“kapati
amarsudi, sudone howo lan nepsu, pinesu topo broto
tanapi
ing siang ratri, amemangun karyenak tyasing sasomo”
berupaya
sepenuh hati, demi terkendalinya hawa nafsu
beribadah
siang dan malam, mencipta kenyamanan hati sesama
-Mangkunegoro
IV, Wedhotomo-
“MEDAN
IS HONESTY,”
ujar seorang kawan yang memang asli Medan, “Jogja is hospitality”. Saya harus
tersipu menanggapi kalimat beliau itu. Beberapa kali bertemu orang Medan, kesan
mereka tentang orang Jogja selalu begitu. “Orang Jogja itu terlalu baik, Bang
Salim,” kata mereka. “Kaki mereka terinjak pun, mereka yang minta maaf. ‘Maaf,
mas. Kaki saya terinjak,’ katanya.”
Beliau tertawa.
Saya juga tertawa, nggleges.
Tetapi ternyata ada
yang mendahului saya. Sastrawan Umar Kayam dalam kumpulan sketsanya di jilid
kedua, Mangan Ora Mangan Kumpul; Sugih
Tanpa Bondho, mencatat pengalaman yang mirip dengan apa yang saya alami.
Kali ini, shohibul hikayatnya seorang supir taksi dari Medan. Alkisah, setelah
bercakap perkenalan, sang supir bercerita tentang adiknya yang kawin dengan
gadis Jogja lalu berubah menjadi halus tutur kata dan lembut perangainya.
“Seperti Bapak ini lah,” lanjut sang supir, “Kentara betul
ah, kalau orang Jawa Karaton Jogja!”
“Hati saya langsung
bergumam,” tulis Pak Kayam dalam sketsa itu, “Jabang bayi, Ngarso Dalem nyuwun duko Gusti. Mohon maaf, Kanjeng
Sultan. Lha cuma cetakan Ngawi kok diangkat jadi trah Karaton Jogja. Tapi yak, lha
wong yang mengatakan supir dari Medan, ya biar ah!”
“Usia Bapak berapa
sekarang?”
“Enam puluh.
Kenapa?”
“Ah,” kata Abang
Supir menukas, “Masih kelihatan lima puluh kurang sedikit!”
Saya mau
berkomentar dan membatin lagi, lanjut Pak Kayam berkisah. Tapi ya biar ah.
“Itu karena Bapak
tinggal di Jogja. Pasti itu. Orang-orang Jogja panjang umurnya. Awet muda
pula…”
Saya mau
berkomentar dan membatin lagi. Tapi ya biar ah.
“Dan baik hatinya…”
“Lho, kok tahu?”
“Dan sabar…”
“Lho, kok tahu?”
“Dan murah hati…”
“Lho, kok tahu?”
“Kok tahu, kok
tahu! Ya tahu, dong ah! Bapak ini ada-ada zaja.
Memangnya Bapak ini jual obat encok macam yang di tipi itu?”
***
Hospitality. Itu mungkin salah satu penjelasan
tentang dunia pariwisata Jogja. “Apa sih yang menarik dari Jogja?”, begitu
telaah pemasaran Ippho Santosa dalam buku 13
Wasiat Terlarang. Objek wisatanya; baik yang sejarah, yang alam, maupun
yang belanja, kalah jauh keindahan dan kelengkapannya dibanding daerah lain.
Tetapi bertahan hingga hari ini sebagai daerah tujuan wisata terbesar kedua di
Indonesia, apa yang menjadi keunggulannya?
Hospitality, kata
Ippho. Ini soal kesiapan mental untuk menjadi ‘tuan rumah yang baik’. Itu yang
belum dimiliki beberapa daerah lain yang wisata alamnya bisa membuat nafas
terhenti karena takjub sekalipun, sehingga belum banyak menarik wisatawan untuk
mengunjunginya.
Membaca berbagai
analisis tentang Jogja, saya sering bicara pada diri. “Hati-hatilah kau hai
Salim jadi orang Jogja, sekali hilang keramahanmu, habis sudah masa depanmu.”
Ya. Seperti petikan nasehat dalam Wedhotomo
yang saya nukil di awal tulisan ini, memang ada konsep Jawa yang menarik
tentang menjalin hubungan. “Amemangun
karyenak tyasing sasomo” yang berarti berupaya membangun kenyamanan hati
orang lain adalah ungkapan yang mewakili salah satu nilai tertinggi perihidup
Jawa.
Pada dasarnya, kita
semua mendambakan kehidupan nan harmonis. Dan bahkan, kita bisa mengingat
kembali sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam, bahwa mencipta harmoni adalah sebuah keutamaan. “Aku menjaminkan
sebuah rumah di surga bagian bawah,” ujar beliau seperti direkam Imam Abu Dawud
dalam Sunan-nya, “Bagi mereka yang
menghindari perbantahan meskipun dalam posisi benar.”
***
“Ini saatnya
belajar dari Timur,” demikian ditulis Shofwan al-Banna Choiruzzad dalam esainya
yang memenangi The 39th St. Gallen Symposium di Swiss. Tajuk tulisan
itu adalah Boundaries as Bridges: A
Reflection for Trans-National Business Actors. Untuk tahun itu, St. Gallen
Symposium mengangkat tema krisis, meningkatnya proteksi negara, dan peluang
para usahawan antarbangsa dalam himpitan keduanya.
Menyampaikan
makalahnya di hadapan 200 pemimpin bisnis, puluhan kepala negara, dan para
pakar dari berbagai lembaga terkemuka, wakil Indonesia ini mengungguli Jason
George dari Harvard Business School dan Aris Trantidis dari London School of
Economics.
“Dalam tradisi
Barat,” tulis pemuda kelahiran Jogja ini menjelaskan pernyataan awalnya,
“Hak-hak (rights), menjadi pusat
wacana. Ada human rights, political rights, economic rights dan seterusnya. Semua pembicaraan berpusar pada
hak. Adapun di Timur, ihwalnya sedikit berbeda. Harmoni, keselarasan hidup
menjadi tema besar. Untuk membangun harmoni, tanggung jawab diutamakan, sesudah
itu segala yang menjadi hak kita akan datang dengan sendirinya. Sebelum
menuntut hak-hak kita pada orang lain, adalah penting untuk menunjukkan dengan
nyata tanggung jawab kita pada sesama.”
***
Tak hanya di Jogja,
harmoni dalam budaya Timur, umumnya memang menjunjung tinggi. Orang Timur konon
suka mengupayakan keselarasan dengan sesama, menghindari silang sengketa, dan
berusaha mengalah agar tak terjadi keributan yang lebih besar. Jangan-jangan
itu juga yang membuat kita lama terjajah ya?
Ah, yang jelas,
sebuah kisah dari Cina di zaman Musim Semi dan Musim Gugur memberi gambaran
pada kita tentang bagaimana menjaga harmoni di saat-saat sulit, di saat nyawa
terancam.
Jin Wen Gong,
begitu ditulis Lei Wei Ye dalam 101
Wisdoms from Ancient Stories, adalah raja dari negeri Jin. Pada satu waktu,
seusai berburu, sang raja ingin memakan daging panggang yang gemuk dan tak
berlemak. Maka koki istana pun diperintahkan untuk segera memasak hasil buruan
yang didapatnya. Tak berapa lama, daging panggang itu telah siap disajikan.
Warnanya keemasan dan harumnya semerbak. Sang raja Jin Wen Gong tak tahan untuk
bersegera mencicipinya.
Tetapi mata sang
raja membelalak saat mengangkat potongan daging panggang itu. Pandangannya yang
awas melihat ada sehelai rambut panjang tergeletak mengurai. Nafsu makannya
hilang. Kemarahannya meluap. “Pengawal! Pengawal!” teriaknya gusar, “Seret juru
masak istana kemari! Aku pasti memenggal lehernya karena kecerobohan tak
termaafkan ini!”
Sang juru masak
yang dihadapkan pada Jin Wen Gong segera jatuh berlutut memohon ampun. Tapi
sekilas diamatinya daging panggang yang tadi dimasaknya itu. “Hamba telah
berbuat kesalahan yang berat! Hamba pantas dihukum mati, Baginda!”
Melihat amarah sang
raja masih mengubun-ubun, sang juru masak melanjutkan kata-katanya. “Kesalahan
hamba ada tiga,” akunya. “Pertama, hamba memotong daging itu terlampau cepat!
Dagingnya terpotong tetapi rambutnya tidak ikut putus. Yang kedua, untuk
membuat rasanya mantap, hamba memutar daging itu dan membumbuinya di atas
panggangan berulang-ulang, tetapi rambutnya tak mau jatuh. Ketiga, agar
dagingnya empuk merata, bara api untuk memanggangnya hamba buat sangat panas.
Hamba sungguh teledor, dagingnya empuk merata akan tetapi rambut ini tak hangus
terpanggang! Saya sungguh pantas mati. Mohon Paduka menghukum saya setimpal!”
Mendengar kata-kata
pelayannya, sang raja tertawa terbahak-bahak. Dia mengerti. Juru masak ini tak
bersalah. Pasti ada seseorang yang sengaja ingin mencelakakan sang juru masak
dengan cara meletakkan rambut itu sesudah dagingnya matang dan siap disajikan.
“Pengawal!” seru
raja, “Panggil pelayan yang menghidangkan daging ini!”
***
Mungkin memang
tepat jika orang Barat diminta belajar dari Timur tentang harmoni. Dalam
beberapa hal, tak ada salahnya juga orang Timur belajar dari Barat, sebab
mereka saling unggul dalam detail. Bahkan juga tentang bagaimana cara
menghadirkan harmoni. Utamanya dalam berkomunikasi. Telaah berdasarkan berbagai
penelitian oleh Yvonne Oswald berikut ini misalnya.
“Kata-kata adalah
tujuh persen dari komunikasi,” demikian disimpulkan oleh Oswald dalam bukunya
yang memukau, Every Word Has Power.
Saat kita bertatap muka, keterhubungan dengan sesama banyak kita asup melalui
perhatian pada faali dan bahasa tubuh. Tetapi dalam konteks perbincangan yang
saling mendengar tanpa saling melihat, kata-kata mengambil porsi yang lebih
besar. “Mungkin sampai 18 persen!” ujar Oswald. Dengan demikian, berbicara
melalui telepon agaknya bisa melatih keterampilan membangun keterhubungan yang
penuh harmoni dengan kata-kata.
Sebagai kaidah
umum, ada empat kecenderungan orang untuk menangkap dan mengolah informasi yang
diperoleh dalam komunikasi. Mengenalinya, lalu memberi umpan balik yang tepat
akan membuat kita bisa menghadirkan harmoni yang indah dalam berkomunikasi
dengan mereka. Untuk memudahkan mengingat, keempat hal itu adalah: lihat,
dengar, pikir, dan rasa.
Pertama; orang visual.
Mereka ini
cenderung bicara dengan cepat, memiliki nada suara yang lebih tinggi, tak
terlalu terganggu oleh suara orang lain, dan akan sangat perhatian serta
merespons kata-kata semacam “lihat” atau “pandang”. Kita akan terdengar lebih
memperhatikan mereka ―dan terasa merdu― jika bicara dengan kalimat semacam
“Saya bisa melihat maksudmu!”, atau
“Kamu tampak lelah, tapi tetap terlihat cantik!”
Kedua; orang
auditorial.
Biasanya suara
orang auditorial lebih bernada, agak mirip penyiar radio, dan penuh intonasi
khas di sana-sini. Mereka suka bicara di telepon, menggemari musik, dan gampang
terganggu oleh derau atau suara lain. Kita bisa terhubung dengan mudah pada
mereka jika memilih kalimat seumpama “Aku mendengar
apa yang kau katakan”, atau “Itu kedengarannya
bagus!”, dan juga “Gagasan ini sangat merdu!”
Ketiga; orang
auditori-digital.
Orang semacam ini,
suka bicara dengan dirinya sendiri. Sesuatu harus logis dan masuk akal agar
bisa dimengerti oleh mereka. Mereka berfikir secara runut dan menyukai proses
bertahap. Kita sebaiknya bicara dengan mereka dalam kalimat sejenis “Saya fikir, Anda sangat masuk akal!” atau “Saya mengerti apa yang Anda fikirkan.”
Keempat; orang
kinestetik.
Orang kinestetik
adalah mereka yang ‘merasakan’ kehidupan dengan mempercayai perasaan
naluriahnya. Biasanya mereka bicara dengan pengucapan yang hati-hati serta
lebih lambat. Kalimat-kalimat mereka seringnya panjang dan kompleks, kadang
disertai gerak anggota badan yang sebenarnya tak terlalu sesuai untuk
mengilustrasikan. Mereka memerlukan gerak itu untuk menguatkan pemahaman. Dalam
membangun harmoni dengan mereka, kita bisa menggunakan kalimat seperti “Aku
bisa merasakan bahwa kau sedang merasa baik”, atau juga “Perasaanmu sedang bergejolak. Aku bisa menangkapnya.”
***
Membaca analisis
Yvonne Oswald ini, dalam suasana dekapan ukhuwah, kita teringat sabda
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
“Khoothibun naas,” ujar beliau, “’Alaa qodri ‘uqulihim. Bicaralah pada
manusia sesuai dengan kadar akal mereka.” Kadar akal, tampaknya bukan hanya
soal kecerdasan, melainkan juga kecenderungan penangkapan kata-kata.
Setulus nurani,
dalam dekapan ukhuwah, ada keterampilan yang harus kita kuasai untuk membangun
harmoni. Setelah dimulai dengan pemahaman hati, kata-kata yang dengannya kita
bicara juga perlu diatur dan ditata. Sebab dalam dekapan ukhuwah, kita tahu,
soalnya bukan hanya mengatakan yang benar. Ia meliputi keseluruhan matra;
mengatakan yang benar, dengan cara yang indah, di saat yang paling tepat.
Dalam dekapan
ukhuwah, begitulah harmoni tumbuh.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar