Jumat, 05 Juni 2015

Terpujilah Kita

jika sebuah penghinaan tak lebih mengerikan
dibanding apa yang Alloh tutupi dari kesejatian kita
maka bukankah ia adalah sebait sanjungan?


PEMUDA ITU tak tahu dari mana sebuah kepanitiaan seminar pendidikan anak mengenal namanya. Ya. Mereka ada jauh di luar kota. Tetapi mereka telah mengundangnya untuk berbicara, dan dia berprasangka baik. Dia masih tertatih belajar tentang Psikologi Perkembangan dan bagaimana Islam memberikan rambu-rambu pola asuh anak. Tapi paduan kedua hal inilah yang diminta oleh panitia kepadanya untuk disajikan. Dia pun belajar dan mengkaji habis-habisan. Dan jadilah sebuah makalah yang dikirimkan tiga hari sebelum seminar digelar.

Lalu pada hari yang ditentukan dia hadir ke seminar itu.

Tentu saja dia terpana. Bahwa seminar ini menghadirkan dua pembicara lain yang berpredikat Guru Besar. Yang satu bidang psikologi, yang lain kedokteran. Para pesertanya pun jauh lebih senior dibanding dirinya. Banyak yang telah bergelar master, dan beberapa juga menyandang pendidikan strata tiga sekaligus titel ‘Profesor’ di depan namanya.

Awal-awal dia gelisah. Khawatir betul kemudaan usia dan latar belakang pendidikannya akan jadi perkara. Tetapi dia mencoba berbuat yang terbaik. Dia sampaikan di awal tentang siapa dirinya. Dia utarakan apa adanya sekaligus dia sampaikan niatnya untuk belajar pada kesempatan itu. Sesudah itu, dia uraikan materi yang telah diamanahkan padanya dengan lugas dan tuntas. Ditanamkannya pada diri, “Panggung milikku!” Dia tampil dengan percaya diri, tapi dihindarinya sama sekali kesan menggurui.

Alhamdulillah, semua lancar.

Tapi tentu saja tak semua orangtua bisa menerima seorang anak kecil ingusan dan tak berpendidikan mengoceh di hadapannya tentang bidang yang telah digeluti bertahun-tahun, atau bahkan puluhan warsa. Seorang bergelar ‘Guru Besar’ langsung mengacungkan tangan begitu kesempatan bertanya dibuka. Dari awal bicara hingga akhir, sang Guru Besar habis-habisan mencerca dan tanpa ampun menghina serta merendahkannya.”Anda ini masih hijau dan bodoh! Celakanya lagi Anda sama sekali tak punya kompetensi untuk bicara tentang apa yang hendak Anda sampaikan! Dari awal hingga akhir presentasi Anda tadi adalah omong kosong! Sama sekali tidak ada nilai kebenaran dan nihil bobot ilmiahnya! Semua teori Anda cuma hasil spekulasi yang tempel sana dan tempel sini! Kami yang hadir ini orang berpendidikan! Kami bukan keledai bodoh yang akan mengangguk-angguk atas setiap ocehan Anda! Untungnya ini forum terhormat. Kalau tidak, mungkin orang dungu dan goblok macam Anda sudah ditendang keluar sejak mengucapkan kalimat pertama!”

Berikutnya, segala umpatan keluar dari lelaki berambut putih dengan kacamata minus tebal itu. Sang pemuda menunduk di awal. Tapi dia mencoba tegak lagi. Pahit sekali. Pedih hatinya. Rasanya lebih baik tak pernah dilahirkan daripada dipermalukan di tengah khalayak semacam ini. Diliriknya moderator dan hadirin. Ah, itu dia! Mereka pun tampaknya tak terlalu suka dengan kata-kata orang ini! Mereka tidak menikmatinya! Wajah mereka tegang dan tak nyaman. Mungkin mereka sekedar sungkan saja untuk tak menghentikan si Profesor tua berlidah tajam itu.

Jadi dunia berpihak pada sang pemuda!

Maka kini dia punya pilihan. Dia bisa membalas habis lelaki gaek tak berakhlak itu! Dia bisa buktikan bahwa segala yang disampaikannya berpijak pada teori yang lebih baru dan lebih kokoh. Dia bisa mengungkap jatidiri si kakek sebagai seorang sok pintar dari zaman baheula yang kini enggan belajar dan tak mau menambah ilmu. Dia bisa saja mempermalukan balik orang ini yang menurut analisisnya akan mendapat dukungan dari para peserta seminar lain. Mengapa? Kemungkinan besar, mereka juga pernah menjadi korban dari kebuasan kata-kata Sang profesor.

Ini saatnya untuk memberi dia pelajaran!

Tetapi dia punya pilihan lain. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu mencoba senyum paling manis yang bisa ditampilkan dalam suasana hati sepahit itu. Dia mencoba untuk menerima segala kata-kata menyakitkan tadi sebagai sebuah pujian! Dia tahu, mulia atau hinanya seseorang tak pernah ditentukan oleh kata-kata dan perbuatan orang lain. Mulia atau hinanya seseorang ditentukan oleh kalimat yang dimuntahkan dari lisannya sendiri dan perilaku yang bisa dilihat sesama.

Sang Guru Besar telah memilih untuk menghinakan dirinya sendiri dengan segala kekasaran dan kata-katanya. Sang pemuda berjanji untuk tidak meneladaninya dalam hal ini.

Maka dia mulai bicara justru dengan menunjukkan kekonyolan dan kebodohan dirinya. “Alhamdulillah,” ujarnya, “Alloh semakin menunjukkan pada saya bahwa ada banyak hal yang harus terus saya pelajari. Kebodohan dan kurangnya wawasan saya seperti disampaikan Ayahanda Profesor hanyalah secuil kecil dari kebodohan saya yang sebenarnya jauh lebih menyesakkan dada daripada yang beliau ungkapkan itu. Saya akan ceritakan beberapa hal sebagai buktinya.”

Cerita-cerita tentang kekonyolan dirinya yang disampaikan dengan jenaka, tentu saja membuat hadirin tergelak. Tapi mereka tahu, ada ‘ibroh-‘ibroh berhikmah yang coba disampaikan si pemuda lewat itu. Si pemuda sama sekali tidak membalas kata-kata Sang Guru Besar. Dia tak mendebatnya. Dia justru mengucapkan syukur dan terima kasih dengan cara yang santun. Dia menyatakan, merasa sangat tersanjung dalam ketidakpantasannya, ketika diberi kesempatan untuk berbagi dan bicara dengan hadirin terhormat yang ada di hadapannya.

“Izinkan Ananda memberikan apresiasi setinggi-tingginya,” katanya memungkasi jawaban, “Kepada Ayahanda, Ibunda, dan hadirin sekalian yang bersedia mendengarkan Ananda yang bodoh dan kurang wawasan ini. Ananda bersyukur sekali, telah dianugerahi kesempatan untuk belajar pada hadirin sekalian, terutama Ayahanda Profesor, yang telah berkenan menunjukkan kelemahan-kelemahan Ananda. Ananda menganggap Ayahanda sebagai orangtua Ananda sendiri. Ananda berharap Ayahanda akan membimbing Ananda memahami masalah yang kita bahas ini lebih dalam, lebih tajam, dan lebih bermakna lagi. Terima kasih.”

Tepuk tangan membahana. Tapi si pemuda melihat Sang Profesor tersenyum. Agak kecut.

“Hari ini kita belajar kerendahan hati dari seorang anak muda,” ujar pemateri di sebelah si pemuda yang juga bergelar Guru Besar ketika membuka jawabannya atas pertanyaan yang lain. Di akhir acara, semua peserta menyalami pemuda itu dengan senyum dan jabat tangan yang erat. “Anda sangat pantas memberikan ilmu kepada kami, dik!” ujar seorang peserta berbisik. “Kami kagum kepada Anda. Muda, berilmu, dan hebat dalam mengendalikan emosi! Salut!”

“Terima kasih. Mohon bimbingan selalu, Ayahanda,” ujarnya tetap dengan senyum berbinar.

Semua hadirin telah keluar untuk Lunch Break. Kecuali Sang Profesor yang tadi membantainya. Dia masih duduk di kursi bagian ujung. Lelaki tua itu berpura-pura sibuk, mencorat-coret sesuatu di kertas makalahnya. Dan sang pemuda mendekatinya lalu duduk di sebelahnya dan menyapa. Dengan senyuman. Dengan batin yang ditahan untuk tak mendendam. Lalu mereka telah bicara akrab layaknya ayah dan anak ketika meninggalkan ruangan untuk sholat dan istirahat. Hingga kini, mereka bersahabat. Dan ‘Sang Ayah’ yang hari itu tergerak untuk meminta maaf, hari-hari ini sering konsultasi dengan ‘anak’ barunya ketika akan mengisi seminar atau mata kuliah tertentu di kampusnya.

***

Dalam tiap benturan antara kita dan sesama, selalu ada pilihan; untuk memenangkan kebenaran atau memenangkan hati lawan bicara kita. Jiwa tak bisa takluk oleh hujjah. Hawa nafsu sulit tunduk pada argumentasi. Tetapi begitu hati tersentuh oleh pesona akhlak, tanpa ditunjuki pun dia akan mencari hujjahnya sendiri untuk menginsyafi kebenaran.

Dalam da’wah dan penyampaian kebenaran, debat memang menjadi salah satu jalan yang disebut Alloh. Tapi dia diletakkan di akhir, seolah sebuah cara yang hanya digunakan di saat tak ada pilihan lain. Itu pun Alloh memberi persyaratan, “Dengan cara yang jauh lebih ahsan!”

Serulah manusia kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Robbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. an-Nahl [16]: 125)

Selalu ada pilihan saat kita bicara dengan seseorang. Pilihan untuk memenangkan pandangan kita, atau memenangkan hatinya. Debat berarti mengajukan hujjah. Yang bisa takluk oleh hujjah hanya akal. Yang bisa tunduk pada dalil hanya otak. Bukan jiwa. Bukan hati. Padahal Alloh sudah menggariskan bahwa perubahan suatu kaum dimulai dari perubahan jiwa.

Rosululloh adalah sebaik-baik teladan dalam segala bidang kehidupan. Beliau berdebat dengan sebaik-baik hujjah. Beliau berdebat dengan sebaik-baik akhlak. Beliau berdebat dengan semulia-mulianya sikap. Tetapi ketika berbantahan dengan delegasi Nasroni dari Najron, beliau pun tak bisa membawa mereka untuk bersyahadat bahwa tiada Ilah selain Alloh dan Muhammad adalah utusan-Nya. Orang-orang itu berkata, “Kami tahu engkau bersama kebenaran. Tetapi kami telah tenteram dengan ini.”

Hikmah adalah memenangkan hati dengan segala kemanfaatan yang bisa kita hadirkan.

Lalu saya teringat Ibrohim. Saya bayangkan bahwa dia memperoleh pelajaran yang sama dengan melewati serangkaian perjalanan hidup yang lebih rumit. Dan itu keunggulannya, dia belajar dari kenyataan. Dan itu keutamaannya, agar menjadi pelajaran bagi kita. Kenyataan telah mengasahnya untuk lebih cantik dalam memenangkan pandangan, sekaligus memenangkan hati. Kenyataan telah mengajarinya untuk makin halus dalam berhujjah dan lebih lembut dalam kata.

Dulu, dia memenggal berhala-berhala, lalu berdebat dengan kaumnya. “Kapak itu,” ujarnya, “Masih ada di leher patung yang terbesar. Tanyakan saja padanya!” Itu hujjah yang tak terbantah. Itu argumentasi yang tak bisa dikalahkan. Tapi kaumnya tetap menolak kebenaran. Dan Ibrohim pun dibakar. Adapun Alloh Yang Maha Gagah, menyelamatkannya dari api yang dijadikan dingin dan lembut.

Di lain kesempatan, dia juga berdebat dengan Namrud. Dibungkamnya sang raja yang berani berkata, “Aku Tuhan. Aku mengidupkan dan mematikan.” Ibrohim mengajukan sebuah kalimat cerdas yang tak kuasa dibalas sang raja. “Robbku itu,” ujarnya, “Mendatangkan mentari dari timur. Maka datangkanlah ia dari arah barat!” Namrud diam ternganga. Dia takjub pada hujjah Ibrohim. Tetapi apakah dia beriman? Sayangnya tidak.

Setelah itu, kalimat-kalimat Ibrohim ketika menda’wahi kaum penyembah bintang, bulan, dan matahari menjadi sangat menarik untuk disimak. Peringatan pertama dari ayat-ayat berikut ini adalah bahwa mereka tidak memaparkan kisah Ibrohim mencari tuhan. Ibrohim tak pernah kehilangan Robbnya. Cerita yang digambarkan ayat-ayat ini adalah riwayat bagaimana Ibrohim berda’wah dengan cerdas menyelami logika para penyembah benda langit, lalu membantahnya dengan halus dan cantik.

Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Robb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs. al-An’am [6]: 76-79)

Tak ada yang salah dengan berdebat. Apalagi jika kita mengikut jejak para Rosul yang berbantahan dengan cara yang indah dan mulia. Alloh pun merestuinya sebagai salah satu cara untuk menyampaikan kebenaran dari-Nya. Namun ada kerawanan yang harus sangat diwaspadai dalam debat. Ia sangat mudah memercikkan hawa nafsu, membangkitkan amarah, dan merusak hubungan.

Dalam dekapan ukhuwah, kita menghindarkan diri dari debat yang cenderung mencari pembenaran diri dan mengabaikan kebenaran suci. Dalam dekapan ukhuwah, ada pilihan untuk meraih rumah di surga dengan menghindarinya. “Aku menjaminkan sebuah rumah di tengah-tengah surga,” kata Sang Nabi dalam riwayat Abu Dawud, “Untuk orang yang menahan diri dari debat, meski ia benar.”

Dalam dekapan ukhuwah, terpujilah kita yang berakhlak mulia. Dalam dekapan ukhuwah, terpujilah kita yang mampu memilih antara memenangkan pandangan diri, dengan menaklukkan hati dan jiwa.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar