Senin, 08 Juni 2015

Harmoni di Ujung Kata

“kapati amarsudi, sudone howo lan nepsu, pinesu topo broto
tanapi ing siang ratri, amemangun karyenak tyasing sasomo”

berupaya sepenuh hati, demi terkendalinya hawa nafsu
beribadah siang dan malam, mencipta kenyamanan hati sesama

-Mangkunegoro IV, Wedhotomo-



“MEDAN IS HONESTY,” ujar seorang kawan yang memang asli Medan, “Jogja is hospitality”. Saya harus tersipu menanggapi kalimat beliau itu. Beberapa kali bertemu orang Medan, kesan mereka tentang orang Jogja selalu begitu. “Orang Jogja itu terlalu baik, Bang Salim,” kata mereka. “Kaki mereka terinjak pun, mereka yang minta maaf. ‘Maaf, mas. Kaki saya terinjak,’ katanya.”

Beliau tertawa. Saya juga tertawa, nggleges.

Tetapi ternyata ada yang mendahului saya. Sastrawan Umar Kayam dalam kumpulan sketsanya di jilid kedua, Mangan Ora Mangan Kumpul; Sugih Tanpa Bondho, mencatat pengalaman yang mirip dengan apa yang saya alami. Kali ini, shohibul hikayatnya seorang supir taksi dari Medan. Alkisah, setelah bercakap perkenalan, sang supir bercerita tentang adiknya yang kawin dengan gadis Jogja lalu berubah menjadi halus tutur kata dan lembut perangainya.

“Seperti Bapak ini lah,” lanjut sang supir, “Kentara betul ah, kalau orang Jawa Karaton Jogja!”

“Hati saya langsung bergumam,” tulis Pak Kayam dalam sketsa itu, “Jabang bayi, Ngarso Dalem nyuwun duko Gusti. Mohon maaf, Kanjeng Sultan. Lha cuma cetakan Ngawi kok diangkat jadi trah Karaton Jogja. Tapi yak, lha wong yang mengatakan supir dari Medan, ya biar ah!”

“Usia Bapak berapa sekarang?”

“Enam puluh. Kenapa?”

“Ah,” kata Abang Supir menukas, “Masih kelihatan lima puluh kurang sedikit!”

Saya mau berkomentar dan membatin lagi, lanjut Pak Kayam berkisah. Tapi ya biar ah.

“Itu karena Bapak tinggal di Jogja. Pasti itu. Orang-orang Jogja panjang umurnya. Awet muda pula…”

Saya mau berkomentar dan membatin lagi. Tapi ya biar ah.

“Dan baik hatinya…”

“Lho, kok tahu?”

“Dan sabar…”

“Lho, kok tahu?”

“Dan murah hati…”

“Lho, kok tahu?”

“Kok tahu, kok tahu! Ya tahu, dong ah! Bapak ini ada-ada zaja. Memangnya Bapak ini jual obat encok macam yang di tipi itu?”

***

Hospitality. Itu mungkin salah satu penjelasan tentang dunia pariwisata Jogja. “Apa sih yang menarik dari Jogja?”, begitu telaah pemasaran Ippho Santosa dalam buku 13 Wasiat Terlarang. Objek wisatanya; baik yang sejarah, yang alam, maupun yang belanja, kalah jauh keindahan dan kelengkapannya dibanding daerah lain. Tetapi bertahan hingga hari ini sebagai daerah tujuan wisata terbesar kedua di Indonesia, apa yang menjadi keunggulannya?

Hospitality, kata Ippho. Ini soal kesiapan mental untuk menjadi ‘tuan rumah yang baik’. Itu yang belum dimiliki beberapa daerah lain yang wisata alamnya bisa membuat nafas terhenti karena takjub sekalipun, sehingga belum banyak menarik wisatawan untuk mengunjunginya.

Membaca berbagai analisis tentang Jogja, saya sering bicara pada diri. “Hati-hatilah kau hai Salim jadi orang Jogja, sekali hilang keramahanmu, habis sudah masa depanmu.” Ya. Seperti petikan nasehat dalam Wedhotomo yang saya nukil di awal tulisan ini, memang ada konsep Jawa yang menarik tentang menjalin hubungan. “Amemangun karyenak tyasing sasomo” yang berarti berupaya membangun kenyamanan hati orang lain adalah ungkapan yang mewakili salah satu nilai tertinggi perihidup Jawa.

Pada dasarnya, kita semua mendambakan kehidupan nan harmonis. Dan bahkan, kita bisa mengingat kembali sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa mencipta harmoni adalah sebuah keutamaan. “Aku menjaminkan sebuah rumah di surga bagian bawah,” ujar beliau seperti direkam Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya, “Bagi mereka yang menghindari perbantahan meskipun dalam posisi benar.”

***

“Ini saatnya belajar dari Timur,” demikian ditulis Shofwan al-Banna Choiruzzad dalam esainya yang memenangi The 39th St. Gallen Symposium di Swiss. Tajuk tulisan itu adalah Boundaries as Bridges: A Reflection for Trans-National Business Actors. Untuk tahun itu, St. Gallen Symposium mengangkat tema krisis, meningkatnya proteksi negara, dan peluang para usahawan antarbangsa dalam himpitan keduanya.

Menyampaikan makalahnya di hadapan 200 pemimpin bisnis, puluhan kepala negara, dan para pakar dari berbagai lembaga terkemuka, wakil Indonesia ini mengungguli Jason George dari Harvard Business School dan Aris Trantidis dari London School of Economics.

“Dalam tradisi Barat,” tulis pemuda kelahiran Jogja ini menjelaskan pernyataan awalnya, “Hak-hak (rights), menjadi pusat wacana. Ada human rights, political rights, economic rights dan seterusnya. Semua pembicaraan berpusar pada hak. Adapun di Timur, ihwalnya sedikit berbeda. Harmoni, keselarasan hidup menjadi tema besar. Untuk membangun harmoni, tanggung jawab diutamakan, sesudah itu segala yang menjadi hak kita akan datang dengan sendirinya. Sebelum menuntut hak-hak kita pada orang lain, adalah penting untuk menunjukkan dengan nyata tanggung jawab kita pada sesama.”

***

Tak hanya di Jogja, harmoni dalam budaya Timur, umumnya memang menjunjung tinggi. Orang Timur konon suka mengupayakan keselarasan dengan sesama, menghindari silang sengketa, dan berusaha mengalah agar tak terjadi keributan yang lebih besar. Jangan-jangan itu juga yang membuat kita lama terjajah ya?

Ah, yang jelas, sebuah kisah dari Cina di zaman Musim Semi dan Musim Gugur memberi gambaran pada kita tentang bagaimana menjaga harmoni di saat-saat sulit, di saat nyawa terancam.

Jin Wen Gong, begitu ditulis Lei Wei Ye dalam 101 Wisdoms from Ancient Stories, adalah raja dari negeri Jin. Pada satu waktu, seusai berburu, sang raja ingin memakan daging panggang yang gemuk dan tak berlemak. Maka koki istana pun diperintahkan untuk segera memasak hasil buruan yang didapatnya. Tak berapa lama, daging panggang itu telah siap disajikan. Warnanya keemasan dan harumnya semerbak. Sang raja Jin Wen Gong tak tahan untuk bersegera mencicipinya.

Tetapi mata sang raja membelalak saat mengangkat potongan daging panggang itu. Pandangannya yang awas melihat ada sehelai rambut panjang tergeletak mengurai. Nafsu makannya hilang. Kemarahannya meluap. “Pengawal! Pengawal!” teriaknya gusar, “Seret juru masak istana kemari! Aku pasti memenggal lehernya karena kecerobohan tak termaafkan ini!”

Sang juru masak yang dihadapkan pada Jin Wen Gong segera jatuh berlutut memohon ampun. Tapi sekilas diamatinya daging panggang yang tadi dimasaknya itu. “Hamba telah berbuat kesalahan yang berat! Hamba pantas dihukum mati, Baginda!”

Melihat amarah sang raja masih mengubun-ubun, sang juru masak melanjutkan kata-katanya. “Kesalahan hamba ada tiga,” akunya. “Pertama, hamba memotong daging itu terlampau cepat! Dagingnya terpotong tetapi rambutnya tidak ikut putus. Yang kedua, untuk membuat rasanya mantap, hamba memutar daging itu dan membumbuinya di atas panggangan berulang-ulang, tetapi rambutnya tak mau jatuh. Ketiga, agar dagingnya empuk merata, bara api untuk memanggangnya hamba buat sangat panas. Hamba sungguh teledor, dagingnya empuk merata akan tetapi rambut ini tak hangus terpanggang! Saya sungguh pantas mati. Mohon Paduka menghukum saya setimpal!”

Mendengar kata-kata pelayannya, sang raja tertawa terbahak-bahak. Dia mengerti. Juru masak ini tak bersalah. Pasti ada seseorang yang sengaja ingin mencelakakan sang juru masak dengan cara meletakkan rambut itu sesudah dagingnya matang dan siap disajikan.

“Pengawal!” seru raja, “Panggil pelayan yang menghidangkan daging ini!”

***

Mungkin memang tepat jika orang Barat diminta belajar dari Timur tentang harmoni. Dalam beberapa hal, tak ada salahnya juga orang Timur belajar dari Barat, sebab mereka saling unggul dalam detail. Bahkan juga tentang bagaimana cara menghadirkan harmoni. Utamanya dalam berkomunikasi. Telaah berdasarkan berbagai penelitian oleh Yvonne Oswald berikut ini misalnya.

“Kata-kata adalah tujuh persen dari komunikasi,” demikian disimpulkan oleh Oswald dalam bukunya yang memukau, Every Word Has Power. Saat kita bertatap muka, keterhubungan dengan sesama banyak kita asup melalui perhatian pada faali dan bahasa tubuh. Tetapi dalam konteks perbincangan yang saling mendengar tanpa saling melihat, kata-kata mengambil porsi yang lebih besar. “Mungkin sampai 18 persen!” ujar Oswald. Dengan demikian, berbicara melalui telepon agaknya bisa melatih keterampilan membangun keterhubungan yang penuh harmoni dengan kata-kata.

Sebagai kaidah umum, ada empat kecenderungan orang untuk menangkap dan mengolah informasi yang diperoleh dalam komunikasi. Mengenalinya, lalu memberi umpan balik yang tepat akan membuat kita bisa menghadirkan harmoni yang indah dalam berkomunikasi dengan mereka. Untuk memudahkan mengingat, keempat hal itu adalah: lihat, dengar, pikir, dan rasa.

Pertama; orang visual.

Mereka ini cenderung bicara dengan cepat, memiliki nada suara yang lebih tinggi, tak terlalu terganggu oleh suara orang lain, dan akan sangat perhatian serta merespons kata-kata semacam “lihat” atau “pandang”. Kita akan terdengar lebih memperhatikan mereka ―dan terasa merdu― jika bicara dengan kalimat semacam “Saya bisa melihat maksudmu!”, atau “Kamu tampak lelah, tapi tetap terlihat cantik!”

Kedua; orang auditorial.

Biasanya suara orang auditorial lebih bernada, agak mirip penyiar radio, dan penuh intonasi khas di sana-sini. Mereka suka bicara di telepon, menggemari musik, dan gampang terganggu oleh derau atau suara lain. Kita bisa terhubung dengan mudah pada mereka jika memilih kalimat seumpama “Aku mendengar apa yang kau katakan”, atau “Itu kedengarannya bagus!”, dan juga “Gagasan ini sangat merdu!”

Ketiga; orang auditori-digital.

Orang semacam ini, suka bicara dengan dirinya sendiri. Sesuatu harus logis dan masuk akal agar bisa dimengerti oleh mereka. Mereka berfikir secara runut dan menyukai proses bertahap. Kita sebaiknya bicara dengan mereka dalam kalimat sejenis “Saya fikir, Anda sangat masuk akal!” atau “Saya mengerti apa yang Anda fikirkan.”

Keempat; orang kinestetik.

Orang kinestetik adalah mereka yang ‘merasakan’ kehidupan dengan mempercayai perasaan naluriahnya. Biasanya mereka bicara dengan pengucapan yang hati-hati serta lebih lambat. Kalimat-kalimat mereka seringnya panjang dan kompleks, kadang disertai gerak anggota badan yang sebenarnya tak terlalu sesuai untuk mengilustrasikan. Mereka memerlukan gerak itu untuk menguatkan pemahaman. Dalam membangun harmoni dengan mereka, kita bisa menggunakan kalimat seperti “Aku bisa merasakan bahwa kau sedang merasa baik”, atau juga “Perasaanmu sedang bergejolak. Aku bisa menangkapnya.”

***

Membaca analisis Yvonne Oswald ini, dalam suasana dekapan ukhuwah, kita teringat sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. “Khoothibun naas,” ujar beliau, “’Alaa qodri ‘uqulihim. Bicaralah pada manusia sesuai dengan kadar akal mereka.” Kadar akal, tampaknya bukan hanya soal kecerdasan, melainkan juga kecenderungan penangkapan kata-kata.

Setulus nurani, dalam dekapan ukhuwah, ada keterampilan yang harus kita kuasai untuk membangun harmoni. Setelah dimulai dengan pemahaman hati, kata-kata yang dengannya kita bicara juga perlu diatur dan ditata. Sebab dalam dekapan ukhuwah, kita tahu, soalnya bukan hanya mengatakan yang benar. Ia meliputi keseluruhan matra; mengatakan yang benar, dengan cara yang indah, di saat yang paling tepat.

Dalam dekapan ukhuwah, begitulah harmoni tumbuh.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar