keluarga beliau ini telah nyaris membuat persatuan kaum Muslimin yang dibangun bertahun-tahun dengan darah dan air mata hancur berkeping-keping. Dendam lama antara Aus dan Khozroj diungkit ulang dan hampir-hampir menghancurkan ikatan persaudaraan dalam dekapan ukhuwah.

Sekali lagi, kita belajar pada Sa’d ibn Mu’adz, Sa’d ibn ‘Ubadah, dan Usaid ibn Hudhoir. Bahkan dalam dekapan ukhuwah, tak mudah untuk tidak menyampaikan hal yang kurang tepat, ketika tiba saat yang paling menggoda untuk mengatakannya.

***

Satu waktu, dalam kesedihan dan beban berat yang menghimpit, Sang Nabi memanggil dua orang muda yang dicintainya. Usamah ibn Zaid dan ‘Ali ibn Abi Tholib. Kepada mereka beliau adukan kegelisahan hatinya. Dimintanya mereka memberi pendapat.

“Ya Rosulalloh,” begitu Usamah berkata sambil menghela nafas dan menatap sendu wajah kekasihnya. “Siapakah yang menikahkanmu dengan ‘Aisyah?”

Sang Nabi menunduk. “Alloh,” jawabnya.

“Subhanalloh! Maka apakah mungkin Alloh menipumu, ya Rosulalloh?” hentak Usamah. “Demi Alloh, aku mempersaksikan bahwa ‘Aisyah seorang wanita yang suci lagi menjaga kesuciannya. Janganlah engkau hiraukan fitnah-fitnah.”

Adapun ‘Ali, mendengar pendapat Usamah, dia berusaha menjadi penyeimbang. Inilah kata-katanya yang merupakan pendapat khas kaum lelaki. “Wahai Rosululloh,” demikian ‘Ali menjawab, “Sungguh Alloh tak hendak menyulitkanmu dalam perkara ini. Sungguh masih banyak perempuan selain ‘Aisyah untuk kau nikahi. Adapun jika engkau benar-benar ingin tahu tentang ‘Aisyah, bertanyalah pada pelayanmu!”

Kemudian Sang Nabi pun memanggil Bariroh. “Wahai Bariroh,” ujar beliau, “Tidakkah engkau melihat sesuatu yang membuatmu ragu tentang ‘Aisyah?”

Agaknya Bariroh kurang mengerti maksud dan arah pertanyaan Rosululloh. Dia mengira, Sang Nabi dan kedua sahabat beliau ini hanya ingin tahu tentang hal-ihwal ‘Aisyah dalam rumah tangga sehari-hari. Dengan polos, dia menjawab, “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran. Satu-satunya kekurangan ‘Aisyah adalah bahwa dia masih muda dan pernah lena tertidur hingga kambing memakan adonan roti yang sedang dibuatnya.”

Rosululloh mengulang pertanyaannya. Menurut sebagian riwayat, bajkan ‘Ali pun memukul dan menghardik Bariroh, “Bicaralah jujur kepada Rosululloh!”

“Demi Alloh,” ujar Bariroh ketakutan, “Aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Alloh, ‘Aisyah sungguh lebih baik daripada emas yang baik.”

***

Sebagian orang dari kalangan Syi’ah maupun pembela Bani ‘Umayyah yang membenci ‘Ali telah berlebihan dalam menjadikan kisah ini seolah sebagai bibit pertikaian antara ‘Ali dengan ‘Aisyah hingga berujung pada Waq’atul Jamal.

Tentu saja memang, andai ‘Aisyah mendengar kata-kata ‘Ali di hadapan Rosululloh itu, dia pasti sedih dan kecewa. Apalagi ‘Aisyah seorang wanita, yang sungguh akan tak mudah baginya memahami sudut pandang kata-kata ‘Ali.

Sungguh, niat ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu adalah baik semata. ‘Ali mengatakan itu semua agar Sang Nabi tak terlalu berat menanggung bebannya sehingga menyita energi beliau dari urusan ummat yang lebih penting. Seperti pernah kita ulas, salah satu karakter ‘Ali adalah periang dan senantiasa berupaya meringankan serta menyederhanakan persoalan. Maka kita maklum, mengapa ‘Ali bicara demikian. Baginya, pikiran, tenaga, dan ruhiyah Sang Nabi terlalu berharga jika harus terkuras untuk berdalam-dalam pada masalah ini. Maka kata ‘Ali, “Ya Rosulalloh, Alloh tak hendak menyulitkanmu dalam perkara ini.”

Jika dinilai dari sisi ‘Aisyah, kalimat ‘Ali yang berbunyi “Sungguh masih banyak perempuan selain ‘Aisyah untuk kau nikahi”, memang sungguh memojokkannya. Tetapi apakah ini menjadi bukti langsung bahwa mereka berseteru sejak hari itu? Tentu saja tidak.

Ada lagi riwayat unik yang dibawakan untuk mendukung praduga itu. Yakni bahwa ketika Rosululloh sakit keras menjelang wafatnya, ‘Abbas dan ‘Ali-lah yang memapah beliau untuk berjalan ke masjid menemui khalayak. Tetapi riwayat ‘Aisyah atas hal ini menyebutkan, “Rosululloh dipapah oleh ‘Abbas dan seorang lelaki yang lain.” Benarkah ini penanda bahwa ‘Aisyah begitu marah hingga tak sudi menyebut nama ‘Ali?

“Sungguh tuduhan yang mengada-ada!” ujar Imam az-Zuhri mengomentari berbagai riwayat tentang tak disebutnya nama ‘Ali dalam banyak riwayat yang dibawakan ‘Aisyah. Termasuk ketika suatu hari ‘Ali datang bersama ‘Utsman menemui Sang Nabi, lalu ‘Aisyah hanya berkata, “Telah datang ‘Utsman, dan seorang lelaki yang lain.” Ini semua, menurut az-Zuhri, bukanlah kesengajaan ‘Aisyah. Kemungkinan besar, ‘Aisyah memang tak bisa melihat dengan jelas sosok ‘Ali ketika itu. Demikianlah dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah.

Wallohu a’lam bish showwab.

Yang jelas, di saat Waq’atul Jamal kita menyaksikan bertapa besar penghargaan dan pemuliaan yang dilakukan oleh ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu kepada ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha. Ketika mereka masih berhadapan dengan pasukan yang saling mengayunkan pedang, inilah ‘Ammar ibn Yassir, orang terdekat ‘Ali bicara pada seorang prajurit yang mencela ‘Aisyah. “Diamlah engkau, hai si buruk laku!” gertak ‘Ammar. “Akankah engkau sakiti kecintaan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam? Demi Alloh aku bersaksi, bahwa ‘Aisyah adalah putri beliau di dunia dan akhirat! Hanya saja… hanya saja, saat ini Alloh sedang menguji kita, apakah kepada-Nya kita taat, atau kepadanya!”

Dengan penuh penghormatan, ‘Ali menyambut ‘Aisyah begitu perdamaian dicapai. Diutusnya Muhammad ibn Abi Bakar, saudara ‘Aisyah untuk memeriksa keadaannya dan memenuhi keperluannya. Dengan tangannya sendiri, ‘Ali menyiapkan segala keperluan, termasuk binatang tunggangan dan perbekalan untuk perjalanan ‘Aisyah kembali ke Madinah lewat Makkah. ‘Ali juga menyertakan 40 wanita bashroh sebagai pendamping perjalanan sekaligus mengizinkan para pengikut ‘Aisyah untuk mengawalnya. Sesudah itu, dia menemui ‘Aisyah.

Assalaamu ‘alaiki, duhai Ibunda,” kata ‘Ali di depan sekedup ‘Aisyah.

’Alaikassalaam wa rohmatulloh, wahai Putraku!”

“Bagaimana keadaanmu?”

“Baik.”

“Semoga Alloh mengampunimu…”

“Dan mengampunimu juga…”

Akhir yang baik, Alhamdulillah. Sekali lagi, tentang persoalan di antara mereka, wallohu a’lam bish showwab. Yang jelas, kita belajar dari kisah mereka bahwa alangkah tajamnya kata-kata jika ia tak dijaga. Alangkah pandai syaithon meruyakkan dendam lama yang sebenarnya telah dihapus dengan maaf ketika sedang muncul persoalan baru di tengah dekapan ukhuwah kita.

Ketika berangkat, ‘Aisyah menyampaikan khuthbah perpisahan yang sangat agung. “Wahai anak-anakku,” ujarnya, “Kalian telah berselisih. Jangan sampai hal ini berlanjut. Setelah hari ini, tak boleh ada lagi seseorang yang memusuhi saudaranya sesama Muslim akibat perang yang telah berlalu ini.”

“Demi Alloh,” lanjutnya, “Tak pernah ada permusuhan antara aku dan ‘Ali, kecuali sekedar berselisihnya seorang ibu mertua dengan menantunya. Aku memang pernah mencelanya, tetapi demi Alloh, bagiku dia tetaplah seorang lelaki yang terbaik di antara kalian!”

***

Begitulah. Dalam dekapan ukhuwah, kita berlatih melembutkan nurani dengan mewaspadai godaan kesempatan, untuk mengatakan apa yang tak seharusnya diucapkan.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar