kusimak
dia sepenuh hati dan jiwa
seakan-akan
ini pertama kali aku mendengarnya
padahal
aku telah menghafal haditsnya
jauh
sebelum dia lahir ke dunia
-Atho’
ibn Abi Robah-
THOIF. Kota inilah yang
dalam kehidupan Muhammad mengukirkan do’a menyejarah itu, dan kita mengenangnya
dengan hati rintik-rintik. Do’a itu adalah do’a yang telah diucapkan juga oleh
para Nabi sebelum dia, hingga terhubunglah mereka sebagai mata-rantai pembawa
kebenaran. Do’a itu, adalah sebentuk keinsyafan bahwa berjalan di atas wahyu
berarti menjajal dan mencoba, upaya dan kerja. Beliau, sang Rosul, harus
mengerahkan segenap daya dalam kemanusiaannya untuk menyatukan kehendak dengan
kehendak-Nya.
“Ya Alloh,
ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak tahu.”
Di saat Makkah
memusuhi beliau habis-habisan, pemuka-pemuka Thoif juga mengabaikan seruannya.
“Berarti kain penutup Ka’bah telah terkoyak,” ujar ‘Abd Yalail ibn ‘Amr, “Jika
sampai Alloh mengutusmu menjadi Rosul.” Saudaranya, Mas’ud ibn ‘Amr ats-Tsaqofy
yang menyebut diri orang agung Thoif menimpali, “Apakah Alloh tidak mendapatkan
orang selain dirimu untuk diutus-Nya?” Sementara Habaib ibn ‘Amr yang bijaksana
namun tak hendak menyelisihi kedua kakaknya juga menolak beliau. “Maaf,”
ujarnya, “Aku tak ingin bicara denganmu. Andai benar engkau nabi, membantah dan
menyanggahmu akan menjadi kecelakaan bagiku. Andai engkau diutus atas Alloh,
maka tak layak bagiku bicara dengan penipu.”
Setelah beberapa
hari tinggal, orang-orang Thoif makin murka atas seruan beliau. Mereka
berkerumun, mencerca dan meneriaki beliau. Dari dua barisan mereka mengejar dan
melempari beliau dengan batu. Tubuhnya lebam. Kakinya luka. Darah meleleh
membasahi terompahnya. Zaid ibn Haritsah yang membentengi beliau dengan tubuh,
entah berapa luka yang tertoreh di kepala dan badannya.
Beliau dihinakan
dan diusir. Beliau terus dikejar dan disakiti hingga tiga mil kemudian sampai
di kebun anggur milik utbah dan Syaibah ibn Robi’ah. Di sinilah mereka lalu
meninggalkan beliau dan kembali ke Thoif. Adapun Sang Nabi, tertatih beliau menghampiri
sebatang pohon anggur, lalu duduk beristirahat meredakan rasa sakit yang zhohir
maupun batin. Sedikit demi sedikit, beliau pun kembali tenang.
Nanti di Qornul
Manazil, beliau akan menengadah ke atas. Segumpal awan menaungi beliau dan di
sana tampaklah Jibril. “Sesungguhnya,” ujar Jibril, “Alloh telah mendengar apa
yang dikatakan kaummu kepadamu dan Dia telah melihat yang mereka perbuat atas
dirimu. Alloh telah mengutus malaikat yang menjaga gunung agar engkau
menyuruhnya melakukan apapun yang kau kehendaki atas kaummu.”
“Wahai Muhammad,”
malaikat yang ditunjuk Jibril itu berseru, “Ini telah terjadi, dan apa yang
kini kau kehendaki? Jika engkau menginginkan untuk meratakan Akhsyaiban, yakni
Jabal Abu Qubais dan Qo’aiqo’an, dan menimbunkannya pada mereka, tentu aku akan
melakukannya!”
“Justru aku
berharap,” jawab Sang Nabi dengan teduh, “Agar Alloh mengeluarkan dari
sulbi-sulbi mereka orang-orang yang akan menyembah-Nya dan tak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu pun.”
***
Utbah dan Syaibah
ibn Robi’ah yang sedang di dalam kebunnya merasa iba melihat kondisi Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. “Hai
Addas,” panggil salah seorang di antara keduanya kepada seorang pembantu,
“Ambillah setandan anggur dan serahkan pada lelaki di sana itu.”
Addas beranjak menemui
Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu dan beliau menerimanya dengan senyum. “Siapa
namamu, wahai saudara yang mulia?” tanya Rosululloh. “Namaku Addas. Aku
hanyalah pembantu Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika
memetik sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah
berseri itu menyebut nama Alloh.
“Bismillahirrohmaanirrohiim,” ucap
Rosululloh sambil mengulurkan kembali anggurnya untuk menawari Addas. Addas
menggeleng dan tersenyum.
“Kata-kata itu tak
pernah diucapkan oleh orang-orang di negeri ini,” kata Addas berkomentar.
“Dari mana asalmu,
wahai Addas? Dan apa pula agamamu?”
“Aku seorang
Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”
“Oh, dari negeri
seorang sholih bernama Yunus ibn Matta?” tanya Sang Rosul begitu Addas menyebut
nama negeri asalnya. Mata Addas mengerjap, pupilnya melebar. Lelaki ini
benar-benar membuatnya tertarik.
“Apa yang kau
ketahui tentang Yunus ibn Matta?” tanya Addas.
Sang Utusan
tersenyum. “Dia saudaraku. Dia seorang Nabi, dan aku pun seorang Nabi.”
Mendengar itu,
Addas langsung merengkuh kepala Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam. Addas menciumi tangan beliau dan mengecup kakinya.
Melihat kejadian itu, Utbah dan Syaibah saling berbisik. “Demi Alloh,” kata
Utbah, “Muhammad telah merusak pembantu kita itu!”
***
“Inilah salah satu
fakta paling mendasar,” ujar Dale Carnegie dalam How to Influence People and Win Friends, “Dalam kejiwaan manusia.
Kita tersanjung oleh perhatian yang diberikan oleh orang lain. Kita merasa
istimewa. Kita ingin berada di tengah-tengah orang yang tertarik pada kita.
Kita tidak ingin berpisah dari mereka. Kita juga dengan bahagia akan membalas
ketertarikan mereka dengan menunjukkan rasa tertarik pada mereka.”
Maka. Sesungguhnya
untuk menarik orang ke dalam kehidupan kita, kitalah yang pertama-tama harus
tertarik pada mereka, dan memberikan perhatian yang tulus. “Anda,” ujar John C.
Maxwell dalam Winning with People,
“Bisa mendapatkan teman yang lebih banyak dalam dua bulan dengan menjadi
tertarik pada orang lain, daripada dalam dua tahun dengan mencoba membuat orang
lain tertarik kepada Anda.”
Orang yang menarik
sering disebut sebagai orang yang kharismatik. Berkharisma.
Apa sebenarnya
kharisma? Sesungguhnya itu kata yang cukup pendek untuk meringkas beberapa hal
yang sangat penting. Pertama-tama, berkharisma artinya adalah menjadi
benar-benar tertarik pada orang lain. “Cobalah untuk menyayangi,” demikian
sastrawan George Elliot menuliskan, “Sesuatu dalam dunia yang luas ini selain
dari pemenuhan kebutuhan diri yang remeh. Cobalah untuk mengagumi sesuatu yang
sama sekali terpisah dari urusan kita. Lihatlah kehidupan lain di luar
keseharian kita sendiri. Lihatlah kesulitan-kesulitan manusia, dan bagaimana
mereka dilahirkan.”
Seseorang yang
berkharisma adalah dia yang dermawan. Sekurang-kurangnya dia menyedekahkan
waktu dan perhatiannya untuk sesama. Tetapi dia tak pernah menganggap remeh
hal-hal kecil yang bisa dia lakukan. Untuk tersenyum, misalnya. “Senyummu yang
merasuk dalam wajah saudaramu,” demikian Sang Nabi bersabda dalam riwayat
Muslim, “Adalah shodaqoh.” Di lain tempat, Imam Muslim meriwayatkan kata-kata
beliau, “Jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski sekedar berwajah
manis di hadapan saudara.”
Dalam dekapan
ukhuwah, yang tertarik itu menarik.
Sebuah penelitian
yang dipublikasikan BBC dalam film dokumentasi berjudul FACE menunjukkan bahwa unsur utama dari kecantikan dan ketampanan
seseorang adalah simetri. Katakanlah Lady Diana dan Madonna itu sama-sama
cantik. Tetapi seorang wanita takkan terlihat cantik jika wajah kirinya sama
dengan Lady Diana sementara rupa kanannya persis dengan Madonna. Itu tidak
simetris!
Saran menariknya
adalah, untuk membangun simetri wajah, kita hanya harus membiasakan satu hal:
senyum tulus. Senyum sinis dan cemberut merusak simetri wajah dan menghancurkan
ketampanan serta kecantikan. Maka orang-orang berkharisma biasanya terlihat
tampan dan cantik. Mengapa? Karena mereka banyak berbagi senyum, lalu wajah
mereka menjadi simetris.
***
Dalam dekapan
ukhuwah, yang tertarik itu menarik. Masih ada beberapa hal lagi tentang
kharisma. Untuk menunjukkan ketrtarikan pada sesama, orang berkharisma biasanya
juga berjuang keras untuk menghafal nama-nama. “Tak ada yang lebih manis
terdengar di telinga seseorang,” kata Dale Carnegie, “Dibandingkan nama atau
panggilan kesukaannya.”
Ada sebuah cerita
memikat yang dikisahkan ‘Abbas as-Sisiy dalam ath-Thoriq ilal Qulub. “Suatu hari di tahun 1951,” tulisnya, “Saya
berada di kantor cabang al-Ikhwan al-Muslimun di Jalan Iskandarani,
Iskandariah. Lalu ada dua orang datang, yang sudah mempunyai janji dengan salah
seorang teman. Saya sambut kedatangan mereka dengan menyebut nama-nama mereka.
Mereka tampak terkejut.”
“Tatkala teman yang
mereka tunggu itu datang,” lanjut as-Sisiy, “Mereka berkata kepadanya, ‘Kami
tidak mengenalnya sebelum ini, tetapi bagaimana dia mengenal nama kami?’”
Kemudian saya
diajak duduk bersama. Lalu saya katakan kepada keduanya, “Bukankah kalian
berdua setiap pagi naik trem dari stasiun Roshofah?” Keduanya menjawab, “Ya.”
Saya berkata, “Saya
setiap pagi juga naik trem yang sama.”
“Akan tetapi,” ujar
mereka, “Kami tidak melihat Anda bersama kami.”
“Karena saya
memakai seragam militer,” jawab saya sembari tersenyum dan memperagakan sikap
sempurna seperti ketika saya memakai seragam militer.
Mereka teringat dan
tersenyum. “Ya, ya, ya!” kata salah satu di antara mereka, “Tapi bagaimana Anda
bisa mengetahui nama kami?”
“Saya mendengar
salah seorang di antara kalian berkata, ‘Selamat pagi, Muhammad’, lalu yang
satunya menjawab, ‘Selamat pagi, Ahmad.’”
“Untuk apa Anda
menghafal nama kami?”
“Jawabannya
adalah,” kata saya, “Apa yang terjadi saat ini. Ahlan wa sahlan, Saudaraku!” saya memeluk keduanya.
“Tabiat da’wah
kita, “tulis ‘Abbas as-Sisiy menutup cerita, “Adalah saling mengenal. Dan saya
yakin bahwa pada suatu saat da’wah kita akan dapat menghimpun orang-orang yang
berjiwa baik dan berkepribadian mulia. Kejadian di atas sangat membekas di hati
keduanya.”
***
Dalam dekapan
ukhuwah, yang tertarik itu menarik. Lebih lanjut, orang berkharisma adalah
mereka yang mampu bicara dalam kaitan dengan minat orang lain. Mereka juga
pandai untuk membuat orang merasa penting.
Ada beberapa orang
dari Yatsrib yang ingin menjumpai Rosululloh. Salah seorang di antara mereka
adalah Ka’b ibn Malik. Dia yang menceritakan kisah ini. “Kami berusaha mencari
tahu tentang Rosululloh,” kata Ka’b. “Karena kami belum pernah mengenal dan
melihatnya. Kami bertemu dengan seorang laki-laki, lalu kami bertanya kepadanya
tentang beliau Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam.”
“Apakah kalian
sudah mengenalnya?” tanyanya.
“Belum.”
“Jika kalian masuk
ke dalam masjid,” ujarnya, “Maka Muhammad adalah seseorang yang duduk bersama
al-‘Abbas ibn ‘Abdul Mutholib. Al-‘Abbas itu tak lain adalah pamannya.”
“Ya, kami mengenal
al-‘Abbas,” kataku, “Dia sering datang kepada kami untuk berdagang.”
“Masuklah ke
masjid,” kata orang itu, “Dan temui orang yang duduk bersama al-‘Abbas.”
Kemudian kami masuk
ke dalam masjid dan kami menjumpai Rosululloh yang sedang duduk bersama
pamannya. Kami memberi salam, lalu duduk di dekat mereka. Kemudian Rosululloh
bertanya kepada al-‘Abbas, “Wahai Abul Fadhl, apakah engkau mengenal dua orang
ini?”
“Ya,” kata
al-‘Abbas. “Yang ini adalah al-Barro’ ibn Ma’rur, seorang pemuka kaum di
Yatsrib. Dan ini adalah Ka’b ibn Malik.”
“Apakah dia penyair
yang terkenal itu?” tanya Sang Nabi sambil menegakkan diri dari sandarannya.
“Engkau benar,”
jawab al-‘Abbas.
Ka’b ibn Malik
menutup ceritanya dengan kenangan takjub. “Sungguh,” ujarnya, “Saya tidak
pernah melupakan ucapan beliau, ‘Apakah dia penyair yang terkenal itu?’”
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar