jika
sebuah penghinaan tak lebih mengerikan
dibanding
apa yang Alloh tutupi dari kesejatian kita
maka
bukankah ia adalah sebait sanjungan?
PEMUDA
ITU
tak tahu dari mana sebuah kepanitiaan seminar pendidikan anak mengenal namanya.
Ya. Mereka ada jauh di luar kota. Tetapi mereka telah mengundangnya untuk
berbicara, dan dia berprasangka baik. Dia masih tertatih belajar tentang
Psikologi Perkembangan dan bagaimana Islam memberikan rambu-rambu pola asuh
anak. Tapi paduan kedua hal inilah yang diminta oleh panitia kepadanya untuk
disajikan. Dia pun belajar dan mengkaji habis-habisan. Dan jadilah sebuah
makalah yang dikirimkan tiga hari sebelum seminar digelar.
Lalu pada hari yang
ditentukan dia hadir ke seminar itu.
Tentu saja dia
terpana. Bahwa seminar ini menghadirkan dua pembicara lain yang berpredikat
Guru Besar. Yang satu bidang psikologi, yang lain kedokteran. Para pesertanya
pun jauh lebih senior dibanding dirinya. Banyak yang telah bergelar master, dan
beberapa juga menyandang pendidikan strata tiga sekaligus titel ‘Profesor’ di
depan namanya.
Awal-awal dia
gelisah. Khawatir betul kemudaan usia dan latar belakang pendidikannya akan
jadi perkara. Tetapi dia mencoba berbuat yang terbaik. Dia sampaikan di awal
tentang siapa dirinya. Dia utarakan apa adanya sekaligus dia sampaikan niatnya
untuk belajar pada kesempatan itu. Sesudah itu, dia uraikan materi yang telah
diamanahkan padanya dengan lugas dan tuntas. Ditanamkannya pada diri, “Panggung
milikku!” Dia tampil dengan percaya diri, tapi dihindarinya sama sekali kesan
menggurui.
Alhamdulillah,
semua lancar.
Tapi tentu saja tak
semua orangtua bisa menerima seorang anak kecil ingusan dan tak berpendidikan
mengoceh di hadapannya tentang bidang yang telah digeluti bertahun-tahun, atau
bahkan puluhan warsa. Seorang bergelar ‘Guru Besar’ langsung mengacungkan
tangan begitu kesempatan bertanya dibuka. Dari awal bicara hingga akhir, sang
Guru Besar habis-habisan mencerca dan tanpa ampun menghina serta
merendahkannya.”Anda ini masih hijau dan bodoh! Celakanya lagi Anda sama sekali
tak punya kompetensi untuk bicara tentang apa yang hendak Anda sampaikan! Dari
awal hingga akhir presentasi Anda tadi adalah omong kosong! Sama sekali tidak
ada nilai kebenaran dan nihil bobot ilmiahnya! Semua teori Anda cuma hasil
spekulasi yang tempel sana dan tempel sini! Kami yang hadir ini orang
berpendidikan! Kami bukan keledai bodoh yang akan mengangguk-angguk atas setiap
ocehan Anda! Untungnya ini forum terhormat. Kalau tidak, mungkin orang dungu
dan goblok macam Anda sudah ditendang keluar sejak mengucapkan kalimat
pertama!”
Berikutnya, segala
umpatan keluar dari lelaki berambut putih dengan kacamata minus tebal itu. Sang
pemuda menunduk di awal. Tapi dia mencoba tegak lagi. Pahit sekali. Pedih
hatinya. Rasanya lebih baik tak pernah dilahirkan daripada dipermalukan di
tengah khalayak semacam ini. Diliriknya moderator dan hadirin. Ah, itu dia!
Mereka pun tampaknya tak terlalu suka dengan kata-kata orang ini! Mereka tidak
menikmatinya! Wajah mereka tegang dan tak nyaman. Mungkin mereka sekedar
sungkan saja untuk tak menghentikan si Profesor tua berlidah tajam itu.
Jadi dunia berpihak
pada sang pemuda!
Maka kini dia punya
pilihan. Dia bisa membalas habis lelaki gaek tak berakhlak itu! Dia bisa
buktikan bahwa segala yang disampaikannya berpijak pada teori yang lebih baru
dan lebih kokoh. Dia bisa mengungkap jatidiri si kakek sebagai seorang sok
pintar dari zaman baheula yang kini
enggan belajar dan tak mau menambah ilmu. Dia bisa saja mempermalukan balik
orang ini yang menurut analisisnya akan mendapat dukungan dari para peserta
seminar lain. Mengapa? Kemungkinan besar, mereka juga pernah menjadi korban
dari kebuasan kata-kata Sang profesor.
Ini saatnya untuk
memberi dia pelajaran!
Tetapi dia punya
pilihan lain. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu mencoba senyum paling manis
yang bisa ditampilkan dalam suasana hati sepahit itu. Dia mencoba untuk
menerima segala kata-kata menyakitkan tadi sebagai sebuah pujian! Dia tahu,
mulia atau hinanya seseorang tak pernah ditentukan oleh kata-kata dan perbuatan
orang lain. Mulia atau hinanya seseorang ditentukan oleh kalimat yang
dimuntahkan dari lisannya sendiri dan perilaku yang bisa dilihat sesama.
Sang Guru Besar
telah memilih untuk menghinakan dirinya sendiri dengan segala kekasaran dan
kata-katanya. Sang pemuda berjanji untuk tidak meneladaninya dalam hal ini.
Maka dia mulai
bicara justru dengan menunjukkan kekonyolan dan kebodohan dirinya.
“Alhamdulillah,” ujarnya, “Alloh semakin menunjukkan pada saya bahwa ada banyak
hal yang harus terus saya pelajari. Kebodohan dan kurangnya wawasan saya
seperti disampaikan Ayahanda Profesor hanyalah secuil kecil dari kebodohan saya
yang sebenarnya jauh lebih menyesakkan dada daripada yang beliau ungkapkan itu.
Saya akan ceritakan beberapa hal sebagai buktinya.”
Cerita-cerita
tentang kekonyolan dirinya yang disampaikan dengan jenaka, tentu saja membuat
hadirin tergelak. Tapi mereka tahu, ada ‘ibroh-‘ibroh berhikmah yang coba
disampaikan si pemuda lewat itu. Si pemuda sama sekali tidak membalas kata-kata
Sang Guru Besar. Dia tak mendebatnya. Dia justru mengucapkan syukur dan terima
kasih dengan cara yang santun. Dia menyatakan, merasa sangat tersanjung dalam
ketidakpantasannya, ketika diberi kesempatan untuk berbagi dan bicara dengan
hadirin terhormat yang ada di hadapannya.
“Izinkan Ananda
memberikan apresiasi setinggi-tingginya,” katanya memungkasi jawaban, “Kepada
Ayahanda, Ibunda, dan hadirin sekalian yang bersedia mendengarkan Ananda yang bodoh
dan kurang wawasan ini. Ananda bersyukur sekali, telah dianugerahi kesempatan
untuk belajar pada hadirin sekalian, terutama Ayahanda Profesor, yang telah
berkenan menunjukkan kelemahan-kelemahan Ananda. Ananda menganggap Ayahanda
sebagai orangtua Ananda sendiri. Ananda berharap Ayahanda akan membimbing
Ananda memahami masalah yang kita bahas ini lebih dalam, lebih tajam, dan lebih
bermakna lagi. Terima kasih.”
Tepuk tangan
membahana. Tapi si pemuda melihat Sang Profesor tersenyum. Agak kecut.
“Hari ini kita
belajar kerendahan hati dari seorang anak muda,” ujar pemateri di sebelah si
pemuda yang juga bergelar Guru Besar ketika membuka jawabannya atas pertanyaan
yang lain. Di akhir acara, semua peserta menyalami pemuda itu dengan senyum dan
jabat tangan yang erat. “Anda sangat pantas memberikan ilmu kepada kami, dik!”
ujar seorang peserta berbisik. “Kami kagum kepada Anda. Muda, berilmu, dan
hebat dalam mengendalikan emosi! Salut!”
“Terima kasih.
Mohon bimbingan selalu, Ayahanda,” ujarnya tetap dengan senyum berbinar.
Semua hadirin telah
keluar untuk Lunch Break. Kecuali
Sang Profesor yang tadi membantainya. Dia masih duduk di kursi bagian ujung.
Lelaki tua itu berpura-pura sibuk, mencorat-coret sesuatu di kertas makalahnya.
Dan sang pemuda mendekatinya lalu duduk di sebelahnya dan menyapa. Dengan
senyuman. Dengan batin yang ditahan untuk tak mendendam. Lalu mereka telah
bicara akrab layaknya ayah dan anak ketika meninggalkan ruangan untuk sholat
dan istirahat. Hingga kini, mereka bersahabat. Dan ‘Sang Ayah’ yang hari itu
tergerak untuk meminta maaf, hari-hari ini sering konsultasi dengan ‘anak’
barunya ketika akan mengisi seminar atau mata kuliah tertentu di kampusnya.
***
Dalam tiap benturan
antara kita dan sesama, selalu ada pilihan; untuk memenangkan kebenaran atau
memenangkan hati lawan bicara kita. Jiwa tak bisa takluk oleh hujjah. Hawa
nafsu sulit tunduk pada argumentasi. Tetapi begitu hati tersentuh oleh pesona
akhlak, tanpa ditunjuki pun dia akan mencari hujjahnya sendiri untuk
menginsyafi kebenaran.
Dalam da’wah dan
penyampaian kebenaran, debat memang menjadi salah satu jalan yang disebut
Alloh. Tapi dia diletakkan di akhir, seolah sebuah cara yang hanya digunakan di
saat tak ada pilihan lain. Itu pun Alloh memberi persyaratan, “Dengan cara yang
jauh lebih ahsan!”
“Serulah manusia kepada jalan Robbmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang
lebih baik. Sesungguhnya Robbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Qs. an-Nahl [16]: 125)
Selalu ada pilihan
saat kita bicara dengan seseorang. Pilihan untuk memenangkan pandangan kita,
atau memenangkan hatinya. Debat berarti mengajukan hujjah. Yang bisa takluk
oleh hujjah hanya akal. Yang bisa tunduk pada dalil hanya otak. Bukan jiwa.
Bukan hati. Padahal Alloh sudah menggariskan bahwa perubahan suatu kaum dimulai
dari perubahan jiwa.
Rosululloh adalah
sebaik-baik teladan dalam segala bidang kehidupan. Beliau berdebat dengan sebaik-baik
hujjah. Beliau berdebat dengan sebaik-baik akhlak. Beliau berdebat dengan
semulia-mulianya sikap. Tetapi ketika berbantahan dengan delegasi Nasroni dari
Najron, beliau pun tak bisa membawa mereka untuk bersyahadat bahwa tiada Ilah
selain Alloh dan Muhammad adalah utusan-Nya. Orang-orang itu berkata, “Kami
tahu engkau bersama kebenaran. Tetapi kami telah tenteram dengan ini.”
Hikmah adalah
memenangkan hati dengan segala kemanfaatan yang bisa kita hadirkan.
Lalu saya teringat
Ibrohim. Saya bayangkan bahwa dia memperoleh pelajaran yang sama dengan
melewati serangkaian perjalanan hidup yang lebih rumit. Dan itu keunggulannya,
dia belajar dari kenyataan. Dan itu keutamaannya, agar menjadi pelajaran bagi
kita. Kenyataan telah mengasahnya untuk lebih cantik dalam memenangkan
pandangan, sekaligus memenangkan hati. Kenyataan telah mengajarinya untuk makin
halus dalam berhujjah dan lebih lembut dalam kata.
Dulu, dia memenggal
berhala-berhala, lalu berdebat dengan kaumnya. “Kapak itu,” ujarnya, “Masih ada
di leher patung yang terbesar. Tanyakan saja padanya!” Itu hujjah yang tak
terbantah. Itu argumentasi yang tak bisa dikalahkan. Tapi kaumnya tetap menolak
kebenaran. Dan Ibrohim pun dibakar. Adapun Alloh Yang Maha Gagah,
menyelamatkannya dari api yang dijadikan dingin dan lembut.
Di lain kesempatan,
dia juga berdebat dengan Namrud. Dibungkamnya sang raja yang berani berkata,
“Aku Tuhan. Aku mengidupkan dan mematikan.” Ibrohim mengajukan sebuah kalimat
cerdas yang tak kuasa dibalas sang raja. “Robbku itu,” ujarnya, “Mendatangkan
mentari dari timur. Maka datangkanlah ia dari arah barat!” Namrud diam
ternganga. Dia takjub pada hujjah Ibrohim. Tetapi apakah dia beriman? Sayangnya
tidak.
Setelah itu,
kalimat-kalimat Ibrohim ketika menda’wahi kaum penyembah bintang, bulan, dan
matahari menjadi sangat menarik untuk disimak. Peringatan pertama dari
ayat-ayat berikut ini adalah bahwa mereka tidak memaparkan kisah Ibrohim
mencari tuhan. Ibrohim tak pernah kehilangan Robbnya. Cerita yang digambarkan
ayat-ayat ini adalah riwayat bagaimana Ibrohim berda’wah dengan cerdas
menyelami logika para penyembah benda langit, lalu membantahnya dengan halus
dan cantik.
Ketika malam telah gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu
tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah
bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia
melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.”
Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Robb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs. al-An’am [6]: 76-79)
Tak
ada yang salah dengan berdebat. Apalagi jika kita mengikut jejak para Rosul
yang berbantahan dengan cara yang indah dan mulia. Alloh pun merestuinya
sebagai salah satu cara untuk menyampaikan kebenaran dari-Nya. Namun ada
kerawanan yang harus sangat diwaspadai dalam debat. Ia sangat mudah memercikkan
hawa nafsu, membangkitkan amarah, dan merusak hubungan.
Dalam
dekapan ukhuwah, kita menghindarkan diri dari debat yang cenderung mencari
pembenaran diri dan mengabaikan kebenaran suci. Dalam dekapan ukhuwah, ada
pilihan untuk meraih rumah di surga dengan menghindarinya. “Aku menjaminkan
sebuah rumah di tengah-tengah surga,” kata Sang Nabi dalam riwayat Abu Dawud,
“Untuk orang yang menahan diri dari debat, meski ia benar.”
Dalam
dekapan ukhuwah, terpujilah kita yang berakhlak mulia. Dalam dekapan ukhuwah,
terpujilah kita yang mampu memilih antara memenangkan pandangan diri, dengan
menaklukkan hati dan jiwa.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar