Jumat, 05 Juni 2015

Yang Tertarik Itu Menarik

kusimak dia sepenuh hati dan jiwa
seakan-akan ini pertama kali aku mendengarnya
padahal aku telah menghafal haditsnya
jauh sebelum dia lahir ke dunia

-Atho’ ibn Abi Robah-



THOIF. Kota inilah yang dalam kehidupan Muhammad mengukirkan do’a menyejarah itu, dan kita mengenangnya dengan hati rintik-rintik. Do’a itu adalah do’a yang telah diucapkan juga oleh para Nabi sebelum dia, hingga terhubunglah mereka sebagai mata-rantai pembawa kebenaran. Do’a itu, adalah sebentuk keinsyafan bahwa berjalan di atas wahyu berarti menjajal dan mencoba, upaya dan kerja. Beliau, sang Rosul, harus mengerahkan segenap daya dalam kemanusiaannya untuk menyatukan kehendak dengan kehendak-Nya.

“Ya Alloh, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak tahu.”

Di saat Makkah memusuhi beliau habis-habisan, pemuka-pemuka Thoif juga mengabaikan seruannya. “Berarti kain penutup Ka’bah telah terkoyak,” ujar ‘Abd Yalail ibn ‘Amr, “Jika sampai Alloh mengutusmu menjadi Rosul.” Saudaranya, Mas’ud ibn ‘Amr ats-Tsaqofy yang menyebut diri orang agung Thoif menimpali, “Apakah Alloh tidak mendapatkan orang selain dirimu untuk diutus-Nya?” Sementara Habaib ibn ‘Amr yang bijaksana namun tak hendak menyelisihi kedua kakaknya juga menolak beliau. “Maaf,” ujarnya, “Aku tak ingin bicara denganmu. Andai benar engkau nabi, membantah dan menyanggahmu akan menjadi kecelakaan bagiku. Andai engkau diutus atas Alloh, maka tak layak bagiku bicara dengan penipu.”

Setelah beberapa hari tinggal, orang-orang Thoif makin murka atas seruan beliau. Mereka berkerumun, mencerca dan meneriaki beliau. Dari dua barisan mereka mengejar dan melempari beliau dengan batu. Tubuhnya lebam. Kakinya luka. Darah meleleh membasahi terompahnya. Zaid ibn Haritsah yang membentengi beliau dengan tubuh, entah berapa luka yang tertoreh di kepala dan badannya.

Beliau dihinakan dan diusir. Beliau terus dikejar dan disakiti hingga tiga mil kemudian sampai di kebun anggur milik utbah dan Syaibah ibn Robi’ah. Di sinilah mereka lalu meninggalkan beliau dan kembali ke Thoif. Adapun Sang Nabi, tertatih beliau menghampiri sebatang pohon anggur, lalu duduk beristirahat meredakan rasa sakit yang zhohir maupun batin. Sedikit demi sedikit, beliau pun kembali tenang.

Nanti di Qornul Manazil, beliau akan menengadah ke atas. Segumpal awan menaungi beliau dan di sana tampaklah Jibril. “Sesungguhnya,” ujar Jibril, “Alloh telah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan Dia telah melihat yang mereka perbuat atas dirimu. Alloh telah mengutus malaikat yang menjaga gunung agar engkau menyuruhnya melakukan apapun yang kau kehendaki atas kaummu.”

“Wahai Muhammad,” malaikat yang ditunjuk Jibril itu berseru, “Ini telah terjadi, dan apa yang kini kau kehendaki? Jika engkau menginginkan untuk meratakan Akhsyaiban, yakni Jabal Abu Qubais dan Qo’aiqo’an, dan menimbunkannya pada mereka, tentu aku akan melakukannya!”

“Justru aku berharap,” jawab Sang Nabi dengan teduh, “Agar Alloh mengeluarkan dari sulbi-sulbi mereka orang-orang yang akan menyembah-Nya dan tak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

***

Utbah dan Syaibah ibn Robi’ah yang sedang di dalam kebunnya merasa iba melihat kondisi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. “Hai Addas,” panggil salah seorang di antara keduanya kepada seorang pembantu, “Ambillah setandan anggur dan serahkan pada lelaki di sana itu.”

Addas beranjak menemui Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu dan beliau menerimanya dengan senyum. “Siapa namamu, wahai saudara yang mulia?” tanya Rosululloh. “Namaku Addas. Aku hanyalah pembantu Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika memetik sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah berseri itu menyebut nama Alloh.

Bismillahirrohmaanirrohiim,” ucap Rosululloh sambil mengulurkan kembali anggurnya untuk menawari Addas. Addas menggeleng dan tersenyum.

“Kata-kata itu tak pernah diucapkan oleh orang-orang di negeri ini,” kata Addas berkomentar.

“Dari mana asalmu, wahai Addas? Dan apa pula agamamu?”

“Aku seorang Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”

“Oh, dari negeri seorang sholih bernama Yunus ibn Matta?” tanya Sang Rosul begitu Addas menyebut nama negeri asalnya. Mata Addas mengerjap, pupilnya melebar. Lelaki ini benar-benar membuatnya tertarik.

“Apa yang kau ketahui tentang Yunus ibn Matta?” tanya Addas.

Sang Utusan tersenyum. “Dia saudaraku. Dia seorang Nabi, dan aku pun seorang Nabi.”

Mendengar itu, Addas langsung merengkuh kepala Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Addas menciumi tangan beliau dan mengecup kakinya. Melihat kejadian itu, Utbah dan Syaibah saling berbisik. “Demi Alloh,” kata Utbah, “Muhammad telah merusak pembantu kita itu!”

***

“Inilah salah satu fakta paling mendasar,” ujar Dale Carnegie dalam How to Influence People and Win Friends, “Dalam kejiwaan manusia. Kita tersanjung oleh perhatian yang diberikan oleh orang lain. Kita merasa istimewa. Kita ingin berada di tengah-tengah orang yang tertarik pada kita. Kita tidak ingin berpisah dari mereka. Kita juga dengan bahagia akan membalas ketertarikan mereka dengan menunjukkan rasa tertarik pada mereka.”

Maka. Sesungguhnya untuk menarik orang ke dalam kehidupan kita, kitalah yang pertama-tama harus tertarik pada mereka, dan memberikan perhatian yang tulus. “Anda,” ujar John C. Maxwell dalam Winning with People, “Bisa mendapatkan teman yang lebih banyak dalam dua bulan dengan menjadi tertarik pada orang lain, daripada dalam dua tahun dengan mencoba membuat orang lain tertarik kepada Anda.”

Orang yang menarik sering disebut sebagai orang yang kharismatik. Berkharisma.

Apa sebenarnya kharisma? Sesungguhnya itu kata yang cukup pendek untuk meringkas beberapa hal yang sangat penting. Pertama-tama, berkharisma artinya adalah menjadi benar-benar tertarik pada orang lain. “Cobalah untuk menyayangi,” demikian sastrawan George Elliot menuliskan, “Sesuatu dalam dunia yang luas ini selain dari pemenuhan kebutuhan diri yang remeh. Cobalah untuk mengagumi sesuatu yang sama sekali terpisah dari urusan kita. Lihatlah kehidupan lain di luar keseharian kita sendiri. Lihatlah kesulitan-kesulitan manusia, dan bagaimana mereka dilahirkan.”

Seseorang yang berkharisma adalah dia yang dermawan. Sekurang-kurangnya dia menyedekahkan waktu dan perhatiannya untuk sesama. Tetapi dia tak pernah menganggap remeh hal-hal kecil yang bisa dia lakukan. Untuk tersenyum, misalnya. “Senyummu yang merasuk dalam wajah saudaramu,” demikian Sang Nabi bersabda dalam riwayat Muslim, “Adalah shodaqoh.” Di lain tempat, Imam Muslim meriwayatkan kata-kata beliau, “Jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski sekedar berwajah manis di hadapan saudara.”

Dalam dekapan ukhuwah, yang tertarik itu menarik.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan BBC dalam film dokumentasi berjudul FACE menunjukkan bahwa unsur utama dari kecantikan dan ketampanan seseorang adalah simetri. Katakanlah Lady Diana dan Madonna itu sama-sama cantik. Tetapi seorang wanita takkan terlihat cantik jika wajah kirinya sama dengan Lady Diana sementara rupa kanannya persis dengan Madonna. Itu tidak simetris!

Saran menariknya adalah, untuk membangun simetri wajah, kita hanya harus membiasakan satu hal: senyum tulus. Senyum sinis dan cemberut merusak simetri wajah dan menghancurkan ketampanan serta kecantikan. Maka orang-orang berkharisma biasanya terlihat tampan dan cantik. Mengapa? Karena mereka banyak berbagi senyum, lalu wajah mereka menjadi simetris.

***

Dalam dekapan ukhuwah, yang tertarik itu menarik. Masih ada beberapa hal lagi tentang kharisma. Untuk menunjukkan ketrtarikan pada sesama, orang berkharisma biasanya juga berjuang keras untuk menghafal nama-nama. “Tak ada yang lebih manis terdengar di telinga seseorang,” kata Dale Carnegie, “Dibandingkan nama atau panggilan kesukaannya.”

Ada sebuah cerita memikat yang dikisahkan ‘Abbas as-Sisiy dalam ath-Thoriq ilal Qulub. “Suatu hari di tahun 1951,” tulisnya, “Saya berada di kantor cabang al-Ikhwan al-Muslimun di Jalan Iskandarani, Iskandariah. Lalu ada dua orang datang, yang sudah mempunyai janji dengan salah seorang teman. Saya sambut kedatangan mereka dengan menyebut nama-nama mereka. Mereka tampak terkejut.”

“Tatkala teman yang mereka tunggu itu datang,” lanjut as-Sisiy, “Mereka berkata kepadanya, ‘Kami tidak mengenalnya sebelum ini, tetapi bagaimana dia mengenal nama kami?’”

Kemudian saya diajak duduk bersama. Lalu saya katakan kepada keduanya, “Bukankah kalian berdua setiap pagi naik trem dari stasiun Roshofah?” Keduanya menjawab, “Ya.”

Saya berkata, “Saya setiap pagi juga naik trem yang sama.”

“Akan tetapi,” ujar mereka, “Kami tidak melihat Anda bersama kami.”

“Karena saya memakai seragam militer,” jawab saya sembari tersenyum dan memperagakan sikap sempurna seperti ketika saya memakai seragam militer.

Mereka teringat dan tersenyum. “Ya, ya, ya!” kata salah satu di antara mereka, “Tapi bagaimana Anda bisa mengetahui nama kami?”

“Saya mendengar salah seorang di antara kalian berkata, ‘Selamat pagi, Muhammad’, lalu yang satunya menjawab, ‘Selamat pagi, Ahmad.’”

“Untuk apa Anda menghafal nama kami?”

“Jawabannya adalah,” kata saya, “Apa yang terjadi saat ini. Ahlan wa sahlan, Saudaraku!” saya memeluk keduanya.

“Tabiat da’wah kita, “tulis ‘Abbas as-Sisiy menutup cerita, “Adalah saling mengenal. Dan saya yakin bahwa pada suatu saat da’wah kita akan dapat menghimpun orang-orang yang berjiwa baik dan berkepribadian mulia. Kejadian di atas sangat membekas di hati keduanya.”

***

Dalam dekapan ukhuwah, yang tertarik itu menarik. Lebih lanjut, orang berkharisma adalah mereka yang mampu bicara dalam kaitan dengan minat orang lain. Mereka juga pandai untuk membuat orang merasa penting.

Ada beberapa orang dari Yatsrib yang ingin menjumpai Rosululloh. Salah seorang di antara mereka adalah Ka’b ibn Malik. Dia yang menceritakan kisah ini. “Kami berusaha mencari tahu tentang Rosululloh,” kata Ka’b. “Karena kami belum pernah mengenal dan melihatnya. Kami bertemu dengan seorang laki-laki, lalu kami bertanya kepadanya tentang beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.”

“Apakah kalian sudah mengenalnya?” tanyanya.

“Belum.”

“Jika kalian masuk ke dalam masjid,” ujarnya, “Maka Muhammad adalah seseorang yang duduk bersama al-‘Abbas ibn ‘Abdul Mutholib. Al-‘Abbas itu tak lain adalah pamannya.”

“Ya, kami mengenal al-‘Abbas,” kataku, “Dia sering datang kepada kami untuk berdagang.”

“Masuklah ke masjid,” kata orang itu, “Dan temui orang yang duduk bersama al-‘Abbas.”

Kemudian kami masuk ke dalam masjid dan kami menjumpai Rosululloh yang sedang duduk bersama pamannya. Kami memberi salam, lalu duduk di dekat mereka. Kemudian Rosululloh bertanya kepada al-‘Abbas, “Wahai Abul Fadhl, apakah engkau mengenal dua orang ini?”

“Ya,” kata al-‘Abbas. “Yang ini adalah al-Barro’ ibn Ma’rur, seorang pemuka kaum di Yatsrib. Dan ini adalah Ka’b ibn Malik.”

“Apakah dia penyair yang terkenal itu?” tanya Sang Nabi sambil menegakkan diri dari sandarannya.
“Engkau benar,” jawab al-‘Abbas.

Ka’b ibn Malik menutup ceritanya dengan kenangan takjub. “Sungguh,” ujarnya, “Saya tidak pernah melupakan ucapan beliau, ‘Apakah dia penyair yang terkenal itu?’”


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar